Masuk"Selamat datang di hotel termewah ibu kota, apapun yang di hidangkan, silahkan nikmati!" Nenek Anaya begitu anggun menyambut semua tamu, satu per satu di sapa dengan baik, meninggalkan kesan yang mendalam bagi rekan kerja maupun keluarga yang datang.
Tetapi, hanya pasangan Anaya saja yang tidak di sambut seolah tak terlihat. Meskipun sudah berpapasan dengan baik, Nenek Rani tetap tidak menyapa mereka, malah memperkenalkan Elis sebagai cucu yang akan meneruskan bisnisnya nanti. "Istriku, apa kamu sedih?" Ridho memulai percakapan lebih dulu, melihat wajah Anaya yang cemberut serta jengkel, berusaha menahan rasa tak nyaman di hatinya, tetapi tetap saja terlihat jelas. Hari ini adalah hari pembukaan hotel Nenek Rani, Anaya tahu dirinya tak di undang tetapi Mama Anindita memaksa Anaya datang menggantikan dirinya. Sebagai seorang anak, Mama Anindita tetap tidak ingin membuat masalah dengan Ibu kandungnya, pada akhirnya memberikan undangan dirinya pada Anaya karena dirinya sedang tidak enak badan. "Ayo selesaikan urusan disini sebelum kita pergi!" Ucap Anaya bergegas mencari sosok seseorang yang akan membuat dirinya untung. Tetapi lama mencari, sosok itu rupanya tak muncul. "Apa kamu yakin orang itu akan datang ke sini?" Tanya Ridho membantu mencari. "Seingatku dirinya selalu datang ke pesta dan dari sini kenal dengan nenekku. Sejak saat itu, saat nenekku bangkrut orang itu datang membeli lahan kosong itu dan membangun sebuah kebun kecil. Jika kita berbisnis dengannya, kita bisa kaya dan tidak akan di pandangan rendah oleh Nenek Rani!" Jelas Anaya dengan mata berkaca-kaca. Di rendahkan sampai tak dianggap oleh keluarganya sendiri membuat tekadnya kuat untuk membuktikannya dirinya bahwa dia lebih baik daripada cucu angkat yang selalu disanjung oleh semua orang. Tidak lama, masuk sebuah keluarga terpandang. Jelas dari pakaian mereka, mereka semua termasuk orang yang berpengaruh. Dan salah satu diantaranya adalah orang yang dicari Anaya. "Oh, ya ampun, Pak Bratha. Akhirnya datang juga, aku pikir anda tidak berminat mendatangi diriku!" Kata Nenek Rani sambil terburu-buru menyambut. Elis yang penuh drama dan sandiwara juga maju, seperti biasa mencari perhatian agar dirinya di puji. "Pak Bratha, Ini Elis, cucu yang pernah aku ceritakan padamu. Mohon ke depannya bekerja sama lebih banyak lagi dengannya!" Ucap Nenek Rani dengan tulus. Saat itu, hati Anaya sedikit bergejolak. Di dunia ini masih ada yang bisa mengalahkan kasih sayang Nenek hanya karena menganggap cucu angkat lebih baik dari cucu kandung. Anaya hanya tersenyum tipis karena sudah lama dia tahu sifat asli Elis seperti apa. "Baik, Bu Rani. Tenang saja, selama tidak ada masalah kita akan terus bekerja sama!" Kata Pak Bratha sambil mengulurkan tangannya. Setelah Pak Bratha duduk dan Nenek Rani mulai menyambut tamu yang lain, Anaya mengambil kesempatan ini mendekati orang yang dia incar. Namun sepertinya akan sangat sulit mendekati Pak Bratha tanpa menggunakan koneksi dan dugaan Anaya benar. "Halo, Pak Bratha. Aku Anaya, anak Anindita Rani. Senang bertemu dengan anda!" Kata Anaya dengan ramah mulai terlebih dulu. "Iya, halo!" balasnya dingin. Saat itu Anaya mulai menyadari