Beranda / Romansa / Obsesi Seorang Calon Raja / BAB 4 : Undangan dari Aerondale

Share

BAB 4 : Undangan dari Aerondale

Penulis: Lifi Yamanaka
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-29 00:37:03

Pagi menyapa Desa Elowen dengan lembutnya embusan angin yang membawa aroma segar dari ladang-ladang gandum. Matahari baru saja muncul dari balik perbukitan, cahayanya menyelinap di antara celah-celah dedaunan dan memantul di permukaan sungai kecil yang mengalir tenang di tepi desa. Burung-burung bernyanyi riang, seolah menyambut hari baru yang penuh harapan.

Di sebuah rumah kayu sederhana yang terletak di sisi timur desa, Evelyne Mireille bangun lebih awal dari biasanya. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu berjalan pelan ke dapur, rambut platinum blonde panjangnya diikat longgar di belakang kepala. Ia mengenakan gaun rumah sederhana berwarna pucat yang memperlihatkan kelembutan karakternya—penurut, sopan, dan selalu memperhatikan kenyamanan keluarganya lebih dari dirinya sendiri.

Di dapur, ibunya, Lisette, sudah sibuk menyiapkan sarapan. Aroma sup hangat dan roti panggang menyambut Evelyne begitu ia membuka pintu dapur. Ibunya tersenyum lembut, "Pagi, sayang. Tidurmu nyenyak?"

Evelyne membalas dengan senyuman hangat dan anggukan. "Nyenyak, Ibu. Ada yang bisa Evelyne bantu?"

"Ambilkan daun thyme dari rak, ya. Dan tolong iris bawang merah ini. Ayahmu pasti lapar setelah kerja semalam."

Lisette adalah sosok ibu yang penuh kasih. Wajahnya lembut, suaranya menenangkan. Evelyne mewarisi banyak hal darinya—kesabaran, kelembutan, dan cara bicara yang selalu menyejukkan. Mereka bekerja berdua di dapur, bergerak selaras seperti simfoni pagi yang lembut.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari ruang tengah. Harlan, adik laki-laki Evelyne yang baru berusia enam belas tahun, masuk sambil menguap lebar.

"Pagi semuanya…" katanya dengan suara serak.

"Selamat pagi, Harlan," jawab Evelyne sambil mengacak rambut adiknya yang masih kusut. "Bantu Ibu menyusun meja, yuk."

"Ugh… iyaaa, iyaaa..." gerutunya manja, meski tetap melangkah ke lemari untuk mengambil piring-piring.

Tak lama kemudian, Cedric—ayah Evelyne—ikut bergabung. Pria itu bertubuh tinggi dan kekar, dengan senyum lebar yang selalu mengisi rumah mereka dengan kehangatan. Cedric juga bekerja sebagai tukang kayu di desa. Meskipun pekerjaannya berat, ia selalu menyempatkan waktu untuk keluarganya, terutama saat sarapan bersama.

Mereka duduk mengelilingi meja kayu kecil yang dipenuhi makanan hangat. Roti gandum, telur rebus, sup sayuran, dan teh herbal buatan Lisette. Sarapan di rumah itu bukan hanya sekadar rutinitas, tapi momen kehangatan yang tak tergantikan.

"Ada pasar hari ini, kan?" tanya Cedric sambil memotong rotinya.

"Iya, Yah," jawab Evelyne. "Aku pikir kita perlu beli gandum, dan mungkin beberapa kain baru kalau harganya cocok."

"Ayah bisa titip beli paku juga, ya? Buat bikin kursi pesanannya Pak Renald."

"Iya, Ayah," kata Harlan. "Aku ikut kakak aja ke pasar. Kan bisa bantu bawain barang."

Lisette tersenyum melihat anak-anaknya begitu akur. "Kalian hati-hati, ya. Jangan terlalu lama, nanti matahari siang bisa panas sekali."

