Share

BAB 4

4 Weeks ago

Seorang pria mengerjapkan matanya begitu sinar matahari masuk melalui cerah gorden, ia memegangi kepalanya yang teramat pusing. Tubuhnya membeku, ia baru menyadari dirinya tidak memakai baju sama sekali.

Pria itu mengecek keadaannya, noda darah terpampang jelas pada sprei putih. Ia mencoba mengingat -ingat apa yang sebenarnya terjadi. Kilasan demi kilasan peristiwa semalam berputar di otaknya. Dirinya datang ke hotel dan mabuk berat akibat perempuan itu. Semalam seorang pelayan datang ke kamarnya untuk memberikan wine yang ia minta dan terjadilah pergulatan panas. Edmund merutuki dirinya sendiri sambil mencoba berdiri.

Kakinya menginjak sesuatu saat hendak pergi ke kamar mandi. Edmund mengambil ponsel itu dan mengeceknya. Kini ia tahu siapa wanita yang menjadi korbannya semalam. Ia melihat ke arah pintu yang di buka tiba-tiba, Edmund terkejut begitu seorang wanita yang sangat ia hormati mendekat ke arahnya.

Parahnya Edmund sekarang tidak memakai sehelai benang pun. Sontak ia cepat-cepat mengambil selimut dan menutupi tubuh polosnya. Wanita itu memandang Edmund tidak suka, ia berjalan mendekati Edmund dan menjitak kepalanya dengan cincin emas kebanggannya.

"Aw... Mom !!" Edmund mengaduh kesakitan dan menatap wanita itu tidak suka.

"Aku mencarimu ke mana-mana anak nakal, Nicholas bilang kau tidak naik pesawat."

"Aku ada urusan lain, Mom," jawab Edmund datar dan hendak pergi kekamar mandi, namun Rose mencekal lengan puteranya.

"Kenapa kau telanjang?" Edmund terdiam kaku. Rose menarik selimut yang menutupi tubuh anaknya secara paksa, dan terjadilah perebutan selimut antara ibu dan anak hingga akhirnya Rose memelintirkan telinga Edmund yang membuat selimut itu lepas dari tubuhnya.

"Darah.. !!" tangan kanan Rose menunjuk sesuatu milik Edmund yang berdarah, sementara tangan yang satunya menutupi mulutnya tak percaya. Edmund langsung berlari kekamar mandi dengan telanjang, meninggalkan ibunya yang masih terdiam seperti orang bodoh.

Edmund mengguyur kepalanya dengan air dingin berharap kejadian semalam tidaklah benar. Namun ingatan Edmund semalam semakin teringat jelas. Bagaimana perempuan itu memohon, menangis, berteriak, bahkan ia sekarang ingat bagaimana saat mengikatnya tanpa belas kasihan.

"Apa yang aku pikirkan !" Edmund mengadahkan kepalanya mencoba menghapus ingatan yang tidak bisa ia lupakan.

Ia bingung apa yang harus dilakukannya sekarang, tidak mungkin ia melupakannya begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa. Dalam kamus hidupnya, tanggung jawab adalah hal yang utama. Sayangnya hatinya juga dipertaruhkan di sini, Edmund tidak bisa melabuhkan hatinya pada seseorang yang salah.

"Siapa wanita itu, D'allesandro ?" Edmund kaget melihat ibunya masih ada di sini, padahal dirinya mandi begitu lama.

Edmund berharap begitu keluar ibunya sudah pergi dan ia akan mengurus semuanya sendiri. Edmund berjalan melewati ibunya, ia hendak memakai baju yang sudah tersedia di lemari yang memang miliknya tanpa menjawab pertanyaan ibunya. Rose kesal tidak mendapat redpon dari Edmund, Rose mendekati anaknya dan menarik handuk yang melilit dipinggang Edmund dengan paksa.

"Mom !" teriak Edmund membuat Rose menutup telinganya dan kembali duduk disisi ranjang.

