Share

Bab 6

“Untuk meeting nanti? Iya, Bian akan mengecek progress kinerja The Converge sebelum mereka mengaplikasikannya dalam rencana bulanan mereka. Bian bilang pengecekan terakhir sebelum promo marketing rilis secara nasional.” Nina menjelaskan panjang lebar. 

Diraja secara refleks berdecak ketika mendengar nama sepupunya. Biantara Martana Sudibyo. Pria tengil di mata Diraja yang sayangnya menjadi the rising star di kantor ini. Pria itu bergabung dalam Sudibyo Corporation empat tahun lalu di bawah bimbingan Chandra Sudibyo. Ayah kandung Biantara dan juga paman Diraja. 

Ayah dan Paman–Chandra Sudibyo memang berkongsi untuk membesarkan Sudibyo Corporation. Meskipun Om Chandra fokus kepada anak perusahaan mereka yang lain di bidang perkebunan, agrikultur, dan sawit.

Persaingan antara Diraja dan Biantara awalnya hanyalah persaingan juvenile tak bahaya khas remaja. Tapi sepertinya, Biantara semakin lama semakin menganggap Diraja sebagai saingannya nomor satu dan selalu bersemangat untuk berkompetisi dalam berbagai macam pencapaian. 

Diraja awalnya menanggapi penuh humor menanggapi sepupunya. Tapi kini Diraja perlu semakin waspada dengan Bian karena ayahnya sendiri bahkan mengeluarkan peringatan kepada Diraja mengenai suksesi Sudibyo Corporation. 

“Kamu hubungi Michelle sendiri ya, saya nggak mau ikut-ikutan soal itu.”

Tepat sebelum Diraja menutup pintunya, Nina berceletuk dan membuat Diraja mengurutkan dadanya. 

“Nina, kamu itu sekretaris saya! Kok jadi bossy di sini!” balas Diraja sedikit sambil bersungut sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan kerjanya. 

Di dalam ruangan, Diraja merogoh ponselnya dan mengecek sudah ada 3 missed calls dari Michelle. Cepat atau lambat dia harus bertemu dengan Michelle. Mengabarkan kalau mereka sudah tidak bisa bersama lagi karena dia akan menikah dengan perempuan lain. 

Diraja memencet speed dial Michelle dan langsung terhubung dengan perempuan itu. 

Hey babe, sorry tadi aku telepon kamu beberapa kali. Aku mau bilang, aku sudah reserve dinner di OKU. Aku udah minta manager restonya supaya bumped up kita di sesi utama dinner malam ini, aku kangen dengan menu okukase mereka,” ujar Michelle dengan riang di ujung sambungan telepon. 

‘Shit!’ Diraja memejamkan matanya tatkala mendengar ucapan kekasih on-and-off selama tiga tahun itu. 

“Michelle, maaf. Hari ini aku harus membatalkan rencana dinner kita. Aku harus pulang ke rumah dan dinner bersama keluarga, Ibu sudah meneleponku sejak pagi tadi,” balas Diraja tanpa basa-basi. 

 “Oh!” sambar Michelle tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. 

Uh… can I join, then?” tanya Michelle langsung tepat sasaran. 

Sial!

“Maaf, Michelle. This time you can’t. Ibu meminta family time,” ujar Diraja singkat. 

“Ok, lain kali kalau begitu,” jawab Michelle dengan kecewa. 

“Besok kita perlu bertemu, Michelle. Ada hal yang harus aku bicarakan denganmu.”

Michelle terdiam di ujung sambungan. 

“Ada apa?” Menyadari perubahan suara Diraja yang serius, Michelle akhirnya bertanya dengan hati-hati. 

“Kita bicara besok. I will call you later, yeah?” balas Diraja dengan tenang. 

Michelle sepertinya mengerti kegentingan dari nada suara Diraja dan akhirnya mau tak mau mengikuti permintaan Diraja untuk bertemu dengannya besok. 

Babe, you’re scaring me!” ujar Michelle dengan sedikit bercanda. 

Tapi Diraja tak bisa menjawab apapun selain mengatakan, “Maafin aku, Michelle. Kita bicara besok, okay?

Pacarnya itu hanya bisa diam sejenak mendengar ucapan Diraja. 

"Kamu mau putusin aku, ya?" Michelle langsung menembaknya. 

Diraja hanya diam membisu. Namun sepertinya ini merupakan suatu bentuk jawaban juga yang diterima oleh Michelle.

