Ponsel Keiran terus bergetar. Ia melirik layar, wajahnya berubah serius.
Bayangan konsentrasi pekerjaan kini merasuki raut wajahnya, memadamkan gairah yang sempat memenuhi udara di antara mereka.
Urgensi yang jelas menggantikannya. Ia menghela napas pelan, sedikit kesal karena interupsi itu, namun profesionalisme yang melekat padanya langsung mengambil alih.
"Ada masalah di pekerjaan," ujar Keiran singkat, pandangannya beralih dari ponsel ke mata Bianca. "Aku harus pergi." Nada minta maaf tersirat di sana.
Bianca merasakan kekecewaan yang melanda, begitu kuat hingga ia hampir mengerang.
Momen itu, gairah itu, semua sirna secepat kilat, meninggalkan kekosongan yang hampa. Namun ia mengangguk paham. "Tidak masalah."
Keiran melihat kekecewaan itu di mata Bianca, dan senyum tipisnya kembali, kali ini mengandung sedikit penyesalan.
"Maaf. Perlu kuantar pulang?" ucapnya, kembali melirik ponselnya yang masih bergetar.
Bianca menggeleng cepat.
Bianca tidak ingin lagi memperpanjang harapan, atau menambah rasa canggung. "Tidak usah. Aku bisa panggil taksi," ujarnya, suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia rasakan.
Keiran mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu... Hati-hati, Bianca," katanya. Ia berhenti sejenak, tatapannya menyapu wajah Bianca, seolah ingin menyimpan detailnya dalam ingatan.
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik, masuk ke dalam mobilnya, dan dengan cepat melaju pergi, meninggalkan Bianca sendiri di pinggir lapangan baseball yang remang.
Bianca berdiri terpaku di sana, membiarkan udara malam yang dingin menerpa wajahnya. Kekecewaan membanjiri dirinya. Ia telah begitu dekat, merasakan gairah dan kebebasan yang ia dambakan, hanya untuk diinterupsi oleh panggilan telepon sialan itu.
“Bodohnya aku. Kenapa aku tidak meminta nomor teleponnya? Atau namanya? Seharusnya aku berani. Pria misterius itu kini menghilang, hanya menyisakan jejak aroma maskulin dan ingatan ciuman yang membakar.” Bianca merutuk dirinya sendiri.
***
Pagi harinya, Bianca terbangun dengan perasaan hampa. Semalam terasa seperti mimpi yang terlalu nyata. Ia memaksakan diri bangkit, bersiap ke kantor.
Aroma kopi dan bunyi keyboard di ruang kerjanya terasa membosankan, bahkan lebih dari biasanya. Ia mencoba fokus pada desain-desain yang membosankan, menekan setiap pikiran tentang lapangan baseball, ciuman yang terputus, dan mata tajam Keiran.
Semua gairah yang sempat meledak kini terkubur lagi di bawah tumpukan deadline dan kritik atasan.
Hari berlalu dengan lambat dan melelahkan. Bianca tenggelam dalam pekerjaannya, lembur hingga larut malam.
Lampu-lampu di kantor mulai satu per satu padam, menyisakan hanya beberapa ruangan yang masih menyala, termasuk miliknya.
Dengan bahu pegal dan mata lelah, ia mematikan komputernya, meraih tas, dan berjalan menuju lobi.
Lobi kantornya yang biasanya sepi di jam selarut ini terasa berbeda.
Ada sebuah mobil mewah berwarna gelap terparkir anggun di depan pintu masuk utama, dan di dekat pintu putar, berdiri seorang pria.
Jantung Bianca mencelos. Bahkan dari kejauhan, ia mengenali siluet itu, aura yang tenang namun penuh kuasa. Pria itu sedikit membelakanginya, memandang ke luar jendela lobi, cahaya remang dari lampu jalan memantul di rambut hitamnya yang rapi.
Tubuhnya tegap, terbungkus setelan yang rapi namun tetap memancarkan kesan santai yang khas, seperti pria itu baru saja keluar dari sampul majalah bisnis.
“Tidak mungkin. Ini pasti halusinasi karena kurang tidur,” pikir Bianca, langkahnya melambat.
Namun, saat pria itu sedikit bergeser, memperlihatkan profil sampingnya, keraguan Bianca sirna. Itu benar-benar Keiran. Aroma cologne yang sangat khas, samar tercium bahkan dari jarak ini, adalah bukti nyata.
Keiran berbalik, seolah merasakan tatapan Bianca.
Senyum tipis, yang kini Bianca kenali sebagai kombinasi antara geli dan niat menggoda, merekah di bibirnya.
Matanya yang gelap menangkap mata Bianca, dan ada kilatan familiar di sana.