Setelah sarapan dan bersih-bersih, Evelyne dan Harlan bersiap menuju pasar. Evelyne mengenakan gaun biru laut yang sudah agak memudar warnanya, tapi tetap rapi dan bersih. Harlan mengenakan baju linen cokelat dan celana abu-abu tua yang sudah dijahit di sana-sini. Mereka tidak pernah mengeluh soal pakaian. Hidup sederhana sudah menjadi bagian dari diri mereka.

Perjalanan ke pasar memakan waktu sekitar dua puluh menit dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan, mereka menyapa para tetangga, bercanda dengan anak-anak kecil yang bermain, dan berhenti sejenak untuk membantu seorang nenek membawa keranjang sayur.

Pasar pagi di Elowen selalu ramai dan penuh warna. Pedagang dari desa-desa sekitar berkumpul di alun-alun, menjual segala macam barang—dari sayur mayur, kain, perhiasan sederhana, hingga peralatan rumah tangga.

Evelyne sibuk menawar gandum pada seorang pedagang tua, sementara Harlan melihat-lihat busur dan anak panah di stan senjata. Namun, perhatian mereka segera teralihkan saat terdengar teriakan dari tengah kerumunan.

"Pengumuman dari Aerondale! Pengumuman dari Kerajaan Aerondale!"

Beberapa orang mulai berkerumun. Seorang utusan kerajaan berdiri di atas panggung kecil yang dibuat dari peti kayu. Ia mengenakan jubah biru tua dengan lambang kerajaan yang menjulang di dadanya. Di tangannya ada gulungan kertas yang ia buka lebar-lebar sebelum membacanya dengan suara lantang.

"Atas nama Yang Mulia Raja Alfonse dari Kerajaan Aerondale, diumumkan bahwa akan diadakan Pesta Kedamaian dalam rangka memperingati lima tahun masa damai antara Aerondale dan Virellion! Acara ini akan dilaksanakan satu minggu dari hari ini di ibu kota! Seluruh rakyat dari segala penjuru kerajaan, baik bangsawan maupun rakyat jelata, diundang untuk menghadiri perayaan ini tanpa terkecuali!"

Kerumunan meledak dalam bisik-bisik penuh kehebohan. Beberapa tampak bersorak, beberapa lainnya bertukar pandang dalam kebingungan.

"Pesta Kedamaian?" Evelyne mengulang dengan lirih. "Mereka benar-benar mengundang… semua rakyat?"

"Iya, Kak. Ini gila banget. Kita diundang ke istana?" Harlan matanya berbinar. "Bayangin aja… kita bisa lihat istana beneran!"

Evelyne menarik napas panjang, perasaannya campur aduk. Ini bukan hal yang biasa. Desa mereka jarang dilibatkan dalam urusan kerajaan. Undangan resmi dari Aerondale seperti mimpi yang tiba-tiba datang tanpa aba-aba.

Sepulang dari pasar, suasana di rumah mereka berubah menjadi lebih hidup namun juga penuh keraguan. Cedric sedang meraut kayu di teras saat Evelyne dan Harlan datang.

"Ayah!" seru Harlan, napasnya masih tersengal. "Kita diundang ke pesta kerajaan! Semua orang, semua rakyat, Kak Evelyne denger sendiri!"

Cedric menghentikan pekerjaannya, mengerutkan kening. Lisette keluar dari dapur sambil menyeka tangannya dengan lap.

"Apa? Pesta kerajaan?"

"Iya, Bu. Ada pengumuman resmi dari utusan kerajaan. Kita semua diundang ke ibu kota untuk memperingati lima tahun masa damai."

Keluarga itu saling bertatapan. Tak ada yang langsung bersorak bahagia seperti yang mungkin dilakukan keluarga bangsawan.

"Ayah…" Evelyne akhirnya bicara. "Kita harus datang gak, ya?"

Cedric menghela napas pelan. "Aku gak tahu, Nak. Di satu sisi… rasanya ini kesempatan langka. Tapi… kita bukan keluarga bangsawan. Bahkan pakaian kita nggak pantas untuk pesta sebesar itu."

Lisette memandang gaun Evelyne yang sudah agak pudar. "Ibu bisa coba menjahit sesuatu dari kain lama. Tapi hasilnya… ya, tetap sederhana. Tak sebanding dengan para bangsawan."

