BAB 5
Tentu saja rasanya darahku mendidih. Refleks tanganku menampar kuat pipinya hingga membuat Zea terhuyung dan kepalanya menoleh ke samping.
"Jangan pernah pancing seekor buaya yang tengah kelaparan untuk menerkam. Karena sekali saja kau terkena gigitannya yang tajam aku jamin kau akan mati karenanya!"
Aku meninggalkan Zea yang masih terpaku atas kemarahanku barusan. Dia kira dia siapa bisa seenaknya saja berbuat. Meskipun dia adalah pilihan mami tapi tetap saja akilah ratu bagi mas Rama. Aku percaya itu.
Lagian di rumah ini akulah ratunya dan Zea hanyah tamu. Tamu yang kapan saja jika si pemilik rumah menghendaki maka bisa mengusir si tamu yang menyebalkan tersebut.
Kubamting pintu kamarku karena sungguh kesal demgan Zea. Biar dia tahu seperti apa wajah asliku. Aku bukanlah istri pertama yang diam saja ketika ditindas. Meskipun mami menyanjung dan menyayanginya sekali lagi aku tidak peduli karena bagiku yang utama adalah mas Rama bukan mami karena yang menikah denganku adalah mas Rama.
Kuteguk air minum di dalam gelas hingga tandas. Marah-marah seperti tadi membuat tenggorokanku terasa kering, kuelus dadaku agar sedikit bisa menghilangkan sesaknya. Kuhembuskan napas untuk menetralisir rasa emosiku yang masih di ubun-ubun.
"Huh, dari mana sih Mami bisa dapat perempuan model begitu. Apes banget dapat madu modelan kentut begitu, bikin sebel aja." Aku masih saja terus menggerutu. Entahlah, benar-benar kesal aku menghadapi anak ingusan semacam Zea. Dasar parasit!
Aku sendiri heran sepertinya memang ada yang Zea rahasiakan dariku dan mas Rama. Setiap kali aku lengah, aku pasti mendengar suara-suara desahan yang menjijikkan itu. Akan tetapi, setiap kali aku mencoba memergokinya tapi aku tidak menemukan apa pun. Hah, sepertinya dia memang pintar bersandiwara dan aku tampaknya harus ekstra kerja keras untuk mebongkar kebusukannya karena aku yakin dia tidaklah sepolos dan sebaik yang mami katakan.
Kepalaku terasa berdenyut krena memikirjan ini semua. Aku melihat ke layar ponsel ternyata jam sudah di angka dua. Itu artinya selama satu jam aku meladeni si valak kecil itu.
Huh, aku membaringkan tubuhku di atas ranjang king size yang ada di kamarku ini. Tempat dimana aku menghabiskan malam-malam hangatku dengan mas Rama.
Ah, mas Rama, aku sangat merindukanmu, entah kenapa menunggumu pulang adalah hal yang membosankan bagiku. Inginku kamu ada di sini terus bersamaku menghabiskan masa tua kita hingga akhir hayat.
Semoga saja rumah tanggaku dengan mas Rama akan terus baik-baik saja dan juga harmonis. Aku pun memutuskan untuk memejamkan mata karena esok hari aku harus kembali bekerja.
***
Pagi menyapa, sinar mentari menerobos masuk ke cela-cela hordeng kamar membuatku mengerjapkan mata berkali-kali.
"Hoam." Rupanya aku ketiduran saat habis sholat subuh tadi. Gara-gara berdebat dengan Zea membuatku menjadi ngantuk begini. Kulihat jam di ponsel dan menunjukkan pukul 06.20 menit. Aku pun bersiap-siap untuk mengganti baju dan segera sarapan.
Aku berjalan menuju meja makan di mana mbak Siti sudah menyediakan nasi goreng seafood kesukaanku. Aku pun mendaratkan bokong di atas kursi makan dan bergegas melahap sarapan yang mbak Nur buat dengan lahapnya.
