Langkah kaki Camellia saat melintasi trotoar tampak lesu. Gadis itu bahkan menggunakan tas selempang di atas kepala untuk menghalau terik matahari yang perlahan meninggi.
Dan dengan menahan rasa lapar, Camellia pun mempercepat langkah.
Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang, karena dia merasa seakan sedang diikuti, tapi tetap saja tidak ada siapa-siapa di sana.
“Tenanglah, Camellia. Itu hanya imajinasimu saja,” bisiknya sembari terus berjalan.
Saat mendekati sebuah restaurant kecil, langkah Camellia terhenti. Wajahnya sedikit berbinar begitu mendapati iklan lowongan pekerjaan yang ditaruh tepat di depan jendela kaca.
Gadis itu melirik sebentar lowongan tersebut, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam dan berpapasan dengan salah satu pelayan wanita yang memiliki usia tidak jauh dengannya.
“Hay, bolehkah aku berbicara dengan manajermu?” tanya Camellia secara tiba-tiba yang menyebabkan wanita pelayan itu menatapnya dua
Tangan Hagen sedikit meregang begitu dia merasakan perlawanan Camellia melemah. Pria itu pun melepas lilitan lengan kekarnya dari tubuh gadis itu.Perlahan-lahan, dia pun mundur. Namun, tatapannya tidak sedikit pun lepas dari Camellia.“Kau benar-benar laki-laki yang tidak punya perasaan,” umpat gadis itu dengan tatapan berapi-api.Mata Hagen yang tadinya memandang biasa, berubah menjadi sedikit lebih tajam.“Ah, Princess, aku bahkan tidak mengatakan sesuatu yang dapat melukaimu,” ucapnya dengan senyuman miring.Ketika Camellia hendak mengatakan umpatan, tiba-tiba saja dia mendengar suara kriuk yang berasal dari perutnya sendiri. Hal itu membuat keduanya terdiam.
Tatapan Camellia terpaku pada pantry yang tidak berisi. Lagi-lagi dia dihadapkan pada ancaman kelaparan, dan hal ini membuatnya ingin menangis. Terutama ketika dia hanya menemukan setumpuk roti yang akan kadaluarsa beberapa hari lagi.Dengan tangan gemetar dan tubuh sedikit lemas, gadis itu menahan tangis yang hendak jatuh.Seharian mencari pekerjaan, tapi ternyata tidak semudah itu.“Aku harus bagaimana, Ayah,” bisiknya tercekat.Melihat hanya roti dan beberapa bungkus mie yang tersisa, Camellia tahu dia tidak punya pilihan saat ini.Tangan gadis itu baru saja hendak mengambil roti tersebut, ketika tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya berbunyi.Dengan dahi berkerut dan hati bertanya, gadis itu pun mengurungkan niat untuk makan, lalu menutup pintu kulkas pelan.Dia bergegas menuju pintu, hanya untuk mendapati Frank berdiri di hadapan.Senyum yang tadinya hendak merekah, berubah menjadi raut masam penuh ketidaksuk
Aroma kopi dan wangi mentega membangunkan Camellia. Gadis itu mengerjabkan mata beberapa kali, dan kepalanya pun berputar menatap sekitar dengan tatapan kebingungan. Pandangan pertamanya adalah langit-langit kamar yang sangat familiar, membuat kening gadis itu semakin berkerut heran.Begitu aroma yang tadi menyapa penciuman, kembali perut gadis itu berbunyi dengan denyutan perih.“Ouch,” ringisnya.Dia membenamkan kepala pada bantal sembari sedikit berguling-guling di atas kasur. “Ou .. ou … ou.”Gadis itu merengek hendak menangis, saat tiba-tiba terdengar suara maskulin yang datang dari ambang pintu.“Aku sudah memperingatkanmu, tapi kau dan keras kepalamu itu hanya menyiksa diri.”Seketika kepala Camellia berputar dan menatap ke arah sumber suara. Untuk sesaat mata gadis itu membulat. Dengan napas tercekat, Camellia berusaha untuk bangkit, namun perutnya lagi-lagi menahan dia tetap berbaring di ra
“Partner ranjang katanya?” sungut Camellia begitu dia mengunci pintu rumah. Sudah dua hari berlalu sejak saat itu, tetapi pesan pada secarik kertas yang Blake Hagen tinggalkan tidak pernah lepas dari isi kepala Camellia. Gadis itu bahkan memaki Hagen setiap kali ingatan akan pria itu hadir secara tiba-tiba. Dia merasa kesal luar biasa, karena pria itu tampak percaya diri bisa memiliki tubuhnya. “Tidak akan kubiarkan dia mendapat jawaban yang diinginkan,” kesal gadis itu sembari menghentak kunci pintu hingga terlepas. Dengan perasaan setengah marah, Camellia berbalik badan hendak menuju gerbang rumah. Hari ini dia akan mencari lowongan pekerjaan. Tidak ada kata menyerah dalam kamusnya. Baginya, Blake Hagen hanya ngengat pengganggu bukan sesuatu yang harus dia takuti. Dia bersumpah tidak akan menyerah pada pria itu. “Lihat saja, Tuan Tanpa Hati, aku akan buktikan padamu bahwa kau bukanlah seorang dewa!” Camellia melangkah