sesuatu, dengan cepat mengambil dua gelas anggur lalu memberikannya pada Pak Bratha. "Mari bersulang, Pak. Aku berencana mengajak anda ber-investigasi dengan bisnisku ke depannya!" Setelah menyelesaikan perkataannya, Anaya langsung menyodorkan gelas anggur satunya pada pak Bratha dan aksi ini dilihat langsung oleh Elis. Tanpa menunggu lama, drama rumah tangga akan di mulai. Elis terlebih dulu menarik gelas pemberian Anaya untuk pak Bratha dan langsung menyiramnya ke gaun Anaya. Semua tamu langsung melirik ke arah mereka, mulai menikmati pertunjukan. "Sepertinya rumor itu memang benar, cucu kandung dan cucu angkat keluarga Rani tidak akur!" "Iya, baru terbukti sekarang. Aku pikir semua itu karena cucu kandung selalu ingin lebih baik daripada Elis!" "Padahal Elis jauh lebih berbakat daripada cucu kandung Rani sendiri. Harusnya mereka berdua tidak di pertemukan di tempat ini!" Bisikan demi bisikan terdengar jelas di telinga Anaya. Tetapi Anaya masih bisa tersenyum sambil menahan amarahnya hanya karena tak mau mempermalukan nama Mama Anindita. "Pak Bratha, Anaya ini sungguh bisa diajak kerja sama. Dia mendekati anda pasti karena ingin beberapa saham perusahaan yang di kelola Nenek Rani." Kata Elis mulai memancing pikiran semua orang. "Tidak begitu," Balas Anaya dengan cepat. "Lalu apa? Mana ada orang miskin yang tidak menginginkan uang? Aku tahu kamu sekarang menyesal menikahi suami mu yang miskin dan hanya bekerja sebagai pengantar paket karena itu masih menggunakan identitas Mama Anindita untuk mencari keuntungan kan?" Elis maju perlahan, terus menyudutkan Anaya. Anaya masih tenang, masih tersenyum membuat Elis sedikit emosi mulai menyerang dengan berbagai kata-kata. "Asal kamu tahu Anaya, Pak Bratha itu sudah lama berkerja sama dengan perusahaan Nenek Rani. Kamu ingin merebut pak Bratha padahal dirimu sendiri tidak punya bisnis apapun kan?" Tunjuk Elis sambil mendorong Anaya ke belakang. Beruntung Ridho yang habis dari toilet langsung gercep menangkap tubuh Istrinya. "Sayang, kau tidak apa-apa kan?" ucap Ridho yang ikut emosi. Saat itu, Nenek Rani juga muncul. Memberikan tatapan tajam ke arah Anaya seolah memberi syarat agar cucu kandungnya segera pergi dan tidak mencari masalah lagi. Namun, Anaya justru semakin menantang mereka. Langsung menghampiri Pak Bratha kembali. "Pak Bratha, aku dengar anda ingin sekali berbisnis lagi. Aku dan suamiku punya kebin serta lahan kosong yang subur. Aku jamin hasil kebun itu akan berlimpah nanti. Percaya padaku!" Jelas Anaya tidak mau kalah. Pak Bratha terdiam, mulai berpikir keras. Sebenarnya rencana ini memang sudah lama dia inginkan karena bosan terus berbisnis masalah saham, hotel, dll. Dia ingin mencoba hal baru seperti buah-buahan, sayuran, dan makanan. "Anaya, kamu masih belum sadar diri. Lahan kosong yang aku berikan padamu itu tidak berguna sama sekali. Lihat saja, hanya tanaman liar yang tumbuh disana!" Nenek Rani menyela, mencoba menjatuhkan mental dan niat cucunya sendiri. Tetapi Anaya semakin menjelaskan bisnis barunya ini yang akan dia kerjakan asal Pak Bratha ingin bekerja sama, memberikan investigasi secukupnya maka bisnisnya bisa berjalan lancar. Elis yang merasa tidak di dengarkan, mulai menarik Anaya bersiap menamparnya. Namun sebelum itu terjadi, tamparan keras justru terdengar dari arah lain. Plak... Pipi Nenek Rani memerah, wajah yang penuh keriput yang dibalut bedak malah terasa sakit. Semua orang langsung menoleh ke arahnya termasuk Anaya dan Elis. "Ini baru permulaan, perusahaan yang kalian dambakan selama ini sudah bangkrut!" Gumam Anaya yang tersenyum puas.