Share

Bab 4

***

Belum selesai peringatan pelayan itu, Yerinsa sudah lebih dulu terpeleset di anak tangga terakhir, sukses membentur lantai dengan posisi telungkup.

Teriakan si pelayan membuat penghuni rumah lain, yang sebenarnya didominasi pelayan juga, jadi berdatangan tergopoh-gopoh.

"Ukh-" Yerinsa meringis tertahan, tidak tau kalau lantai yang dipijak ternyata licin karena terdapat cipratan air dari ember pel bawaan pelayan.

"Astaga, Sayang-!"

Nyonya besar De Vries memekik panik melihat sang anak tersungkur di lantai, mendekat bersama beberapa pelayan yang ikut khawatir.

Dikarenakan tidak ada pria di antara mereka yang bisa dimintai mengangkat Yerinsa, jadi nyonya rumah sendiri yang membalikkan posisi tubuh anaknya dibantu pelayan.

"Yerin, ya ampun." Margareth meringis ngilu begitu berhasil memangku Yerinsa, melihat darah mengalir di hidung sang anak.

"Ambilkan kotak pertolongan pertama, cepat! Sisanya bantu aku mengangkat Yerin ke sofa," titah Margareth segera dengan tegas.

"Baik!" sahut beberapa pelayan, langsung bertindak.

Yerinsa memejamkan mata karena pandangan mendadak menguning akibat benturan beberapa saat lalu. Menutup setengah wajah dengan telapak tangan dan mengerang menahan sakit saat digotong ke sofa.

"Ibu," lirih Yerinsa perlahan membuka mata.

"Kenapa, Sayang? Apa sakit sekali? Tunggu sebentar, jangan menunduk, darahnya akan keluar lebih banyak," sahut Margareth lembut, mengusap helai rambut Yerinsa agar tidak terkena darah mimisan.

"Kapan pesta-"

"Nyonya, ini kotak pertolongan pertamanya."

Kalimat tanya Yerinsa diinterupsi oleh kedatangan seorang pelayan lain yang membawa kotak P3K terburu-buru, meletakkan di atas meja di depan sofa yang Yerinsa tiduri berbantal paha Margareth.

Kotak dibuka Margareth untuk mengeluarkan kapas dan tissue secukupnya, mengusap lembut aliran darah yang mengotori bawah hidung Yerinsa, hidung bangir itu memerah karena benturan.

Dalam diam Yerinsa mencoba menunggu hingga mimisan dihentikan, hidung disumbat dengan segulung kecil tissue. Baru beranjak duduk untuk berhadapan dengan Margareth.

"Bu," panggil Yerinsa pelan, dalam hati agak canggung.

"Ya?" Margareth menyahut sambil merapikan rambut Yerinsa ke belakang telinga.

"Kapan pesta pembukaan anak cabang perusahaan kolega Ayah?" tanya Yerinsa serius menatap sang ibu.

Margareth berkerut alis. "Pesta? Oh, undangan yang satu minggu lagi itu?" tanyanya memastikan.

"Jadi, satu minggu lagi, ya," gumam Yerinsa dengan pandangan turun ke lantai.

Di buku mengatakan saat pesta itu hanya Gabriella dan Ayahnya yang datang. Ibunya tidak, karena ada suatu urusan lain, tidak dijelaskan urusan apa itu.

"Apa Ibu akan hadir?" tanya Yerinsa mendesak, menatap Margareth kembali.

"Tidak. Kamu pasti lupa, acara itu bersamaan dengan jadwal pemeriksaanmu ke rumah sakit, Sayang. Jadi, hanya Ayah dan Gabby yang pergi, Ibu akan menemanimu," terang Margareth dengan gelengan kepala singkat dan senyum teduh.

Yerinsa mengerjab, jadi Margareth tidak bisa hadir ke pesta itu karna menemani anak lainnya ke rumah sakit, di novel tidak menjelaskan hal itu. Pantas saja Gabriella yang menggantikan posisi kehadiran Nyonya De Vries, karena sama-sama penting.

Sebenarnya seberapa lemah tubuh ini?

Tidak hanya penyakitan, kehadiran karakter Yerinsa dalam novel hanya 0,1% saja. Itupun dia diceritakan mati di pertengahan buku karna digerogoti penyakit, entah apa nama penyakit kronis itu.

"Tidak bisakah pemeriksaanku dipercepat, lalu kita ikut hadir ke pesta itu? Bukankah aku sudah melakukan pemeriksaan kemarin?" tanya Yerinsa menekuk wajah, mencoba mengusulkan satu cara.

Untuk membuat Luga tidak jatuh cinta pada Gabriella, maka harus membuat mereka tidak saling tatap di pesta.

"Tentu saja tidak bisa, Dokter Demberrain terlalu sibuk hanya untuk mengatur ulang jadwal temu pasien, kita tidak bisa seenaknya mengacaukan jadwal. Lagipula, kenapa harus dipercepat? Apa ada sesuatu?" Margareth menjawab diakhiri bertanya lembut.

