Share

8.

last update Last Updated: 2025-12-03 19:05:23

Kericuhan meledak lebih cepat dari dentuman petir. Ruangan yang tadinya hanya dipenuhi suara napas tertahan mendadak berubah menjadi panggung kemarahan yang tak terkendali.

Pak Arsyad melangkah maju, wajahnya merah padam, rahangnya tegang seperti baja yang dipaksa menahan ambruk. Tangannya terangkat, siap mendarat keras di pipi Nenek Rani untuk kedua kalinya. Namun kali ini, Elis bereaksi lebih cepat. Gadis itu menarik lengan sang pria tua dengan kekuatan yang tak seharusnya dimiliki tubuh selembut itu.

“Apa-apaan ini, Pak Arsyad?!” seru Elis dengan nada tercekik. “Anda harus tahu diri!”

Pak Arsyad tersentak, tapi amarah adalah api yang sudah telanjur membakar. “Kau, jangan ikut campur! Nenek mu—”

“Elis diam, kamu tidak tahu apa-apa.”

Suara Ibu Larissa memotong tegas. Wanita itu melangkah maju, lalu melempar segepok berkas tepat ke arah dada Elis hingga sebagian kertas jatuh dan menghambur di lantai marmer.

Semua orang tersentak. Beberapa tamu yang sedari tadi pura-pura sibuk kini bergerak cepat dan memungut berkas itu. Desahan terkejut menggema seperti paduan suara tak beraturan.

“Ya Tuhan… ini valid?”

“Astaga, laporan keuangannya merah semua!”

“Gila… secepat itu perusahaannya jatuh?”

“Banyak kontrak joint venture yang sudah jalan, bagaimana nasibnya?”

Bisikan-bisikan itu terdengar jelas di telinga Anaya. Gadis itu berdiri diam, wajahnya tenang, tetapi matanya menyimpan badai yang belum meletus. Ia menatap Elis, yang kini menatap tumpukan laporan itu dengan gemetar.

Apa yang harusnya menjadi harga diri keluarga ternyata berubah menjadi lubang hitam yang menelan semuanya.

“Ne… Nenek… ini nggak benar, kan?”

Suara Elis pecah, tubuhnya goyah.

Nenek Rani tetap menunduk. Tangan keriputnya menggenggam ujung seragamnya kuat-kuat. Keriput di sudut matanya bergetar, menandakan ketakutan yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Ibu Larissa mengibaskan tangan, suaranya menggema lantang.

“Tidak benar dari mana? Saham keluargamu anjlok karena Rani menaikkan valuasi bisnis seenaknya! Investor mundur! Distributor putus kontrak! Pemasok kabur! Ini bukan rumor, ini kenyataan!”

Nenek Rani akhirnya mengangkat wajah. Pucat. Rapuh. Matanya kosong seperti seseorang yang baru kehilangan seluruh dunianya.

“Apa… yang sudah aku lakukan…?” gumamnya lirih.

Elis meraih bahu sang nenek dengan cengkeraman panik. “Nenek! Jangan bilang perusahaan kita bangkrut. Aku bahkan belum menjadi CEO! Aku sudah mempersiapkan semuanya—”

Anaya mengamati pemandangan itu, dan entah bagaimana, sudut bibirnya terangkat sedikit. Itu bukan senyum kemenangan. Lebih seperti senyum getir seseorang yang sudah terlalu lama dipaksa menahan luka.

Senyum itu langsung ditangkap oleh Ibu Larissa.

“Ah… jadi kamu senang melihat nenekmu hancur?” serangnya sambil menunjuk Anaya. “Bagus. Sekarang aku tidak akan pernah setuju kamu dekat dengan anakku. Dulu aku mendukung karena kamu menjanjikan 100 juta plus saham ibumu. Tapi sekarang? Semua itu sampah! Bahkan saham keluargaku hilang gara-gara keluargamu!”

