Beranda / Romansa / Obsesi Seorang Calon Raja / BAB 3 : Pesta Kedamaian

Share

BAB 3 : Pesta Kedamaian

Penulis: Lifi Yamanaka
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-28 23:49:17

Aula utama Istana Aerondale dipenuhi suara dentingan gelas kristal dan langkah tergesa para pelayan yang berlalu-lalang menyiapkan rapat penting. Para bangsawan dari berbagai penjuru kerajaan telah berkumpul, mengenakan jubah kebesaran mereka yang berwarna-warni, menyiratkan status dan kebanggaan masing-masing.

Topik hari itu: Pesta Kedamaian yang akan diadakan dalam rangka memperingati lima tahun masa damai Aerondale setelah konflik panjang dengan kerajaan tetangga, Virellion.

Raja Alfonse duduk di singgasananya, dengan wajah tegas namun bijak. Di sisi kanannya, duduk Ratu Seraphina, anggun seperti biasa dengan tatapan tajam yang mengamati setiap gerak para bangsawan. Leonhart berdiri santai tak jauh dari mereka, bersandar pada tiang pilar marmer dengan tangan bersilang, memperhatikan suasana dengan ekspresi netral.

“Menurutku, pesta seharusnya hanya dihadiri oleh para bangsawan dan tokoh penting kerajaan,” ucap Adipati Vernal, seorang bangsawan tua dari Utara. “Terlalu riskan melibatkan rakyat jelata. Ini bukan festival pasar malam.”

“Namun bukankah perdamaian ini untuk seluruh rakyat?” bantah Marchioness Calienne, bangsawati dari Selatan. “Tanpa rakyat, kita tidak punya kerajaan untuk dirayakan.”

Beberapa orang mengangguk setuju, tapi suara kontra segera menyusul.

“Keamanan akan terganggu!”

“Logistiknya terlalu rumit!”

“Rakyat tak tahu tata krama pesta kerajaan!”

Leonhart menarik napas pelan, lalu berjalan maju. Suaranya tenang, namun cukup nyaring untuk menghentikan percakapan yang mulai ricuh.

“Jika pesta ini untuk memperingati damai, bukankah seharusnya damai itu dirasakan oleh semua pihak?” katanya, menatap langsung ke arah Adipati Vernal. “Termasuk rakyat yang selama bertahun-tahun merasakan penderitaan akibat perang.”

Ratu Seraphina menatap putranya dengan sekilas senyum samar. Raja Alfonse mengangguk kecil, lalu mengangkat tangan untuk meminta semua diam.

“Kita tak bisa menutup mata atas jasa dan pengorbanan rakyat. Aku mengusulkan… pesta ini dibuka untuk semua. Bangsawan dan rakyat akan merayakan secara bersamaan, namun dengan pembagian area.”

Suasana hening sejenak.

“Apa maksud Paduka?” tanya salah satu penasihat.

“Pesta di dalam istana tetap untuk para bangsawan. Sementara itu, area luar istana akan disulap menjadi tempat perayaan rakyat, dengan panggung musik, makanan, dan pertunjukan. Rakyat akan merayakan dengan semangat yang sama, dan sebagai simbol, pangeran Leonhart akan membuka perayaan itu secara langsung.”

Semua mata kini tertuju pada Leonhart, yang mendongak pelan.

“…Hah?” gumamnya tanpa sadar.

Raja Alfonse tertawa kecil. “Kau akan menyambut mereka, bukan?”

Leonhart menyeringai kecil, lalu mengangguk. “Tentu. Selama aku tidak disuruh berjoget di atas panggung.”

Tawa ringan pecah di ruangan itu.

Meskipun tidak semua bangsawan sepenuhnya setuju, keputusan Raja sudah final. Dengan kompromi cerdas, kerajaan berhasil menjembatani dua dunia yang selama ini terpisah.

Hari mulai beranjak sore. Setelah rapat usai, para bangsawan perlahan bubar. Ratu Seraphina masih duduk di singgasananya, menikmati teh yang disajikan oleh pelayan.

Leonhart menghampiri ibunya dan duduk santai di kursi sebelah.

“Ibu terlihat puas” ujarnya.

Seraphina meliriknya, lalu tersenyum. “Kau bicara dengan baik tadi.”

“Aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan.”

Ia mengangguk pelan. Kemudian, tanpa aba-aba, Ratu Seraphina bergumam, “Kau tahu… di pesta nanti, akan banyak gadis bangsawan hadir.”

