Mobil melambat, berbelok tajam ke sebuah area yang diterangi oleh beberapa lampu sorot besar. Bianca terkesiap, napasnya tertahan.
Bukan gedung, bukan hotel, melainkan sebuah lapangan baseball yang sangat luas dan kosong membentang di hadapannya.
Tribun penonton terhampar di kejauhan, dan di tengahnya, rumput hijau yang terawat membentang di bawah cahaya lampu. Udara terasa dingin dan segar, jauh dari pengapnya klub, dan keheningan yang menyelimuti tempat itu terasa monumental setelah hiruk pikuk yang baru saja ia tinggalkan.
Keiran memarkir mobil di pinggir lapangan, mesin dimatikan.
Suara jangkrik malam dan desiran semilir angin menjadi satu-satunya melodi yang menyambut mereka.
Keheningan itu begitu menusuk, sebuah kontras yang mencolok dari tempat mereka berasal. Ia menoleh ke arah Bianca, matanya berkilau dengan hiburan yang tenang.
"Kejutan?" tanyanya, suaranya mengandung nada menggoda yang sama sekali tidak mesum. Ini adalah tantangan baru, sebuah janji petualangan yang berbeda.
Bianca menatap lapangan baseball di depannya, lalu kembali menatap Keiran.
Alisnya terangkat, ekspresinya antara bingung, terkejut, dan sedikit geli. Ini sungguh... tidak terduga.
***
Seketika, semua fantasi erotis yang berputar di kepalanya menguap begitu saja, digantikan oleh rasa penasaran yang aneh dan semacam... kegembiraan.
"Lapangan baseball?" Bianca akhirnya memecah keheningan, tawa kecil meluncur dari bibirnya.
Senyumnya kini tulus, bukan lagi paksaan atau kecemasan yang mendominasi sejak ia memasuki klub. "Ini benar-benar... di luar ekspektasiku."
Keiran membalas senyumnya, matanya berbinar geli.
Aura misteriusnya tidak berkurang, justru semakin menarik karena sisi tak terduga ini.
Ia membuka pintu mobil dan keluar. "Ayo, aku akan tunjukkan sesuatu yang bisa menghilangkan stres lebih baik daripada White Russian."
Bianca mengikutinya keluar, merasakan udara malam yang sejuk.
Mereka berjalan melintasi rumput yang terawat baik menuju sebuah mesin pemukul bola otomatis di dekat home plate.
Keiran mendekati panel kontrol, menekan beberapa tombol, dan mesin itu berdengung hidup.
"Pernah mencoba ini?" tanya Keiran, melirik Bianca.
Bianca menggeleng. "Tidak pernah."
"Bagus," Keiran meraih sebuah tongkat baseball aluminium dari tumpukan di samping mesin dan menyerahkannya ke tangan Bianca. "Ini akan jadi pengalaman pertamamu, langsung dari ahlinya."
Ia berdiri di belakang Bianca, mengoreksi posisi pegangan tangan Bianca pada tongkat.
Jari-jari Keiran yang kuat menyentuh jemari Bianca, membimbingnya.
Kehangatan tubuh Keiran, yang kini berdiri begitu dekat di belakangnya, memancar. Bianca bisa merasakan napasnya di tengkuk, dan aroma kayu Keiran kembali merasuk.
Sensasi ini berbeda dari godaan erotis di klub; ini lebih ke arah keintiman instruktif, namun tetap dengan sentuhan sensual yang samar.
"Rilekskan bahumu. Mata fokus ke mesin. Bayangkan itu semua tekanan di kantormu," bisik Keiran, suaranya pelan dan menginstruksikan.
Bianca menelan ludah. "Seperti apa?" gumamnya, suaranya sedikit serak.
Keiran terkekeh pelan. Ia sedikit mendorong pinggul Bianca agar posisinya lebih pas. "Seperti klien rewel yang tak pernah puas. Atau deadline yang tiba-tiba dipercepat. Rasakan amarahnya. Salurkan ke tongkat ini."
Bola pertama meluncur keluar dari mesin. Bianca mengayunkan tongkatnya dengan canggung, meleset jauh. Bola kedua, ketiga, sama saja.