Anaya menatapnya balik. Tatapannya dingin, menusuk, penuh kebenaran pahit yang selama ini ditahan.

“Aku tahu rencana kalian,” ujarnya pelan, tetapi setiap katanya seperti pisau. “Kalian ingin menjodohkan aku dengan Bram supaya bisa menguasai saham ibuku. Setelah itu kalian ingin menggeser Nenek Rani dari posisinya, mencuri perusahaan Mama, dan menjadikannya milik kalian. Dan lucunya, Elis ikut bermain.”

Ruangan mendadak membeku.

Elis membelalak.

Pak Arsyad tersedak napasnya.

Ibu Larissa terpaku.

Namun orang yang bereaksi paling keras adalah Nenek Rani.

Plaaak!

Tamparan keras mendarat di pipi Anaya.

Ridho, yang sedari tadi menahan diri, langsung maju menarik Anaya menjauh. “Nenek! Apa-apaan?!”

“Tutup mulutmu, Anaya!” teriak Nenek Rani, suara tuanya pecah tapi tegas. “Elis tidak seperti dirimu! Elis meneruskan garis keluarga ini, bukan kau!”

Ia memeluk Elis, menggenggam kedua tangan cucu kesayangannya itu seolah gadis itu adalah penyelamat dunia.

“Elis, jangan takut. Aku masih punya tabungan. Aku akan pakai semuanya untuk menyelamatkan perusahaan kita. Kau harus menjadi penerusku!”

Air mata Elis mengalir… tetapi bukan air mata sedih.

Matanya berkilat puas, meski ia berusaha keras menutupinya.

Anaya tahu persis.

Itu wajah seseorang yang sudah berhasil memanipulasi keadaan.

Ia tak tahan lagi.

“Sia-sia, Nek.”

Suara Anaya rendah tapi mantap.

Semua kepala menoleh.

“Tabunganmu tidak akan cukup menutup kerugian. Bahkan jika kau menjual properti yang tersisa, tetap tidak akan menolong. Perusahaanmu tetap akan bangkrut. Dan ketika itu terjadi… Elis akan meninggalkanmu. Setelah kau tidak punya apa-apa lagi, siapa yang akan mengurus Nenek? Siapa yang akan menyeka air matamu?”

Nenek Rani gemetar. “Diam kau! Anak tak tahu diri!”

Tapi sebelum ia maju untuk menampar kembali, Elis lebih dulu melangkah. Ia mencengkeram tangan Anaya kuat-kuat, wajahnya pucat namun matanya menyala penuh ancaman.

“Darimana dia tahu?” gumam Elis lirih, nyaris tak terdengar. “Apa dia juga terlahir kembali seperti aku?”

Warna wajah Elis mendadak berubah. Tatapannya pada Anaya tidak lagi sekadar benci; tapi waspada, curiga, takut kehilangan kendali.

Ia menatap dalam-dalam manik mata Anaya, seolah mencari jawaban apakah gadis itu kembali dari masa depan sama seperti dirinya.

Tidak. Itu mustahil.

Tapi kenapa Anaya begitu tahu langkah-langkah yang belum ia lakukan?

“Elis.”

Ridho menepis tangan Elis dengan kasar. “Jangan sentuh istriku.”

Ia menarik Anaya masuk ke pelukannya, lembut, namun penuh perlindungan yang tak pernah ia kompromikan sebelumnya.

“Istriku, jangan ikut campur.” Ridho menatap Anaya dengan suara rendah yang hanya dia dengar. “Walaupun kamu menasihati nenekmu dari hati yang tulus, dia tidak akan berubah. Dia sudah dibutakan oleh Elis. Mak lampir itu sudah mengikat nenekmu terlalu dalam. Biarkan waktu membuktikan semuanya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Terpendam Sang Mantan   15.

