Share

BAB 12

Bibir itu tidak bisa berhenti tersenyum. Sophia terus saja menarik bibir ke atas. Martina yang sudah biasa dengan sikap manja Sophia hanya tersenyum kecil. Kini keduanya sedang berada di ruang tengah, dekat perapian. Sophia tidur di atas paha Martina, tangan keriput wanita tua itu mengusap pelan rambut cucunya dengan lembut.

Kebahagiaan yang pernah hilang kini telah kembali, Sophia bisa bermanja-manja lagi pada Martina. Tidak ada yang lebih membahagiakan mendengar neneknya telah pulih, bahkan kini tinggal di rumah sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Edmund. Rasa bahagia itu semakin bertambah saat mengetahui bahwa keluarga Edmund begitu peduli pada neneknya. Martina juga menceritakan tentang kebaikan Rose yang selalu datang menjenguknya.

"Maafkan Nenek, Sophie. Ini semua salah Nenek," ucap Martina, membuat Sophia terbangun dari tidur, kemudian duduk dan menghadap Martina.

"Berhenti mengatakan itu, Nek. Ini sudah lebih dari sepuluh kali Nenek mengatakan maaf padaku." Bibir Sophia mengerucut kesal, sudah beberapa kali Martina mengucapkan kata maaf semenjak dia datang tadi siang.

"Tapi kau harus kehilangan harta paling berhargamu karena Nenek." Martina menatap sendu Sophia. Ia mengetahui apa yang terjadi pada Sophia dari Rose. Bukan hanya itu, setelah Martina menjalani operasi, pria bernama Edmund mengakui semuanya pada Martina.

Awalnya ia marah, ingin sekali Martina melampiaskan semua amarahnya pada pria yang telah merusak cucunya. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan, karena Edmund bersedia menanggung kesalahannya. Pria itu bertanggung jawab dengan apa yang telah ia lakukan. Meskipun begitu, Martina masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri yang selalu menyusahkan Sophia dan menyebabkan cucunya harus bekerja banting tulang.

"Pria itu datang setelah Nenek menjalani operasi. Dia mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa dia melakukan dosa yang sangat besar dan telah menghancurkan masa depan seseorang. Pria itu mengakuinya, Sophie." Martina terdiam sesaat, ia menarik napasnya untuk menahan air mata. "Jadilah istri yang baik untuknya. Nenek yakin dia pria yang tepat untukmu," lanjut Martina mengusap pelan kepala Sophia.

"I-iya, Nek." Sophia berucap dengan ragu-ragu, tetapi segera mengganti ekspresi wajahnya saat melihat Martina yang tersenyum padanya.

"Mungkin kau masih terlalu muda untuk menjadi seorang ibu, tapi Nenek yakin, kau akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu, Sophie."

"Terima kasih, Nek." Sophia menghapus air mata yang jatuh tanpa ia sadari. Dia menunduk sesaat lalu kembali lagi menatap Martina.

"Aku lapar, Nek," ujar Sophia sambil tersenyum memamerkan giginya yang rapi.

"Astaga, Nenek lupa. Ayo kita siapkan makan malam." Martina berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dapur. "Apa yang ingin kau makan, Sophie?"

"Sesuatu yang spesial." Sophia ikut bergabung dengan Martina yang sedang mengeluarkan beberapa sayuran dari dalam kulkas.

Sophia seakan kembali lagi ke masa lalu, di mana dia selalu memasak makan malam bersama neneknya yang diiringi tawa. Keduanya memasak dengan penuh kegembiraan. Martina masih sama seperti dulu, ia selalu memerintah Sophia ketika berada di dapur, karena dapur adalah daerah kekuasaan Martina sejak dulu.

Hari ini Martina akan membuat succotash, yaitu sajian dengan bahan utama jagung dan berbagai macam sayuran. Sesuai perintah dari Martina, Sophia memotong-motong paprika merah dan tomat. Setelah menyelesaikannya, Sophia mencuci sayuran yang ia potong bersama dengan kacang-kacangan yang sudah di siapkan Martina.

Butuh waktu beberapa menit untuk memasak succotash, hingga akhirnya mereka selesai dan segera menyajikannya di atas dua buah piring, masing-masing untuk Martina dan Sophia.

"Kemarilah, Sophie. Kita makan sama-sama," ucap Martina sambil duduk di salah satu kursi. Sophia mencuci tangan, kemudian berjalan ke arah Martina dan duduk di samping wanita tua itu. Matanya terkunci pada makanan yang ada di hadapan, dia tersenyum sesaat sebelum mulai memakannya.

"Ini enak," ucap Sophia sambil mengunyah makanan.

"Makanlah dengan pelan." Martina mengelus pelan kepala Sophia dengan penuh kasih sayang, menatap cucu satu-satunya yang sangat ia kasihi.

Makan malam mereka dipenuhi dengan kehangatan. Sophia sangat senang dengan kembalinya kesehatan Martina. Diaa tidak pernah berhenti memanjatkan doa kepada Tuhan untuk kesehatan neneknya, Sophia tidak ingin satu-satunya orang yang ia kasihi pergi meninggalkannya.

