AMBAR
Biasanya pulang kampus sore hari seperti ini, dia suka mampir sejenak di taman RPTRA dekat rumahnya yang begitu rindang dan sejuk. Di sana, Ambar suka duduk di sebuah ayunan kayu yang kokoh sambil membaca buku, atau membuka aplikasi novel online, atau sesimpel menghabiskan jajanan sekolah dekat kampus sebelum kembali ke rumah.
Dia seringkali melakukan hal tersebut karena taman ini dekat sekali dengan persimpangan jalan di mana dia turun dari pangkalan angkutan umum untuk masuk ke dalam gang rumahnya.
Tapi sejak dia bergabung dengan keluarga Danudihardjo, agendanya sore hari setelah pulang kampus atau ketika akhir pekan semakin padat karena Tante Angela Danudihardjo–ibunda Mas Darius, atau Mbak Amira dan Mas Darius seringkali mengajaknya pergi bersama ke tempat-tempat baru yang belum pernah Ambar kunjungi.
Hari ini Ambar masih dengan kaus santainya dijemput oleh Mbak Amira dan Tante Angela dari kampus ke sebuah pusat perbelanjaan mewah dekat kantor Mas Darius. Saat ini mereka menunggu di ruang tamu eksklusif sebuah brand luxury yang menjadi langganan Tante Angela. Dia duduk di samping Mbak Amira yang sedang sibuk memperhatikan mama mertuanya mengecek tas serta beberapa aksesori yang diperlihatkan penuh kehati-hatian oleh para executive personal shopper Tante Angela.
“Kamu suka yang mana?” tanya Tante Angela kepada Amira.
“Tergantung Mama. Untuk acara apa? Aku rasa semua cocok untuk Mama,” jawab Mbak Amira dengan sabar.
“Ini bukan untuk mama! Ini untuk kamu. Mama lihat kamu bolak balik pakai tas yang dibelikan Darius dan jarang ganti. Masa nanti kamu difoto di majalah Tatler dengan baju dan tas yang sama! Pusing Mama melihatnya!” ujar Tante Angela yang membuat kakaknya terkesiap.
“Tapi Mama… kemarin Darius baru pulang dari Jepang dan Hong Kong, dia banyak sekali bawa tas dan perhiasan lainnya! Sampai beberapa koper dan Pak Rama kebingungan juga untuk menyusunnya di kloset!” Kakaknya bangkit dari sofa dan menghampiri mamanya dengan panik.
Pak Rama merujuk pada kepala asisten rumah tangga kakaknya. Mereka memutuskan untuk pindah ke rumah tapak di bilangan Kebayoran Baru, dan untuk mengurus rumah yang terlampau megah itu–Mas Darius mempekerjakan kepala asisten rumah tangga yang sudah lama mendapatkan pendidikan tata krama dan butler dari British Butler Institute.
Sebuah dunia baru bagi Ambar dan juga Amira. Ambar yang pertama kali bertemu dengan Pak Rama sempat merasa terkagum-kagum karena pelayanannya yang top notch ketika Ambar dan keluarganya pertama kali mengunjungi rumah baru kakaknya.
Bahkan sepertinya kakaknya itu belum terbiasa dengan kemewahan yang Darius berikan kepadanya.
“Lalu kenapa tidak dipakai? Kamu nggak suka modelnya karena nggak bisa pilih sendiri? Duh, memang bebal sekali Darius!” cecar Tante Angela kepada kakaknya.
Ambar memperhatikan dinamika yang terjadi di antara kedua perempuan tersebut dengan diam. Kakaknya biarpun kini telah menjadi istri dari salah satu orang terkaya di Indonesia–dia tetap bersikap membumi dan tidak pernah berubah.
Semua barang bermerk pemberian suaminya tidak dijadikan kakaknya sebagai ajang pamer. Dia justru lebih suka memakai satu atau dua barang favoritnya yang biasanya memiliki nilai sentimental dan mengingatkannya akan sang suami. Bukan karena brand itu sendiri.
Perbedaan itu yang membuat Tante Angela sering kali frustasi dengan kakaknya sehingga akhirnya Ambar yang akan dijadikan pelampiasan hasrat berbelanja Tante Angela.
