Home / Romansa / Obsesi Seorang Calon Raja / BAB 11: Nyala Api di Tengah Dansa

Share

BAB 11: Nyala Api di Tengah Dansa

Author: Lifi Yamanaka
last update Last Updated: 2025-07-29 17:11:58

Musik waltz yang anggun mengalun di seluruh aula, seolah mengiringi detak jantung Evelyne yang kini berpacu gila-gilaan. Tangannya yang dingin berada dalam genggaman erat Leonhart, sementara tangan sang Duke melingkar di pinggangnya, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka hampir tak berjarak. Evelyne bisa merasakan panas tubuh Leonhart menembus gaun tipisnya, dan aroma maskulin yang samar dari parfum Duke itu mengisi indra penciumannya. Ia merasa sekujur tubuhnya kaku, seperti patung di tengah lantai dansa yang berputar.

Leonhart memimpin dansa dengan gerakan yang luwes, meski wajahnya tetap tanpa ekspresi. Namun, matanya tak pernah lepas dari Evelyne. Iris abu-abu kebiruannya menatap lekat ke dalam mata cokelat madu Evelyne, seolah mencoba membaca setiap pikiran dan emosi yang bergejolak di sana. Evelyne berusaha menghindari tatapan itu, menunduk, menatap kancing sulaman emas di dada Leonhart yang berkilauan.

"Kau terlihat gugup, Nona," suara Leonhart berbisik rendah, nyaris tak terdengar di tengah musik. Ada nada geli yang samar dalam suaranya.

Evelyne menelan ludah. "Sa-saya… saya tidak terbiasa dengan ini, Yang Mulia," jawabnya lirih, mencoba menjaga agar suaranya tidak bergetar.

"Aku bisa melihatnya," balas Leonhart, sebuah senyum tipis, hampir tak terlihat, tersungging di sudut bibirnya. Ia menarik Evelyne semakin dekat, hingga Evelyne bisa merasakan napas hangat Duke itu menyapu kulit di lehernya. Sensasi itu membuat bulu kuduk Evelyne meremang. "Aku belum tahu namamu, Nona."

"Evelyne, Yang Mulia. Evelyne Mireille," jawab Evelyne cepat, merasa sedikit tercekik oleh kedekatan mereka. Ia bisa merasakan tatapan mata para bangsawan yang mengamati dari sekeliling, penuh rasa ingin tahu dan mungkin sedikit cemooh. Ia sadar, seorang Duke tidak pernah mau repot-repot berkenalan dengan rakyat jelata di tengah pesta.

"Evelyne Mireille," ulang Leonhart, suaranya terdengar lembut, seolah menikmati setiap suku kata nama itu. "Nama yang indah. Selaras dengan pemiliknya."

Pujian itu membuat Evelyne semakin salah tingkah. Pipinya memerah semakin dalam. "Te-terima kasih, Yang Mulia."

Leonhart tidak berhenti di situ. Saat mereka berputar mengikuti irama musik, tangannya yang melingkar di pinggang Evelyne sesekali meremas pelan, cukup untuk mengirimkan gelombang panas ke seluruh tubuh Evelyne. Remasan itu tidak menyakitkan, justru lebih seperti sentuhan menggoda yang disengaja. Evelyne merasa seluruh tubuhnya bereaksi, sensasi aneh mengalir dari pinggangnya, melewati punggungnya, hingga ke ujung jari kakinya. Ini adalah sentuhan dari seorang pria yang tidak pernah ia duga akan berada sedekat ini dengannya.

"Dari mana asalmu, Evelyne Mireille?" tanya Leonhart, kini wajahnya condong sedikit, hingga Evelyne bisa merasakan napasnya berembus di telinganya. Jarak di antara mereka semakin menipis. Evelyne bisa melihat setiap detail wajah Leonhart—kilauan di matanya, bulu mata yang lebat, bahkan pori-pori halus di kulitnya.

"Dari Desa Elowen, Yang Mulia," bisik Evelyne, suaranya nyaris tak terdengar. Ia berharap dansa ini segera berakhir. Setiap detik di pelukan pria ini terasa seperti bahaya yang memikat.

"Elowen," ulang Leonhart, seolah mencerna informasi itu. "Desa kecil di timur. Cukup jauh dari sini." Ia menarik Evelyne dalam putaran yang lebih cepat, memaksa Evelyne untuk bersandar sepenuhnya padanya. "Mengapa seorang gadis dari desa kecil bisa hadir di pesta sebesar ini, dan bahkan mencuri perhatian seorang Duke?"

Pertanyaan itu membuat Evelyne semakin gugup. Ia tidak tahu bagaimana menjawab tanpa terdengar lancang. "Saya… saya datang bersama Ny. Adara, Yang Mulia. Beliau… berbaik hati mengundang kami."

Leonhart mengangkat alisnya sedikit. "Ny. Adara, ya?" Ia terdengar sedikit terkejut. Tangan di pinggang Evelyne meremas lagi, kali ini lebih lama. "Menarik. Nenek itu memang punya selera yang bagus."