    “Kamu yakin mau pasang CCTV di sini?” tanya Ridho sambil mengangkat satu kamera kecil.Anaya mengangguk mantap. “Aku tidak mau menebak-nebak lagi. Bibit stroberi itu mati bukan karena cuaca.”Ridho terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku juga merasa aneh. Tanahnya bagus, pupuknya tepat. Tidak masuk akal semuanya busuk sekaligus.”Mereka memasang kamera di beberapa sudut kebun, dekat sumber air, di balik pohon kecil, dan menghadap langsung ke bedengan stroberi. Anaya berdiri memperhatikan layar kecil di ponselnya saat Ridho mengatur sudut pandang.“Kalau memang ada yang sengaja merusak,” kata Anaya pelan, “aku ingin melihat wajahnya.”Ridho menoleh. “Apa kamu siap?”Anaya menatap kebun itu lama. “Aku sudah terlalu lama tidak siap. Sekarang aku hanya ingin kebenaran.”Setelah semuanya terpasang, mereka mulai menanam bibit stroberi yang baru. Ridho menggali lubang kecil, Anaya menata akar dengan hati-hati, jemarinya kotor tanah namun gerakannya lembut.“Kamu selalu telaten,” ujar Ridh

  • Obsesi Terpendam Sang Mantan   14.

    “Sekarang,” ucap Anaya datar.Layar kembali menyala, bukan menampilkan Ridho.Bram mengerutkan kening. “Apa ini?” gumamnya.Foto-foto lama bermunculan. Seorang gadis muda dengan pakaian balet sederhana. Rambut diikat seadanya. Keringat membasahi pelipis. Di sudut foto tertera tanggal bertahun-tahun lalu.“Itu… Anaya?” bisik seorang tamu.Video berganti. Rekaman latihan balet di studio kecil. Gerakan yang rapi, kuat, dan penuh disiplin.Bram terdiam. “Tidak… itu bukan—”“Lanjutkan,” suara Anaya terdengar, tetap tenang.Dokumentasi lain muncul: sketsa tangan, lukisan setengah jadi, lalu lukisan balet yang sama—yang tadi dijadikan kado.Bram menoleh ke Fenny. “Kamu bilang… kamu yang melukis itu.”Fenny menelan ludah. “Bram, aku bisa jelaskan—”“Kapan?” potong Bram, suaranya meninggi. “Kapan kamu belajar melukis seperti itu?”Fenny gemetar. “Aku—aku terinspirasi—”“Terinspirasi?” Bram tertawa pendek, pahit. “Atau mencuri?”Ruangan sunyi. Kamera-kamera ponsel mulai terangkat.Anaya melangk

  • Obsesi Terpendam Sang Mantan   13.

    Langkah Anaya berhenti seketika ketika suara kecil terdengar dari belakangnya.“A–Apa?”Anaya menoleh cepat. Di belakangnya berdiri Fenny, mengenakan gaun putih berpayet yang berkilauan memantulkan cahaya lampu gedung. Wajahnya jelas menegang antara kaget, gugup, dan gengsi yang dipaksa tampil anggun.“Anaya? Kamu… datang ke sini?” Fenny bertanya sambil memegang pinggir gaunnya, seolah ragu apakah pandangan matanya benar.Anaya menegakkan bahunya. “Tentu saja. Bukankah kalian mengundangku?”Fenny menggigit bibir, tersenyum tipis namun penuh kemenangan. “Kupikir kamu… datang karena ingin bicara dengan Bram. Atau memohon supaya pernikahan ini tidak terjadi.” Nada suaranya tajam, seolah sedang menikmati dugaan itu.Anaya justru tersenyum kecil, senyum yang justru membuat Fenny tampak terintimidasi.“Tidak, Fen.” Anaya melangkah mendekat dua langkah. “Aku hanya ingin mengucapkan selamat.”Fenny tersentak. “S–Selamat?”“Ya.” Anaya mengangguk dalam. “Selamat karena akhirnya kamu mendapatkan

  • Obsesi Terpendam Sang Mantan   12.