Lihat saja, sebentar lagi namanya akan dipanggil–
“Ambar ayo ke sini! Coba pakai ini!”
Tuh kan, benar!
Ambar tersenyum dan melihat tas yang diberikan oleh personal shopper kepadanya.
“Tante… uh sepertinya modelnya terlalu mewah,” tua dan nggak sesuai umur–itu ungkapan yang cocok untuk menggambarkan tas yang kini berpindah ke tangannya.
“Bagus dong! Kapan lagi kamu masih kuliah tapi bawanya tas seperti ini, this is one of the kind!” Tante Angela salah menangkap ucapan Ambar.
Mbak Amira menyembunyikan senyumnya di balik tangannya dan mencoba menghindari tatapan sang mama mertua.
Ambar menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Tante, Mas Darius juga memberikanku satu Dior tote bag yang masih tersimpan rapi di kamarku, dan aku sungkan bawa itu ke kampus. Nanti kalau rusak waktu aku naik angkot bagaimana?” ujar Ambar secara jujur yang langsung mendapatkan tatapan ‘ngeri’ dari Tante Angela.
“Kamu naik angkot?” ujar Tante Angela ketakutan. “Memang Darius nggak kasih kamu mobil?” cecar Tante Angela tanpa henti. “Atau Darius nggak kasih kamu supir untuk antar jemput kamu kampus?” Wanita cantik itu masih mencerca Ambar dengan serentetan pertanyaan yang membuatnya kelabakan tersebut.
Uh oh! Ini pertanyaan yang berbahaya!
“Mama… Darius tentu sudah menawarkan, tapi Ambar dan Ibu tidak nyaman dengan itu semua, kami kan sudah terbiasa naik transportasi umum, dan kalau dibutuhkan bisa naik taksi, kok.” Amira akhirnya membuka suara dan menjadi penengah di antara mereka.
“Duh nggak bisa dibiarkan ini!”
“Gimana kalau nanti ada kasus penculikan untuk tebusan! Nggak bisa! Tunggu di sini, Mama telepon Darius dulu–”
Tanpa menghiraukan protes dari Amira dan Ambar, Tante Angela langsung menghubungi anaknya yang pasti sekarang sedang sibuk di kantor.
Mas Darius kini harus settle dan meladeni tiga perempuan yang memiliki pemikiran berbeda. Jika dipikir-pikir itu lucu juga dan akhirnya Ambar kembali tersenyum.
Hal-hal trivial seperti ini sepertinya bisa membawa pikirannya kembali rileks sejenak dari pembicaraan empat mata yang dilakukannya bersama Diraja minggu lalu. Jujur saja, Ambar masih kebingungan dan kalut dalam menghadapi situasi ini.
Sebenarnya hari ini ada alasan kenapa setuju menemui kakaknya dan Tante Angela. Dia ingin curhat kepada kakaknya sebelum menyampaikan apa yang dia rasakan kepada ibu.
Entah apakah kakaknya ada waktu nanti untuk mendengar curahan hatinya, karena sepertinya Tante Angela begitu sayang dengan kakaknya dan terlihat sekali memonopoli waktu Mbak Amira sebanyak mungkin jika Mas Darius tak ada di sisi sang kakak.
“Darius! Mulai sekarang kamu harus sediakan Ambar mobil dan supir 24 jam, setiap hari! Mama kaget waktu tadi Ambar bilang dia masih ke kampus pakai angkot! Can you imagine, darling? A Danudihardjo using a public transportation here, in Jakarta?” Tante Angela berkata dengan nada genting.
Ambar dan Amira saling berpandangan satu sama lain, mereka tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk mendebat Tante Angela yang super keras kepala. Jadi mereka akan mengikuti alurnya saja, dan ketika semua sudah mulai tenang, baru Ambar menjelaskan sekali lagi kepada Tante Angela kalau Ambar baik-baik saja hingga saat ini.
"Ya, Mama nggak mau dengar cerita Ambar naik angkot lagi! Mama ngeri mikirinnya! Ya, hari ini juga siapkan, biar besok Ambar bisa berangkat ke kampus sama supir. Alright... see you darling. Mama mungkin nanti akan dinner bersama, mungkin kita akan pergi ke Sofia di Gunawarman, atau kamu punya ide lainnya?" Tante Angela bicara panjang lebar dengan anaknya.