Hari demi hari Sophia lewati di kediaman Martina, tidak ada hari tanpa tawa di antara keduanya. Hingga tidak terasa, tiga hari telah berlalu. Selama tiga hari itu pula Rose seorang pelayan dari mansion datang membawakan makanan. Wanita itu tidak bisa datang karena banyak urusan, tetapi selalu menyempatkan diri untuk menelepon Sophia.

Berbeda dengan Edmund, Sophia belum juga berkomunikasi dengannya. Rose mengatakan bahwa urusan anaknya belum selesai, pria itu masih sibuk dengan pekerjaan, dengan sidang-sidang yang harus dihadiri. Sophia sendiri bingung sidang apa yang sedang Edmund lakukan.

"Angkat telurnya, Sophie, itu sudah matang." Suara Martina membuyarkan pikiran Sophia. Dia segera melakukan apa yang diperintahkan Martina, mengangkat telur lalu menyimpannya dalam piring di atas meja, menjadi salah satu menu sarapan pagi ini. Sandwich telur.

"Kemarilah, Nek, kita sarapan bersama."

Martina mengelap tangan setelah mencuci piring, lalu ikut bergabung bersama Sophia yang sudah duduk. Keduanya berdoa sebelum memakan sarapan yang telah mereka buat, tapi suara ketukan pintu menahan suapan pertama Sophia.

"Biar aku saja, Nek." Sophia berdiri dari duduknya dan melangkah mendekati pintu. "Edmund," cicit Sophia saat melihat orang yang berdiri di depan pintu. Pria itu menatap Sophia lekat, bukan menatap tajam, tapi tatapan yang hangat. Bahkan ada sedikit senyuman yang tercetak pada bibir ptia itu.

"Siapa, Sophie?"

Sophia menengok ke belakang sesaat, melihat Martina yang berjalan ke arahny, kemudian kembali menatap Edmund. Pria itu memakai kaos yang ditutupi jaket. Celana jins yang panjang membuat penampilannya tampak lebih muda. Rasanya Sophia sulit bicara, dia hanya diam menatap pria yang mulai membentuk senyuman lebar saat Martina mendekat.

"Selamat pagi, Nek" Edmund menyapa Martina saat wanita tua itu sudah sampai di depan pintu.

"Astaga, Edmund. Kemarilah, masuk ke dalam." Martina menggeser tubuh Sophia dan mempersilahkan Edmund masuk. Sophia yang tersadar dari lamunannya kembali menutup pintu dan menyusul Edmund dan Martina yang sudah berjalan ke arah meja makan.

"Apa kau sudah sarapan, Nak?" Edmund menatap Martina yang berada di sampingnya. Ia tersenyum kecil lalu menggelengkan kepala.

"Kalau begitu ikutlah sarapan bersama kami."

"Baiklah." Edmund duduk di kursi.

"Ambilkan air minum untuk Edmund, Sophie!"

"Baik, Nek." Sophia yang selesai menutup pintu berjalan ke arah dapur untuk mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Sophia ikut bergabung bersama Martina dan Edmund, dia duduk di antara mereka berdua.

"Buatkan sandwich untuknya," ucap Martina pada Sophia yang dibalas anggukan, dan mengambil selembar roti.

"Ingin memakai telur?"

"Tidak, selai strawberry saja," jawab Edmund menatap Sophia yang mulai mengoleskan selai merah itu pada selembar roti. Setelah siap, Sophia meletakkannya pada piring lalu disodorkan kepada pria itu.

"Bagaimana kabar ibumu, Ed?"

"Mom baik-baik saja, Nek."

"Oh, syukurlah. Apakah kau kemari untuk menjemput Sophia?" Edmund menganggukkan kepala. "Ya, aku datang untuk menjemputnya."

Sophia berhenti mengunyah makanan dan menatap Edmund yang memulai memakan roti yang ia buat. "Untuk apa kau menjemputku?"

Martina terkekeh mendengar pertanyaan Sophia, ia menepuk pundak cucunya sambil berkata, "Astaga, Sophia terkadang melupakan hal yang besar, Edmund." Martina menghela napasnya sesaat. "Besok kau akan menikah, Sophie. Tidakkah kau mengingatnya?"

Saat itu pula Sophia menelan ludah kasar sambil menghela napas. Dia benar-benar melupakan hari besar itu.

***

Rose menatap Sophia penuh dengan kekaguman. Kecantikan Sophia mengalahkan cahaya sworovski yang begitu banyak, layaknya ribuan safir pada gaunnya. Riasan wajah yang tidak terlalu tebal menambah kesan elegan. Hanya satu kekurangannya; tinggi badan yang kurang ideal.

Pintu terbuka dan menampilkam Sergío dengan jas hitam yang semakin menambah ketampanannya. Di usianya yang sudah tua, Sergío tampak semakin gagah. Pantas saja Rose selalu membicarakan Sergío yang semakin tampan. Faktanya memang seperti itu.