"Tidak usah berteriak," ucap Rose melemparkan bantal pada tubuh polos Edmund.

"Berhenti membuatku kesal, Mommy."

"Kau anak durhaka !" teriak Rose menunjuk punggung anaknya yang sibuk memakai baju.

"Mommy....," ucap Edmund dengan frustasi. Rose segera menetralkan napasnya dan duduk dengan anggun seperti biasa.

"Apa hubunganmu dengan Sara sudah ti-"

"Berhenti menyebut namanya, Mommy !" teriak Edmund memotong ucapan Rose.

"Baiklah-baiklah. Tapi Mommy tidak mengajarimu untuk menjadi brengsek, Edmund."

"Aku mengerti maksudmu, Mom."

"Aku pergi, ya," ucap Edmund mencium pipi kiri Rose. Ia berjalan keluar meninggalkan Rose yang mulai melepaskan sprei yang semalam Edmund tiduri.

Semua staf hotel menunduk hormat begitu Edmund lewat dihadapan mereka. Namun Edmund dapat merasakan beberapa pasang mata yang menatapnya heran, seperti menyelidik sesuatu. Edmund tahu orang-orang itu, mereka yang bekerja sebagai pengantar kebutuhan para tamu. Dan perempuan yang ia tiduri, pasti bekerja di bagian itu.

"Buenos días, Señor, (Selamat pagi, Tuan)" Nicholas membuka kan pintu mobil untuk Edmund dan menutupnya kembali saat tuannya sudah berada di dalam. Sepanjang perjalanan Edmund menatap keluar kaca mobil dengan tatapan kosong, hingga suara telepon membuyarkan pikiran Edmund saat itu juga.

"Hallo, Dad," ucap Edmund begitu ia mengangkat teleponnya.

"....."

"Baiklah Dad, aku akan melakukannya, tapi aku tidak bisa langsung pulang," lanjut Edmund.

"...."

"Agradecimiento, Dad. (Terima kasih, Ayah)"

"...."

Edmund menyimpan ponselnya di kursi sebelahnya saat ayahnya menutup telpon. Ia mengusap wajahnya kasar dan menghembuskan napas lelahnya. Bagaimana mungkin ia tidak lelah jika semalam telah berolahraga malam.

"Kita ke bandara, Nich." Nicholas mengangguk mendengar perintah tuannya.

"Dan.. bisakah kau melakukan sesuatu untukku ?" tanya Edmund dengan tubuh sedikit condong ke depan untuk mendengar jawaban dari Nicholas.

"Cualquier para usted, Señor, (Apapun untuk anda, Tuan)" jawab Nicholas membuat Edmund tersenyum senang.

"Cari informasi dari ponsel ini." Edmund menyodorkan ponsel milik perempuan yang menjadi korbannya.

"Bueñ, Señor. (Baik, Tuan)"

***

Now

Sophia berjalan terburu-buru karena keterlambatannya bekerja. Ia selalu tidur larut malam, semuanya karena memikirkan bayi yang sedang ia kandung, di dalam sana ada sebuah kehidupan yang seharusnya tidak ada. Pikiran Sophia kacau kemarin malam, ia tak bisa berpikir jernih.

Bahkan terbesit di pikirannya bagaimana jika dirinya mengugurkan kandungannya. Lagipula tidak akan ada yang tahu, Sophia tidak mungkin mengurus seorang bayi di saat seperti ini. Dirinya harus bekerja. Bayi ini hanya merepotkan saja, itu pikiran Sophia semalam.

Tapi bayi ini juga tidak salah, ia memang hadir karena sebuah kesalahan. Tapi tidak ada bayi yang tidak suci, semuanya datang dengan tujuan tersendiri. Mungkin Tuhan mengirimkan bayi ini untuk menemaninya. Sophia teringat akan ibunya, bagaimana Selyla menyayanginya dengan sepenuh hati. Bayi ini juga butuh kasih sayang lebih, apalagi ayahnya tidak ada, atau tidak akan pernah ada.