"Uh ... itu ... tidak apa-apa, aku hanya berpikir untuk ikut hadir ke pesta itu," gumam Yerinsa kikuk, memilih bermanja memeluk tubuh ramping sang ibu.

"Ah, jadi Yerin Ibu ingin ikut ke pesta. Itu hanya acara formal membosankan, tidak ada yang bisa kamu lihat," kata Margareth sambil mengusap lembut kepala sang anak.

Yerinsa tidak menjawab, hanya bergumam sambil memejamkan mata, merasakan usapan lembut itu membuatnya nyaman dalam pelukan sang ibu.

"Bu, apa aku pernah pergi ke pesta?" tanya Yerinsa setelah diam beberapa saat untuk berpikir.

Yerinsa tidak perlu kebingungan mencari alasan bertanya-tanya informasi acak karna dokter sudah mengatakan kehilangan sebagian ingatan. Jadi, mudah saja untuk Yerinsa mengetahui hal-hal biasa di keluarga ini, lebih tepatnya hal berkaitan dengan diri sendiri.

"Tidak. Kamu tau, tubuhmu tidak bisa terlalu lama terkena udara dingin dan kelelahan," jawab Margareth hati-hati, takut menyinggung hati putri kecilnya.

Yerinsa bergumam mengerti. Tanpa terlihat Margareth wajah itu mencebik. Padahal selama seminggu ini, dia merasa baik-baik saja, walaupun sedikit lemas saat berlari tadi karena efek tidak sadarkan diri berhari-hari.

Ngomong-ngomong soal perpindahan jiwa, Yerinsa baru tau bahwa pemilik tubuh ini mengalami drop parah selama sepuluh hari akibat kecelakaan kecil, terserempet pemotor ugal-ugalan saat pulang sekolah.

Akibatnya, Yerinsa yang seringan bulu malah terputar dan kepala berakhir membentur sebuah mobil. Insiden itu juga membuat Yerinsa dibawa ke rumah sakit sebelum akhirnya dirawat di rumah.

Tidak ada yang tau bahwa jiwanya berganti menjadi Teresia saat siuman.

"Apa sekarang waktunya berpelukan?"

Suasana hangat ibu-anak itu diinterupsi suara yang datang dari lorong arah ke pintu utama. Saat menoleh, sosok berwajah cerminan Yerinsa mengenakan seragam sekolah menengah atas terlihat mendekat.

Yerinsa memperhatikan setelan itu cukup tertarik, kemeja putih lengan pendek dengan rok lipit kotak-kotak berwarna hijau lumut di atas lutut, dasi berwarna senada rok melilit kerah baju. Tote bag hitam tersampir di pundak kiri Gabriella dan sepatu hitam juga.

"Hey, ada apa dengan kapas dihidungmu?" tanya Gabriella begitu sudah dekat dengan ibu dan kembarannya di sofa itu.

"Yerin jatuh dari tangga," jawab Margareth pelan.

"Apa? Bagaimana bisa? Ibu sudah memanggil Dokter Damberrain? Yerin, kenapa kamu rawan sekali sial," cecar Gabriella cemas, menyentuh pipi Yerinsa untuk melihat lebih jelas pada hidung yang tersumbat tissue.

"Aku baik-baik saja, ini hanya mimisan," kata Yerinsa cemberut dengan respon berlebihan Gabriella.

"Jangan kebiasaan meremehkan sesuatu, apalagi menyangkut dirimu. Kamu mau kupukul?" balas Gabriella gemas dengan ketenangan Yerinsa yang muncul sejak sembuh dari demam tinggi.

Yerinsa semakin cemberut, melepaskan wajah dari tangan Gabriella dan melesak ke pelukan sang ibu lagi. Melihat itu, Gabriella mencibir sebelum ikut duduk di sofa dan memeluk Margareth dari sisi berbeda.

"Gabby, ganti bajumu dulu, lalu makan," suruh Margareth dengan satu tangan mengusap lengan Gabriella yang memeluk juga.

"Sebentar lagi, aku masih lelah." Gabriella menawar, setelah berjam-jam di sekolah, bergaul dengan pelajaran, rumah adalah tempat mereka mengisi tenaga kembali.

Dalam diam Yerinsa melamun, seminggu yang dilalui membuat dia tau keluarga ini sangat harmonis dari dalam ataupun luar media.

Ayah Yerinsa, Abrady, sangat pekerja keras dan bertanggung jawab. Ibu Yerinsa, Margareth, merupakan wanita lemah lembut dan penyayang, tidak pilih kasih dalam memperlakukan kedua anak. Lalu, Gabriella, saudari impian bagi Yerinsa, karena sangat pengertian walaupun terkadang suka julid seperti kebanyakan saudara di luaran sana.

Yang terpenting, ketiga anggota keluarga De Vries terlihat saling menyayangi, terutama pada Yerinsa yang merupakan anak bungsu lemah. Seperti dugaan Teresia, penulis novel < I'm Yours > pasti benar-benar sado, tega sekali menghancurkan keluarga semanis ini, keluarga yang sangat diinginkan oleh banyak orang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status