Langkah Hagen terdengar berat ketika dia melintasi ruangan kantor miliknya di pusat kota Lancester. Gedung lima puluh lantai yang dia beri nama Blake Tower itu tampak berdiri gagah di antara rimba bangunan beton lainnya.Athena, sekretaris pribadi Hagen tampak pucat pasih begitu melihat kedatangannya dari arah lift. Wanita dua puluh lima tahun itu tergagap dan langsung mengejarnya dengan gesture gelisah.“Pa-Pak CEO,” panggil wanita itu halus dengan tangan saling bertaut.Dia tampak sengaja menghalangi langkah Hagen yang hendak menuju ruang kerja pribadi.Mendapati gelagat Athen yang familiar, Hagen mengerti apa yang terjadi, membuatnya menyipitkan mata hingga tangannya yang berada di saku celana mengepal seketika.Langkah kakinya yang lebar pun terhenti, dan dengan tatapan setajam belati, dia melirik ke arah pintu dan Athena bergantian.“Apa si brengsek itu melakukannya lagi di ruanganku?”Suara Hagen terdenga
Beberapa kali Camellia memukuli ranjang begitu mengingat kembali apa yang telah dia lakukan pada Blake Hagen saat di terminal. Ingatan akan insiden penamparan pada wajah maskulinnya membuat gadis itu ingin bersembunyi beberapa waktu.“Apa yang kau lakukan, bodoh,” sungutnya sembari membenamkan kepala pada bantal.“Bisa-bisanya kau melakukan itu. Bagaimana bila dia membalasmu dengan sesuatu yang tidak terduga,” kutuk Camellia sembari menggigiti kuku jempolnya gugup.Dia mengingat-ingat lagi kejadian tadi. Saat itu Blake Hagen dan Camellia sama-sama terkejut setelah tangan feminimnya mendarat di permukaan pipi maskulin pria itu.Bahkan, waktu seakan berhenti sesaat. Namun, suara tercekat dari arah mobil pria itu menyadarkan keduanya. Asisten keamanan Hagen yang sejak tadi diam di balik kemudi akhirnya keluar dan mendekat, akan tetapi suara Hagen yang tegas menghentikan langkahnya.“Tetaplah di dalam, tidak ada yang terja
Camellia mencoba menghubungi Bella saat malam setelah insiden penamparan itu, dan dari pembicaraan panjang keduanya, sahabatnya itu pun memberikan satu saran yang sangat beresiko. “Apa maksudmu?” tanya Camellia dengan nada sedikit tidak percaya akan usul sahabatnya. Terdengar tarikan napas lelah di seberang sambungan, membuat Camellia merasa bersalah. Dia sudah banyak meminta bantuan pada satu-satunya teman yang dia punya, dan mendengar Bella menarik napas, rasanya Camellia ingin melakukan hal yang sama. “Dengar, kau tidak akan tahu bila tidak mencoba. Jadi, ini adalah jalan terakhir bila kau memang ingin mencari pekerjaan,” ucap Bella dengan percaya diri. “Lagi pula, aku sangat mengenal laki-laki ini. Dia pasti akan membantumu. Percayalah padaku.” Mendengar itu, Camellia berjalan mengitari ruangan kamarnya yang nyaris kosong dari perabotan. Beberapa kali dia menggigit bibir bagian bawah sembari melirik ke arah jendela. Entah m
Camellia menatap ruangan yang penuh dengan pakaian kotor di lantai dan sofa. Dia bahkan melihat dengan horror ke sekitar, seolah-olah serangga dapat muncul secara tiba-tiba dari balik benda-benda yang berserakan di sana.“Apa yang sudah kulakukan?” bisik gadis itu sembari mengedarkan pandangan.Dengan sapu dan beberapa alat kebersihan di tangan, Camellia pun berjalan pelan memasuki ruangan yang terlihat seperti tempat penyiksaan baginya.Dia hendak melangkah lebih jauh, saat tiba-tiba saja kaki gadis itu menginjak sesuatu yang lembek. Dan dengan menahan napas, dia pun menunduk perlahan hendak melihat apa yang baru saja dipijak tanpa sengaja.Napas tertahannya kemudian berubah menjadi jeritan kecil begitu dia menyadari bahwa benda lunak itu adalah tumpahan pudding berwarna merah darah yang berceceran di lantai.“Oh … my god,” gumamnya dengan tubuh menggigil.Seketika dia merasa sangat lemas, karena di temp