Aku memang tidak pernah melewatkan sarapan pagi, entah itu hanya dengan selembar roti tawar dengan topping telur dan keju atau pun nasi goreng seperti ini aku tetap wajib sarapan. Karena otakku tidak akan bekerja jika sedang lapar.
"Mbak, Siti, Zea belum bangun?" tanyaku pada asisten rumah tanggaku di sela-sela suapan nasi ke dalam mulutku.
"Belum, Bu, katanya dia ada mata kuliah siang nanti jadi mungkin bangun siang kali," jawab mbak Siti sembari mencuci perkakas bekas masak di wastafel.
"Dia tadi sholat subuh gak, Mbak?" tanyaku lagi.
"Enggak tahu, Bu, kayaknya sih enggak. Soalnya dari tadi saya di sini enggak ada lihat Bu Zea keluar dari kamarnya."
Aku menghentikan suapanku dan berpikir sejenak. Enak sekali dia bangun sesuka hatinya dan tidur seenaknya. Dia pikir dia siapa? Kalau dia tidak tinggal di sini kalau tidak sholat itu sih bukan urusanku. Akan tetapi, karena dia tinggal di sini jadi kalau dia enggak sholat dan aku enggak menegurnya maka aku sudah pasti kecipratan dosanya.
Ini tidak bisa dibiarkan, makin lama makin ngelunjak bener itu valak kecil. Aku pun meudahi sarapan pagiku karena tiba-tiba saja perutku tidak lapar lagi. Aku mengambil tas kerjaku karena kebetulan hari juga sudah siang. Sembari aku ingin berangkat aku juga berniat ingin membangunkan Zea. Kalau dia begini terus apa bagusnya dia sebagai istri mas Rama kan?
Tok
Tok
Tok
"Zea bangun, Zea!"
Satu detik, dua detik, hingga satu menit lamanya tidak ada terdengar kalau Zea sudah bangun. Lagi, aku kembali mengetuk pintu kamarnya dan kali ini jauh lebih kuat daripada tadi.
Dog
Dog
Dog
"Zea bangun Ze!" panggilku kuat pada Zea. Tidak lama kemudian terdengar suara kunci diputar itu tandanya Zea sudah bangun.
"Duh, Mbak Anin nih apa-apan sih? Masih malam juga ganggu orang tidur saja? Berisik tau gak!" sentak Zea sembari menguap membuat aroma tak sedap dari mulutnya tercium.
"Huek, kamu itu makanya bangke apa, Ze? Cantik-cantik kok mulut bau tikus mati? Lagian ini sudah siang! Malam dari jonggol! Buruan bangun! Kalah tuh kamu sama ayam. Ayam saja pagi-pagi sudah eker-eker tanah buat cari makan. Lha ini kamu masih asyik aja nyiptain iler. Noh pipimu banyak liur menempel. Ih, jorok banget." Aku bergidik geli karena melihat kejorokan Zea.
"Apaan sih, Mbak! Bawel banget. Ini kan belum jam sepuluh juga. Gak usah gangguin ketenngan orang deh!"
Zea sepertinya ingin kembali lagi ke dalam kamarnya dan sepertinya juga akan kembali tidur. Akan tetapi, aku tidak mau kalah dan tentunya tidak kehabisan akal. Aku berjalan kembali ke arah dapur. Kuambil teko berisi air setengahnya. Aku kembali berjalan dengan cepat menuki kamar Zea yang ternyata tidak ia kunci.
Byur.
"Aaaaaa, Mbak Anun ini apa-apaan sih! Kenapa aku disiram begini?!" pekik Zea sembari melotot ke arahku. Namun, aku sama sekali tidak takut padanya. Seenaknya saja seperti nyonya besar di rumahku.
"Buruan bangun atau malah air panas yang akan aku siramkan ke tubuh kamu. Buruan bangun! Kamu pikir ini rumah kamu apa!"
