"Astaga, Edmund."
Rose berjalan mendekati Edmund dan memeluknya beberapa saat. Setelah melepaskan pelukan, Rose kembali menatap anaknya penuh tanya. Ia sama sekali tidak tahu tentang kepulangan Edmund. Biasanya Nicholas memberitahunya sehari sebelum kepulangan sang anak, tetapi kali ini tidak.
"Kapan kau kembali, Nak?" Rose mundur beberapa langkah, menjauhkam tubuhnya.
"Kemarin malam, Mommy," jawab Edmund tanpa menatap seseorang yang ada di belakang Rose. Seseorang itu menatap Edmund penuh dengan kerinduan, berharap pria itu kembali menatap hangat seperti seminggu yang lalu.
"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Mommy," ucap Edmund sambil membalikkan badan, tetapi tangannya ditahan oleh Rose sebelum keluar dari ruangan itu.
"Kau tidak ingin menyapa Sophia terlebih dahulu?"
Pertanyaan Rose membuat Edmund menatap Sophia yang masih terdiam di tempatnya. Beberapa detik mereka bertatapan, hingga akhirnya dia menggelengkan kepala dan melangkah keluar dari ruangan itu lebih dulu.
Rose menghela napas berat. Ia menatap Sophia dengan senyuman tipis. "Mommy keluar sebentar, ya," ucap Rose dibalas anggukan oleh Sophia.
Rose keluar dari ruangan itu, menyusul Edmund, meninggalkan Sophia dengan patung manequin yang ada di sampingnya. Ada rasa sesak pada hati perempuan itu saat melihat mata Edmund tadi. Mata itu kembali lagi seperti saat mereka pertama kali bertemu, tidak ada lagi kehangatan.
Sophia mencoba menepis pikiran negatif itu, mencoba berpikir bahwa Edmund mungkin saja sedang lelah karena pekerjaannya hingga susah tersenyum. Tangannya mengelus perut yang datar, mengingat bahwa di sana ada nyawa yang harus ia jaga.
Menit demi menit berlalu, Edmund dan Rose belum juga kembali. Yang Sophia lakukan hanya duduk di sofa sambil memakan makanan ringan yang dibawakan oleh seseorang beberapa menit yang lalu.
Saat tangan Sophia menyentuh piring, keningnya berkerut ketika tidak menemukan makanan ringan, lalu matanya beralih pada piring yang ada di samping. Sophia mendesah pelan, menatap makanan ringan yang sudah habis. Dengan malas, dia meminum susu yang ada di samping piring kosong itu, kemudian mengusap perut saat merasaa kenyang.
Rasa kesal kembali merasuki Sophia, dia menatap ponsel sebelum berdiri dari kursi. Kakinya melangkah keluar dari ruangan, matanya menjelajahi gedung yang sangat luas untuk mencari keberadaan Edmund dan Rose. Namun, Sophia hanya melihat beberapa pekerja yang sibuk mendekorasi, tidak ada Edmund maupun Rose.
"Apakah Anda perlu sesuatu, Nona?"
Sophia tersentak kaget begitu seseorang bertanya sambil menepuk pundaknya. "Tidak ada, aku hanya ingin melihat-lihat," ucap Sophia pada seorang perempuan yang bertanya padanya.
"Apakah perlu saya temani?" Sophia menggelengkan kepala pelan. "Tidak perlu," ucapnya kembali, kemudian melangkahkan kaki meninggalkan pelayan yang kembali bekerja.
Kaki Sophia berhenti melangkah saat berada di teras belakang gedung pernikahan, matanya menatap pada taman bunga yang luas dengan air mancur yang ada di tengah-tengah taman itu. Matanya menyipit, mempertajam penglihatan pada seorang pria di ujung taman yang ia yakini bahwa pria itu adalah Edmund. Pria itu berdiri di bawah teriknya sinar matahari dengan kacamata hitam sambil menelepon seseorang.
