Share

Bab 6

Penulis: Vyra Fame
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-22 13:01:52

Sesampainya aku di sekolah dan baru saja mendaratkan bokongku di atas kursi di dalam ruang guru tiba-tiba saja ponselku berdering. Meski lirih karena memang kuatur untuk tidak terlalu nyaring namun, ku masih bisa mendengarnya. 

 

 

Gegas aku mengambil ponselku di dalam tas yang kubawa, kuedarkan pandangan ke sekeliling ternyata yang datang baru tiga guru salah satunya termasuk aku. 

 

 

Kulihat nama mas Rama terpampang di layar ponsel. Aku mengukir senyum di kedua sudut bibirku dan lekas mengangkat sambungan telepon  dari mas Rama. 

 

 

"Assalamualaikum, Sayangku, wah cantik sekali sepagi ini kamu Sayang?" ucap mas Rama sesaat aku mengangkat telepon darinya. 

 

 

Tentu saja ucapannya membuatku tersipu dan wajahku menghangat. Ditambah lagi di ruangan ini juga ada guru yang lain dan salah satunya adalah teman dekatku yakni, Pratiwi dan aku biasa memanggilnya Tiwi. 

 

 

"Waalaikumsalam, suamiku, jangan gombal pagi-pagi ah, kan malu didengar sama yang lain," ucapku sembari mengarahkan kamera ke sekeliling ruangan agar mas Rama tahu kalau aku tidak sedang sendiri. 

 

 

Mas Rama tersenyum melihat tingkahku ini, ah, senyuman itu sungguh menjadi obat kuat bagiku pagi ini. Aku yakin aku akan lebih semangat dalam menjalani hari ini. 

 

 

"Ya gak apa-apa lah Sayang, kan kita suami istri," ucap mas Rama lagi sembari tersenyum manis. Duh, lama-lama aku bisa kma diabetes nih kalau diberi senyuman semanis itu terus-menerus. 

 

 

"Iya sih tapi kan gak di tempat umum juga." 

 

 

Aku tersenyum saat mengatakan itu karena Tiwi juga melihat ke arahku sembari tersenyum. Sudah tidak heran lagi baginya jika sepagi ini aku dan mas Satria sudah bucin-bucinan. 

 

 

"Kamu sudah sarapan Sayang?" 

 

 

"Sudah Mas, Mbak Siti tadi masak nasi goreng seafood." 

 

 

"Wah, enaknya, aku kangen makan bareng sama kamu." 

 

 

"Makanya buruan pulang, aku juga kangen sama kamu." 

 

 

"Ekhem, ekh, ekh, ekhem." 

 

 

Suara Tiwi terdengar berdehem tanda kalau dia sedang menggodaku. Aku hanya mendelik ke arah Tiwi dan ia pun tergelak. Lantas Tiwi menggelengkan kepala dan meninggalkanku sendirian di ruangan ini sebab guru yang satu lagi juga entah kemana. 

 

 

Yeay, akhirnya aku bebas berbucin ria dengan mas Rama sebelum bel masuk berbunyi. 

 

 

"Kamu yang sabar ya, Mas akan pulang besok. Besok bisa kita puas-puasin kangen-kangennya." Ucapan mas Rama tentu saja membuatku membulatkan mata. 

 

 

"Mas serius? Kok tumben cepet? Kan Mas baru berangkat seminggu yang lalu?" tanyaku masih tidak percaya dengan kabar kepulangan suamiku besok. 

 

 

"Iya, kan Mas mau urus surat balik nama semua harta menjadi atas namamu. Apa kamu lupa?" Aku terdiam seketika karena ternyata mas Rama tidak main-main dengan ucapannya. 

 

 

"Mas, apa kamu serius? Kamu gak lagi bercanda kan? Kamu sudah pikirkan ini baik-baik? Kok kesannya aku kayak yang maruk harta dan minta kamu balik nama semua atas namaku." 