"Kau lembur? Aku sudah menduga kau akan lama." tanya Keiran, suaranya tenang, namun memiliki daya pikat yang sama seperti semalam.
Bianca merasakan rona merah menjalar di pipinya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. “Dia menungguku? Kenapa”
"Keiran?" gumamnya, suaranya lebih seperti pertanyaan, masih berusaha memproses kenyataan di depannya. "Apa... apa yang kau lakukan di sini?"
Keiran tertawa pelan, tawanya dalam dan merdu, persis seperti yang Bianca ingat dari lapangan baseball semalam. Ia mendekat selangkah, mengurangi jarak di antara mereka. "Menjemputmu, tentu saja. Kurasa, kita belum selesai dengan petualangan kita semalam."
Keiran melangkah mendekat, auranya memancar kuat di bawah cahaya lobi yang terang. Matanya terpaku pada Bianca, intensitasnya tak berkurang sedikit pun.
"Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang malam kita yang terputus semalam," kata Keiran, nadanya rendah dan menggoda, seolah mereka adalah satu-satunya orang di sana.
"Seharian ini pikiranku terus kembali ke lapangan baseball itu. Lagipula, ada masalah kecil dengan salah satu klien di gedung ini, jadi sekalian saja kuperiksa. Tapi sekarang sudah beres. Dan aku lapar." Ia mengedikkan dagunya ke arah lift, lalu tersenyum, senyum yang menjanjikan lebih dari sekadar makanan. "Bagaimana kalau kita lanjutkan 'pelarian' yang tertunda itu?"
Kata "pelarian" itu menyentuh sisi liar Bianca. Seharian penuh dia menekan hasrat dan kegembiraan semalam. Sekarang, Keiran muncul di hadapannya, bagai fantasi yang menjadi nyata.
"Aku juga lapar," jawab Bianca, merasakan pipinya memanas. "Ada tempat yang buka selarut ini?"
"Tentu saja, aku tahu tempat." Keiran mengulurkan tangannya, isyarat tanpa kata yang mengundang.
Mereka berjalan keluar dari lobi. Mobil mewah gelap Keiran sudah menunggu.
Keiran membuka pintu penumpang untuk Bianca, tatapannya tak pernah lepas darinya. Bianca masuk, merasakan kehangatan yang familiar dari jok kulit.
Mendengar pertanyaan Ibunya, Keiran menundukkan kepala. Pukulan dan kemarahan Ayahnya, ditambah kondisi Bianca, telah menguras semua energi dan strateginya. Ia, yang biasanya selalu punya rencana, kini merasa kosong.Keiran menghela napas panjang. "Aku... tidak tahu," jawab Keiran, suaranya serak. Ini adalah pengakuan kelemahan yang sangat jarang keluar dari mulutnya. "Kepalaku kosong, maka dari itu aku kesini." Keiran menutup matanya dengan telapak tangan, tidak ingin ada yang melihatnya begitu hancur.Melihat putranya yang benar-benar terpukul, Ibu Keiran menghela napas. Ia menoleh ke arah seorang asisten rumah tangga yang baru muncul, seorang wanita paruh baya yang tampak begitu menghormati Ibu Kieran. "Tolong bawa Nona Bianca ke kamarnya," perintahnya dengan lembut.Pintu rumah ada yang mengetuk. Ibu Keiran membuka pintu. Dua perawat datang. Dengan membawa tas besar berisi alat medis yang Bianca perlukan. “Kami dihubungi Dokter Lim, dan Tuan Kieran.&rd
Keiran tahu ia harus membuat langkah yang tidak bisa diprediksi siapapun. Semua ini demi keamanan Bianca. Rumah sakit, dengan segala keamanannya, masih terasa terlalu terbuka. Penthouse-nya sendiri, yang sudah Clara tandai, juga tidak bisa menjadi pilihan lagi. Ia butuh tempat yang benar-benar aman, tempat yang tidak akan pernah terpikirkan oleh orang-orang yang mengintainya.Tangan Keiran memijat dagunya. Hanya ada satu tempat.Keiran melangkah, mencari dokter itu yang sedang duduk di ruangannya.“Aku butuh sesuatu, aku berencana membawa Bianca ke tempat itu.” wajah dan nada bicara Kieran begitu tegang.Dokter itu menatap Kieran dengan serius. Seolah mencari pilihan lain. Sayangnya, Dokter Lim harus sependapat dengan Kieran, bahwa tempat “itu” adalah tempat teraman bagi Bianca sekarang.“Pastikan tidak ada yang tahu Bianca sudah dipindah.” Kieran mencondongkan tubuhnya agar suaranya terdengar jelas oleh Dokter L