Leonhart menatap ibunya dengan tatapan datar. “Dan?”

“Mungkin sudah waktunya kau mulai memikirkan pasangan hidup.”

Pangeran itu meneguk tehnya perlahan. “Aku lebih suka memikirkan bagaimana agar aku tidak pingsan saat pidato pembukaan nanti.”

Seraphina tertawa. “Leonhart…”

“Aku belum tertarik, Ibu. Hidupku sudah cukup ribet.”

“Tapi kau akan jadi raja suatu hari nanti.”

“Kalau nanti aku menikah, biarlah karena aku yang memilih. Bukan karena pesta atau tekanan kerajaan.”

Ratu Seraphina menatap putranya lama, lalu tersenyum lembut. “Baiklah. Tapi ingat, bahkan raja pun tak bisa menjalani takdir sendirian.”

Leonhart hanya membalas dengan anggukan kecil.

Sementara matahari mulai tenggelam di balik menara-menara tinggi Istana Aerondale, berita pesta besar pun mulai menyebar ke seluruh penjuru kerajaan. Rakyat desa, termasuk desa Elowen, mulai membicarakan kabar bahwa mereka akan diundang ke pesta istana pertama dalam sejarah kerajaan.

Dan di sinilah benang takdir mulai bergetar pelan…

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 37: Kengerian dan Kelembutan yang Kontradiktif

    Setelah adegan mengerikan di ruang bawah tanah, Leonhart menggendong Evelyne keluar dari tempat yang dingin dan lembap itu. Evelyne tidak bisa berbicara. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya dipenuhi oleh gambaran Lady Thorne yang melepuh. Ia hanya bisa bersandar lemas di dada Leonhart, membiarkan Duke itu membawanya. Leonhart tidak mengatakan apa-apa, hanya terus berjalan dengan langkah mantap hingga mereka tiba di kamar utama. Leonhart menurunkan Evelyne dengan sangat lembut di atas tempat tidur, seolah gadis itu terbuat dari porselen yang rapuh. Ia menatap wajah Evelyne yang pucat, menyentuh lembut pipi gadis itu. "Aku akan mandi sebentar," katanya, suaranya kini kembali lembut dan penuh perhatian. "Kau bisa berbaring dan beristirahat." Sebelum masuk ke kamar mandi, Leonhart menunduk, dan dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Evelyne. Sentuhan itu terasa kontradiktif, membuat Evelyne semakin bingung. Suara gemericik air dari kamar mandi mulai terdengar, menandakan Leonhart sudah m

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 36: Kengerian di Ruang Bawah Tanah

    Setelah makan malam yang diwarnai kecemasan, Evelyne kembali ke kamarnya. Jam dinding berdetak pelan, setiap detik terasa begitu panjang. Pukul sembilan malam, namun Leonhart tak kunjung kembali. Kekhawatiran merayapi hati Evelyne. Ia mondar-mandir di dalam kamar, lalu mendekat ke pintu, mencoba mendengar suara di luar. "Tuan Leonhart ke mana?" Evelyne bertanya lirih pada penjaga yang berdiri di depan kamarnya, suaranya dipenuhi kecemasan. "Maaf, Nona. Saya tidak tahu," jawab penjaga itu dengan nada formal. Evelyne menghela napas. Ia kembali duduk di tepi kasur, memandangi pintu dengan tatapan kosong. Beberapa saat kemudian, sebuah ketukan pelan terdengar. Jantung Evelyne berdegup kencang. Ia segera bangkit dan membuka pintu. Di ambang pintu, berdiri seorang prajurit Leonhart dengan seragam gelapnya. "Nona Evelyne Mireille?" Prajurit itu bertanya. Evelyne mengangguk. "Yang Mulia Duke Leonhart meminta Anda untuk mengikutiku ke ruang bawah tanah." Tubuh Evelyne langsung menegang

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 35: Misteri Ruang Bawah Tanah