 

 

"Kok kamu ngomongnya begitu Sayang? Jelas saja ini atas keputusan dan keinginan Mas sendiri. Memangnya selama ini Mas bekerja untuk siapa kalau bukan untuk kamu? Jadi kamu memang berhak atas semua ini Sayang. Bagi Mas bisa hidup menua dan bersama kamu hingga akhir hayat saja sudah cukup. Mas hanya minta kamu akan tetap mencintai Mas apa pun kondisi dan keadaannya." Tiba-tiba saja air mata menetes di kedua pipiku dan membuat mas Rama mengernyitkan dahi. 

 

 

"Kok kamu nangis Sayang? Apakah ada perkataan Mas yang menyakitimu? Maafkan Mas ya kalau Mas ada salah kata sama kamu." 

 

 

Aku menggeleng cepat dan menjawab ucapan mas Satria sebelum ia semakin salah paham dengan arti tangisanku ini. 

 

 

"Aku bukan menangis karena sedih. Tapi aku nangis bahagia. Aku sangat bahagia karena bisa memiliki suami seperti kamu. Aku janji apa pun keadaannya aku gak akan ninggalin kamu. Kita akan menua bersama sampai maut menjemput."

 

 

"Ya Sudah hapus air mata kamu, nanti cantiknya hilang lho," gombal mas Rama yang membuatku tersipu. 

 

 

"Yasudah Mas ini sudah waktunya masuk. Aku matikan dulu ya, nanti disambung lagi. Kamu di sana juga jangan lupa makan. Aku merindukanmu, i love you," ucapku sembari tersenyum. 

 

 

"Iya Sayang, aku juga merindukanmu. Love you to." Setelahnya ponsel pun dimatikan karena bel tanda masuk juga susah berbunyi. Ternyata Tiwi yang menghidupkannya karena aku keasyikan bergombal ria dengan suamiku. Ah, aku jadi malu. 

 

 

"Cieee yang abis kangen-kangenan itu mukanya seger bener. Kayak buah kecelup air dingin. Brrrr," seloroh Tiwi yang membuatku menimpuknya dengan tisu bekas mengelap ingus dan air mataku. Sontak saja Tiwi menjerit kecil dan menghindar dari lemparanku tapi, dia kalah cepat dengan gerakan tanganku sehingga membuat tisu itu mengenai wajahnya. 

 

 

"Astaga Anin! Jorok banget sih kamu. Iyuh," seloroh Tiwi sembari melemparkan bekas tisu yang aku pakai ke tempat sampah. Aku pun tergelak melihat kelucuan temanku yang satu itu. Tiwi memang sering sekali membuat lelucon yang bisa membuatku tersenyum dan terhibur. Dia selalu ada di saat aku membutuhkan telinga untuk mendengarkan segala curhatanku. 

 

 

Yah, aku dan Tiwi sangat dekat. Bahkan, dia juga tahu kisah rumah tanggaku dan mas Satria seperti apa. Mulai dari mami yang selalu menuntutku untuk segera menghadirkan bayi hingga mami yang dengan teganya menghadirkan orang ketiga di pernikahanku dan mas Satria. 

 

 

Tiwi selalu mencoba menyabarkanku. Bahkan, dia juga yang menasehatiku selagi mas Rama masih mencintaiku dan tidak berubah maka aku harus pertahankan. Itulah yang membuatku kuat menjalani hidup berpoligami. Ah, kurasa tidak seperti poligami pada umumnya. Karena yang kulihat mas Rama terhadap Maya pun hanya setengah hati. 

 

 

Salah siapa? Salah mami, kenapa menghadirkan orang ketiga dengan paksaan. Padahal dia tahu kalau aku dn mas Rama saling mencintai. Bahkan, mami sampai mogok makan dan berhari-hari tidak memasukkan apa pun ke perutnya hingga membuat mas Rama terpaksa menerima perjodohan itu. Aku pun tidak tega melihat mami yang tergolek lemah di rumah sakit alhasil aku pun terpaksa menyetujuinya. 