Evelyne tidak tahu apakah pujian itu ditujukan pada dirinya atau Ny. Adara, atau mungkin keduanya. Ia hanya bisa merasakan desiran aneh di perutnya. Ia tidak mengerti mengapa pria ini, seorang Duke yang berkuasa, begitu tertarik pada seorang gadis desa seperti dirinya. Apakah ini hanya godaan sesaat? Atau ada maksud lain?

Leonhart memiringkan kepalanya sedikit, menatap Evelyne dengan intensitas yang membuat Evelyne merasa terekspos sepenuhnya. "Kau tahu, Evelyne," bisiknya lagi, suaranya kini terdengar lebih dalam, "sejak aku melihatmu, aku tahu ada sesuatu yang berbeda darimu. Sesuatu yang tak bisa kulihat pada gadis-gadis lain di istana ini."

Pernyataan itu membuat Evelyne terdiam. Hatinya berdebar tak karuan. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia hanya bisa menatap mata Leonhart yang memancarkan kilau misterius, seolah ada janji atau ancaman yang tersirat di dalamnya. Semakin mereka berdansa, semakin Evelyne merasa terperangkap dalam tatapan dan sentuhan pria ini. Ia mulai merasa sedikit pusing, bukan karena gerakan dansa, melainkan karena intensitas yang dipancarkan Leonhart.

Di luar kesadarannya, ia mulai hanyut. Dunia di sekeliling mereka seolah memudar, hanya menyisakan mereka berdua di tengah lantai dansa. Aroma parfum Leonhart, panas tubuhnya, bisikan suaranya yang rendah—semua itu seperti mantra yang membelenggu Evelyne. Ia tahu ini berbahaya, ia tahu pria ini adalah bahaya, namun ia tak bisa menarik diri.

Ketika musik waltz akhirnya mereda, Evelyne merasa lega. Leonhart melonggarkan genggamannya, namun tangannya di pinggang Evelyne tidak segera lepas. Ia menatap Evelyne sekali lagi, sebuah kilatan di matanya yang Evelyne tidak bisa artikan.

"Terima kasih atas dansanya, Evelyne Mireille," kata Leonhart, suaranya kembali datar seperti biasa, namun ada nada kepemilikan yang tersirat di dalamnya.

Evelyne hanya mampu mengangguk, napasnya masih tersengal. Ia masih merasakan bekas sentuhan Leonhart di pinggangnya, dan jantungnya masih berdebar kencang. Ia tahu, setelah dansa ini, tidak ada lagi yang akan sama. Pria itu, Duke Leonhart Valezair, telah menanamkan sesuatu di dalam dirinya, dan ia tidak tahu apakah itu adalah benih cinta… atau obsesi yang mengerikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 37: Kengerian dan Kelembutan yang Kontradiktif

    Setelah adegan mengerikan di ruang bawah tanah, Leonhart menggendong Evelyne keluar dari tempat yang dingin dan lembap itu. Evelyne tidak bisa berbicara. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya dipenuhi oleh gambaran Lady Thorne yang melepuh. Ia hanya bisa bersandar lemas di dada Leonhart, membiarkan Duke itu membawanya. Leonhart tidak mengatakan apa-apa, hanya terus berjalan dengan langkah mantap hingga mereka tiba di kamar utama. Leonhart menurunkan Evelyne dengan sangat lembut di atas tempat tidur, seolah gadis itu terbuat dari porselen yang rapuh. Ia menatap wajah Evelyne yang pucat, menyentuh lembut pipi gadis itu. "Aku akan mandi sebentar," katanya, suaranya kini kembali lembut dan penuh perhatian. "Kau bisa berbaring dan beristirahat." Sebelum masuk ke kamar mandi, Leonhart menunduk, dan dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Evelyne. Sentuhan itu terasa kontradiktif, membuat Evelyne semakin bingung. Suara gemericik air dari kamar mandi mulai terdengar, menandakan Leonhart sudah m

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 36: Kengerian di Ruang Bawah Tanah

    Setelah makan malam yang diwarnai kecemasan, Evelyne kembali ke kamarnya. Jam dinding berdetak pelan, setiap detik terasa begitu panjang. Pukul sembilan malam, namun Leonhart tak kunjung kembali. Kekhawatiran merayapi hati Evelyne. Ia mondar-mandir di dalam kamar, lalu mendekat ke pintu, mencoba mendengar suara di luar. "Tuan Leonhart ke mana?" Evelyne bertanya lirih pada penjaga yang berdiri di depan kamarnya, suaranya dipenuhi kecemasan. "Maaf, Nona. Saya tidak tahu," jawab penjaga itu dengan nada formal. Evelyne menghela napas. Ia kembali duduk di tepi kasur, memandangi pintu dengan tatapan kosong. Beberapa saat kemudian, sebuah ketukan pelan terdengar. Jantung Evelyne berdegup kencang. Ia segera bangkit dan membuka pintu. Di ambang pintu, berdiri seorang prajurit Leonhart dengan seragam gelapnya. "Nona Evelyne Mireille?" Prajurit itu bertanya. Evelyne mengangguk. "Yang Mulia Duke Leonhart meminta Anda untuk mengikutiku ke ruang bawah tanah." Tubuh Evelyne langsung menegang

