“Untuk meeting nanti? Iya, Bian akan mengecek progress kinerja The Converge sebelum mereka mengaplikasikannya dalam rencana bulanan mereka. Bian bilang pengecekan terakhir sebelum promo marketing rilis secara nasional.” Nina menjelaskan panjang lebar.
Diraja secara refleks berdecak ketika mendengar nama sepupunya. Biantara Martana Sudibyo. Pria tengil di mata Diraja yang sayangnya menjadi the rising star di kantor ini. Pria itu bergabung dalam Sudibyo Corporation empat tahun lalu di bawah bimbingan Chandra Sudibyo. Ayah kandung Biantara dan juga paman Diraja.
Ayah dan Paman–Chandra Sudibyo memang berkongsi untuk membesarkan Sudibyo Corporation. Meskipun Om Chandra fokus kepada anak perusahaan mereka yang lain di bidang perkebunan, agrikultur, dan sawit.
Persaingan antara Diraja dan Biantara awalnya hanyalah persaingan juvenile tak bahaya khas remaja. Tapi sepertinya, Biantara semakin lama semakin menganggap Diraja sebagai saingannya nomor satu dan selalu bersemangat untuk berkompetisi dalam berbagai macam pencapaian.
Diraja awalnya menanggapi penuh humor menanggapi sepupunya. Tapi kini Diraja perlu semakin waspada dengan Bian karena ayahnya sendiri bahkan mengeluarkan peringatan kepada Diraja mengenai suksesi Sudibyo Corporation.
“Kamu hubungi Michelle sendiri ya, saya nggak mau ikut-ikutan soal itu.”
Tepat sebelum Diraja menutup pintunya, Nina berceletuk dan membuat Diraja mengurutkan dadanya.
“Nina, kamu itu sekretaris saya! Kok jadi bossy di sini!” balas Diraja sedikit sambil bersungut sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan kerjanya.
Di dalam ruangan, Diraja merogoh ponselnya dan mengecek sudah ada 3 missed calls dari Michelle. Cepat atau lambat dia harus bertemu dengan Michelle. Mengabarkan kalau mereka sudah tidak bisa bersama lagi karena dia akan menikah dengan perempuan lain.
Diraja memencet speed dial Michelle dan langsung terhubung dengan perempuan itu.
“Hey babe, sorry tadi aku telepon kamu beberapa kali. Aku mau bilang, aku sudah reserve dinner di OKU. Aku udah minta manager restonya supaya bumped up kita di sesi utama dinner malam ini, aku kangen dengan menu okukase mereka,” ujar Michelle dengan riang di ujung sambungan telepon.
‘Shit!’ Diraja memejamkan matanya tatkala mendengar ucapan kekasih on-and-off selama tiga tahun itu.
“Michelle, maaf. Hari ini aku harus membatalkan rencana dinner kita. Aku harus pulang ke rumah dan dinner bersama keluarga, Ibu sudah meneleponku sejak pagi tadi,” balas Diraja tanpa basa-basi.
“Oh!” sambar Michelle tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Uh… can I join, then?” tanya Michelle langsung tepat sasaran.
Sial!
“Maaf, Michelle. This time you can’t. Ibu meminta family time,” ujar Diraja singkat.
“Ok, lain kali kalau begitu,” jawab Michelle dengan kecewa.
“Besok kita perlu bertemu, Michelle. Ada hal yang harus aku bicarakan denganmu.”
Michelle terdiam di ujung sambungan.
“Ada apa?” Menyadari perubahan suara Diraja yang serius, Michelle akhirnya bertanya dengan hati-hati.
“Kita bicara besok. I will call you later, yeah?” balas Diraja dengan tenang.
Michelle sepertinya mengerti kegentingan dari nada suara Diraja dan akhirnya mau tak mau mengikuti permintaan Diraja untuk bertemu dengannya besok.
“Babe, you’re scaring me!” ujar Michelle dengan sedikit bercanda.
Tapi Diraja tak bisa menjawab apapun selain mengatakan, “Maafin aku, Michelle. Kita bicara besok, okay?”
Pacarnya itu hanya bisa diam sejenak mendengar ucapan Diraja.
"Kamu mau putusin aku, ya?" Michelle langsung menembaknya.
Diraja hanya diam membisu. Namun sepertinya ini merupakan suatu bentuk jawaban juga yang diterima oleh Michelle.
"Kenapa? Kita baik-baik saja, kok!" ujar Michelle membantah. Suaranya bergetar dan membuat Diraja semakin merasa bersalah.
"Ini hal yang nggak bisa kita omongin di telepon, Michelle." Diraja masih berkelit dan tak ingin memutuskan hubungan mereka dengan cara pengecut lewat telepon.
"Berarti benar, ya?" Lagi-lagi Michelle menodongnya untuk menjawab pertanyaan tersebut.
"Maafkan aku, Michelle." Sekali lagi hanya itu yang bisa Diraja ucapkan lewat komunikasi ini. Diraja bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela ruangannya yang langsung menghadap jalan protokol Jakarta yang selalu padat.