Tapi setiap kali, Keiran dengan sabar mengoreksi posisinya; sentuhannya di pinggang atau bahunya terasa menguatkan, bukan mengintimidasi.
"Kenapa ini susah sekali?" gumam Bianca, menyesal setelah ayunan ketiga.
"Karena kamu berpikir terlalu keras," Keiran menjawab pelan, bibirnya nyaris menyentuh telinga Bianca. "Lupakan brief dan deadlinemu sebentar. Lupakan apa yang harusnya terjadi. Rasakan saja."
Bianca menarik napas dalam. Dia memang terlalu memikirkan teknik, seperti saat dia berhadapan dengan software desain. Semua kemarahannya, frustrasinya pada pekerjaan, pada hidupnya yang terasa datar, kini bergelora di dada. Kali ini, dia tidak akan berpikir. Dia akan merasa.
Kemudian, pada ayunan kelima, DUK!
Tongkat itu menghantam bola dengan sempurna. Bola melesat jauh ke lapangan, menghilang ditelan kegelapan malam.
"Ya!" seru Bianca, terkejut sekaligus girang. Ia berbalik menghadap Keiran, matanya berbinar senang.
Seringai lebar terukir di wajah Bianca. "Aku kena! Aku benar-benar memukulnya!"
Keiran tertawa. Suara tawanya dalam, merdu, dan benar-benar tulus. Itu bukan tawa menggoda seperti di klub, melainkan tawa pria yang menikmati momen. "Sudah kubilang, kan?" ucapnya, "Ini lebih baik dari White Russian."
Bianca tertawa, napasnya sedikit terengah karena semangat. Kegembiraan yang murni dan lepas dari segala kepura-puraan membanjiri dirinya. Ini terasa lebih nyata, lebih membebaskan daripada apa pun yang ia cari di klub.
Ia menatap Keiran, melihat gurat senyum di wajah pria itu, kilatan di matanya yang kini terlihat lebih ramah. Di bawah cahaya lampu sorot yang remang, Keiran tampak begitu memesona.
"Jadi," Keiran memecah keheningan yang nyaman, matanya terpaku pada senyum lebar Bianca. "Bagaimana rasanya? Sudah lebih baik dari frustrasi pekerjaanmu?"
Bianca tertawa, napasnya sedikit terengah karena semangat. Kegembiraan yang murni dan lepas dari segala kepura-puraan membanjiri dirinya.
Ini terasa lebih nyata, lebih membebaskan daripada apa pun yang ia cari di klub. Ia menatap Keiran, melihat gurat senyum di wajah pria itu, kilatan di matanya yang kini terlihat lebih ramah. Di bawah cahaya lampu sorot yang remang, Keiran tampak begitu memesona.
Keiran memecah keheningan yang nyaman, matanya terpaku pada senyum lebar Bianca. "Jadi, bagaimana rasanya? Sudah lebih baik dari frustrasi pekerjaanmu?"
Bianca tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Jauh lebih baik. Siapa sangka, terapi stresku ada di lapangan baseball tengah malam, dengan orang asing. Ini... Gila." Ia menggelengkan kepala, geli.
Keiran mendekat selangkah, tangannya terulur untuk mengambil tongkat dari genggaman Bianca.
Jemari mereka bersentuhan lagi, dan kali ini, sengatan itu terasa akrab. "Gila yang menyenangkan, kan? Mungkin kau memang butuh sedikit kegilaan dalam hidupmu."
Tanpa pikir panjang, didorong oleh euforia dan rasa syukur yang aneh, Bianca melangkah maju. Ia meraih wajah Keiran dengan kedua tangannya, dan menciumnya.
Bibirnya lembut, sedikit dingin karena udara malam, namun memancarkan semua kegembiraan dan hasrat yang baru saja membuncah dalam dirinya.
Keiran terkesiap sesaat. “Dia menciumku? Ini tidak terduga.”
Namun, ia dengan cepat merespons, membalas ciuman Bianca dengan kelembutan yang dalam, namun gairah yang kuat.
Tangan Keiran bergerak ke pinggang Bianca, menariknya lebih dekat, memperdalam ciuman mereka di keheningan lapangan baseball yang sepi, di bawah bintang-bintang yang kini bertebaran jelas di langit malam.
“Ini gila, aku mencium pria yang baru kutemui di tengah lapangan kosong, dan rasanya... sempurna.” pikir Bianca, napasnya terengah di sela ciuman.
Semua keraguan sirna, digantikan oleh sensasi mendebarkan yang tak pernah ia rasakan.
Keiran melepaskan ciuman mereka perlahan, keningnya menyentuh kening Bianca, napas mereka berbaur. Ia menatap dalam ke mata Bianca, ada kilatan kepuasan dan sesuatu yang lebih "Aku sudah menduga kau akan melakukan sesuatu yang tak terduga, Bianca, tapi ini jauh lebih baik." bisiknya, suaranya serak karena gairah.
Bianca tersenyum, pipinya merona. "Aku rasa aku memang butuh sedikit kegilaan," bisiknya membalas, matanya berbinar. "Kau benar tentang itu."
Keiran terkekeh pelan, bibirnya menyentuh bibir Bianca lagi dalam kecupan ringan.
“Dia benar-benar sesuatu, jauh lebih menarik dari yang kupikirkan.” pikir Keiran.
Mendengar pertanyaan Ibunya, Keiran menundukkan kepala. Pukulan dan kemarahan Ayahnya, ditambah kondisi Bianca, telah menguras semua energi dan strateginya. Ia, yang biasanya selalu punya rencana, kini merasa kosong.Keiran menghela napas panjang. "Aku... tidak tahu," jawab Keiran, suaranya serak. Ini adalah pengakuan kelemahan yang sangat jarang keluar dari mulutnya. "Kepalaku kosong, maka dari itu aku kesini." Keiran menutup matanya dengan telapak tangan, tidak ingin ada yang melihatnya begitu hancur.Melihat putranya yang benar-benar terpukul, Ibu Keiran menghela napas. Ia menoleh ke arah seorang asisten rumah tangga yang baru muncul, seorang wanita paruh baya yang tampak begitu menghormati Ibu Kieran. "Tolong bawa Nona Bianca ke kamarnya," perintahnya dengan lembut.Pintu rumah ada yang mengetuk. Ibu Keiran membuka pintu. Dua perawat datang. Dengan membawa tas besar berisi alat medis yang Bianca perlukan. “Kami dihubungi Dokter Lim, dan Tuan Kieran.&rd
Keiran tahu ia harus membuat langkah yang tidak bisa diprediksi siapapun. Semua ini demi keamanan Bianca. Rumah sakit, dengan segala keamanannya, masih terasa terlalu terbuka. Penthouse-nya sendiri, yang sudah Clara tandai, juga tidak bisa menjadi pilihan lagi. Ia butuh tempat yang benar-benar aman, tempat yang tidak akan pernah terpikirkan oleh orang-orang yang mengintainya.Tangan Keiran memijat dagunya. Hanya ada satu tempat.Keiran melangkah, mencari dokter itu yang sedang duduk di ruangannya.“Aku butuh sesuatu, aku berencana membawa Bianca ke tempat itu.” wajah dan nada bicara Kieran begitu tegang.Dokter itu menatap Kieran dengan serius. Seolah mencari pilihan lain. Sayangnya, Dokter Lim harus sependapat dengan Kieran, bahwa tempat “itu” adalah tempat teraman bagi Bianca sekarang.“Pastikan tidak ada yang tahu Bianca sudah dipindah.” Kieran mencondongkan tubuhnya agar suaranya terdengar jelas oleh Dokter L
Belum pernah ada yang bicara seperti itu pada Keiran. Ia telah begitu lama terbiasa memegang kendali, memikul semua tanggung jawab sendirian. Pundaknya terbiasa berat.Namun kini, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua hal harus ia urus sendiri. Rupanya ada seseorang yang begitu bisa ia andalkan. Padahal Bianca tidak lebih besar daripada dirinya, bahkan lebih muda. Tapi, gadis itu berhassil memberikan pengertian tentang hidup dengan cara yang tak terduga.Tubuh Keiran seolah berhenti bekerja, ia tidak bisa menjawab ucapan Bianca.Memang benar, ia tidak bisa mengembalikan waktu, tidak bisa mencegah pukulan Robi, tidak bisa mengendalikan takdir. Semua rencana, semua kekuatannya, terasa tak berarti di hadapan kenyataan ini. Ia hanya bisa memeluk Bianca, merasakan kehangatan tubuhnya, dan mendengarkan napasnya.Bianca merasakan ketegangan di tubuh Keiran, memahami pergolakan batin pria itu. Ia sendiri pernah merasakan hal yang sama. Bianca mengerti, m
Beberapa jam kemudian, Keiran kembali ke apartemennya untuk mengambil beberapa berkas penting sebelum kembali ke rumah sakit. Ia mendorong pitnu dan melihat Clara sedang menunggunya di ruang tamu. Wanita itu duduk anggun, dengan senyum manis yang dipaksakan."Keiran," sapa Clara, nadanya manja. "Aku mengkhawatirkanmu. Kudengar ada masalah besar."Keiran melirik sekilas dengan tatapan dingin. "Pergi," perintahnya.Clara tidak gentar. Ia bangkit, mendekati Keiran, memegang sebuah gelas kecil berisi cairan berwarna gelap. "Aku hanya ingin membantumu," katanya, matanya memancarkan kepura-puraan. "Kau pasti lelah. Minumlah ini. Ini bisa menenangkan syarafmu. Resep rahasia, sangat efektif."Ia mengulurkan gelas itu ke Keiran. Senyumnya memang terlihat manis , tapi matanya begitu licik.Keiran menatapnya semakin dalam. “Berani-beraninya kau masuk ke tempatku, Clara.” Pria itu, mendorong tubuh Clara dengan satu jarinya. Ia tahu Clara tidak pern
Setelah penantian yang melelahkan dan menguras emosi. Kondisi Bianca naik turun, kadang sangat stabil kadang juga mengkhawatirkan.Namun ketika mata Bianca perlahan terbuka. Kegelapan dan rasa pening masih menyelimuti, perlahan ia merasakan cahaya samar dan suara alat-alat medis.Bianca melihat sekeliling, bingung. Aroma antiseptik khas rumah sakit langsung memberikan tanda di mana ia berada. Ia mencoba menggerakkan lengannya, tapi terasa kaku dan nyeri.“Bianca.” Suara serak Keiran terdengar begitu menenangkannya.Kieran menekan tombol memanggil dokter dan perawat dengan cepat.Saat pandangan Bianca mulai fokus, ia melihat sosok yang familiar duduk di samping ranjangnya. Pria itu terlihat lelah, dengan bayangan gelap di bawah matanya, rambutnya sedikit berantakan. Tetapi, tatapannya lekat padanya, dipenuhi kelegaan dan sesuatu yang jelas sulit Bianca jelaskan.Bianca menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia begitu lega. Sosok K
Sementara itu di markas. Semua jaringan Keiran bergerak cepat melacak Robi.Namun, pria itu pintar menghindari. Informasi terakhir yang didapat Fael adalah Robi berhasil melarikan diri ke luar negeri.Fael menatap ponselnya dengan ragu, lalu menekan nomor Kieran.Tak butuh lama sampai Kieran mengangkatnya “Berikan laporan, Fael.”"Dia sudah di luar perbatasan, Keiran," lapor Fael, suaranya tegas langsung kesumbernya. "Melarikan diri menggunakan jalur ilegal."Keiran menggeram, kepalanya menoleh ke arah jendela. Robi telah lolos, untuk saat ini.“Lanjutkan.”"Ada sesuatu yang aneh, Keiran," lanjut Fael, nadanya ragu. "Saat melacak jejaknya, kami menemukan sesuatu. Robi tidak hanya melarikan diri dengan membawa aset-asetnya, tapi juga... dia membawa serta identitas Bianca."Mata Keiran melebar. "Identitas Bianca? Maksudmu apa?""Kami menemukan salinan data pribadi Bianca," jelas Fael. "Kartu identitas, paspor, bahkan