Share

06.

Author: silent-arl
last update Last Updated: 2025-07-24 13:51:30

Ponsel Keiran terus bergetar. Ia melirik layar, wajahnya berubah serius.

Bayangan konsentrasi pekerjaan kini merasuki raut wajahnya, memadamkan gairah yang sempat memenuhi udara di antara mereka.

Urgensi yang jelas menggantikannya. Ia menghela napas pelan, sedikit kesal karena interupsi itu, namun profesionalisme yang melekat padanya langsung mengambil alih.

"Ada masalah di pekerjaan," ujar Keiran singkat, pandangannya beralih dari ponsel ke mata Bianca. "Aku harus pergi." Nada minta maaf tersirat di sana.

Bianca merasakan kekecewaan yang melanda, begitu kuat hingga ia hampir mengerang.

Momen itu, gairah itu, semua sirna secepat kilat, meninggalkan kekosongan yang hampa. Namun ia mengangguk paham. "Tidak masalah."

Keiran melihat kekecewaan itu di mata Bianca, dan senyum tipisnya kembali, kali ini mengandung sedikit penyesalan.

"Maaf. Perlu kuantar pulang?" ucapnya, kembali melirik ponselnya yang masih bergetar.

Bianca menggeleng cepat.

Bianca tidak ingin lagi memperpanjang harapan, atau menambah rasa canggung. "Tidak usah. Aku bisa panggil taksi," ujarnya, suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia rasakan.

Keiran mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu... Hati-hati, Bianca," katanya. Ia berhenti sejenak, tatapannya menyapu wajah Bianca, seolah ingin menyimpan detailnya dalam ingatan.

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, masuk ke dalam mobilnya, dan dengan cepat melaju pergi, meninggalkan Bianca sendiri di pinggir lapangan baseball yang remang.

Bianca berdiri terpaku di sana, membiarkan udara malam yang dingin menerpa wajahnya. Kekecewaan membanjiri dirinya. Ia telah begitu dekat, merasakan gairah dan kebebasan yang ia dambakan, hanya untuk diinterupsi oleh panggilan telepon sialan itu.

“Bodohnya aku. Kenapa aku tidak meminta nomor teleponnya? Atau namanya? Seharusnya aku berani. Pria misterius itu kini menghilang, hanya menyisakan jejak aroma maskulin dan ingatan ciuman yang membakar.” Bianca merutuk dirinya sendiri.

*** 

Pagi harinya, Bianca terbangun dengan perasaan hampa. Semalam terasa seperti mimpi yang terlalu nyata. Ia memaksakan diri bangkit, bersiap ke kantor.

Aroma kopi dan bunyi keyboard di ruang kerjanya terasa membosankan, bahkan lebih dari biasanya. Ia mencoba fokus pada desain-desain yang membosankan, menekan setiap pikiran tentang lapangan baseball, ciuman yang terputus, dan mata tajam Keiran.

Semua gairah yang sempat meledak kini terkubur lagi di bawah tumpukan deadline dan kritik atasan.

Hari berlalu dengan lambat dan melelahkan. Bianca tenggelam dalam pekerjaannya, lembur hingga larut malam.

Lampu-lampu di kantor mulai satu per satu padam, menyisakan hanya beberapa ruangan yang masih menyala, termasuk miliknya.

Dengan bahu pegal dan mata lelah, ia mematikan komputernya, meraih tas, dan berjalan menuju lobi.

Lobi kantornya yang biasanya sepi di jam selarut ini terasa berbeda.

Ada sebuah mobil mewah berwarna gelap terparkir anggun di depan pintu masuk utama, dan di dekat pintu putar, berdiri seorang pria.

Jantung Bianca mencelos. Bahkan dari kejauhan, ia mengenali siluet itu, aura yang tenang namun penuh kuasa. Pria itu sedikit membelakanginya, memandang ke luar jendela lobi, cahaya remang dari lampu jalan memantul di rambut hitamnya yang rapi.

Tubuhnya tegap, terbungkus setelan yang rapi namun tetap memancarkan kesan santai yang khas, seperti pria itu baru saja keluar dari sampul majalah bisnis.

“Tidak mungkin. Ini pasti halusinasi karena kurang tidur,” pikir Bianca, langkahnya melambat.

Namun, saat pria itu sedikit bergeser, memperlihatkan profil sampingnya, keraguan Bianca sirna. Itu benar-benar Keiran. Aroma cologne yang sangat khas, samar tercium bahkan dari jarak ini, adalah bukti nyata.

Keiran berbalik, seolah merasakan tatapan Bianca.

Senyum tipis, yang kini Bianca kenali sebagai kombinasi antara geli dan niat menggoda, merekah di bibirnya.

Matanya yang gelap menangkap mata Bianca, dan ada kilatan familiar di sana.

"Kau lembur? Aku sudah menduga kau akan lama." tanya Keiran, suaranya tenang, namun memiliki daya pikat yang sama seperti semalam.

Bianca merasakan rona merah menjalar di pipinya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. “Dia menungguku? Kenapa”

"Keiran?" gumamnya, suaranya lebih seperti pertanyaan, masih berusaha memproses kenyataan di depannya. "Apa... apa yang kau lakukan di sini?"

Keiran tertawa pelan, tawanya dalam dan merdu, persis seperti yang Bianca ingat dari lapangan baseball semalam. Ia mendekat selangkah, mengurangi jarak di antara mereka. "Menjemputmu, tentu saja. Kurasa, kita belum selesai dengan petualangan kita semalam."

Keiran melangkah mendekat, auranya memancar kuat di bawah cahaya lobi yang terang. Matanya terpaku pada Bianca, intensitasnya tak berkurang sedikit pun.

"Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang malam kita yang terputus semalam," kata Keiran, nadanya rendah dan menggoda, seolah mereka adalah satu-satunya orang di sana.

"Seharian ini pikiranku terus kembali ke lapangan baseball itu. Lagipula, ada masalah kecil dengan salah satu klien di gedung ini, jadi sekalian saja kuperiksa. Tapi sekarang sudah beres. Dan aku lapar." Ia mengedikkan dagunya ke arah lift, lalu tersenyum, senyum yang menjanjikan lebih dari sekadar makanan. "Bagaimana kalau kita lanjutkan 'pelarian' yang tertunda itu?"

Kata "pelarian" itu menyentuh sisi liar Bianca. Seharian penuh dia menekan hasrat dan kegembiraan semalam. Sekarang, Keiran muncul di hadapannya, bagai fantasi yang menjadi nyata.

"Aku juga lapar," jawab Bianca, merasakan pipinya memanas. "Ada tempat yang buka selarut ini?"

"Tentu saja, aku tahu tempat." Keiran mengulurkan tangannya, isyarat tanpa kata yang mengundang.

Mereka berjalan keluar dari lobi. Mobil mewah gelap Keiran sudah menunggu.

Keiran membuka pintu penumpang untuk Bianca, tatapannya tak pernah lepas darinya. Bianca masuk, merasakan kehangatan yang familiar dari jok kulit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   108.

    Di dalam ruang operasi, setelah Keiran dipaksa keluar, Dokter dan timnya bekerja keras untuk menstabilkan kondisi Bianca.Mereka segera menekan kantung darah, memastikan transfusi berjalan lancar untuk menaikkan tekanan darah Bianca yang anjlok.Pada saat yang sama, selimut penghangat dan pengaturan suhu ruangan dinaikkan untuk menaikkan suhu tubuh Bianca yang drop.Dalam kondisi setengah sadar, Bianca hanya ingin semua penderitaan ini segera berakhir. Ia ingin kedamaian.Pikirannya melayang pada Keiran. Ia merindukan Keiran, suaranya, kehadirannya. Rasa rindu itu menjadi satu-satunya yang membuatnya tidak boleh menyerah.Dokter akhirnya berhasil menstabilkan Bianca.“Pindahkan pasien ke ruang ICU.” Dokter melepas sarung tangannya. “Aku akan bicara pada walinya terlebih dulu.”Dokter akhirnya keluar dari ruangan untuk menemui Keiran yang masih berdiri tegak dengan kepala yang menempel pada dinding." Kei

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   107.

    Keiran kembali ke ruangan Bianca. Melihat Dokter, Ibunya dan beberapa tim medis yang menunggu membuat perut Keiran mulas. Dia seperti dipaksa melakukan hal yang paling ia benci.“Jadi bagaimana, apa kau menyetujuinya?” tanya Dokter mencondongkan tubuhnya kearah Keiran.Keiran menatap Bianca sejenak. “Baiklah.” Ia menatap Dokter itu, atau lebih tepatnya melotot pada sang Dokter. “Asalkan aku ada disana. Disamping Bianca.”Dokter itu langsung menggeleng. “Itu tidak mungkin!” suaranya meninggi beberapa oktaf.Keiran mengedikan bahu sambil berjalan mendekati Bianca. “Kalau begitu aku tidak akan memberikan ijin.”Dokter dan timnya saling bertukar pandang. Sang Dokter memiliki reputasi yang begitu bagus sebagai Dokter yang selalu mengutamakan pasiennya. Apalagi kasus langka seperti Bianca membuatnya bersemangat. Ia tidak ingin melepas kesempatan ini.“Baiklah, tapi janji kau hanya melihat. Tanpa menginterupsi kami.” Akhirnya sang Dokter bica

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   106.

    Sore itu, Keiran mendengarkan dengan saksama setiap penjelasan dan saran dari Dokter Lim.“Meskipun Bianca menunjukkan kemajuan, ia membutuhkan terapi intensif dan rehabilitasi khusus untuk memaksimalkan peluangnya memulihkan penglihatan dan kemampuan bicaranya.” Jelas Dokter Lim dengan santai."Baik, aku perlu rekomendasimu.” Balas Keiran yakin.“Sebenarnya saya sudah memiliki jawabannya.” Ia memberikan secarik kertas, berisi nama dan tempat rehabilitasi yang dimaksud.Keiran mengangguk mantap, tanpa menunda waktu, Keiran mulai mengatur segalanya. Ia akan membawa Bianca ke pusat rehabilitasi terbaik, tidak peduli seberapa jauh atau mahal itu. Ia juga akan memastikan Bianca memiliki dukungan penuh.Keiran mengambil ponselnya, menghubungi dua anak buahnya yang paling loyal dan terpercaya. Mereka akan bertindak sebagai pengawal dan pendukung tambahan. Tentu saja, orang tuanya juga akan ikut mendampingi. Dengan persiapan

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   105.

    Keiran duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Bianca. Ia tahu jalan di depan akan sangat panjang dan sulit. Pemulihan Bianca mungkin tidak akan pernah sempurna. Mungkin penglihatannya tidak akan kembali, mungkin suaranya takkan pulih sepenuhnya. Namun, itu tidak masalah bagi Keiran.Bianca tetaplah Bianca, ia akan menjadi mata untuk gadis itu, ia akan menjadi mulut untuk gadis itu. Meski tak bisa mengucapkannya, Keiran tidak memiliki niat untuk meninggalkan Bianca sama sekali.Sebaliknya, tekadnya untuk terus menjaga Bianca semakin kuat. Ia akan mendedikasikan hidupnya untuk Bianca, untuk memastikan wanita ini mendapatkan semua dukungan, dan semua cinta yang ia butuhkan.Ibu Keiran sudah pergi, katanya ada sesuatu yang harus ia urus.Keiran menaruh telapak tangan Bianca di dagunya. “Aku sudah membersihkan bulu wajahku. Kau benci itu,kan?”Bianca mencoba lagi, mengerahkan sekuat tenaga, tetapi tidak ada suara yang keluar dari tenggoro

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   104.

    Beberapa hari kemudian, keajaiban yang Keiran nantikan akhirnya tiba. Mata Bianca perlahan terbuka, namun yang ia dapati hanyalah kegelapan.Panik segera mencengkeramnya. Ia mencoba menggerakkan tangannya, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa memberinya petunjuk.Dalam kepanikannya, tangan Bianca meraba-raba dan hampir mencabut selang terpenting yang menopang hidupnya. Keiran, yang selalu berjaga di sisinya, segera menyadarinya.Dengan cepat, ia menahan tangan Bianca, mencegahnya melakukan hal yang membahayakan.“Hei, tenang. Aku disini.” Ia meremas tangan itu. Seketika Bianca menghela napas, tak sanggup bicara. Rasa sedih yang mendalam membanjiri hati Keiran melihat kepanikan dan ketidakberdayaan Bianca.Dokter Lim, yang datang bergegas masuk. Ia dengan tenang menjelaskan kondisi Bianca. "Nona Bianca, harap tenang. Anda baru saja mengalami kecelakaan serius. Ada sedikit... kerusakan pada saraf optik Anda karena benturan. Untuk sementar

  • Obsesi Yang Menyelamatkanku   103.

    Hari-hari berlalu dengan lambat. Keiran tidak pernah beranjak dari sisi ranjang Bianca di ICU.Ia duduk di sana, terpaku, seolah kehadirannya bisa menjadi jangkar bagi jiwa Bianca yang terombang-ambing antara hidup dan mati. Ia tidak peduli dengan luka-lukanya sendiri, dengan rasa lapar atau lelah.Ia menolak semua tawaran untuk meringankan bebannya, baik dari Ibunya, Ayahnya, maupun siapa pun. Mereka mencoba membujuk Keiran untuk beristirahat, untuk makan, tetapi Keiran menolak dengan tegas.Ia terus berbicara pada Bianca, memohon agar wanita itu kembali, mengancam dengan kalimat mengerikan jika Bianca meninggalkannya.Keiran, sang "hewan buas" yang selalu terkontrol, kini tidak konsisten dalam kesedihannya, terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Dia hanya memohon pada Bianca agar tidak meninggalkannya.Karena jika Bianca pergi, Keiran merasa tidak ada artinya untuk hidup lagi.***Dokter Lim dan tim medis terus memantau Bian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status