"Kau cantik, Sophie," puji Sergío dan mengisyaratkan agar Sophia melingkarkan tangannya pada tangannya. Perempuan itu tersenyum dan melakukan apa yang diperintahkan Sergío. Mereka melangkah keluar dari ruangan, sementara Rose sudah memasuki ruangan pesta terlebih dahulu.

Sophia sudah siap memasuki gedung dengan Sergío yang akan membawanya menuju altar. Sergío selalu ingin mengantarkan seseorang ke altar pernikahan, tapi sayangnya Rose tidak melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan. Itu sebabnya dia menawarkan diri untuk mengantarkan Sophia menuju altar.

Pintu gedung terbuka, pandangan pertama Sophia jatuh pada seorang pria dengan tuxedo hitam yang berdiri dengan tampannya di depan altar.

Perlahan tapi pasti, Sophia berjalan menuju Edmund. Rasa gugup menyelimuti perempuan itu. Setetes keringat mengalir di pipi, dadanya berdetak kencang. Momen ini membuat Sophia gugup. Apalagi saat semua mata tertuju padanya, Sophia sangat benci menjadi pusat perhatian. Pegangannya pada tangan Sergío semakin menguat, mencoba mencari kekuatan untuk menghadapinya. Matanya menunduk, tidak kuat menatap mata tajam milik Edmund.  Sergío dapat merasakannya, kegugupan Sophia.

"Tranquila chica, te ves estúpida si estás nervioso así, (Jangan gugup, kau terlihat bodoh jika seperti ini.)" ucap Sergío dengan logat Spanyol yang kental. Bahasa itu sangat sulit dipahami perempuan itu karena dia hanya tahu satu kata bahasa Spanyol yaitu ''.

Sementara di sisi lain, Edmund terpesona luar biasa. Kecantikan Sophia mampu membuatnya tidak berkedip beberapa saat. Gaun yang Sophia pakai hanya sebatas paha dan tanpa lengan, sementara ekornya begitu panjang. Edmund menelan ludah kasar saat Sophia semakin mendekat.

Sesampainya di hadapan Edmund, Sergío menyerahkan Sophia. Tangannya disambut hangat oleh pemilik mata safir itu. Edmund dapat merasakan dinginnya tangan perempuan itu, kemudian sedikit meremasnya, seolah memberitahu bahwa ia harus tenang.

Ucapan pendeta bagaikan radio yang melewati terowongan di telinga Sophia. Tidak terdengar jelas. Suara pendeta dikalahkan oleh rasa gugup itu sendiri. Hingga tiba saatnya ikatan janji setia suami istri, peluh Sophia kian menjadi-jadi. Demi Tuhan, dia tidak menyangka bahwa menikah akan segugup ini.

"Saya, Edmund D'allesandro menerima  engkau, Sophia Alberta menjadi satu-satunya istri dalam pernikahan yang sah, untuk dimiliki dan dipertahankan, sejak hari ini dan seterusnya; dalam suka dan duka, semasa kelimpahan dan kekurangan, di waktu sakit dan di waktu sehat, untuk dikasihi dan diperhatikan serta dihargai, seperti Kristus mengasihi Jemaat-Nya sampai kematian memisahkan kita. Menurut titah kudus Tuhan dan iman, saya percaya kepada-Nya. Aku ucapkan janji setiaku kepadamu." Edmund berkata dengan begitu lancar, penuh penekanan dengan mata yang menatap Sophia meyakinkan.

"S-saya, Sophia Al-Alberta menerima Engkau, Edmund D'allesandro menjadi satu-satunya suami dalam pernikahan yang sah, untuk dimiliki dan dipertahankan, sejak hari ini dan seterusnya; dalam suka dan duka, semasa kelimpahan dan kekurangan, di waktu sakit dan di waktu sehat, untuk dikasihi dan diperhatikan serta dihargai, seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya sampai kematian memisahkan kita. Menurut titah kudus Tuhan dan iman, saya percaya kepada-Nya. Aku ucapkan janji setiaku kepadamu."

Selanjunya Pendeta mempersilakan kedua mempelai bertukar cincin, saat momen itu terjadi, semua tamu bertepuk tangan dengan begitu meriah.

"Lakukan sekarang, Edmund. Kau kalah taruhan semalam!" teriak seseorang yang ada di jajaran para tamu.

Kening Sophia berkerut saat wajah Edmund mendekat padanya, matanya berkedip beberapa kali. Dia tidak memiliki kekuatan untuk melangkah mundur.

"Aku akan menciummu, Sophie," ucap Edmund saat wajah mereka hampir bersentuhan. Mendengar hal itu, Sophia terkejut. Namun, matanya seolah terhipnotis, dia memejamkan mata ketika wajah pria itu kembali mendekat.

Jantung Sophia berdetak kencang, siap menerima ciuman Edmund pada bibirnya. Sayangnya, Sophia tidak merasakan bibir Edmund menyentuh bibirnya. Dia malah merasakan dahinya basah oleh benda kenyal yang hangat. Saat itu pula Sophia sadar, Edmund mencium keningnya.

"Bienvenido a la familia D'alessandro, (Selamat datang di keluarga D'allesandro)," ucap Edmund di depan bibir Sophia saat membuka mata.

---

IG : @ALZENA2108

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status