 

 

Jadi, jangan salahkan kami juga kalau memang mas satria setengah-setengah dalam menjalankan pernikahan dengan Zea. 

 

 

Jedug. 

 

 

Aku tersentak saat merasakan sakit di keningku. Ternyata aku berjalan sambil melamun dan membuat jidatku kepentok pintu. Duh, maba di depan kelas lagi. 

 

 

Kulihat ke dalam kelas, para murid menutup mulutnya dengan tangan. Ada yang menahan tawanya mungkin takut kalau aku akan memarahinya. Huh dasar aku ini kenapa malah melamun saat jalan sih. Aku pun menebalkan muka dan bergegas masuk ke dalam kelas untuk memulai pelajaran. 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Obsesi Liar Maduku   bab 131

    Bugh. Anin memukulkan sepotong bambu sepanjang tangan orang dewasa ke arah Siti secara cepat sehingga membuat Siti tersungkur ke arah samping dan pisau itu terlepas dan mendarat di bawa kaki Anin. Jadi, Anin sudah melihat bambu itu sejak tadi dan Anin sudah memikirkan ke arah sana karena ia hanya menunggu saat yang tepat saja. Kini pisau itu sudah aman berada di tangannya. Reno dan pak Slamet segera memegangi Siti yang berniat ingin menyerang kembali Anin meski dengan tangan kosong. Tidak lama kemudian tiga orang polisi pun masuk ke dalam rumah pak Slamet dan membantu Reno juga pak Slamet mengamankan Siti. Siti meronta dan berteriak minta untuk dilepaskan. Ternyata para polisi itu juga diminta Anin untuk datang ke rumah Siti. Namun, di tengah perjalanan ban mobil mereka pecah sehingga mengharuskan mereka menggantinya terlebih dahulu dengan ban serep. "Lepaskan aku dasar bangsat kalian semua. Lepaskan!" Siti terus saja berteriak dan meronta membuat para tetangga yang sejak tadi k

  • Obsesi Liar Maduku   bab 130

    "Tolong buka pikiranmu, Siti. Lepaskan Rama, biarkan dia hidup tenang bersama keluarganya sendiri," ucap pak Slamet, "Kalau kau sayang pada lelaki itu ... Kau pasti tidak akan tega melihatnya menderita dan jauh dari keluarganya seperti sekarang ini bukan?"Suaranya kini terdengar melemah dan tulus. Ia menatap Siti dengan tatapan dalam, sampai-sampai membuat gadis itu tampak terdiam dan menundukkan kepalanya.Sepertinya ucapan pak Slamet sedikit berpengaruh, membuat senyuman pak Slamet mulai terlihat.Sedangkan mak Jumi, wanita itu masih terisak dan terus berharap sebuah keajaiban datang dan merubah jalan pikiran Siti.Beberapa detik berlalu, Siti mulai mengangkat wajahnya, dengan sedikit melemahkan bahkan meSitiunkan pisau yang menempel pada pergelangan tangannya.Hal itu sontak membuat mak Jumi dan pak Slamet sedikit tersenyum simpul."Tidak!" ucap Siti dengan lantang. Membuat sepasang suami istri tersebut kembali tercengang.Kening pak Slamet kembali mengerut karenanya, senyuman yan