Belum pernah ada yang bicara seperti itu pada Keiran. Ia telah begitu lama terbiasa memegang kendali, memikul semua tanggung jawab sendirian. Pundaknya terbiasa berat.Namun kini, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua hal harus ia urus sendiri. Rupanya ada seseorang yang begitu bisa ia andalkan. Padahal Bianca tidak lebih besar daripada dirinya, bahkan lebih muda. Tapi, gadis itu berhassil memberikan pengertian tentang hidup dengan cara yang tak terduga.Tubuh Keiran seolah berhenti bekerja, ia tidak bisa menjawab ucapan Bianca.Memang benar, ia tidak bisa mengembalikan waktu, tidak bisa mencegah pukulan Robi, tidak bisa mengendalikan takdir. Semua rencana, semua kekuatannya, terasa tak berarti di hadapan kenyataan ini. Ia hanya bisa memeluk Bianca, merasakan kehangatan tubuhnya, dan mendengarkan napasnya.Bianca merasakan ketegangan di tubuh Keiran, memahami pergolakan batin pria itu. Ia sendiri pernah merasakan hal yang sama. Bianca mengerti, m
Beberapa jam kemudian, Keiran kembali ke apartemennya untuk mengambil beberapa berkas penting sebelum kembali ke rumah sakit. Ia mendorong pitnu dan melihat Clara sedang menunggunya di ruang tamu. Wanita itu duduk anggun, dengan senyum manis yang dipaksakan."Keiran," sapa Clara, nadanya manja. "Aku mengkhawatirkanmu. Kudengar ada masalah besar."Keiran melirik sekilas dengan tatapan dingin. "Pergi," perintahnya.Clara tidak gentar. Ia bangkit, mendekati Keiran, memegang sebuah gelas kecil berisi cairan berwarna gelap. "Aku hanya ingin membantumu," katanya, matanya memancarkan kepura-puraan. "Kau pasti lelah. Minumlah ini. Ini bisa menenangkan syarafmu. Resep rahasia, sangat efektif."Ia mengulurkan gelas itu ke Keiran. Senyumnya memang terlihat manis , tapi matanya begitu licik.Keiran menatapnya semakin dalam. “Berani-beraninya kau masuk ke tempatku, Clara.” Pria itu, mendorong tubuh Clara dengan satu jarinya. Ia tahu Clara tidak pern
Setelah penantian yang melelahkan dan menguras emosi. Kondisi Bianca naik turun, kadang sangat stabil kadang juga mengkhawatirkan.Namun ketika mata Bianca perlahan terbuka. Kegelapan dan rasa pening masih menyelimuti, perlahan ia merasakan cahaya samar dan suara alat-alat medis.Bianca melihat sekeliling, bingung. Aroma antiseptik khas rumah sakit langsung memberikan tanda di mana ia berada. Ia mencoba menggerakkan lengannya, tapi terasa kaku dan nyeri.“Bianca.” Suara serak Keiran terdengar begitu menenangkannya.Kieran menekan tombol memanggil dokter dan perawat dengan cepat.Saat pandangan Bianca mulai fokus, ia melihat sosok yang familiar duduk di samping ranjangnya. Pria itu terlihat lelah, dengan bayangan gelap di bawah matanya, rambutnya sedikit berantakan. Tetapi, tatapannya lekat padanya, dipenuhi kelegaan dan sesuatu yang jelas sulit Bianca jelaskan.Bianca menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia begitu lega. Sosok K
Sementara itu di markas. Semua jaringan Keiran bergerak cepat melacak Robi.Namun, pria itu pintar menghindari. Informasi terakhir yang didapat Fael adalah Robi berhasil melarikan diri ke luar negeri.Fael menatap ponselnya dengan ragu, lalu menekan nomor Kieran.Tak butuh lama sampai Kieran mengangkatnya “Berikan laporan, Fael.”"Dia sudah di luar perbatasan, Keiran," lapor Fael, suaranya tegas langsung kesumbernya. "Melarikan diri menggunakan jalur ilegal."Keiran menggeram, kepalanya menoleh ke arah jendela. Robi telah lolos, untuk saat ini.“Lanjutkan.”"Ada sesuatu yang aneh, Keiran," lanjut Fael, nadanya ragu. "Saat melacak jejaknya, kami menemukan sesuatu. Robi tidak hanya melarikan diri dengan membawa aset-asetnya, tapi juga... dia membawa serta identitas Bianca."Mata Keiran melebar. "Identitas Bianca? Maksudmu apa?""Kami menemukan salinan data pribadi Bianca," jelas Fael. "Kartu identitas, paspor, bahkan