Semua orang takut padanya, dan menganggap dia pria paling berbahaya. Bahkan, apa pun yang keluar dari mulutnya adalah perintah yang tidak bisa dibantah. Sehingga orang-orang menjulukinya: Tuan Hagen Tanpa Hati. Karena memang dia tidak punya sama sekali. Malangnya, akibat hutang sang Ayah, Camellia Duncan harus menerima konsekuensi dengan memilih salah satu dari tiga pilihan yang diberi oleh pria paling ditakuti. Namun, bukan Camellia namanya, jika menyerah dengan mudah. Apapun akan gadis itu lakukan, demi membuat Blake Hagen menyadari; bahwa tidak semua orang memujanya seperti Dewa. .......................................... "Aku memberimu waktu untuk tiga pilihan." - Blake Hagen. "Tapi aku tidak akan pernah memilih apapun." - Camellia Duncan. Cover: Pinterest
View MorePukul 08:00 Malam di Lancester, Perbatasan Denver.
Seorang gadis duduk menyendiri dengan posisi tubuh meringkuk di atas bangku, sedang kedua tangan memeluk diri di sudut ruangan sebuah kantor polisi. Tampak baju dan rambutnya acak-acakan serta luka di sudut bibir dan memar di pipi bagian kiri.
Tatapan gadis itu terlihat kosong dengan kepala menunduk ke bawah, terpaku pada kaki telanjangnya yang mulai kedinginan, namun tidak dia pedulikan. Bahkan suara-suara ribut dalam kantor kepolisian tidak lagi dia dengar.
Begitu pula para petugas yang sejak tadi lalu-lalang di depan kursi tampak tidak menyadari keberadaannya.
Gadis itu seolah tidak terlihat, dan dibiarkan sendiri di sudut tanpa seorang pun mendekat.
Tubuh rapuhnya semakin mengkerut di kursi. Rasa takut dan trauma kejadian tadi masih membekas dalam ingatan. Bahkan bila diperhatikan, gadis itu terlihat menggigil. Berkali-kali dia mengusapkan tangan pada kedua lengan yang melingkar di badan karena bajunya yang sedikit basah, membuat gadis tersebut kedinginan.
Kepalanya seketika terangkat sedikit ketika sepasang sepatu kulit melangkah dalam jangkauan penglihatan. Berdiri tepat di hadapan.
Lama dia terdiam, menunggu si pemilik sepatu untuk bersuara. Namun, lima belas menit pun berlalu, pria itu tetap membisu, masih dengan posisi berdiri di tempat semula. Tidak ada tanda-tanda sepasang sepatu hitam mengkilat itu akan bergeser.
Setelah memejamkan mata dan menarik napas panjang, gadis itu akhirnya bertanya lirih dengan suara bergetar.
“Mau apa kau ke sini?”
Awalnya pria itu hanya diam dengan pandangan datar pada gadis yang duduk ringkih di atas kursi, namun akhirnya dia menjawab setelah melihat wanita muda di hadapannya bergerak gelisah.
“Apa kau akan terus berada dalam masalah dan memilih hidup terlunta?” Pria itu membalik pertanyaan yang mendapat reaksi tatapan tajam dari pemilik mata hazel di kursi.
Sebuah senyum tipis yang terulas di wajah pria tersebut membuat tatapan tajam gadis itu berubah menjadi amarah.
“Ah, atau kau memang senang menjadi pusat perhatian?”
Kepala pria itu miring sedikit dan senyum tipisnya berubah menjadi seringai.
Gadis itu tampak lebih gusar, membuat pria tersebut semakin ingin mengaduk emosi rapuh dari gadis muda berparas rupawan yang duduk ringkih di hadapan.
Pria itu pun menunjuk ke luar kantor polisi dengan dagu dan setelahnya dia membungkuk hingga mata mereka sejajar.
Seketika gadis itu menahan napas dengan mata sedikit membeliak karena nyaris saja terjadi kontak fisik di antara keduanya. Dengan gelisah gadis tersebut menggeser duduk untuk menjauhi jangkauan pria di hadapan, yang tidak sedikit pun pria itu pedulikan.
Dia bahkan menyentuh anak rambut yang terlepas dari ikatan sanggul gadis tersebut, sengaja memainkannya di antara jari-jari maskulinnya yang membuat debaran dada gadis itu sedikit menggila.
“Lihat, ada dua paparazzi di luar. Say hay pada mereka bila kau berhasil keluar dari kantor polisi malam ini,” ucap pria itu dengan senyuman lebar hingga memamerkan barisan gigi yang putih.
Mata gadis itu mengerjab beberapa kali, sebelum akhirnya dia menoleh pelan ke arah yang pria itu tunjuk.