Tangan Sophia terangkat untuk menghalangi sinar matahari yang menusuk penglihatan. Dia melangkahkan kaki menuju tengah taman. Namun, belum juga Sophia sampai di tempat Edmund berdiri, pria itu lebih dulu melangkahkan kaki ke arah lain setelah selesai menelepon. Kembali menciptakan jarak yang jauh dengan Sophia, sepertinya pria itu tidak menyadari kehadiran Sophia. Kakinya berhenti melangkah saat Edmund semakin menjauh dan akhirnya menghilang. Desahan lemah keluar dari mulut Sophia, dia berjalan kembali ke tempat yang teduh dengan kepala menunduk dan langkah gontai.
"Sophia?!"
Kepala Sophia segera terangkat tegak saat seseorang yang ia kenal memanggil. Saat itu pula Sophia melihat Rose yang berjalan ke arahnya dengan raut wajah lega.
"Kau dari mana saja, Sophie? Aku mencarimu." Rose berbicara sambil melangkah mendekati Sophia.
"Hanya jalan-jalan, Mommy. Aku bosan," ucap Sophia dengan senyuman tipis.
"Kau pasti kesal menunggu Mommy dari tadi. Maaf, ya."
"Tidak apa-apa, Mom." Rose tersenyum lembut begitu Sophia sampai di hadapannya.
"Kita harus pergi sekarang, Sophie. Ada hal yang harus Mommy urus. Tidak apa, ‘kan?" Sophia mengangguk sebagai jawaban.
Keduanya kembali melangkah memasuki gedung, mata Sophia menengok ke belakang sesaat. Berharap Edmund ada di sana dan berjalan mendekatinya. Namun, sepertinya hal itu tidak akan terjadi karena Sophia tidak melihat lagi sosok yang ia cari.
Ada rasa ingin tahu yang besar pada pikiran Sophia, dia ingin menanyakan apa yang terjadi dengan Edmund pada Rose. Mengapa wajah pria itu tidak bersahabat sama sekali.
Sayangnya Sophia harus menahan pertanyaan itu saat melihat Rose sibuk dengan ponsel. Calon ibu mertuanya itu membawa Sophia kembali ke dalam mobil. Tanpa banyak bertanya, perempuan itu kembali masuk ke dalam mobil bersama Rose yang sedang menelepon seseorang dengan bahasa Spanyol.
Sepanjang perjalanan Sophia hanya diam, tidak ada yang bisa ia ajak bicara. Tidak mungkin mengajak bicara sopir Rose yang selalu berbahasa Spanyol ataupun mengajak bicara Rose yang sedang menelpon. Jadi Sophia hanya diam sembari menatap keluar jendela.
Kening Sophia berkerut ketika mobil yang membawanya melewati gedung apartemen yang ia tinggali saat ini. Baru saja mulutnya terbuka hendak bicara pada Rose, tetapi bibirnya harus kembali mengatup rapat ketika Rose membentak seseorang di telepon dengan bahasa Spanyol.
Mobil melaju semakin jauh, bangunan pencakar langit sudah tidak terlihat lagi. Semuanya digantikan dengan pohon-pohon besar yang berderet di pinggir jalan. Hingga beberapa menit berlalu, baru Sophia bisa melihat lagi beberapa rumah minimalis di sisi jalan. Saat Rose menutup teleponnya, mobil yang ia tumpangi berhenti di depan sebuah rumah minimalis berwarna hijau torquise.
"Maaf karena membawamu kemari, Sophie. Kau mungkin harus tinggal di sini sampai hari pernikahanmu tiba," ucap Rose yang memegang tangan Sophia.
"Tinggal di sini?"
Rose mengangguk. "Edmund akan sibuk dengan sidang yang akan ia lakukan, Sophie. Seseorang menggelapkan dana perusahaan. Saat Edmund kelelahan ia selalu marah-marah pada siapa pun. Mommy tidak ingin kau amarahnya, jadi Mommy membawamu kemari. Mommy juga minta maaf karena tadi Edmund mengacuhkanmu, dia sedang memiliki masalah," jelas Rose.
"Tidak masalah, Mom. Sophie tidak masalah tinggal di mana pun. Hanya saja ...." Ucapan Sophia melemah, dia menundukkan kepala karena takut untuk mengatakan sesuatu.
"Hanya apa, Sophie?"
"Aku merindukan nenek." Ucapan Sophia membuat Rose tersenyum lebar.
"Ayo kita keluar!" Rose mengatakannya dengan semangat, kemudian membuka pintu mobil yang diikuti Sophia.