"Aku nggak keberatan pakai baju apa pun," kata Harlan. "Aku cuma pengin liat istana!"

Evelyne menunduk, hatinya bergejolak. Ia ingin melihat istana, ingin merasakan kemewahan yang selama ini hanya ia dengar dari cerita, tapi ia juga tahu diri. Tak ingin mempermalukan keluarganya dengan datang dalam keadaan yang tak layak.

Malam itu, suasana rumah lebih hening dari biasanya. Cedric menatap api perapian, Lisette menyiapkan teh, Harlan menggambar di kertas lusuhnya, dan Evelyne berdiri di jendela, menatap bulan purnama yang menggantung di langit.

Undangan dari Aerondale telah mengguncang dunia kecil mereka. Sebuah keputusan harus segera dibuat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 37: Kengerian dan Kelembutan yang Kontradiktif

    Setelah adegan mengerikan di ruang bawah tanah, Leonhart menggendong Evelyne keluar dari tempat yang dingin dan lembap itu. Evelyne tidak bisa berbicara. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya dipenuhi oleh gambaran Lady Thorne yang melepuh. Ia hanya bisa bersandar lemas di dada Leonhart, membiarkan Duke itu membawanya. Leonhart tidak mengatakan apa-apa, hanya terus berjalan dengan langkah mantap hingga mereka tiba di kamar utama. Leonhart menurunkan Evelyne dengan sangat lembut di atas tempat tidur, seolah gadis itu terbuat dari porselen yang rapuh. Ia menatap wajah Evelyne yang pucat, menyentuh lembut pipi gadis itu. "Aku akan mandi sebentar," katanya, suaranya kini kembali lembut dan penuh perhatian. "Kau bisa berbaring dan beristirahat." Sebelum masuk ke kamar mandi, Leonhart menunduk, dan dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Evelyne. Sentuhan itu terasa kontradiktif, membuat Evelyne semakin bingung. Suara gemericik air dari kamar mandi mulai terdengar, menandakan Leonhart sudah m

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 36: Kengerian di Ruang Bawah Tanah

    Setelah makan malam yang diwarnai kecemasan, Evelyne kembali ke kamarnya. Jam dinding berdetak pelan, setiap detik terasa begitu panjang. Pukul sembilan malam, namun Leonhart tak kunjung kembali. Kekhawatiran merayapi hati Evelyne. Ia mondar-mandir di dalam kamar, lalu mendekat ke pintu, mencoba mendengar suara di luar. "Tuan Leonhart ke mana?" Evelyne bertanya lirih pada penjaga yang berdiri di depan kamarnya, suaranya dipenuhi kecemasan. "Maaf, Nona. Saya tidak tahu," jawab penjaga itu dengan nada formal. Evelyne menghela napas. Ia kembali duduk di tepi kasur, memandangi pintu dengan tatapan kosong. Beberapa saat kemudian, sebuah ketukan pelan terdengar. Jantung Evelyne berdegup kencang. Ia segera bangkit dan membuka pintu. Di ambang pintu, berdiri seorang prajurit Leonhart dengan seragam gelapnya. "Nona Evelyne Mireille?" Prajurit itu bertanya. Evelyne mengangguk. "Yang Mulia Duke Leonhart meminta Anda untuk mengikutiku ke ruang bawah tanah." Tubuh Evelyne langsung menegang

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 35: Misteri Ruang Bawah Tanah

    Evelyne Mireille telah selesai membersihkan diri. Noda anggur di gaun birunya telah diganti dengan gaun ungu muda yang baru dan bersih. Rasa dingin di tubuhnya sudah hilang, namun sisa-sisa kemarahan dan rasa malu masih melekat. Saat ia duduk di ujung kasur, ia baru menyadari ada sedikit perih di telapak tangannya. Ia melihatnya, ada luka gores kecil akibat gesekan dengan lantai saat ia didorong tadi. "Ah, cuma luka kecil," pikirnya, tidak terlalu mempermasalahkannya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan dorongan pelan. Leonhart Valezair berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya tidak lagi marah seperti sore tadi, melainkan dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. Matanya langsung tertuju pada Evelyne, memindai dirinya dari atas ke bawah. Tanpa berkata-kata, Leonhart melangkah cepat ke arah Evelyne, lalu berlutut di hadapan gadis itu. Raut wajahnya menunjukkan campur aduk emosi. "Aku mendengar laporan dari pelayan," suaranya serak dan tegang. "Lady Thorne… dia menyerangmu." Evelyne menu