“Kamu yakin mau pasang CCTV di sini?” tanya Ridho sambil mengangkat satu kamera kecil.Anaya mengangguk mantap. “Aku tidak mau menebak-nebak lagi. Bibit stroberi itu mati bukan karena cuaca.”Ridho terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku juga merasa aneh. Tanahnya bagus, pupuknya tepat. Tidak masuk akal semuanya busuk sekaligus.”Mereka memasang kamera di beberapa sudut kebun, dekat sumber air, di balik pohon kecil, dan menghadap langsung ke bedengan stroberi. Anaya berdiri memperhatikan layar kecil di ponselnya saat Ridho mengatur sudut pandang.“Kalau memang ada yang sengaja merusak,” kata Anaya pelan, “aku ingin melihat wajahnya.”Ridho menoleh. “Apa kamu siap?”Anaya menatap kebun itu lama. “Aku sudah terlalu lama tidak siap. Sekarang aku hanya ingin kebenaran.”Setelah semuanya terpasang, mereka mulai menanam bibit stroberi yang baru. Ridho menggali lubang kecil, Anaya menata akar dengan hati-hati, jemarinya kotor tanah namun gerakannya lembut.“Kamu selalu telaten,” ujar Ridh
“Sekarang,” ucap Anaya datar.Layar kembali menyala, bukan menampilkan Ridho.Bram mengerutkan kening. “Apa ini?” gumamnya.Foto-foto lama bermunculan. Seorang gadis muda dengan pakaian balet sederhana. Rambut diikat seadanya. Keringat membasahi pelipis. Di sudut foto tertera tanggal bertahun-tahun lalu.“Itu… Anaya?” bisik seorang tamu.Video berganti. Rekaman latihan balet di studio kecil. Gerakan yang rapi, kuat, dan penuh disiplin.Bram terdiam. “Tidak… itu bukan—”“Lanjutkan,” suara Anaya terdengar, tetap tenang.Dokumentasi lain muncul: sketsa tangan, lukisan setengah jadi, lalu lukisan balet yang sama—yang tadi dijadikan kado.Bram menoleh ke Fenny. “Kamu bilang… kamu yang melukis itu.”Fenny menelan ludah. “Bram, aku bisa jelaskan—”“Kapan?” potong Bram, suaranya meninggi. “Kapan kamu belajar melukis seperti itu?”Fenny gemetar. “Aku—aku terinspirasi—”“Terinspirasi?” Bram tertawa pendek, pahit. “Atau mencuri?”Ruangan sunyi. Kamera-kamera ponsel mulai terangkat.Anaya melangk
Langkah Anaya berhenti seketika ketika suara kecil terdengar dari belakangnya.“A–Apa?”Anaya menoleh cepat. Di belakangnya berdiri Fenny, mengenakan gaun putih berpayet yang berkilauan memantulkan cahaya lampu gedung. Wajahnya jelas menegang antara kaget, gugup, dan gengsi yang dipaksa tampil anggun.“Anaya? Kamu… datang ke sini?” Fenny bertanya sambil memegang pinggir gaunnya, seolah ragu apakah pandangan matanya benar.Anaya menegakkan bahunya. “Tentu saja. Bukankah kalian mengundangku?”Fenny menggigit bibir, tersenyum tipis namun penuh kemenangan. “Kupikir kamu… datang karena ingin bicara dengan Bram. Atau memohon supaya pernikahan ini tidak terjadi.” Nada suaranya tajam, seolah sedang menikmati dugaan itu.Anaya justru tersenyum kecil, senyum yang justru membuat Fenny tampak terintimidasi.“Tidak, Fen.” Anaya melangkah mendekat dua langkah. “Aku hanya ingin mengucapkan selamat.”Fenny tersentak. “S–Selamat?”“Ya.” Anaya mengangguk dalam. “Selamat karena akhirnya kamu mendapatkan