"Kau merindukan nenekmu bukan, Sophie?" Tangan Rose membuka pintu pagar kayu yang mengelilingi rumah itu. Sophia hanya mengangguk dan tetap mengikuti langkah kaki Rose.
"Itulah sebabnya kita kemari," ucap Rose sambil mengetuk pintu berulang-ulang.
"Apa maksud, Mommy?"
Sophia belum mendapat jawaban dari Rose karena pintu rumah sudah terbuka lebih dulu. Mata Sophia beralih dari Rose, menatap seseorang yang membuka pintu untuknya.
"Nenek!"
****
IG : @ALZENA2108
Bibir itu tidak bisa berhenti tersenyum. Sophia terus saja menarik bibir ke atas. Martina yang sudah biasa dengan sikap manja Sophia hanya tersenyum kecil. Kini keduanya sedang berada di ruang tengah, dekat perapian. Sophia tidur di atas paha Martina, tangan keriput wanita tua itu mengusap pelan rambut cucunya dengan lembut.Kebahagiaan yang pernah hilang kini telah kembali, Sophia bisa bermanja-manja lagi pada Martina. Tidak ada yang lebih membahagiakan mendengar neneknya telah pulih, bahkan kini tinggal di rumah sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Edmund. Rasa bahagia itu semakin bertambah saat mengetahui bahwa keluarga Edmund begitu peduli pada neneknya. Martina juga menceritakan tentang kebaikan Rose yang selalu datang menjenguknya."Maafkan Nenek, Sophie. Ini semua salah Nenek," ucap Martina, membuat Sophia terbangun dari tidur, kemudian duduk dan menghadap Martina."Berhenti mengatakan itu, Nek. Ini sudah lebih dari sepuluh kali Nenek mengatakan m
Malam hampir larut dan masih banyak orang yang berpesta dengan diiringi musik DJ, membuat mereka meliukkan badan, mengikuti irama musik. Pesta pernikahan milik Sophia kini menjadi pesta malam teman-teman Edmund yang datang dari Argentina. Hampir seluruhnya menggunakan bahasa Spanyol, membuat Sophia kesulitan berbicara dengan teman-teman Edmund. Wanita itu hanya duduk di kursi sambil tersenyum saat ada teman suaminya yang menyapa.Martina dan kedua orangtua Edmund sudah pulang terlebih dahulu, meninggalkan Sophia di pesta teman-teman Edmund yang hampir memenuhi gedung.Sophia kesal karena dirinya tidak diperbolehkan mengundang teman ataupun kerabatnya oleh Edmund. Pria itu bilang bahwa kapasitas tamu sudah penuh, padahal mata Sophia melihat beberapa kursi kosong saat upacara pernikahan siang tadi. Sophia berpendapat seperti itu kar
Terdengar suara sibuk dari arah dapur dan dentingan suara sendok yang menyentuh piring semakin menambah kehangatan di apartemen ini. Aroma masakan yang menguar bagaikan pengharum ruangan yang mampu mengocok perut siapa saja yang menciumnya. Salah satunya Edmund. Dia terbangun dari tidur begitu mencium aroma masakan, dia melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu.Di dapur, Sophia sedang memasak seorang diri. Semua pelayan dari rumah Rose sudah kembali saat Sophia berada di rumah Martina. Pakaian yang Sophia kenakan masih sama seperti semalam, menandakan ia belum mandi.Ini adalah hari pertama Sophia menjadi istri Edmund. Da ingin bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan seperti istri pada umumnya. Terlepas dari itu, ini juga salah satu cara Sophia meminta maaf karena semalam, dia ingat bagaimana dirinya
Memikirkan Sara terus menerus membuat Sophia pusing, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko kue di mana ia dahulu bekerja. Sebelumnya, ia mandi terlebih dahulu. Kemudian menghubungi nomor yang Edmund kirim. Sophia memastikan apartemen sudah rapi sebelum pergi. Setelah semuanya sudah ia cek, Sophia turun ke lantai utama gedung apartemen.Saat keluar dari lift, Sophia melihat mobil hitam di depan pintu utama. Seseorang keluar dari mobil begitu Sophia mendekat."Selamat pagi, Nona Sophia. Saya Benjamin, supir pribadi anda," sapa pria tua itu dengan ramah."Selamat pagi, Benjamin," balas Sophia sambil tersenyum ramah.Benjamin membukakan pintu mobil untuk Sophia. Ia baru masuk ke dalam setelah memastikan Sophia duduk dengan nyaman.
