LOGINKeiran kembali mendekat, bibirnya menyentuh bibir Bianca lagi.
Ciuman mereka berlanjut, lebih dalam, lebih mendesak. Di tengah gelombang sensasi itu, saat ciuman mulai semakin intens, mata Bianca tanpa sengaja terbuka.
Pandangannya jatuh pada tangan Keiran yang memeluk pinggangnya. Dan di jari manis tangan kirinya, tersemat sebuah cincin gelap dengan desain berbeda yang unik. Bukan cincin pernikahan tradisional, tetapi jelas ada sebuah cincin yang dikenakan di jari itu.
Napas Bianca tercekat. Seketika, kilasan realita menyambar benaknya, merobek gelembung euforia yang menyelimutinya. Ia langsung menarik diri, memutuskan ciuman itu dengan tiba-tiba.
Wajahnya memerah, bukan karena gairah, melainkan karena rasa malu dan kekonyolan yang menyengat. “Bodohnya aku, ia mengutuk diri sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku melupakan ini?”
Keiran sedikit terkejut dengan penolakan mendadak Bianca.
Alisnya terangkat, matanya yang dalam menatap Bianca dengan kebingungan yang samar.
"Ada apa?" tanyanya, suaranya rendah dan sedikit khawatir.
Bianca menunjuk cincin di jari Keiran, meskipun matanya tak berani menatapnya langsung. "Itu. Cincin itu..." ucapnya, suaranya bergetar.
Keiran mengikuti arah pandang Bianca, lalu tersenyum tipis, senyum yang kini lebih santai dan menenangkan, seolah membaca semua kekhawatiran yang baru saja merayap di benak Bianca. Ia mengerti. Ia menarik tangannya dari pinggang Bianca, memutar jarinya yang bercincin dengan gerakan pelan, seolah ingin memastikan Bianca melihatnya dengan jelas.
"Oh, ini?" kata Keiran, nadanya ringan, memecah keheningan yang canggung. "Jangan salah paham, Bianca. Ini hanya aksesori. Sebuah cara efektif untuk menjauhkan wanita-wanita 'tertentu' yang terlalu agresif di tempat-tempat seperti klub." Ia melirik Bianca dengan senyum geli, dan matanya memancarkan cahaya nakal yang mengusir ketegangan. "Anggap saja sebagai tanda 'jangan mendekat' yang cukup efektif, agar aku tidak perlu repot menolak mereka secara verbal, atau lebih buruk lagi, mengusir mereka."
Bianca menatap cincin itu, lalu beralih ke mata Keiran yang tenang. “Jadi, itu hanya trik? Sebuah perisai?”
Rasa malu yang menyengat tadi perlahan digantikan oleh kelegaan yang luar biasa, bercampur dengan sedikit kekaguman atas kecerdikan Keiran. Ia tidak pernah berpikir tentang cara itu untuk menghindari gangguan.
"Itu... itu cukup cerdik, aku kira..." gumam Bianca, tawa kecil kembali meluncur dari bibirnya, kali ini tawa yang benar-benar lepas dari beban.
Ia tidak melanjutkan kalimatnya, terlalu malu untuk mengakui bahwa ia sempat berpikir Keiran sudah memiliki ikatan serius.
Keiran terkekeh pelan, suaranya dalam dan menyenangkan di telinga Bianca. "Kau kira aku sudah punya istri dan anak di rumah?" Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap Bianca dengan tatapan geli yang lembut. "Jangan khawatir, Bianca. Aku tidak akan membawamu ke sini, di tengah lapangan baseball yang sepi ini, jika aku memiliki komitmen yang serius dengan orang lain. Aku lebih... jujur dari itu." Ia berhenti sejenak, tatapannya melembut. "Dan aku tidak akan pernah melakukan sesuatu yang bisa membuat wanita sebaik dirimu merasa tidak nyaman atau bersalah."
Udara malam yang dingin terasa hangat karena percakapan itu. Kelegaan membanjiri Bianca, dan ia merasakan koneksi baru yang lebih dalam dengan Keiran.
Pria itu tidak hanya menarik, dia juga penuh kejutan, jujur, dan memiliki cara unik untuk menenangkan kekhawatirannya.
Penjelasan itu, ditambah dengan tatapan mata Keiran yang jujur dan sedikit jenaka, meluruhkan ketegangan dalam diri Bianca. Rasa malunya berangsur sirna, digantikan oleh gelombang kelegaan. Ia menatap cincin itu lagi, kini dengan perspektif yang berbeda.
Memang, desainnya terlalu unik untuk cincin pernikahan biasa, dan memang ada kesan 'penghalang' di sana. Keiran benar-benar punya cara tak terduga dalam melakukan segala sesuatu.
Senyum lega terukir di bibir Bianca. "Jadi, itu semacam... tameng?" tanyanya, nada suaranya kembali menggoda.