Aku menarik kasar tangannya hingga membuatnya terpaksa berdiri.
"Ck, iya-iya, bawel banget sih. Dasar rese! Awas saja aku adukan sama Mami!"
"Bodo amat! Kamu pikir ku takut?! Sana pergi dari rumahku kalau enggak suka aturan mainku!"
Jelas saja Zea tidak mau karena jelas dia lebih betah berada di sini. Karena selain setiap kamar ber ac juga ada asisten rumah tangga. Lha kalau dia di rumahnya sendiri kan dia harus serba sendiri mengerjakannya. Aku sangat tahu Zea ini tipe cewek manja yang apa-apa minta diladenin. Huh, bikin kesal saja pagi-pagi begini.
"Cepat mandi dan bersihkan kamarmu yang sudah seperti gudang sampah! Awas kalau aku pulang nanti masih belum beres!"
Kutinggalkan Zea yang sudah meletakkan handuk di pundaknya. Karena aku harus segera berangkat ke sekolah sekarang juga. Aku tidak mau terlambat karena nanti akan ditiru oleh anak muridku.
Bugh. Anin memukulkan sepotong bambu sepanjang tangan orang dewasa ke arah Siti secara cepat sehingga membuat Siti tersungkur ke arah samping dan pisau itu terlepas dan mendarat di bawa kaki Anin. Jadi, Anin sudah melihat bambu itu sejak tadi dan Anin sudah memikirkan ke arah sana karena ia hanya menunggu saat yang tepat saja. Kini pisau itu sudah aman berada di tangannya. Reno dan pak Slamet segera memegangi Siti yang berniat ingin menyerang kembali Anin meski dengan tangan kosong. Tidak lama kemudian tiga orang polisi pun masuk ke dalam rumah pak Slamet dan membantu Reno juga pak Slamet mengamankan Siti. Siti meronta dan berteriak minta untuk dilepaskan. Ternyata para polisi itu juga diminta Anin untuk datang ke rumah Siti. Namun, di tengah perjalanan ban mobil mereka pecah sehingga mengharuskan mereka menggantinya terlebih dahulu dengan ban serep. "Lepaskan aku dasar bangsat kalian semua. Lepaskan!" Siti terus saja berteriak dan meronta membuat para tetangga yang sejak tadi k
"Tolong buka pikiranmu, Siti. Lepaskan Rama, biarkan dia hidup tenang bersama keluarganya sendiri," ucap pak Slamet, "Kalau kau sayang pada lelaki itu ... Kau pasti tidak akan tega melihatnya menderita dan jauh dari keluarganya seperti sekarang ini bukan?"Suaranya kini terdengar melemah dan tulus. Ia menatap Siti dengan tatapan dalam, sampai-sampai membuat gadis itu tampak terdiam dan menundukkan kepalanya.Sepertinya ucapan pak Slamet sedikit berpengaruh, membuat senyuman pak Slamet mulai terlihat.Sedangkan mak Jumi, wanita itu masih terisak dan terus berharap sebuah keajaiban datang dan merubah jalan pikiran Siti.Beberapa detik berlalu, Siti mulai mengangkat wajahnya, dengan sedikit melemahkan bahkan meSitiunkan pisau yang menempel pada pergelangan tangannya.Hal itu sontak membuat mak Jumi dan pak Slamet sedikit tersenyum simpul."Tidak!" ucap Siti dengan lantang. Membuat sepasang suami istri tersebut kembali tercengang.Kening pak Slamet kembali mengerut karenanya, senyuman yan
