Share

Bab 6

Sesampainya aku di sekolah dan baru saja mendaratkan bokongku di atas kursi di dalam ruang guru tiba-tiba saja ponselku berdering. Meski lirih karena memang kuatur untuk tidak terlalu nyaring namun, ku masih bisa mendengarnya. 

 

 

Gegas aku mengambil ponselku di dalam tas yang kubawa, kuedarkan pandangan ke sekeliling ternyata yang datang baru tiga guru salah satunya termasuk aku. 

 

 

Kulihat nama mas Rama terpampang di layar ponsel. Aku mengukir senyum di kedua sudut bibirku dan lekas mengangkat sambungan telepon  dari mas Rama. 

 

 

"Assalamualaikum, Sayangku, wah cantik sekali sepagi ini kamu Sayang?" ucap mas Rama sesaat aku mengangkat telepon darinya. 

 

 

Tentu saja ucapannya membuatku tersipu dan wajahku menghangat. Ditambah lagi di ruangan ini juga ada guru yang lain dan salah satunya adalah teman dekatku yakni, Pratiwi dan aku biasa memanggilnya Tiwi. 

 

 

"Waalaikumsalam, suamiku, jangan gombal pagi-pagi ah, kan malu didengar sama yang lain," ucapku sembari mengarahkan kamera ke sekeliling ruangan agar mas Rama tahu kalau aku tidak sedang sendiri. 

 

 

Mas Rama tersenyum melihat tingkahku ini, ah, senyuman itu sungguh menjadi obat kuat bagiku pagi ini. Aku yakin aku akan lebih semangat dalam menjalani hari ini. 

 

 

"Ya gak apa-apa lah Sayang, kan kita suami istri," ucap mas Rama lagi sembari tersenyum manis. Duh, lama-lama aku bisa kma diabetes nih kalau diberi senyuman semanis itu terus-menerus. 

 

 

"Iya sih tapi kan gak di tempat umum juga." 

 

 

Aku tersenyum saat mengatakan itu karena Tiwi juga melihat ke arahku sembari tersenyum. Sudah tidak heran lagi baginya jika sepagi ini aku dan mas Satria sudah bucin-bucinan. 

 

 

"Kamu sudah sarapan Sayang?" 

 

 

"Sudah Mas, Mbak Siti tadi masak nasi goreng seafood." 

 

 

"Wah, enaknya, aku kangen makan bareng sama kamu." 

 

 

"Makanya buruan pulang, aku juga kangen sama kamu." 

 

 

"Ekhem, ekh, ekh, ekhem." 

 

 

Suara Tiwi terdengar berdehem tanda kalau dia sedang menggodaku. Aku hanya mendelik ke arah Tiwi dan ia pun tergelak. Lantas Tiwi menggelengkan kepala dan meninggalkanku sendirian di ruangan ini sebab guru yang satu lagi juga entah kemana. 

 

 

Yeay, akhirnya aku bebas berbucin ria dengan mas Rama sebelum bel masuk berbunyi. 

 

 

"Kamu yang sabar ya, Mas akan pulang besok. Besok bisa kita puas-puasin kangen-kangennya." Ucapan mas Rama tentu saja membuatku membulatkan mata. 

 

 

"Mas serius? Kok tumben cepet? Kan Mas baru berangkat seminggu yang lalu?" tanyaku masih tidak percaya dengan kabar kepulangan suamiku besok. 

 

 

"Iya, kan Mas mau urus surat balik nama semua harta menjadi atas namamu. Apa kamu lupa?" Aku terdiam seketika karena ternyata mas Rama tidak main-main dengan ucapannya. 

 

 

"Mas, apa kamu serius? Kamu gak lagi bercanda kan? Kamu sudah pikirkan ini baik-baik? Kok kesannya aku kayak yang maruk harta dan minta kamu balik nama semua atas namaku." 

 

 

"Kok kamu ngomongnya begitu Sayang? Jelas saja ini atas keputusan dan keinginan Mas sendiri. Memangnya selama ini Mas bekerja untuk siapa kalau bukan untuk kamu? Jadi kamu memang berhak atas semua ini Sayang. Bagi Mas bisa hidup menua dan bersama kamu hingga akhir hayat saja sudah cukup. Mas hanya minta kamu akan tetap mencintai Mas apa pun kondisi dan keadaannya." Tiba-tiba saja air mata menetes di kedua pipiku dan membuat mas Rama mengernyitkan dahi. 

