Di hari ke dua setelah pria itu tidak ada, Camellia pun dikejutkan dengan sosok Brandon yang tengah duduk di sofa.
Langkah gadis itu saat menuruni tangga seketika terhenti, dan dengan tatapan bertanya, dia menatap sekitar. Berharap Hagen muncul secara tiba-tiba dari mana saja. Namun, setelah memandangi Brandon yang tampak duduk sendirian di sofa, keyakinan Camellia pun akan kehadiran Hagen sirna.
Dia tidak mengira bahwa pria itu meninggalkannya sendiri di apartemen. Itu artinya sudah jalan lima hari dia terkurung di dalam tempat itu.
“Apa kau datang sendirian?” tanya Camellia begitu mendekati sofa di mana Brandon duduk termenung menatap keluar jendela.
Seketika kepala pria itu pun menoleh ke arahnya dan dengan senyum simpul dia mengiyakan.
Mata Camellia menatap ke luar jendela kamar dengan pandang datar. Meskipun secangkir cokelat hangat berada dalam genggamannya, dia masih merasa kedinginan. Pandangan gadis delapan belas itu terfokus pada butiran air hujan yang menempel pada kaca jendela. Matanya mengikuti pergerakan tetesan-tetesan hujan yang jatuh perlahan ke bawah. Dia menghela napas berat dan menyesap cokelat panas tersebut setelah beberapa saat. Namun, suara dering ponsel memecah fokusnya seketika. Kepala gadis itu menoleh ke sumber suara, pada benda pipih yang tergeletak di atas meja. Awalnya dia enggan untuk melihat, tapi mengingat ayahnya di rumah sakit, dengan cepat Camellia berjalan ke sana. Tapi, dia merasa kecewa saat mendapati nomor Brandonlah
Bukannya merasa terkesan, gadis itu malah menatap Hagen seolah dia pria aneh.“Layang-layang my ass,” gumam Camellia sembari meninggalkan pria itu.Tahu bahwa Hagen akan terus mengikuti, dia pun terus berjalan tanpa perlu menoleh atau memeriksa sejauh mana jarak mereka saat ini.Bahkan ketika pria itu memanggil, Camellia dengan sengaja menulikan diri.“Princess, kurasa kita butuh sesuatu untuk berlindung dari panas matahari.”Diam-diam
Bibir Camellia terasa kebas, dia bahkan tidak bisa menjauhkan jemarinya dari sana dan terus mengusap-ngusapnya lembut. Sementara itu, matanya menatap kosong pada cermin yang memantulkan wajahnya yang tidak lagi memar seperti beberapa waktu lalu. Dari balik manik mata jernihnya muncul bayangan kejadian sore ini di depan pintu rumah. Dia tampak tenggelam hingga tidak mendengar suara bell yang berbunyi, pertanda seseorang hendak bertamu ke sana. Namun, setelah beberapa waktu, gadis itu dikejutkan dengan suara dering ponsel dari arah ranjang. “Ugh!” geramnya begitu tersadar kemana arah pikirannya saat ini. Setelah menarik napas dalam-dalam dan mengipas wajah yang merona tiba-tiba, barulah Camellia berdiri dan berjalan menuju benda pipih yang kini berbunyi nyaring memanggil-mangg
Hagen mengusap pipi Camellia menggunakan tisu yang berasal dari atas meja dengan gerakan penuh kelembutan. Meskipun gadis itu terus menangis hingga air matanya luruh tanpa henti, pria itu tetap sabar menghapus jejak tangis di pipi.Suara sesenggukan gadis itu mengisi ruangan, dan Hagen pun membiarkan sembari terus menenangkan dengan menyentuh pergelangan tangan feminim itu. Ujung jemarinya mengusap punggung tangan Camellia pelan, sedang tangan satunya membersihkan pipi gadis tersebut.“Ayah,” tangis Camellia, tanpa peduli akan kehadiran pria asing di hadapan.Mendengarnya terus memanggil sosok pria yang menghancurkan kehidupan gadis itu dalam satu malam, Hagen terpaku. Dia tidak mengerti mengapa Camellia sangat peduli pada pria tersebut, tetapi dia hanya bisa menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.
Disaat Camellia tidur terlelap dalam dekapannya, Hagen pun memilih untuk berdiam beberapa waktu sebelum akhirnya dia berusaha melepaskan diri dari kedua lengan feminim yang memeluk erat itu.Pelan-pelan Hagen bergerak untuk keluar dari ranjang, berusaha tidak membangunkan Camellia yang tertidur nyenyak.Dari sudut mata, dia melihat jam di atas nakas menunjukkan pukul tiga pagi.Tanpa melihat ke arah gadis itu lagi, Hagen keluar dari kamar menuju ke ruangan tengah. Dia duduk sebentar di atas sofa dengan posisi siku bertumpu pada lutut.Lama pria itu berdiam sambil berpikir sebelum akhirnya dia mendial nomor seseorang.Entah berapa lama Hagen menunggu jawaban, hingga pada akhirnya terdengar suara berat bariton yang sedikit serak
Mata keduanya saling bertemu, namun tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara, bahkan Hagen tidak lagi mendengarkan Gavin yang terus berbicara di seberang panggilan. Seolah-olah pria itu terpaku pada sosok Camellia yang berdiri sangat anggun di atas tangga dengan piyama putihnya.Namun, ketika mendengar namanya dipanggil berkali-kali dari seberang, barulah Hagen tersadar. Dia Berdeham dan mengalihkan pandangan dari gadis itu.“Aku mendengarmu,” ucapnya, pada Gavin yang kini terdengar kesal.“Kupikir kau tertidur dan meninggalkanku tanpa salam perpisahan,” balas Gavin, disela sindiran.Hagen hanya merespon dengan deheman, lalu dia menengadah ke atas. Sayangnya gadis itu sudah tidak lagi berdiri di tempatnya tadi, membuat pria itu sedikit merasa kecewa.
“Katakan saja padanya, kau akan tidur dengan seseorang bila dia terus saja menganggu.”Mendengar perkataan Brandon seketika Camellia menatapnya kesal. Gadis itu hendak bersungut-sungut, saat tiba-tiba pria itu mengangkat tangan ke udara, mengisyaratkan agar dia diam mendengarkan.Hal itu membuat Camellia mengigit bibir bawahnya agar menahan diri. Namun, tatapan matanya jelas menunjukkan bahwa dia tidak terima.“Kau pilih yang nomor dua, aku ingin lihat bagaimana dia meresponmu.”Camellia mendengus mendengar itu. Tentu saja Blake Hagen akan marah dan memaksakan diri padanya kembali.Jika bukan dengan cara yang biasa, pria itu bisa saja melakukan hal-hal di luar logika.
Camellia berjalan menelusuri jalan dengan tatapan kosong, seolah hanya tubuhnya saja yang ada di sana, sedangkan kepalanya entah berkelana di mana. Bayangan dari percakapan tadi tampak membebani Camellia. Bahkan, gadis muda itu beberapa kali menarik napas dalam-dalam, dan kakinya sesekali berhenti dengan kepala menatap sekitar. Pada orang-orang yang berjalan melewatinya. “Kurasa hanya aku yang jalan di tempat,” bisiknya sembari melanjutkan langkah kembali. Kepala gadis itu pun tertunduk menyembunyikan kegundahan yang berkejaran di wajah. Dia merasa tidak memiliki lagi solusi. Dan satu-satunya yang bisa membantu hanya Brandon. Tentu saja Hagen tidak masuk hitungan. Dia ba