Amira hanya tersenyum penuh kasih melihat ibu mertuanya yang sudah kembali ceria setelah mengalami sakitnya dikhianati oleh suaminya sendiri yang berselingkuh dan akhirnya memilih pergi dari Indonesia.
Di saat Tante Angela terdistraksi dengan sambungan telepon bersama Mas Darius, Ambar mencolek lengan kakaknya dan berbisik pelan, “Mbak, kira-kira ada waktu nggak? Aku mau bicara denganmu dan mungkin juga dengan Mas Darius,” ujarnya pelan.
Kakaknya mengernyitkan dahinya dan menatapnya penuh dengan kekhawatiran.
“Ada apa?” tanya sang kakak tanpa suara. Tak ingin mama mertuanya mendengar rahasia mereka.
“Minggu kemarin aku bertemu Diraja Sudibyo,” ungkap Ambar yang sukses membuat kakaknya membelalak kaget.
“Huh? Kenapa ketemu sama dia?” Suara Mbak Amira kini terdengar sedikit panik.
Di sisi lain, setelah mereka–atau lebih tepatnya Tante Angela puas mengelilingi pusat perbelanjaan mewah dan membawa banyak tas jinjing berbagai brand sehingga membuat asisten pribadi Tante Angela kewalahan, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi makan malam ke The Opulent Restaurant yang berada di hotel The Royal Ruby. Mas Darius mengomel kepada mamanya sendiri yang mengusulkan tempat lain untuk dinner ketika Darius Danudihardjo sendiri adalah pemilik hotel dan restoran. Kenapa tidak datang ke restoran miliknya dan makan sepuasnya di sana. Bahkan kepala chef-nya bisa saja disuruh untuk membuatkan menu privat sesuai permintaan mereka. “Kapan anak itu kan tiba? Sudah Mama bilang supaya dia pulang lebih awal dan bergabung sama kita, tapi kok belum terlihat batang hidungnya!” Tante Angela beberapa kali melirik ke arah pintu ruang privat mereka, menunggu anak semata wayangnya, Mas Darius tiba di sini. “Pasti sebentar lagi tiba, Ma. Baru saja Darius mengabari kalau dia sudah jalan dar
DIRAJA Pikirannya berkecamuk dan bercabang ke mana-mana selepas dia menghubungi Michelle. Saat dia tahu kalau asthma attack Michelle kumat di tengah perdebatan mereka, tanpa pikir panjang Diraja langsung cabut dari kantor meskipun beberapa waktu ke depan dia harusnya mengikuti rapat marketing dengan The Converge. Tapi menurutnya masalah kesehatan Michelle jauh lebih penting dan saat dia dengan tergesa-gesa keluar dari ruangannya, dia meminta Tito dan Nina untuk membereskan jadwalnya yang pasti akan berubah. “Tapi.. Pak? Apa saya perlu mendampingi Pak Diraja?” Tito bergegas mengikutinya namun Diraja berhenti sejenak. “Nggak usah, kamu sama Nina wakili saya saja di rapat nanti dengan The Converge. Nanti kabari saya bagaimana hasilnya. Dan kalau butuh keputus
Setelah ditinggal Michelle, ada perasaan kosong yang membuatnya merasa begitu gamang. Diraja menghela napasnya. Menelan kepahitan yang berasal dari rencana pernikahan bisnis yang akan dia lakukan bersama Ambar. Suara klakson mobil di belakang mereka akhirnya membuat Diraja tersadar dan meminta sang supir untuk kembali ke kantor. Diraja mencoba menghubungi Michelle untuk memastikan kalau dia baik-baik saja selepas pembicaraan mereka di dalam mobil tadi. Tapi sepertinya Michelle memblokir nomornya sehingga dia tak bisa menghubunginya. Saat membuka ponselnya, Diraja baru menyadari kalau dia tadi mendapatkan pesan singkat dari Ambar ketika dia bertengkar dengan Michelle. [Saya sudah bicara dengan keluarga besar saya, mereka nggak percaya kalau saya mempertimbangkan usul ini. Jika keluarga saya menolak