    Evelyne Mireille telah selesai membersihkan diri. Noda anggur di gaun birunya telah diganti dengan gaun ungu muda yang baru dan bersih. Rasa dingin di tubuhnya sudah hilang, namun sisa-sisa kemarahan dan rasa malu masih melekat. Saat ia duduk di ujung kasur, ia baru menyadari ada sedikit perih di telapak tangannya. Ia melihatnya, ada luka gores kecil akibat gesekan dengan lantai saat ia didorong tadi. "Ah, cuma luka kecil," pikirnya, tidak terlalu mempermasalahkannya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan dorongan pelan. Leonhart Valezair berdiri di ambang pintu. Raut wajahnya tidak lagi marah seperti sore tadi, melainkan dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. Matanya langsung tertuju pada Evelyne, memindai dirinya dari atas ke bawah. Tanpa berkata-kata, Leonhart melangkah cepat ke arah Evelyne, lalu berlutut di hadapan gadis itu. Raut wajahnya menunjukkan campur aduk emosi. "Aku mendengar laporan dari pelayan," suaranya serak dan tegang. "Lady Thorne… dia menyerangmu." Evelyne menu

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 34: Kecemburuan Sang Bangsawan dan Api Evelyne

    Sinar mentari pagi mengintip dari balik tirai sutra tebal, perlahan membangunkan kamar tidur megah itu. Kali ini, Leonhart Valezair-lah yang terbangun lebih dulu. Ia tidak langsung bangkit, melainkan berbaring miring, mengamati wajah Evelyne yang terlelap dalam pelukannya. Rambut gelap Evelyne tergerai di bantal, pipinya merona lembut, dan bibirnya sedikit terbuka. Dalam tidurnya, Evelyne terlihat begitu damai, begitu polos, begitu… sempurna. Sebuah senyum tipis, penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun, terukir di bibir Leonhart. Ia mengangkat tangannya, dan dengan sangat perlahan, ia mengecup dahi Evelyne, lalu turun ke pipinya, dan kemudian ke bibirnya, sentuhan-sentuhan ringan yang penuh kasih. Ia mengulanginya beberapa kali, menikmati kelembutan kulit Evelyne di bawah bibirnya. Evelyne menggeliat pelan, matanya mengerjap. Ia terkejut saat menyadari betapa dekatnya wajah Leonhart, dan sensasi lembut ciuman di wajahnya. Pipi Evelyne langsung merona merah sempur

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 33: Penyesalan Sang Duke dan Pengakuan Terlarang

    Pintu kamar utama terbuka dengan suara berderit, dan Leonhart Valezair melangkah masuk. Aura marahnya masih terasa kuat, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lain—kekalutan dan keraguan. Matanya yang tajam langsung tertuju pada Evelyne yang duduk di meja makan kecil di sudut kamar, makanannya belum habis, dan bibirnya masih bengkak akibat ciuman brutal sore tadi. Evelyne yang mendengar suara pintu, langsung mengangkat kepalanya. Begitu melihat Leonhart, tubuhnya menegang. Rasa takut kembali menyelimutinya, membuatnya menunduk, tidak berani menatap mata Duke itu. Ia menunggu kemarahan berikutnya. Leonhart tidak langsung mendekat. Ia berdiri di ambang pintu selama beberapa saat, matanya mengamati Evelyne yang tampak begitu kecil dan rapuh. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Eldrin di ruang makan tadi: "Cepat atau lambat, Evelyne akan muak, dia akan menemukan cara untuk meninggalkanmu, Leonhart." Kalimat itu menusuknya dalam-dalam, menyentuh ketakutan terbesarnya. Ia tidak akan pe

  • Obsesi Seorang Calon Raja   BAB 32: Badai di Meja Makan Raja

    Malam itu, di ruang makan utama Istana Aerondale, meja makan yang biasanya ramai kini terasa hampa bagi Evelyne. Setelah insiden di dapur dan hukuman brutal Leonhart, Evelyne tidak diizinkan keluar kamar. Leonhart sendiri yang memerintahkan para pelayan untuk membawa makan malam ke kamarnya. Evelyne makan dalam keheningan yang mencekam, bibirnya masih perih dan bengkak, menjadi pengingat pahit akan kemarahan Duke. Ia merasa terkurung, sendirian, dan sangat ketakutan. Sementara itu, di ruang makan utama, Raja Alfonse, Ratu Seraphina, dan Pangeran Eldrin sudah duduk di kursi mereka. Suasana makan malam seharusnya tenang, namun kecemasan terpancar jelas dari wajah Ratu. Ia terus-menerus melirik kursi di sebelah Leonhart yang kosong, tempat Evelyne biasanya duduk. "Leonhart," Ratu Seraphina memulai, suaranya terdengar cemas. "Di mana Evelyne? Kenapa dia tidak ikut makan malam?" Ada nada kekhawatiran yang jelas dalam pertanyaannya, mengingat apa yang ia saksikan di dapur sore tadi. "Dia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status