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 34: Kecemburuan Sang Bangsawan dan Api Evelyne

    Sinar mentari pagi mengintip dari balik tirai sutra tebal, perlahan membangunkan kamar tidur megah itu. Kali ini, Leonhart Valezair-lah yang terbangun lebih dulu. Ia tidak langsung bangkit, melainkan berbaring miring, mengamati wajah Evelyne yang terlelap dalam pelukannya. Rambut gelap Evelyne tergerai di bantal, pipinya merona lembut, dan bibirnya sedikit terbuka. Dalam tidurnya, Evelyne terlihat begitu damai, begitu polos, begitu… sempurna. Sebuah senyum tipis, penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun, terukir di bibir Leonhart. Ia mengangkat tangannya, dan dengan sangat perlahan, ia mengecup dahi Evelyne, lalu turun ke pipinya, dan kemudian ke bibirnya, sentuhan-sentuhan ringan yang penuh kasih. Ia mengulanginya beberapa kali, menikmati kelembutan kulit Evelyne di bawah bibirnya. Evelyne menggeliat pelan, matanya mengerjap. Ia terkejut saat menyadari betapa dekatnya wajah Leonhart, dan sensasi lembut ciuman di wajahnya. Pipi Evelyne langsung merona merah sempur

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 33: Penyesalan Sang Duke dan Pengakuan Terlarang

    Pintu kamar utama terbuka dengan suara berderit, dan Leonhart Valezair melangkah masuk. Aura marahnya masih terasa kuat, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lain—kekalutan dan keraguan. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Evelyne yang duduk di meja makan kecil di sudut kamar, makanannya belum habis, dan bibirnya masih bengkak akibat ciuman brutal sore tadi. Evelyne yang mendengar suara pintu, langsung mengangkat kepalanya. Begitu melihat Leonhart, tubuhnya menegang. Rasa takut kembali menyelimutinya, membuatnya menunduk, tidak berani menatap mata Duke itu. Ia menunggu kemarahan berikutnya. Leonhart tidak langsung mendekat. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, matanya mengamati Evelyne yang tampak begitu kecil dan rapuh. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Eldrin di ruang makan tadi: "Cepat atau lambat, Evelyne akan muak, dia akan menemukan cara untuk meninggalkanmu, Leonhart." Kalimat itu menusuknya dalam-dalam, menyentuh ketakutan terbesarnya. Ia tidak akan pe

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 32: Badai di Meja Makan Raja

    Malam itu, di ruang makan utama Istana Aerondale, meja makan yang biasanya ramai kini terasa hampa bagi Evelyne. Setelah insiden di dapur dan hukuman brutal Leonhart, Evelyne tidak diizinkan keluar kamar. Leonhart sendiri yang memerintahkan para pelayan untuk membawa makan malam ke kamarnya. Evelyne makan dalam keheningan yang mencekam, bibirnya masih perih dan bengkak, menjadi pengingat pahit akan kemarahan Duke. Ia merasa terkurung, sendirian, dan sangat ketakutan. Sementara itu, di ruang makan utama, Raja Alfonse, Ratu Seraphina, dan Pangeran Eldrin sudah duduk di kursi mereka. Suasana makan malam seharusnya tenang, namun kecemasan terpancar jelas dari wajah Ratu. Ia terus-menerus melirik kursi di sebelah Leonhart yang kosong, tempat Evelyne biasanya duduk. "Leonhart," Ratu Seraphina memulai, suaranya terdengar cemas. "Di mana Evelyne? Kenapa dia tidak ikut makan malam?" Ada nada kekhawatiran yang jelas dalam pertanyaannya, mengingat apa yang ia saksikan di dapur sore tadi. "Dia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status