Pikirannya masih tidak fokus, karena ucapan ayah barusan. Dia harus berkomitmen jika menikah kelak. Tapi... bagaimana membangun komitmen dengan perempuan asing yang tidak Diraja sukai? Belum lagi masalah perbedaan usia dan generasi yang pasti akan membuat mereka kikuk karena tak ada yang bisa dibicarakan antara mereka.
Apa yang Diraja harapkan dari anak bau kencur tersebut?
"Kamu tega banget, Dir!" Michelle memecahkan lamunannya dengan ucapan sengit tersebut.
Dia akui ternyata dia brengsek juga!
Bersikap high and mighty di hadapan Darius karena menganggap pria itu adalah playboy jempolan yang suka memakai perempuan-termasuk adanya histori antara Darius dan mantan pacar Diraja. Namun di saat dia menganggap remeh Darius–Diraja sendiri bersikap seperti ini kepada perempuan! Sungguh memalukan!
“Jahat kamu!” ujar Michelle lirih yang membuat hatinya bergelenyar dipenuhi rasa bersalah.
Diraja mendengar isak tangis Michelle di ujung telepon. Tak ingin menyudahi pembicaraan, namun dia tak tahu bagaimana cara menghibur perempuan itu karena sumber tangisannya adalah Diraja sendiri.
“Michelle… please–” Diraja ingin meminta Michelle untuk berhenti menangis. Tapi tentu saja tak ada ucapan koheren keluar dari mulutnya.
“Seenggaknya kasih aku alasan, kenapa? Ada perempuan lain?” cecar Michelle di ujung telepon.
Kini suaranya berubah menjadi penuh amarah. Diraja familiar dengan sikap Michelle yang keras jika dia tak mendapatkan sesuatu yang dia inginkan.
Diraja hanya bergumam pelan.
“Kita bicarakan besok, okay? Hari ini aku begitu sibuk dan tak ada waktu,” ujar Diraja, namun belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, Michelle memotong pembicaraannya.
“For fuck’s sake, Diraja! Hubungan kita di ujung tanduk dan kamu masih mikirin hal lain? Bahkan kamu nggak bisa menyisakan waktu buat kita bicara, huh?” todong Michelle penuh amarah.
“Memang aku tuh cuma prioritas kesekian ya dalam hidup kamu! Kenapa, sih?”
“Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga supaya jadi pasangan yang setara buat kamu! Kamu nggak bakal menemukan perempuan yang berkorban sebesar ini dan mengalah berkali-kali demi karir dan keluarga kamu! Nggak ada, Dir!” ungkap Michelle dengan emosional diselingi isak tangisnya.
Nada frustasi yang terekam jelas dalam tiap untai kalimat Michelle membuat Diraja semakin terpuruk dalam rasa bersalahnya.
“Aku berencana untuk menikah,” ujar Diraja akhirnya.
“A-apa?” tanya Michelle terbata-bata.
“Ayahku meminta untuk melakukan pernikahan dengan keluarga Darius.” Diraja mencoba menjelaskan seringkas mungkin. Apapun yang akan diucapkan, pasti akan menyakiti hati Michelle.
Ucapannya membuat Michelle diam di ujung sambungan telepon. Hanya ada deru napasnya yang tidak teratur.
“Michelle? Apa asma kamu kumat?” Diraja menjadi panik dan dia mengingat jika asma Michelle bisa kumat jika kena serangan panic attack.
“Ah sial! Aku ke sana sekarang, kamu di mana? Pakai inhaler-mu sekarang! Michelle! Dengarkan aku, do it now!”
“Selamat ulang tahun!” Suara yang mengagetkan Ambar ketika membuka pintu apartemennya membuatnya terhenti sejenak. Tangan kanannya masih memegang gagang pintu, sedangkan tangan kirinya sontak mengurutkan dadanya karena terperanjat kaget. Confetti dan suara terompet bersahutan menyambutnya masuk ke dalam apartemen malam ini. Wajah-wajah familiar menyapanya dengan senyuman dan tawa lebar. “Ya ampun, kok ada surprise segala?” ujarnya penuh haru. Dia menatap Diraja yang berjalan dengan langkah pelan dan pasti ke arahnya. Di tangan sang suami ada kue ulang tahun lengkap dengan lilin angka 20 yang sudah terbakar di atasnya, menunggu untuk ditiup olehnya. “Yang penting surprise-nya berhasil, ‘kan!” jawab Diraja penuh dengan kebanggaan. Ini memang sebuah pencapaian tersendiri untuk suaminya. Sebelumnya dia tak pernah melakukan ini. Ini merupakan surprise event perayaan ulang tahun pertama sejak mereka menikah. “Repot-repot banget, makasih banyak loh, sayang!” Ambar menjawab deng