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 35: Misteri Ruang Bawah Tanah

    Evelyne Mireille telah selesai membersihkan diri. Noda anggur di gaun birunya telah diganti dengan gaun ungu muda yang baru dan bersih. Rasa dingin di tubuhnya sudah hilang, namun sisa-sisa kemarahan dan rasa malu masih melekat. Saat ia duduk di ujung kasur, ia baru menyadari ada sedikit perih di telapak tangannya. Ia melihatnya, ada luka gores kecil akibat gesekan dengan lantai saat ia didorong tadi. "Ah, cuma luka kecil," pikirnya, tidak terlalu mempermasalahkannya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan dorongan pelan. Leonhart Valezair berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya tidak lagi marah seperti sore tadi, melainkan dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. Matanya langsung tertuju pada Evelyne, memindai dirinya dari atas ke bawah. Tanpa berkata-kata, Leonhart melangkah cepat ke arah Evelyne, lalu berlutut di hadapan gadis itu. Raut wajahnya menunjukkan campur aduk emosi. "Aku mendengar laporan dari pelayan," suaranya serak dan tegang. "Lady Thorne… dia menyerangmu." Evelyne menu

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 34: Kecemburuan Sang Bangsawan dan Api Evelyne

    Sinar mentari pagi mengintip dari balik tirai sutra tebal, perlahan membangunkan kamar tidur megah itu. Kali ini, Leonhart Valezair-lah yang terbangun lebih dulu. Ia tidak langsung bangkit, melainkan berbaring miring, mengamati wajah Evelyne yang terlelap dalam pelukannya. Rambut gelap Evelyne tergerai di bantal, pipinya merona lembut, dan bibirnya sedikit terbuka. Dalam tidurnya, Evelyne terlihat begitu damai, begitu polos, begitu… sempurna. Sebuah senyum tipis, penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun, terukir di bibir Leonhart. Ia mengangkat tangannya, dan dengan sangat perlahan, ia mengecup dahi Evelyne, lalu turun ke pipinya, dan kemudian ke bibirnya, sentuhan-sentuhan ringan yang penuh kasih. Ia mengulanginya beberapa kali, menikmati kelembutan kulit Evelyne di bawah bibirnya. Evelyne menggeliat pelan, matanya mengerjap. Ia terkejut saat menyadari betapa dekatnya wajah Leonhart, dan sensasi lembut ciuman di wajahnya. Pipi Evelyne langsung merona merah sempur

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 33: Penyesalan Sang Duke dan Pengakuan Terlarang

    Pintu kamar utama terbuka dengan suara berderit, dan Leonhart Valezair melangkah masuk. Aura marahnya masih terasa kuat, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lain—kekalutan dan keraguan. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Evelyne yang duduk di meja makan kecil di sudut kamar, makanannya belum habis, dan bibirnya masih bengkak akibat ciuman brutal sore tadi. Evelyne yang mendengar suara pintu, langsung mengangkat kepalanya. Begitu melihat Leonhart, tubuhnya menegang. Rasa takut kembali menyelimutinya, membuatnya menunduk, tidak berani menatap mata Duke itu. Ia menunggu kemarahan berikutnya. Leonhart tidak langsung mendekat. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, matanya mengamati Evelyne yang tampak begitu kecil dan rapuh. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Eldrin di ruang makan tadi: "Cepat atau lambat, Evelyne akan muak, dia akan menemukan cara untuk meninggalkanmu, Leonhart." Kalimat itu menusuknya dalam-dalam, menyentuh ketakutan terbesarnya. Ia tidak akan pe

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 32: Badai di Meja Makan Raja

    Malam itu, di ruang makan utama Istana Aerondale, meja makan yang biasanya ramai kini terasa hampa bagi Evelyne. Setelah insiden di dapur dan hukuman brutal Leonhart, Evelyne tidak diizinkan keluar kamar. Leonhart sendiri yang memerintahkan para pelayan untuk membawa makan malam ke kamarnya. Evelyne makan dalam keheningan yang mencekam, bibirnya masih perih dan bengkak, menjadi pengingat pahit akan kemarahan Duke. Ia merasa terkurung, sendirian, dan sangat ketakutan. Sementara itu, di ruang makan utama, Raja Alfonse, Ratu Seraphina, dan Pangeran Eldrin sudah duduk di kursi mereka. Suasana makan malam seharusnya tenang, namun kecemasan terpancar jelas dari wajah Ratu. Ia terus-menerus melirik kursi di sebelah Leonhart yang kosong, tempat Evelyne biasanya duduk. "Leonhart," Ratu Seraphina memulai, suaranya terdengar cemas. "Di mana Evelyne? Kenapa dia tidak ikut makan malam?" Ada nada kekhawatiran yang jelas dalam pertanyaannya, mengingat apa yang ia saksikan di dapur sore tadi. "Dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status