Brandon meringis dalam hati begitu tatapannya bertabrakan dengan Hagen yang berada di ujung ruang tunggu. Beberapa kali dia harus menundukkan kepala untuk menghindari tatapan tajam itu.
Ketika suasana di sekitar mereka terasa semakin mencekik, Brandon pun berdeham yang mengakibatkan sebelah alis Blake Hagen naik mendekat dahi.
“Ehem...,” dehem Brandon yang mencoba menatap ke segala arah.
Untuk sesaat ruangan itu pun hening kembali, sebelum akhirnya Brandon menghela napas, terdengar lelah. Karena jelas sekali, Hagen tidak akan pernah melepas tatapan tajamnya itu.
“Baiklah, aku minta maaf,” cicit Brandon dengan bahu tertekuk lesu. “Aku tidak menyadari keadaan di luar sana bisa jadi separah ini.”
Wajah Camellia sedikit bersemu begitu kata tersebut keluar dari mulutnya. Dengan kepala beralih pandangan, gadis itu menghindari kontak mata.Hagen yang saat itu berada di depan pintu seakan mematung, tidak yakin dengan pendengarannya barusan. Namun, mendapati Camellia yang sedikit tersipu, sudut bibirnya pun berkedut.“Aku keluar untuk mencari sarapan,” ujar Hagen yang semakin membuat pipi gadis itu memerah, tetapi tidak sedikit pun dia merasa bersalah, karena itu merupakan pemandangan yang langka. Sehingga dia pun menikmati wajah rupawan itu berubah gradasi warna.Agar tidak menimbulkan kecanggungan, Hagen pun bertanya; “Apa kau mau bubur?”Sebisa mungkin dia mencairkan suasana dengan nada bicara yang hati-hati. Hagen tidak ingin Camellia merasa tidak nyaman berada di sekitarnya.“Ti-tidak,” jawab gadis itu, masih dengan gesture enggan melihat.Dengan senyum memaklumi, Hagen memutuskan untuk pergi saat i
Camellia baru saja keluar dari toilet ketika tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh kehadiran sosok pria di salah satu kursi, tepat di sebelah ranjang perawatan.Nyaris saja gadis itu berteriak, namun bibirnya bungkam begitu menyadari siapa yang duduk di sana.“Paman,” bisik Camellia dengan kaki berdiri gelisah.Sosok laki-laki yang baru saja dipanggil itu pun menoleh dari ponsel yang sedang dimainkan dalam genggaman.Kepala pria berusia tiga puluh lima tahun itu terangkat sedikit, dan matanya pun menatap lurus ke depan. Pada Camellia yang membeku di depan pintu kamar mandi dengan gaun rumah sakit masih membalut tubuh.“Aku mendengar kau dirawat,” ucap pria itu, tidak sedikit pun berniat berdiri dari kursi un
Saat turun dari mobil, Blake Hagen memperlakukan Camellia dengan hati-hati, terutama pada langkah gadis itu yang seolah tidak lagi menapak tanah.Ada begitu banyak kesedihan yang bermain di wajah rupawannya, seolah-olah dunia baru saja runtuh. Sehingga Hagen pun berusaha untuk tidak mengatakan sesuatu, atau melakukan hal-hal yang dapat menyentuh perasaan sensitif gadis itu.“Kau tinggal sendirian di rumah ini, apa kau yakin akan tetap di sini? Aku bisa saja menyuruh seseorang untuk menemani,” ujar Hagen yang saat itu berjalan tepat di belakang Camellia.Mendengar usulan tersebut, Camellia pun berhenti sejenak. Dia melihat pria itu melalui baju, dan tidak ada sedikit pun senyuman di sana.“Kau memang sudah banyak membantu, tapi bukan berarti aku membiarkanmu unt