Siti yang merasa frustasi karena keinginannya tidak tercapai dan mendapat penolakan dari Bapaknya langsung emosi. Tanpa pikir panjang, dia meraih pisau yang berada di rak dapur.Siti mengacungkan pisau itu ke arah Mak Jumi dan Pak Slamet yang bergidik ngeri.“Apa yang kamu lakukan Siti?” teriak Pak Slamet.“Kalau Bapak tidak mau menikahkan aku, maka aku akan bunuh diri.”“Siti..”"Astagfirullah, Siti! Apa-apaan kau ini, Nak!?" teriak mak Jumi yang mulai terlibat histeris.Betapa terkejutnya mak Jumi tat kala anak gadis satu-satunya tengah memegangi sebilah pisau, bahkan tanpa rasa takut sekalipun.Mak Jumi tidak menyangka jika Siti akan bertindak sejauh ini, setan apa yang tengah merasuki gadis itu? Sungguh tak dapat dipercaya.Siti yang sudah terobsesi oleh ambisinya sendiri, oleh rasa cintanya
“Tidak seperti itu Mak, Mas Rama itu belum sepenuhnya ingat apa yang terjadi, jadi kita harus cepat, tolong nikahkan aku dengan Mas Rama,” Siti tetap bersikukuh untuk menikah dengan Rama.Tapi Pak Slamet masih bertindak waras, sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan, dia tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Lebih baik tidak jadi menikah jika kedepannya pernikahan itu tidak bisa di jamin kelanggengannya.Dan dia yakin Rama akan sadar dengan sepenuhnya, jika waktu itu tiba, dia yakin Rama akan membuang anak gadisnya.Dengan latar belakang yang di miliki Rama, dia yakin Rama akan melakukan itu. Masih untung jika hanya di ceraikan, bagaimana kalau putrinya di laporkan ke polisi dengan pasal penipuan.Pak Slamet sendiri sudah berkonsultasi dengan orang-orang pintar seperti Pak RT, Pak Kepala desa bahwa tindakan penipuan bisa berakhir di penjara, bukan hanya anaknya tapi j
“Kamu itu Siti, Bapakmu baru datang, sudah kamu cerca pertanyaan, buatkan minum sana dulu,” cerca Mak Jumi.Mak Jumi tak habis pikir dengan perubahan sikap Siti yang sangat drastic antara sebelum berangkat ke kota dan sesudahnya, hingga Mak Jumi berpikir apakah kehidupan kota begitu cepat merubah sikap seseorang?“Iya Mak, aku kan cuman nanya saja, kok Mak marah,” gumam Siti sembari masuk ke dapur, tidak lupa dia menghentak-hentakkan kakinya tanda kesal karena omelan Mak Jumi.“Apakah kita salah mendidik anak kita Mak?” tanya Pak Slamet sedih. Dia kecewa dengan perubahan sikap Siti yang semakin menjadi-jadi, minim sopan santun dan sangat suka menggerutu, sama sekali tidak menunjukkan kasih sayang kepadanya.“Entahlah Pak, selama ini kita juga menyayangi dia dengan tulus ikhlas, Mak ini juga selalu mendoakan Siti agar menjadi anak sholehah, tapi kok jadinya be
Maka dari itu, pak RT kini sudah mengizinkan semua pelaku keributan itu untuk pulang ke rumah masing-masing."Yasudah, kalau begitu kalian pulanglah!" ucap pak RT."Terimakasih, Pak," ucap pak Selamet dengan senyuman yang samar."Terimakasih untuk semuanya, Pak." Pun juga dengan bu Lela yang juga mengucapkan terimakasih untuk pak RT.Tak berselang lama, kini pak Selamet pun menangkup bahu sang istri. Di mana ia menuntun mak Jumi untuk segera pulang dari rumah pak RT. Sedangkan bu Lela ... dia berjalan di depan kedua pasangan suami istri itu.Tetapi setelah berjalan cukup jauh dari rumah pak RT, pak Selamet yang sedari tadi menatap punggung bu Lela dengan tajam dan penuh amarah itu, pun pada akhirnya membuka suaranya."Bu Lela, tunggu sebentar!" ucapnya dengan cukup penuh ketaj