 

 

"Kok kamu nangis Sayang? Apakah ada perkataan Mas yang menyakitimu? Maafkan Mas ya kalau Mas ada salah kata sama kamu." 

 

 

Aku menggeleng cepat dan menjawab ucapan mas Satria sebelum ia semakin salah paham dengan arti tangisanku ini. 

 

 

"Aku bukan menangis karena sedih. Tapi aku nangis bahagia. Aku sangat bahagia karena bisa memiliki suami seperti kamu. Aku janji apa pun keadaannya aku gak akan ninggalin kamu. Kita akan menua bersama sampai maut menjemput."

 

 

"Ya Sudah hapus air mata kamu, nanti cantiknya hilang lho," gombal mas Rama yang membuatku tersipu. 

 

 

"Yasudah Mas ini sudah waktunya masuk. Aku matikan dulu ya, nanti disambung lagi. Kamu di sana juga jangan lupa makan. Aku merindukanmu, i love you," ucapku sembari tersenyum. 

 

 

"Iya Sayang, aku juga merindukanmu. Love you to." Setelahnya ponsel pun dimatikan karena bel tanda masuk juga susah berbunyi. Ternyata Tiwi yang menghidupkannya karena aku keasyikan bergombal ria dengan suamiku. Ah, aku jadi malu. 

 

 

"Cieee yang abis kangen-kangenan itu mukanya seger bener. Kayak buah kecelup air dingin. Brrrr," seloroh Tiwi yang membuatku menimpuknya dengan tisu bekas mengelap ingus dan air mataku. Sontak saja Tiwi menjerit kecil dan menghindar dari lemparanku tapi, dia kalah cepat dengan gerakan tanganku sehingga membuat tisu itu mengenai wajahnya. 

 

 

"Astaga Anin! Jorok banget sih kamu. Iyuh," seloroh Tiwi sembari melemparkan bekas tisu yang aku pakai ke tempat sampah. Aku pun tergelak melihat kelucuan temanku yang satu itu. Tiwi memang sering sekali membuat lelucon yang bisa membuatku tersenyum dan terhibur. Dia selalu ada di saat aku membutuhkan telinga untuk mendengarkan segala curhatanku. 

 

 

Yah, aku dan Tiwi sangat dekat. Bahkan, dia juga tahu kisah rumah tanggaku dan mas Satria seperti apa. Mulai dari mami yang selalu menuntutku untuk segera menghadirkan bayi hingga mami yang dengan teganya menghadirkan orang ketiga di pernikahanku dan mas Satria. 

 

 

Tiwi selalu mencoba menyabarkanku. Bahkan, dia juga yang menasehatiku selagi mas Rama masih mencintaiku dan tidak berubah maka aku harus pertahankan. Itulah yang membuatku kuat menjalani hidup berpoligami. Ah, kurasa tidak seperti poligami pada umumnya. Karena yang kulihat mas Rama terhadap Maya pun hanya setengah hati. 

 

 

Salah siapa? Salah mami, kenapa menghadirkan orang ketiga dengan paksaan. Padahal dia tahu kalau aku dn mas Rama saling mencintai. Bahkan, mami sampai mogok makan dan berhari-hari tidak memasukkan apa pun ke perutnya hingga membuat mas Rama terpaksa menerima perjodohan itu. Aku pun tidak tega melihat mami yang tergolek lemah di rumah sakit alhasil aku pun terpaksa menyetujuinya. 

 

 

Jadi, jangan salahkan kami juga kalau memang mas satria setengah-setengah dalam menjalankan pernikahan dengan Zea. 

 

 

Jedug. 

 

 

Aku tersentak saat merasakan sakit di keningku. Ternyata aku berjalan sambil melamun dan membuat jidatku kepentok pintu. Duh, maba di depan kelas lagi. 

 

 

Kulihat ke dalam kelas, para murid menutup mulutnya dengan tangan. Ada yang menahan tawanya mungkin takut kalau aku akan memarahinya. Huh dasar aku ini kenapa malah melamun saat jalan sih. Aku pun menebalkan muka dan bergegas masuk ke dalam kelas untuk memulai pelajaran. 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status