    Anaya berjalan kecil di lorong rumahnya bersama Ridho sebelum matahari terbit, namun tanpa sengaja berpapasan dengan Bram dan Fenny yang melakukan hal sama. Awalnya Anaya tak peduli, terus berlari kecil sambil menggandeng tangan Ridho, namun Bram malah menariknya terlebih dulu."Anaya, kamu harus tahu jika aku masih mencintaimu. Soal kemarin, maaf aku tidak bisa memuaskan mu karena rupanya diriku langsung tertidur setelah melakukannya dengan Fenny!" Ujar Bram terang-terangan. Fenny pun langsung tersenyum sinis penuh bangga, menganggap dirinya di puji. Sementara Anaya malah merasa jijik, menarik tangannya agar tidak di sentuh erat oleh Bram."Menjijikkan!" Umpat Anaya yang sengaja memperbesar suaranya."Apa? Kau mengejek diriku?" Tanya Bram yang sedikit emosi. Matanya melotot tak percaya ke arah Anaya."Aku sudah memuaskannya kemarin, kau tidak perlu mengkhawatirkan istri orang!" Kata Ridho dengan suara di tekan."Istri? Aku tahu kalian hanya menikah tanpa dasar cinta. Anaya masih men

  • Obsesi Terpendam Sang Mantan   11. 21+

    "Kau sengaja merayu Bram karena tidak puas dengan suami mu kan? Siapa suruh memilih suami miskin?" Ujar Fenny yang dengan sengaja mengikuti Anaya ke kamar mandi.Anaya hanya tersenyum tipis, lalu merapikan rambutnya seolah tidak terpancing omongan Fenny. Jelas Anaya ingat apa yang terjadi sebentar lagi."Jika aku tidak salah, kamu akan memberiku obat tidur agar tubuhku bisa di nikmati lelaki brengsek kan?" Tanya Anaya dengan tenang.Wajah Fenny langsung berubah, dia menjadi bingung bagaimana Anaya bisa tahu rencananya."Kau pikir aku takut denganmu? Mungkin dulu pangkat mu lebih tinggi dariku karena kamu punya seorang nenek yang kaya raya. Tetapi akhir-akhir ini aku dengar Nenek Rani bangkrut total. Sekarang kau tidak ada apa-apanya di bandingkan diriku, Anaya!" Tegas Fenny penuh percaya diri.Anaya berbalik, langsung mendekati Fenny sambil berbisik tepat di samping telinga Fenny."Jangan sampai salah sasaran, Fenny. Aku tahu semua gerakan dirimu," Ungkap Anaya sebelum berjalan pergi

  • Obsesi Terpendam Sang Mantan   10. 21+

    "Sedikit demi sedikit, tidak ada yang akan sadar," Senyum tipis penuh kelicikan terpancar.Nenek Rani berdiri di dapur, sendirian. Wajahnya tampak letih namun matanya memancarkan sesuatu yang dingin dan gelap. Tangannya lincah mengaduk semangkuk sup hangat, lalu dari saku kecil apron kumalnya, ia mengeluarkan sebuah botol mungil berwarna cokelat keruh. Cairannya bening, hampir tak terdeteksi. Ia lalu meneteskan dua tetes saja. Kemudian tersenyum tipis.Anaya masuk ke kamar mamanya sambil membawa air hangat.“Mama… ayo makan dulu, ya,” ucapnya lembut.Mama Anindita tersenyum samar. “Mama… capek, Nay. Badan mama rasanya ringan… tapi sakit.”“Mama minum obat dulu. Dokter bilang Mama sehat kok, cuma kecapekan.”Mama Anindita menatap putrinya lemah. “Kalau hanya capek… kenapa Mama makin kurus begini?”Anaya tidak menjawab karena dia sendiri tidak mengerti. Tubuh Mama Anindita terus melemah, padahal hasil pemeriksaan selalu normal. Tidak ada penyakit serius. Tidak ada gangguan organ. Tidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status