"Kurang lebih begitu," jawab Keiran, suaranya rendah dan dalam, matanya kembali terpaku pada bibir Bianca yang sedikit membengkak karena ciuman sebelumnya.
Ada kilatan rasa ingin tahu yang dalam di sana, seolah bibir itu menyimpan rahasia yang ingin dia pecahkan. Ia mengangkat tangannya, jempolnya mengusap lembut sudut bibir Bianca, membersihkan jejak ciuman mereka.
Gerakannya sangat intim, memicu kembali gelombang sensasi yang sempat terinterupsi, kini lebih kuat dan mendesak.
Keiran mencondongkan tubuhnya lebih jauh, seluruh perhatiannya tercurah pada Bianca.
Matanya tidak lepas dari mata Bianca, menyelami setiap ekspresi kecil, seolah mencoba membaca apa yang bergejolak di balik tatapan wanita itu. Ada keinginan untuk melakukan ciuman lain di sana, lebih dalam, lebih terdorong oleh kepastian yang kini terasa tak terbantahkan.
Bibir mereka hampir bersentuhan, napas mereka berbaur, dan Bianca bisa merasakan debaran jantungnya sendiri menggebu, membalas irama detak jantung Keiran yang terasa dekat.
Keheningan yang menyelimuti mereka di lapangan baseball yang luas itu terasa semakin pekat, menahan napas, seolah menunggu kelanjutan dari momen ini.
"Kau tahu, kau jauh lebih menarik daripada yang kau tunjukkan di awal." bisik Keiran, suaranya serak karena kedekatan mereka.
“Dia melihatku. Dia benar-benar melihatku, bukan hanya topeng yang kutunjukkan di kantor atau di klub. Dan rasanya... luar biasa.” Pikir Bianca, jantungnya berdegup semakin kencang.
Tubuhnya menegang dalam antisipasi, siap untuk apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Ketika tiba-tiba...
Ponsel Keiran yang berada di saku celananya mulai bergetar kencang. Ia menghela napas pelan, sedikit kesal karena interupsi itu.
Namun, profesionalisme yang melekat pada dirinya langsung mengambil alih. Ia menarik dirinya sedikit dari Bianca, cukup untuk meraih ponsel dari sakunya.
Layar yang menyala terang menampakkan sebuah nama.
Keiran melirik Bianca, pandangannya meminta maaf namun juga menunjukkan urgensi.
"Sebentar," ucap Keriran, nadanya lugas.
Kekecewaan menyergap Bianca seperti gelombang dingin. Bibir mereka hanya terpaut sehelai napas, jantungnya sudah berpacu dalam antisipasi, dan kini terputus begitu saja.
Sensasi membara di tubuhnya mendadak padam, meninggalkan kekosongan yang hampa. Ia menelan ludah, berusaha menyembunyikan kekesalan yang samar, tetapi matanya mungkin mengkhianati perasaannya yang mendalam.
Di dalam ruang operasi, setelah Keiran dipaksa keluar, Dokter dan timnya bekerja keras untuk menstabilkan kondisi Bianca.Mereka segera menekan kantung darah, memastikan transfusi berjalan lancar untuk menaikkan tekanan darah Bianca yang anjlok.Pada saat yang sama, selimut penghangat dan pengaturan suhu ruangan dinaikkan untuk menaikkan suhu tubuh Bianca yang drop.Dalam kondisi setengah sadar, Bianca hanya ingin semua penderitaan ini segera berakhir. Ia ingin kedamaian.Pikirannya melayang pada Keiran. Ia merindukan Keiran, suaranya, kehadirannya. Rasa rindu itu menjadi satu-satunya yang membuatnya tidak boleh menyerah.Dokter akhirnya berhasil menstabilkan Bianca.“Pindahkan pasien ke ruang ICU.” Dokter melepas sarung tangannya. “Aku akan bicara pada walinya terlebih dulu.”Dokter akhirnya keluar dari ruangan untuk menemui Keiran yang masih berdiri tegak dengan kepala yang menempel pada dinding." Kei
Keiran kembali ke ruangan Bianca. Melihat Dokter, Ibunya dan beberapa tim medis yang menunggu membuat perut Keiran mulas. Dia seperti dipaksa melakukan hal yang paling ia benci.“Jadi bagaimana, apa kau menyetujuinya?” tanya Dokter mencondongkan tubuhnya kearah Keiran.Keiran menatap Bianca sejenak. “Baiklah.” Ia menatap Dokter itu, atau lebih tepatnya melotot pada sang Dokter. “Asalkan aku ada disana. Disamping Bianca.”Dokter itu langsung menggeleng. “Itu tidak mungkin!” suaranya meninggi beberapa oktaf.Keiran mengedikan bahu sambil berjalan mendekati Bianca. “Kalau begitu aku tidak akan memberikan ijin.”Dokter dan timnya saling bertukar pandang. Sang Dokter memiliki reputasi yang begitu bagus sebagai Dokter yang selalu mengutamakan pasiennya. Apalagi kasus langka seperti Bianca membuatnya bersemangat. Ia tidak ingin melepas kesempatan ini.“Baiklah, tapi janji kau hanya melihat. Tanpa menginterupsi kami.” Akhirnya sang Dokter bica
Sore itu, Keiran mendengarkan dengan saksama setiap penjelasan dan saran dari Dokter Lim.“Meskipun Bianca menunjukkan kemajuan, ia membutuhkan terapi intensif dan rehabilitasi khusus untuk memaksimalkan peluangnya memulihkan penglihatan dan kemampuan bicaranya.” Jelas Dokter Lim dengan santai."Baik, aku perlu rekomendasimu.” Balas Keiran yakin.“Sebenarnya saya sudah memiliki jawabannya.” Ia memberikan secarik kertas, berisi nama dan tempat rehabilitasi yang dimaksud.Keiran mengangguk mantap, tanpa menunda waktu, Keiran mulai mengatur segalanya. Ia akan membawa Bianca ke pusat rehabilitasi terbaik, tidak peduli seberapa jauh atau mahal itu. Ia juga akan memastikan Bianca memiliki dukungan penuh.Keiran mengambil ponselnya, menghubungi dua anak buahnya yang paling loyal dan terpercaya. Mereka akan bertindak sebagai pengawal dan pendukung tambahan. Tentu saja, orang tuanya juga akan ikut mendampingi. Dengan persiapan
Keiran duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Bianca. Ia tahu jalan di depan akan sangat panjang dan sulit. Pemulihan Bianca mungkin tidak akan pernah sempurna. Mungkin penglihatannya tidak akan kembali, mungkin suaranya takkan pulih sepenuhnya. Namun, itu tidak masalah bagi Keiran.Bianca tetaplah Bianca, ia akan menjadi mata untuk gadis itu, ia akan menjadi mulut untuk gadis itu. Meski tak bisa mengucapkannya, Keiran tidak memiliki niat untuk meninggalkan Bianca sama sekali.Sebaliknya, tekadnya untuk terus menjaga Bianca semakin kuat. Ia akan mendedikasikan hidupnya untuk Bianca, untuk memastikan wanita ini mendapatkan semua dukungan, dan semua cinta yang ia butuhkan.Ibu Keiran sudah pergi, katanya ada sesuatu yang harus ia urus.Keiran menaruh telapak tangan Bianca di dagunya. “Aku sudah membersihkan bulu wajahku. Kau benci itu,kan?”Bianca mencoba lagi, mengerahkan sekuat tenaga, tetapi tidak ada suara yang keluar dari tenggoro
Beberapa hari kemudian, keajaiban yang Keiran nantikan akhirnya tiba. Mata Bianca perlahan terbuka, namun yang ia dapati hanyalah kegelapan.Panik segera mencengkeramnya. Ia mencoba menggerakkan tangannya, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa memberinya petunjuk.Dalam kepanikannya, tangan Bianca meraba-raba dan hampir mencabut selang terpenting yang menopang hidupnya. Keiran, yang selalu berjaga di sisinya, segera menyadarinya.Dengan cepat, ia menahan tangan Bianca, mencegahnya melakukan hal yang membahayakan.“Hei, tenang. Aku disini.” Ia meremas tangan itu. Seketika Bianca menghela napas, tak sanggup bicara. Rasa sedih yang mendalam membanjiri hati Keiran melihat kepanikan dan ketidakberdayaan Bianca.Dokter Lim, yang datang bergegas masuk. Ia dengan tenang menjelaskan kondisi Bianca. "Nona Bianca, harap tenang. Anda baru saja mengalami kecelakaan serius. Ada sedikit... kerusakan pada saraf optik Anda karena benturan. Untuk sementar
Hari-hari berlalu dengan lambat. Keiran tidak pernah beranjak dari sisi ranjang Bianca di ICU.Ia duduk di sana, terpaku, seolah kehadirannya bisa menjadi jangkar bagi jiwa Bianca yang terombang-ambing antara hidup dan mati. Ia tidak peduli dengan luka-lukanya sendiri, dengan rasa lapar atau lelah.Ia menolak semua tawaran untuk meringankan bebannya, baik dari Ibunya, Ayahnya, maupun siapa pun. Mereka mencoba membujuk Keiran untuk beristirahat, untuk makan, tetapi Keiran menolak dengan tegas.Ia terus berbicara pada Bianca, memohon agar wanita itu kembali, mengancam dengan kalimat mengerikan jika Bianca meninggalkannya.Keiran, sang "hewan buas" yang selalu terkontrol, kini tidak konsisten dalam kesedihannya, terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Dia hanya memohon pada Bianca agar tidak meninggalkannya.Karena jika Bianca pergi, Keiran merasa tidak ada artinya untuk hidup lagi.***Dokter Lim dan tim medis terus memantau Bian