Anaya berjalan kecil di lorong rumahnya bersama Ridho sebelum matahari terbit, namun tanpa sengaja berpapasan dengan Bram dan Fenny yang melakukan hal sama. Awalnya Anaya tak peduli, terus berlari kecil sambil menggandeng tangan Ridho, namun Bram malah menariknya terlebih dulu."Anaya, kamu harus tahu jika aku masih mencintaimu. Soal kemarin, maaf aku tidak bisa memuaskan mu karena rupanya diriku langsung tertidur setelah melakukannya dengan Fenny!" Ujar Bram terang-terangan. Fenny pun langsung tersenyum sinis penuh bangga, menganggap dirinya di puji. Sementara Anaya malah merasa jijik, menarik tangannya agar tidak di sentuh erat oleh Bram."Menjijikkan!" Umpat Anaya yang sengaja memperbesar suaranya."Apa? Kau mengejek diriku?" Tanya Bram yang sedikit emosi. Matanya melotot tak percaya ke arah Anaya."Aku sudah memuaskannya kemarin, kau tidak perlu mengkhawatirkan istri orang!" Kata Ridho dengan suara di tekan."Istri? Aku tahu kalian hanya menikah tanpa dasar cinta. Anaya masih men
"Kau sengaja merayu Bram karena tidak puas dengan suami mu kan? Siapa suruh memilih suami miskin?" Ujar Fenny yang dengan sengaja mengikuti Anaya ke kamar mandi.Anaya hanya tersenyum tipis, lalu merapikan rambutnya seolah tidak terpancing omongan Fenny. Jelas Anaya ingat apa yang terjadi sebentar lagi."Jika aku tidak salah, kamu akan memberiku obat tidur agar tubuhku bisa di nikmati lelaki brengsek kan?" Tanya Anaya dengan tenang.Wajah Fenny langsung berubah, dia menjadi bingung bagaimana Anaya bisa tahu rencananya."Kau pikir aku takut denganmu? Mungkin dulu pangkat mu lebih tinggi dariku karena kamu punya seorang nenek yang kaya raya. Tetapi akhir-akhir ini aku dengar Nenek Rani bangkrut total. Sekarang kau tidak ada apa-apanya di bandingkan diriku, Anaya!" Tegas Fenny penuh percaya diri.Anaya berbalik, langsung mendekati Fenny sambil berbisik tepat di samping telinga Fenny."Jangan sampai salah sasaran, Fenny. Aku tahu semua gerakan dirimu," Ungkap Anaya sebelum berjalan pergi
"Sedikit demi sedikit, tidak ada yang akan sadar," Senyum tipis penuh kelicikan terpancar.Nenek Rani berdiri di dapur, sendirian. Wajahnya tampak letih namun matanya memancarkan sesuatu yang dingin dan gelap. Tangannya lincah mengaduk semangkuk sup hangat, lalu dari saku kecil apron kumalnya, ia mengeluarkan sebuah botol mungil berwarna cokelat keruh. Cairannya bening, hampir tak terdeteksi. Ia lalu meneteskan dua tetes saja. Kemudian tersenyum tipis.Anaya masuk ke kamar mamanya sambil membawa air hangat.“Mama… ayo makan dulu, ya,” ucapnya lembut.Mama Anindita tersenyum samar. “Mama… capek, Nay. Badan mama rasanya ringan… tapi sakit.”“Mama minum obat dulu. Dokter bilang Mama sehat kok, cuma kecapekan.”Mama Anindita menatap putrinya lemah. “Kalau hanya capek… kenapa Mama makin kurus begini?”Anaya tidak menjawab karena dia sendiri tidak mengerti. Tubuh Mama Anindita terus melemah, padahal hasil pemeriksaan selalu normal. Tidak ada penyakit serius. Tidak ada gangguan organ. Tidak