Sophia bertekad akan bekerja keras dan menghidupi anaknya. Namun ia belum sepenuhnya menerima bayi ini, tapi setidaknya pikiran untuk mengugurkan janin kecil ini sudah kandas dan hilang dari kepala Sophia.

"Bagaimana ini, aku terlambat," gumam Sophia sembari terus berjalan menuruni tangga apartemen kumuhnya.

Ia mulai berlari mengejar bus pagi yang akan mengantarkannya menuju Pet Shop. Seolah mengerti, tangan Sophia memegang perutnya saat ia berlari. Ia seakan melindungi janinnya agar tidak terguncang. Mata Sophia membulat saat bus yang biasa mengantarnya berjalan melewatinya. Sophia berusaha mengejar namun kecepatannya tidak sebanding.

Akhirnya Sophia terengah-engah kelelahan dan menghapus keringat pada dahinya. Ia bungkuk dengan tangan yang menyangga pada lutut. Matanya terus saja melihat bus yang meninggalkannua begitu saja. Sophia menegakan tubuhnya dan mengambil air dari tas yang digendongnya, ia meminumnya sampai hampir habis karena kehausan.

"Sophie ?"

Sophia berhenti meneguk air, perlahan ia menutup kembali botol itu tanpa melihat ke belakang. Ia hafal suara siapa itu, suara yang seringkali di dengarnya saat bekerja bersama di hotel terkutuk itu. Mendengar suara langkah kaki mendekat, Sophia berlari lagi dengan cepat menghindari Amel. Ia takut wanita itu akan banyak bertanya padanya, mengingatkannya pada sesuatu.

Sophia tersenyum saat Amel tidak lagi terlihat, matanya fokus melihat ke belakang sementara ia terus berlari. Ia tidak sadar berlari ke tepi jalan raya yang ramai.

TIN !

Sophia terkejut, ia berhenti berlari dan melihat mobil yang hampir saja menabraknya. Sophia melanglah mundur dengan gementar, ia ketakutan dan juga kelelahan. Sophia membungkukan badannya sebagai permintaan maaf pada seseorang di dalam mobil itu lalu kembali berjalan ke tempat penyebrangan yang tidak jauh dari sana. Mata Sophia menatap mobil hitam yang hampir menabraknya mulai menjauh.

Sementara seseorang yang ada di dalam mobil itu menatap ke belakang, tepatnya menatap seorang perempuan yang masih menunggu lampu hijau untuk menyebrang. Edmund menatap kembali ke depan. Ia mengingat perempuan itu, dialah korban dirinya.

Nicholas yang melihat perubahan wajah Edmund terdiam, tuannya yang dari tadi memperlihatkan wajah datar enggan mengatakan apapun kini memperlihatkan wajah panik, terkejut dan juga bingung. Dengan kepala Edmund yang sesekali melihat ke belakang lagi.

"Algo mal, Señor ? (Ada yang salah, Tuan ?)" tanya Nicholas melihat Edmund dari kaca.

"No, no," ucap Edmund melihat ke depan.

"Jadi, bagaimana perjalanan anda, Tuan ?"

"Melelahkan," jawab Edmund membuka kancing kemejanya. Akhir-akhir ini perusahaan yang ada di Belanda sedang kacau, terlebih lagi Edmund tidak mengurusinya.

Edmund tak memiliki waktu untuk mengurus perusahaan, dirinya terlalu sibuk mencari wanita itu. Kalau bukan karena perintah secara langsung dari ayahnya, Edmund enggan mengurusi perusahaan itu. Pikiran Edmund tidak fokus, semua perusahaan yang bermasalah ia anggap kecil yang bisa Edmund beli dengan separuh penghasilannya dalam sehari.