Benar saja, ada dua pria sedang menunggu di parkiran dengan masing-masing kamera tersampir di bahu.
Tangan gadis itu mengepal hingga buku-buku jarinya memucat, dan kepalan itu berubah menjadi remasan pada rok pendek yang setengah robek sejak pertama kali masuk ke kantor polisi.
Tidak ada satu pun gerakan tubuh gadis itu yang luput dari perhatian si pemilik sepatu kulit. Mata obsidiannya mengobservasi diam-diam, bagai radar yang tidak sedikit pun terlihat jelas telah mencuri-curi lihat.
“Mau apa kau mendatangiku?” tanya gadis itu dengan suara serak yang rendah sedang matanya masih tetap menatap jendela, pada kumpulan pemburu berita di luar sana.
Tubuh pria itu tegak kembali, dan dengan kedua tangan berada di saku celana, pria itu pun berkata; “Aku mendengar kau berada di kantor polisi, dan tidak ada satu pun yang datang untuk membebaskanmu.”
Seketika kepala gadis itu berputar ke arah pria yang kini berdiri dengan sangat arogan di hadapannya.
“Tidak peduli berapa lama mereka mengurungku di sini, aku tidak membutuhkan bantuan darimu,” desis gadis itu sengit.
Pria itu hanya mengangkat bahu dengan senyum miring di sudut bibir.
“Princess, jika kau berada di sini terlalu lama, lalu siapa yang akan mengurus ayahmu?”
Mendengar pertanyaan tersebut, raut wajah gadis itu pun berubah melankolis, tampak ingin menangis, namun menahan diri sekuat tenaga.
Pandangan pria itu seketika teralih pada kebiasaan gadis itu yang sedang menggigit bibir ketika gelisah. Matanya berdilatasi menjadi hitam pekat saat bibir ranum itu berubah semerah delima, seolah menggoda tanpa dosa.
Sadar akan perrhatiannya yang teralihkan, pria itu pun mendelik tajam pada gadis muda di hadapan.
“Aku sudah memberimu cukup waktu untuk berpikir, tetapi tampaknya kau tidak sekali pun menggunakannya untuk mempertimbangkan pilihan yang kuberi,” ucap pria itu dengan suara datar. “Dan lihatlah, kau bahkan berakhir di kantor polisi, tempat yang sekali pun tidak pernah kau datangi sebelumnya.”
“Aku sedang membela diri!” jerit gadis itu dengan wajah memerah.
Seketika ruangan kantor polisi menjadi hening. Suara-suara percakapan sayup-sayup terdengar.
Wajah wanita itu pun berubah merah, menahan malu yang membuat pipi dan cuping telinga menjadi panas.
Keduanya hanya saling tatap untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya gadis muda itu merendahkan suara; “Aku hanya membela diri,” ucapnya lirih dengan kepala menunduk kembali, menatap kakinya yang penuh bekas luka karena pecahan kaca.
Terdengar suara helaan napas pria tersebut, dan tidak lama setelahnya tiba-tiba saja pria itu berjongkok hingga kepala keduanya pun menjadi sejajar, membuat mata gadis itu kembali membulat sebesar purnama.
“Apa kau masih belum memutuskan?”
Mendapat pertanyaan tersebut, gadis itu menelan saliva dengan susah payah.
Karena tidak mendapat jawaban, pria itu pun kembali bertanya.
“Waktumu tinggal dua minggu lagi. Apa kau masih belum menentukan pilihan?”
Mendapati kedua tangan gadis di hadapan saling meremas gugup, pria itu pun meliriknya dengan ekspresi datar yang biasa ditujukan pada bawahannya selama ini.
“Aku menyarankan untuk memilih yang nomor tiga; tidur bersamaku selama satu tahun, tetapi tampaknya kau lebih suka untuk bungkam.”
Pria itu pun berdiri dan memutuskan mundur beberapa langkah.
“Kalau begitu, tidur satu malam di kantor polisi sepertinya cukup untuk membuatmu memikirkan kembali tawaran yang kuajukan,” ucap pria itu dingin. “Sebaiknya aku tidak membuang-buang waktu untuk gadis yang bahkan menyia-nyiakan kesempatan sepertimu.”
Pria tersebut melirik jam yang melingkar di tangan.
Sebelum beranjak, dia menatap gadis tersebut sekali lagi dan tanpa berkata apa-apa, pria itu pun bergegas keluar dari sana. Meninggalkan gadis muda itu sendirian di bangku tunggu, masih dengan baju basah dan tubuh yang kedinginan.
Tanpa gadis itu sadari, satu bulir air mata jatuh bergulir membasahi pipi dan sepanjang dagu, sayangnya tidak ada suara yang terdengar. Dia menangis dalam hening, di tengah tempat asing diselimuti kesepian.
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments