Share

05.

Author: silent-arl
last update Last Updated: 2025-07-24 13:50:13

Keiran kembali mendekat, bibirnya menyentuh bibir Bianca lagi.

Ciuman mereka berlanjut, lebih dalam, lebih mendesak. Di tengah gelombang sensasi itu, saat ciuman mulai semakin intens, mata Bianca tanpa sengaja terbuka.

Pandangannya jatuh pada tangan Keiran yang memeluk pinggangnya. Dan di jari manis tangan kirinya, tersemat sebuah cincin gelap dengan desain berbeda yang unik. Bukan cincin pernikahan tradisional, tetapi jelas ada sebuah cincin yang dikenakan di jari itu.

Napas Bianca tercekat. Seketika, kilasan realita menyambar benaknya, merobek gelembung euforia yang menyelimutinya. Ia langsung menarik diri, memutuskan ciuman itu dengan tiba-tiba.

Wajahnya memerah, bukan karena gairah, melainkan karena rasa malu dan kekonyolan yang menyengat. “Bodohnya aku, ia mengutuk diri sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku melupakan ini?”

Keiran sedikit terkejut dengan penolakan mendadak Bianca.

Alisnya terangkat, matanya yang dalam menatap Bianca dengan kebingungan yang samar.

"Ada apa?" tanyanya, suaranya rendah dan sedikit khawatir.

Bianca menunjuk cincin di jari Keiran, meskipun matanya tak berani menatapnya langsung. "Itu. Cincin itu..." ucapnya, suaranya bergetar.

Keiran mengikuti arah pandang Bianca, lalu tersenyum tipis, senyum yang kini lebih santai dan menenangkan, seolah membaca semua kekhawatiran yang baru saja merayap di benak Bianca. Ia mengerti. Ia menarik tangannya dari pinggang Bianca, memutar jarinya yang bercincin dengan gerakan pelan, seolah ingin memastikan Bianca melihatnya dengan jelas.

"Oh, ini?" kata Keiran, nadanya ringan, memecah keheningan yang canggung. "Jangan salah paham, Bianca. Ini hanya aksesori. Sebuah cara efektif untuk menjauhkan wanita-wanita 'tertentu' yang terlalu agresif di tempat-tempat seperti klub." Ia melirik Bianca dengan senyum geli, dan matanya memancarkan cahaya nakal yang mengusir ketegangan. "Anggap saja sebagai tanda 'jangan mendekat' yang cukup efektif, agar aku tidak perlu repot menolak mereka secara verbal, atau lebih buruk lagi, mengusir mereka."

Bianca menatap cincin itu, lalu beralih ke mata Keiran yang tenang. “Jadi, itu hanya trik? Sebuah perisai?”

Rasa malu yang menyengat tadi perlahan digantikan oleh kelegaan yang luar biasa, bercampur dengan sedikit kekaguman atas kecerdikan Keiran. Ia tidak pernah berpikir tentang cara itu untuk menghindari gangguan.

"Itu... itu cukup cerdik, aku kira..." gumam Bianca, tawa kecil kembali meluncur dari bibirnya, kali ini tawa yang benar-benar lepas dari beban.

Ia tidak melanjutkan kalimatnya, terlalu malu untuk mengakui bahwa ia sempat berpikir Keiran sudah memiliki ikatan serius.

Keiran terkekeh pelan, suaranya dalam dan menyenangkan di telinga Bianca. "Kau kira aku sudah punya istri dan anak di rumah?" Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap Bianca dengan tatapan geli yang lembut. "Jangan khawatir, Bianca. Aku tidak akan membawamu ke sini, di tengah lapangan baseball yang sepi ini, jika aku memiliki komitmen yang serius dengan orang lain. Aku lebih... jujur dari itu." Ia berhenti sejenak, tatapannya melembut. "Dan aku tidak akan pernah melakukan sesuatu yang bisa membuat wanita sebaik dirimu merasa tidak nyaman atau bersalah."

Udara malam yang dingin terasa hangat karena percakapan itu. Kelegaan membanjiri Bianca, dan ia merasakan koneksi baru yang lebih dalam dengan Keiran.

Pria itu tidak hanya menarik, dia juga penuh kejutan, jujur, dan memiliki cara unik untuk menenangkan kekhawatirannya.

Penjelasan itu, ditambah dengan tatapan mata Keiran yang jujur dan sedikit jenaka, meluruhkan ketegangan dalam diri Bianca. Rasa malunya berangsur sirna, digantikan oleh gelombang kelegaan. Ia menatap cincin itu lagi, kini dengan perspektif yang berbeda.

Memang, desainnya terlalu unik untuk cincin pernikahan biasa, dan memang ada kesan 'penghalang' di sana. Keiran benar-benar punya cara tak terduga dalam melakukan segala sesuatu.

Senyum lega terukir di bibir Bianca. "Jadi, itu semacam... tameng?" tanyanya, nada suaranya kembali menggoda.

"Kurang lebih begitu," jawab Keiran, suaranya rendah dan dalam, matanya kembali terpaku pada bibir Bianca yang sedikit membengkak karena ciuman sebelumnya.

Ada kilatan rasa ingin tahu yang dalam di sana, seolah bibir itu menyimpan rahasia yang ingin dia pecahkan. Ia mengangkat tangannya, jempolnya mengusap lembut sudut bibir Bianca, membersihkan jejak ciuman mereka.

Gerakannya sangat intim, memicu kembali gelombang sensasi yang sempat terinterupsi, kini lebih kuat dan mendesak.

Keiran mencondongkan tubuhnya lebih jauh, seluruh perhatiannya tercurah pada Bianca.

Matanya tidak lepas dari mata Bianca, menyelami setiap ekspresi kecil, seolah mencoba membaca apa yang bergejolak di balik tatapan wanita itu. Ada keinginan untuk melakukan ciuman lain di sana, lebih dalam, lebih terdorong oleh kepastian yang kini terasa tak terbantahkan.

Bibir mereka hampir bersentuhan, napas mereka berbaur, dan Bianca bisa merasakan debaran jantungnya sendiri menggebu, membalas irama detak jantung Keiran yang terasa dekat.

Keheningan yang menyelimuti mereka di lapangan baseball yang luas itu terasa semakin pekat, menahan napas, seolah menunggu kelanjutan dari momen ini.

"Kau tahu, kau jauh lebih menarik daripada yang kau tunjukkan di awal." bisik Keiran, suaranya serak karena kedekatan mereka.

Dia melihatku. Dia benar-benar melihatku, bukan hanya topeng yang kutunjukkan di kantor atau di klub. Dan rasanya... luar biasa.” Pikir Bianca, jantungnya berdegup semakin kencang.

Tubuhnya menegang dalam antisipasi, siap untuk apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

Ketika tiba-tiba...

Ponsel Keiran yang berada di saku celananya mulai bergetar kencang. Ia menghela napas pelan, sedikit kesal karena interupsi itu.

Namun, profesionalisme yang melekat pada dirinya langsung mengambil alih. Ia menarik dirinya sedikit dari Bianca, cukup untuk meraih ponsel dari sakunya.

Layar yang menyala terang menampakkan sebuah nama.

Keiran melirik Bianca, pandangannya meminta maaf namun juga menunjukkan urgensi.

"Sebentar," ucap Keriran, nadanya lugas.

Kekecewaan menyergap Bianca seperti gelombang dingin. Bibir mereka hanya terpaut sehelai napas, jantungnya sudah berpacu dalam antisipasi, dan kini terputus begitu saja.

Sensasi membara di tubuhnya mendadak padam, meninggalkan kekosongan yang hampa. Ia menelan ludah, berusaha menyembunyikan kekesalan yang samar, tetapi matanya mungkin mengkhianati perasaannya yang mendalam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   62.

    Mendengar pertanyaan Ibunya, Keiran menundukkan kepala. Pukulan dan kemarahan Ayahnya, ditambah kondisi Bianca, telah menguras semua energi dan strateginya. Ia, yang biasanya selalu punya rencana, kini merasa kosong.Keiran menghela napas panjang. "Aku... tidak tahu," jawab Keiran, suaranya serak. Ini adalah pengakuan kelemahan yang sangat jarang keluar dari mulutnya. "Kepalaku kosong, maka dari itu aku kesini." Keiran menutup matanya dengan telapak tangan, tidak ingin ada yang melihatnya begitu hancur.Melihat putranya yang benar-benar terpukul, Ibu Keiran menghela napas. Ia menoleh ke arah seorang asisten rumah tangga yang baru muncul, seorang wanita paruh baya yang tampak begitu menghormati Ibu Kieran. "Tolong bawa Nona Bianca ke kamarnya," perintahnya dengan lembut.Pintu rumah ada yang mengetuk. Ibu Keiran membuka pintu. Dua perawat datang. Dengan membawa tas besar berisi alat medis yang Bianca perlukan. “Kami dihubungi Dokter Lim, dan Tuan Kieran.&rd

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   61.

    Keiran tahu ia harus membuat langkah yang tidak bisa diprediksi siapapun. Semua ini demi keamanan Bianca. Rumah sakit, dengan segala keamanannya, masih terasa terlalu terbuka. Penthouse-nya sendiri, yang sudah Clara tandai, juga tidak bisa menjadi pilihan lagi. Ia butuh tempat yang benar-benar aman, tempat yang tidak akan pernah terpikirkan oleh orang-orang yang mengintainya.Tangan Keiran memijat dagunya. Hanya ada satu tempat.Keiran melangkah, mencari dokter itu yang sedang duduk di ruangannya.“Aku butuh sesuatu, aku berencana membawa Bianca ke tempat itu.” wajah dan nada bicara Kieran begitu tegang.Dokter itu menatap Kieran dengan serius. Seolah mencari pilihan lain. Sayangnya, Dokter Lim harus sependapat dengan Kieran, bahwa tempat “itu” adalah tempat teraman bagi Bianca sekarang.“Pastikan tidak ada yang tahu Bianca sudah dipindah.” Kieran mencondongkan tubuhnya agar suaranya terdengar jelas oleh Dokter L

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   60.

    Belum pernah ada yang bicara seperti itu pada Keiran. Ia telah begitu lama terbiasa memegang kendali, memikul semua tanggung jawab sendirian. Pundaknya terbiasa berat.Namun kini, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua hal harus ia urus sendiri. Rupanya ada seseorang yang begitu bisa ia andalkan. Padahal Bianca tidak lebih besar daripada dirinya, bahkan lebih muda. Tapi, gadis itu berhassil memberikan pengertian tentang hidup dengan cara yang tak terduga.Tubuh Keiran seolah berhenti bekerja, ia tidak bisa menjawab ucapan Bianca.Memang benar, ia tidak bisa mengembalikan waktu, tidak bisa mencegah pukulan Robi, tidak bisa mengendalikan takdir. Semua rencana, semua kekuatannya, terasa tak berarti di hadapan kenyataan ini. Ia hanya bisa memeluk Bianca, merasakan kehangatan tubuhnya, dan mendengarkan napasnya.Bianca merasakan ketegangan di tubuh Keiran, memahami pergolakan batin pria itu. Ia sendiri pernah merasakan hal yang sama. Bianca mengerti, m

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   59.

    Beberapa jam kemudian, Keiran kembali ke apartemennya untuk mengambil beberapa berkas penting sebelum kembali ke rumah sakit. Ia mendorong pitnu dan melihat Clara sedang menunggunya di ruang tamu. Wanita itu duduk anggun, dengan senyum manis yang dipaksakan."Keiran," sapa Clara, nadanya manja. "Aku mengkhawatirkanmu. Kudengar ada masalah besar."Keiran melirik sekilas dengan tatapan dingin. "Pergi," perintahnya.Clara tidak gentar. Ia bangkit, mendekati Keiran, memegang sebuah gelas kecil berisi cairan berwarna gelap. "Aku hanya ingin membantumu," katanya, matanya memancarkan kepura-puraan. "Kau pasti lelah. Minumlah ini. Ini bisa menenangkan syarafmu. Resep rahasia, sangat efektif."Ia mengulurkan gelas itu ke Keiran. Senyumnya memang terlihat manis , tapi matanya begitu licik.Keiran menatapnya semakin dalam. “Berani-beraninya kau masuk ke tempatku, Clara.” Pria itu, mendorong tubuh Clara dengan satu jarinya. Ia tahu Clara tidak pern

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   58.

    Setelah penantian yang melelahkan dan menguras emosi. Kondisi Bianca naik turun, kadang sangat stabil kadang juga mengkhawatirkan.Namun ketika mata Bianca perlahan terbuka. Kegelapan dan rasa pening masih menyelimuti, perlahan ia merasakan cahaya samar dan suara alat-alat medis.Bianca melihat sekeliling, bingung. Aroma antiseptik khas rumah sakit langsung memberikan tanda di mana ia berada. Ia mencoba menggerakkan lengannya, tapi terasa kaku dan nyeri.“Bianca.” Suara serak Keiran terdengar begitu menenangkannya.Kieran menekan tombol memanggil dokter dan perawat dengan cepat.Saat pandangan Bianca mulai fokus, ia melihat sosok yang familiar duduk di samping ranjangnya. Pria itu terlihat lelah, dengan bayangan gelap di bawah matanya, rambutnya sedikit berantakan. Tetapi, tatapannya lekat padanya, dipenuhi kelegaan dan sesuatu yang jelas sulit Bianca jelaskan.Bianca menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia begitu lega. Sosok K

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   57.

    Sementara itu di markas. Semua jaringan Keiran bergerak cepat melacak Robi.Namun, pria itu pintar menghindari. Informasi terakhir yang didapat Fael adalah Robi berhasil melarikan diri ke luar negeri.Fael menatap ponselnya dengan ragu, lalu menekan nomor Kieran.Tak butuh lama sampai Kieran mengangkatnya “Berikan laporan, Fael.”"Dia sudah di luar perbatasan, Keiran," lapor Fael, suaranya tegas langsung kesumbernya. "Melarikan diri menggunakan jalur ilegal."Keiran menggeram, kepalanya menoleh ke arah jendela. Robi telah lolos, untuk saat ini.“Lanjutkan.”"Ada sesuatu yang aneh, Keiran," lanjut Fael, nadanya ragu. "Saat melacak jejaknya, kami menemukan sesuatu. Robi tidak hanya melarikan diri dengan membawa aset-asetnya, tapi juga... dia membawa serta identitas Bianca."Mata Keiran melebar. "Identitas Bianca? Maksudmu apa?""Kami menemukan salinan data pribadi Bianca," jelas Fael. "Kartu identitas, paspor, bahkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status