  • Obsesi Liar Maduku   Bab 129

    Siti yang merasa frustasi karena keinginannya tidak tercapai dan mendapat penolakan dari Bapaknya langsung emosi. Tanpa pikir panjang, dia meraih pisau yang berada di rak dapur.Siti mengacungkan pisau itu ke arah Mak Jumi dan Pak Slamet yang bergidik ngeri.“Apa yang kamu lakukan Siti?” teriak Pak Slamet.“Kalau Bapak tidak mau menikahkan aku, maka aku akan bunuh diri.”“Siti..”"Astagfirullah, Siti! Apa-apaan kau ini, Nak!?" teriak mak Jumi yang mulai terlibat histeris.Betapa terkejutnya mak Jumi tat kala anak gadis satu-satunya tengah memegangi sebilah pisau, bahkan tanpa rasa takut sekalipun.Mak Jumi tidak menyangka jika Siti akan bertindak sejauh ini, setan apa yang tengah merasuki gadis itu? Sungguh tak dapat dipercaya.Siti yang sudah terobsesi oleh ambisinya sendiri, oleh rasa cintanya

  • Obsesi Liar Maduku   Bab 128

    “Tidak seperti itu Mak, Mas Rama itu belum sepenuhnya ingat apa yang terjadi, jadi kita harus cepat, tolong nikahkan aku dengan Mas Rama,” Siti tetap bersikukuh untuk menikah dengan Rama.Tapi Pak Slamet masih bertindak waras, sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan, dia tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Lebih baik tidak jadi menikah jika kedepannya pernikahan itu tidak bisa di jamin kelanggengannya.Dan dia yakin Rama akan sadar dengan sepenuhnya, jika waktu itu tiba, dia yakin Rama akan membuang anak gadisnya.Dengan latar belakang yang di miliki Rama, dia yakin Rama akan melakukan itu. Masih untung jika hanya di ceraikan, bagaimana kalau putrinya di laporkan ke polisi dengan pasal penipuan.Pak Slamet sendiri sudah berkonsultasi dengan orang-orang pintar seperti Pak RT, Pak Kepala desa bahwa tindakan penipuan bisa berakhir di penjara, bukan hanya anaknya tapi j

  • Obsesi Liar Maduku   Bab 127

    “Kamu itu Siti, Bapakmu baru datang, sudah kamu cerca pertanyaan, buatkan minum sana dulu,” cerca Mak Jumi.Mak Jumi tak habis pikir dengan perubahan sikap Siti yang sangat drastic antara sebelum berangkat ke kota dan sesudahnya, hingga Mak Jumi berpikir apakah kehidupan kota begitu cepat merubah sikap seseorang?“Iya Mak, aku kan cuman nanya saja, kok Mak marah,” gumam Siti sembari masuk ke dapur, tidak lupa dia menghentak-hentakkan kakinya tanda kesal karena omelan Mak Jumi.“Apakah kita salah mendidik anak kita Mak?” tanya Pak Slamet sedih. Dia kecewa dengan perubahan sikap Siti yang semakin menjadi-jadi, minim sopan santun dan sangat suka menggerutu, sama sekali tidak menunjukkan kasih sayang kepadanya.“Entahlah Pak, selama ini kita juga menyayangi dia dengan tulus ikhlas, Mak ini juga selalu mendoakan Siti agar menjadi anak sholehah, tapi kok jadinya be

  • Obsesi Liar Maduku   Bab 126

    Maka dari itu, pak RT kini sudah mengizinkan semua pelaku keributan itu untuk pulang ke rumah masing-masing."Yasudah, kalau begitu kalian pulanglah!" ucap pak RT."Terimakasih, Pak," ucap pak Selamet dengan senyuman yang samar."Terimakasih untuk semuanya, Pak." Pun juga dengan bu Lela yang juga mengucapkan terimakasih untuk pak RT.Tak berselang lama, kini pak Selamet pun menangkup bahu sang istri. Di mana ia menuntun mak Jumi untuk segera pulang dari rumah pak RT. Sedangkan bu Lela ... dia berjalan di depan kedua pasangan suami istri itu.Tetapi setelah berjalan cukup jauh dari rumah pak RT, pak Selamet yang sedari tadi menatap punggung bu Lela dengan tajam dan penuh amarah itu, pun pada akhirnya membuka suaranya."Bu Lela, tunggu sebentar!" ucapnya dengan cukup penuh ketaj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status