AMBAR Dua bulan kemudian, Apakah mungkin keinginan menjadi ibu itu menular, apalagi jika sudah memegang bayi kecil, imut dan lucu di pelukannya sendiri? Ini sebenarnya yang dirasakan Ambar ketika dia melihat anaknya Mbak Amira dan Mas Darius yang akhirnya tiba juga menyapa mereka di dunia ini. Kakaknya baru saja selesai melahirkan putra pertama mereka yang diberi nama Maximilian Naradipta Danudihardjo. Nama keponakan pertama Ambar ini berdasarkan kompromi ayah dan ibu Maxi. Mbak Amira ingin tetap membawa nama lokal yang membumi sedangkan sang ayah ingin sesuatu yang memiliki sentuhan modern namun tetap terdengar regal. Ambar ingat sekali bagaimana mereka berdebat sedemikian rupa ketika satu waktu Ambar mengunjungi mereka. “Maxi… Maxi baby… ya ampun kamu lucu bangeeet! Mbak! Aku bawa pulang ya!” Ambar berceletuk asal tatkala melihat baby Maxi terlelap di tangan Mas Darius. Rasanya baru sekejap saja dia menggendong Maxi, tapi ayahnya sudah melebarkan tangannya agar Ambar men
Makan siangnya dengan Ambar di sebuah restaurant Chinese Food yang terletak di sebuah gedung perkantoran lantai teratas di kawasan dekat kampus Ambar berjalan begitu cepat di mata Diraja.Dua jam yang dihabiskan bersama sang istri terasa seperti sekedipan mata saja. Ketika hidangan selesai disantap dan dia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 13.45 siang.“Aku habis ini masih ada kelas, Mas.” Ambar pun terlihat bolak-balik mengecek jamnya, berharap dia tak telat untuk kelas selanjutnya.“Jam berapa? Perjalanan dari restoran ini ke kampus kan nggak terlalu lama,” balas Diraja seraya memberikan sinyal kepada waitress untuk mengirimkan bill ke meja mereka.Sang waitress mengangguk dan mempersiapkan bill sambil membaw
DIRAJABreaking news, Sebuah penggerebekan terjadi di kawasan pedalaman Myanmar dan Kamboja oleh aparat setempat dibantu dengan koordinasi interpol dan kepolisian Republik Indonesia. Disinyalir gudang tersebut merupakan headquarter, atau markas besar tindakan kriminal judi online dan penipuan online dengan target masyarakat Indonesia. Menurut perkembangan terbaru, ada fakta yang lebih mengejutkan dibaliknya. Jika ditelusuri lebih dalam, ternyata terungkap banyak tindakan kejahatan transnasional yang bernaung dibalik operasi tersebut. Ada indikasi human trafficking atau penjualan manusia yang dipekerjakan secara ilegal dengan kondisi memprihatinkan tanpa adanya kesejahteraan dan hak asasi manusia yang dipenuhi. Pihak kepolisian masih mendalami dugaan kejahatan organ harvesting dan sex trafficking lintas negara dan benua dalam pemeriksaan lebih lanjut. Yang cukup mengejutkan, terendusnya jaringan kejahatan transnasional ini bermuara pada seorang konglomerat asal Singapura berinisia
RAKA Selama beberapa hari belakangan ini, dia selalu kembali ke apartemennya di atas jam dua malam. Begitu banyak yang harus dia kerjakan setelah mereka berhasil membawa Joseph Ong untuk diinterogasi di markas kepolisian. Tentu saja tarik ulur begitu hebat terjadi di balik layar. Pihak Joseph Ong lewat kedutaannya secara formal meminta pria itu diekstradisi segera kembali ke Singapura untuk menjalani pemeriksaan di sana. Yang turun tangan membereskan masalah berkaitan dengan hukum, legalitas, melihat loophole dari aturan tentu saja dirinya. Raka bertugas di belakang layar membersihkan dan menguraikan kusutnya benang birokrasi, ditambah dengan berbagai channel dan networking yang luas dari Darius, mereka akhirnya berhasil memberikan waktu lebih banyak untuk kepolisian Indonesia serta interpol mengulik sampai dalam dan menarik bukti sebelum tim kuasa hukum beserta backingnya Joseph Ong menutup akses penyelidikan, atau yang paling parah–menghilangkan alat bukti. Dan orang yang cuku
Ibu bersikeras jika mereka kembali ke kediaman beliau di daerah Dharmawangsa. Bersama Mbak Rengganis dan ayah, mereka bertiga menolak keinginan Diraja untuk kembali ke apartemen dan memulihkan diri di sana. Ambar pun setuju dengan keputusan tersebut. Ini sudah hari ketiga sejak Diraja diputuskan bisa kembali ke rumah dan memulihkan diri di kediamannya. Kemarin tim dokter selesai melakukan kontrol pertama dan memastikan proses penyembuhan Diraja berjalan seperti yang semestinya. “Sayang, aku bosan makan bubur terus,” ujar Diraja saat Ambar membantunya mengeringkan rambut suaminya setelah dia bersikeras untuk mandi karena sudah lebih dari dua hari dia tidak melakukannya. “Tapi–takutnya kamu sulit mengunyah, makanya ibu dari kemarin menyiapkan bubur untukmu, Mas!” balas Ambar dengan sabar. Sebenarnya bahkan sejak kembali dari rumah sakit, sikap Diraja jauh lebih manja dan terkadang dia tak ingin ditinggal oleh Ambar. Setiap saat jika Ambar keluar kamar untuk melakukan sesuatu, d