Sophia dan Aurin kembali ke toko kue setelah berbincang cukup lama, waktu yang diberikan Tuan Headen pada Aurin sudah habis. Keduanya masuk melalui jalan belakang, Aurin kembali bertugas sebagai penerima pesanan. Ia kembali memakai seragamnya dan masuk ke dalam toko untuk kembali bekerja.Sophia mengikuti langkah Aurin, ia mengedarkan pandangannya pada sekeliling toko. Mengingat ini sudah memasuki jam kerja, hanya ada beberapa pengunjung yang menempati bangku-bangku di sudut ruangan. Mata Sophia melirik Aurin yang sedang menata roti-roti hangat yang baru saja diangkat dari dalam oven. Aurin berdiri di belakang rak kaca yang langsung terhubung dengan para koki yang ada di dapur."Sophie!" Tubuh Sophia berbalik saat mendengar seseorang memanggil namanya. Ia tersenyum begitu melihat Jaden yang berjalan dari arah dapur menuju ke arahnya.
Edmund terus mencium bibir Sophia. Tangannya menahan tubuh Sophia yang meronta. Ketika Edmund menurunkan ciuman pada leher istrinya, dia mendengar suara isak tangis. Pria itu menghentikan ciuman, dia menyejajarkan wajah dengan Sophia yang sedang memejamkan mata sambil menangis.Perlahan amarah Edmund menguap saat melihat Sophia menangis. Dia merutuki diri sendiri yang berbuat hal bodoh. Tangannya yang memegang tangan Sophia terlepas dan beralih memegang pipi istrinya dengan lembut.Saat merasakan usapan lembut pada pipi, Sophia membuka mata. Tatapannya langsung terkunci pada mata biru milik Edmund. Tidak ada lagi amarah yang tersirat pada mata itu, hanya ada tatapan sendu dan penuh penyesalan. Sophia membiarkan pria itu mengusap air matanya dan tangis Shopia berangsur menghilang.Wajah
Pagi ini Sophia memasak seperti biasa. Dia memasak sosis dengan telur mata sapi, kentang tumbuk, dan salad sayur. Semuanya sudah tersaji dalam sebuah piring. Sophia menyusunnya dengan rapi untuk sarapan Edmund. Dia tersenyum ketika makanan itu sudah siap, senyumannya semakin lebar saat dia mengingat kejadian semalam, saat dia tertidur dalam pelukan suaminya. Jika bukan tuntutan untuk ke kamar mandi dan membuat sarapan, Sophia tidak ingin beranjak dari tidurnya yang nyaman.Sophia menyiapkan dua buah piring berisi sarapan dengan dua minuman berbeda: susu untuk dirinya dan jus untuk Edmund. Setelah siap, Sophia menatap jam yang menempel di dinding. Dia berniat untuk melihat Edmund di atas, tetapi dia sudah melihat suaminya berjalan menuruni tangga. Pria itu terlihat tampan dengan jas berwarna blue baby, terlihat sangat cocok dengan matanya yang indah.
Sophia mengerjapkan mata begitu sinar matahari masuk ke celah-celah gorden. Suara debur ombak terdengar jelas membuat kelopak matanya semakin terangkat. Dia melihat jam kemudian kembali menyelimuti dirinya hingga batas leher dan memejamkan mata.Semalam dia tidak bisa tidur, Sophia hanya diam sendirian sementara Edmund pergi ke Moscow karena tuntutan pekerjaan. Wanita mana yang tidak kesal ditinggalkan suaminya ketika keduanya selesai berciuman. Edmund tidak ingin Sophia kelelahan, dia memaksa istrinya untuk menginap satu hari di hotel.Sebelum pergi, Edmund memeluknya erat dan memberikan ciuman pada perutnya. Edmund benar-benar mengkhawatirkan keadaan Sophia, apalagi akhir-akhir ini istrinya sering kali merasa mual.Awalnya Edmund berniat menyuruh Rose untuk menemani Sophia, tetapi la