AMBAR “Kenapa kamu mempertimbangkan untuk menikah sama Diraja? Memang dia bicara apa saja sama kamu?” desak Mbak Amira dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi. Ambar dilema, apakah dia perlu menceritakan semua yang dikatakan Diraja kepadanya, tentang masalah bisnis yang kemudian bisa saja membahayakan keluarganya karena kompetitor mereka yang jika didengar dari sudut pandang Diraja terdengar begitu gila. “Hmm… dia bilang ini demi kelangsungan perusahaan Mas Darius dan juga perusahaannya. Lebih baik konsolidasi dan menjadi lebih kuat,” ujar Ambar akhirnya. Kakaknya mengernyitkan dahinya, masih tak percaya dengan jawaban Ambar yang terdengar begitu generik. “Tante
Mereka semua menatap Ambar keheranan.“Kok tiba-tiba begini?” Ibu bertanya dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi.Ibu dan bapak menoleh ke arahnya. Menunggu jawaban atau penjelasan yang dapat diberikan kepadanya mengenai masalah yang membuat heboh keluarga mereka ini.“Aku juga bingung, Bu,” ujar Mas Darius yang memiliki sentimen yang sama dengan sang ibu.Ambar berkelit dan mengedikkan bahunya.“Aku rasa ini bukan hal yang buruk, Bu. Tante Angela juga memiliki pendapat yang sama,” ujarnya mencoba meyakinkan kedua orangtuanya.“Tapi kamu bukan tipe impulsif seperti ini, Ibu tahu itu,” balas ibunya keras kepala. Dia pasti tahu a
DIRAJASaat Diraja sampai di rumah keluarganya yang terletak di daerah Dharmawangsa. Melihat halaman rumahnya telah terparkir mobil milik Mbak Rengganis dan suaminya serta mobil ayah pun sudah rapi berjajar di carport ketika dia turun dari mobil.Setelah mengucapkan terima kasih kepada supirnya, Diraja membawa tas kerjanya dan berjalan menuju rumah.Suasana malam ini memang cukup formal ketika dia memasuki foyer menuju ruang keluarganya. Vas-vas yang berisi bunga segar semakin banyak berjejer di setiap langkah dia berjalan. Sepertinya ibunya begitu serius untuk acara makan malam keluarga hari ini.
Diraja menuruti kakaknya dan duduk di sofa samping Rengganis. “Adik iparnya Darius Danudihardjo,” celetuk Diraja singkat. Rengganis memperhatikannya dengan saksama sebelum pandangan mereka beradu. “Perjodohan?” tanya Rengganis. Mencoba memastikan apa motif dibalik pernikahan yang tiba-tiba ini. “Kamu nggak tiba-tiba menghamili anak orang, kan?” tuduh sang kakak yang membuat Diraja jengkel. “Hey! Kamu menganggap aku sebrengsek apa sih, Mbak? Sampai-sampai menuduhku seperti itu!” Diraja bersungut kesal. Rengganis tertawa lebar seraya mengedikkan bahunya. “Who knows! Biasanya anak yang paling kalem yang justru suka buat pusing keluarga,” tutur Rengganis dengan iseng. Diraja memutar kedua bola matanya. “Tuduhan yang salah alamat. Mungkin Bian yang lebih cocok image-nya dengan prasangkamu itu, Mbak.” Diraja tiba-tiba mengungkit nama sepupu mereka yang sontak membuat Rengganis mengernyitkan dahinya. “Ini ada kaitannya sama Bian ya? Kok tumben kamu sensitif sekali sama dia
AMBARAmbar mengernyitkan dahinya ketika dia keluar dari mobil yang diberikan Mas Darius untuknya, mobil Lexus berwarna hitam yang baru saja rilis di Indonesia. Parkiran kampus hari ini terlihat begitu ramai, dan ketika Ambar menekan tombol lock, beberapa mahasiswa menoleh penasaran ke arahnya.“Ada apa sih?” Ambar berujar pelan sambil menggelengkan kepalanya, bingung.Dia menyampirkan tote bag Dior yang lagi-lagi dihadiahkan oleh kakaknya itu saat Darius melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri dan berjalan menuju gedung fakultasnya.Sepanjang perjalanan singkatnya, tak kurang lebih dari selusin orang menatapnya sambil berbisik-bisik. Hal tersebut membuat