Bibir Edric menipis begitu dia mendengar cara Hagen memanggilnya, seolah-olah pria itu enggan menyebutkan kata Winston yang tersemat di belakang namanya.Namun, sebisa mungkin pria itu mengabaikan dan mempersilahkan Hagen masuk ke dalam kediaman Winston yang sudah lama tidak ditempati. Akan tetapi, setelah skandal perselingkuhan keluarga Duncan, Amanda beserta beberapa orang yang berkaitan dengan wanita itu pun kembali lagi ke sana.Namun, tidak semua orang tahu akan hal tersebut. Karena itu mereka pun menutup mulut setiap orang, dan meminta media untuk diam.Bahkan, Camellia juga tidak mengetahui akan hal ini.Gadis itu layaknya anak terbuang yang dibiarkan hidup terlunta-lunta tanpa arah.Mengingat hal itu, tangan Hagen yang
Camellia menyeruput milk shakenya dengan sangat malas. Gadis itu bahkan tampak termenung dengan mata kosong yang memandang ke arah dinding.Sesekali dia menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan, layaknya orang yang lelah.Setelah sekian lama, gadis itu pun menyandarkan punggung pada kursi, sedangkan matanya mulai mengawasi pengunjung di sekitar.Tampaknya Lancester sangat padat oleh pengunjung dari berbagai kota. Hal itu dikarenakan sebuah pertandingan tinju bawah tanah yang akan dilaksanakan nanti malam oleh organisasi Red Cage di salah satu club mereka, yaitu Magnolia.Sayangnya Camellia tidak memiliki akses ke sana, padahal dia juga ingin melihat acara paling ditunggu-tunggu oleh setengah penduduk Lancester itu.“
Mata Camellia membulat ketika melihat Hagen berjalan menuju kafe tempatnya berada. Dengan kepala menoleh ke sekitar, gadis itu pun mencari-cari cara untuk keluar dari sana.Namun, dia tetap tidak menemukan jalan, sehingga gadis itu merasa terjebak begitu mendengar suara lonceng pada pintu kafe mulai berbunyi nyaring, dan sosok Hagen pun sudah berada di ambang pintu dengan pandangan terfokus ke meja yang dia tempati.Dengan tatapan gelisah, Camellia mengawasi Hagen yang berjalan perlahan ke arahnya.Kini, dia merasa de javu, karena mengingat sosok sang ibu yang tadinya juga melewati pintu dan jalan yang sama ketika mendekati meja.Dan saat pria itu tiba, kata pertama yang Blake Hagen ucapkan adalah; “Wanita itu bukan siapa-siapa, aku memberitahu agar kau tidak salah paham.&
Keduanya makan dalam diam. Namun, tidak lama setelahnya, Hagen pun menarik tangan Camellia begitu burger mereka habis sekitar sepuluh menit yang lalu.Dengan tatapan bingung, gadis itu menatap Hagen yang seolah hendak mengajaknya ke suatu tempat.“Lepaskan tanganku lebih dulu, baru aku mengikutimu,” ucap Camellia yang tidak pria itu dengarkan sedikit pun, membuat gadis itu melempar delikan, yang lagi-lagi tidak Hagen tanggapi.“Kau ingin menonton pertunjukan?” tanya pria itu tiba-tiba yang seketika mendiamkan Camellia.Beberapa kali mata gadis itu melirik ke arah Magnolia yang jalanannya sudah terlihat sepi. Tampaknya semua orang telah berada di dalam sana, menambah rasa penasaran gadis itu.Mengetahui a
Camellia memegangi lengan Hagen dengan erat, sedangkan kepalanya berputar melihat ke segala arah. Pada kerumunan orang di sekitar mereka yang hendak masuk ke dalam gedung Magnolia. Ketika seorang pria bertubuh besar hendak menabrak Camellia dari arah belakang, dengan refleks Hagen pun memeluk tubuh feminim itu. Sebuah tatapan mata menyala ia arahkan ke pria setengah mabuk yang mulai menyadari kesalahannya. “Ma-maaf kan aku,” gumam lelaki asing itu sembari berjalan mundur dan menjauh dengan sangat tergesa. Sementara itu, Camellia yang masih berada dalam pelukan Hagen, tampak meremas kemeja pria itu untuk menjaga keseimbangan tubuhnya yang tadi nyaris terjatuh. “Tetaplah di sampingku,” ucap Hagen dengan suara rendah, tepat d