"Kenapa? Kita baik-baik saja, kok!" ujar Michelle membantah. Suaranya bergetar dan membuat Diraja semakin merasa bersalah. 

"Ini hal yang nggak bisa kita omongin di telepon, Michelle." Diraja masih berkelit dan tak ingin memutuskan hubungan mereka dengan cara pengecut lewat telepon. 

"Berarti benar, ya?" Lagi-lagi Michelle menodongnya untuk menjawab pertanyaan tersebut. 

"Maafkan aku, Michelle." Sekali lagi hanya itu yang bisa Diraja ucapkan lewat komunikasi ini. Diraja bangkit dari duduknya dan berjalan menuju jendela ruangannya yang langsung menghadap jalan protokol Jakarta yang selalu padat. 

Pikirannya masih tidak fokus, karena ucapan ayah barusan. Dia harus berkomitmen jika menikah kelak. Tapi... bagaimana membangun komitmen dengan perempuan asing yang tidak Diraja sukai? Belum lagi masalah perbedaan usia dan generasi yang pasti akan membuat mereka kikuk karena tak ada yang bisa dibicarakan antara mereka. 

Apa yang Diraja harapkan dari anak bau kencur tersebut? 

"Kamu tega banget, Dir!" Michelle memecahkan lamunannya dengan ucapan sengit tersebut. 

Dia akui ternyata dia brengsek juga!

Bersikap high and mighty di hadapan Darius karena menganggap pria itu adalah playboy jempolan yang suka memakai perempuan-termasuk adanya histori antara Darius dan mantan pacar Diraja. Namun di saat dia menganggap remeh Darius–Diraja sendiri bersikap seperti ini kepada perempuan! Sungguh memalukan!

“Jahat kamu!” ujar Michelle lirih yang membuat hatinya bergelenyar dipenuhi rasa bersalah. 

Diraja mendengar isak tangis Michelle di ujung telepon. Tak ingin menyudahi pembicaraan, namun dia tak tahu bagaimana cara menghibur perempuan itu karena sumber tangisannya adalah Diraja sendiri. 

“Michelle… please–” Diraja ingin meminta Michelle untuk berhenti menangis. Tapi tentu saja tak ada ucapan koheren keluar dari mulutnya. 

“Seenggaknya kasih aku alasan, kenapa? Ada perempuan lain?” cecar Michelle di ujung telepon. 

Kini suaranya berubah menjadi penuh amarah. Diraja familiar dengan sikap Michelle yang keras jika dia tak mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. 

Diraja hanya bergumam pelan. 

“Kita bicarakan besok, okay? Hari ini aku begitu sibuk dan tak ada waktu,” ujar Diraja, namun belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, Michelle memotong pembicaraannya. 

For fuck’s sake, Diraja! Hubungan kita di ujung tanduk dan kamu masih mikirin hal lain? Bahkan kamu nggak bisa menyisakan waktu buat kita bicara, huh?” todong Michelle penuh amarah. 

“Memang aku tuh cuma prioritas kesekian ya dalam hidup kamu! Kenapa, sih?”

“Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga supaya jadi pasangan yang setara buat kamu! Kamu nggak bakal menemukan perempuan yang berkorban sebesar ini dan mengalah berkali-kali demi karir dan keluarga kamu! Nggak ada, Dir!” ungkap Michelle dengan emosional diselingi isak tangisnya. 

Nada frustasi yang terekam jelas dalam tiap untai kalimat Michelle membuat Diraja semakin terpuruk dalam rasa bersalahnya. 

“Aku berencana untuk menikah,” ujar Diraja akhirnya. 

“A-apa?” tanya Michelle terbata-bata. 

“Ayahku meminta untuk melakukan pernikahan dengan keluarga Darius.” Diraja mencoba menjelaskan seringkas mungkin. Apapun yang akan diucapkan, pasti akan menyakiti hati Michelle. 

Ucapannya membuat Michelle diam di ujung sambungan telepon. Hanya ada deru napasnya yang tidak teratur. 

“Michelle? Apa asma kamu kumat?” Diraja menjadi panik dan dia mengingat jika asma Michelle bisa kumat jika kena serangan panic attack. 

“Ah sial! Aku ke sana sekarang, kamu di mana? Pakai inhaler-mu sekarang! Michelle! Dengarkan aku, do it now!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status