Untunglah seminggu ini para koruptor di negara kincir angin itu dapat diatasi dengan mudah, tak ada yang dapat melawan Edmund. Selesai dengan pekerjaannya Edmund tidak langsung pulang ke Los Angeles, ia mampir ke berbagai negara demi mencari wanita itu. Namun hasilnya nihil, tak ada tanda-tanda keberadaannya.

"¿qué pasa con la información que pido, Nich? (Bagaimana dengan informasi yang aku inginkan, Nich?)"

"Tengo que hacer, Señor. este resultado, (Saya sudah mencarinya, Tuan. Ini hasilnya)" ucap Nicholas memberikan map cokelat yang tadi disimpannya di kursi sebelahnya.

Edmund membuka berkas itu lembaran demi lembaran. Ia menghela napas dan mengusap wajahnya kasar, perempuan yang tadi hampir tertabrak adalah korbannya. Namun sesuatu membuat Edmund lebih terkejut, dari dalam map itu ada sebuah test pack dan hasil tes dokter kandungan.

"Astaga Sophia," gumam Edmund yang masih dapat didengar oleh Nicholas. Edmund membacanya secara teliti hingga ia tidak menyadari sudah sampai tujuannya.

Mobil yang Edmund tumpangi berhenti disebuah mansion yang sangat besar dan megah. Bahkan seharusnya mansion yang didominasi warna putih tulang dan emas ini disebut istana. Edmund menyimpan kertas-kertas itu dan keluar dari mobil setelah merapikan bajunya.

"Ed..." Rose berjalan memeluk puteranya begitu ia membuka pintu. Edmund mengusap punggung ibunya kemudian melepaskan pelukannya.

Rose mengiring Edmund memasuki mansion, beberapa pelayan menunduk begitu tuan muda yang sudah lama keluar dari mansion ini. Edmund membuka jasnya dan duduk sembari mengadahkan kepalanya ke atas, ia menghela napas layaknya orang kelelahan.

"Kau sudah menemuinya ?" tanya Rose penasaran.

"Belum, Mom."

"Apanya yang belum ?" Sergío memotong pembicaraan mereka berdua.

"Dad.." Edmund duduk dengan tegak ketika ayahnya juga ikut duduk dihadapannya.

"Kau sudah membereskannya ?" Edmund mengangguk.

"Jangan lalaikan tugas dan tanggung jawabmu, Ed. Apalagi sampai merugikan orang lain," ucap Sergío dengan tenang.

Edmund terdiam, ia rasa ayahnya tahu sesuatu. Bahkan sekarang Edmund enggan menatap wajah ayahnya, ia terlalu takut mengakui kebenaran tentang Sophia. Dan Sergío tahu, Edmund memiliki masalah yang harus ia selesaikan sendiri.

***

Siang hari saat selesai bekerja di pet shop, Sophia mempir ke toko buah. Sophia berniat untuk membeli buah untuk neneknya sebelum pergi ke rumah sakit. Ia berjalan dengan senyuman terpatri di wajahnya.

"Selamat siang, Sophie," ucap sopir bus sembari membukakan pintu untuk Sophia.

"Selamat siang, Tuan Welt," jawab Sophia dengan ramah dan duduk di tempat biasa ia duduk. Matanya memandang keluar jendela menikmati keindahan kota Los Angeles. Ia turun dari bus ketika sudah sampai. Tangannya membawa tas berisi buah-buahan.

Ia memasuki rumah sakit tempat neneknya dirawat. Sophia berjalan ke ruangan no.135-B. Rumah sakit ini memang luas, jadi jangan ditanya jumlah kamarnya. Sophia membuka pintu kamar dan mematung di ambang pintu, ruangan Martina kosong. Bahkan kasurnya sudah dilipat pertanda tidak ada penghuni.

Buah yang Sophia bawa jatuh dan berserakan di lantai. Sophia segera berlari menemui dr.Allarick, sejuta pertanyaan dalam benak Sophia membuat air matanya jatuh. Pikirannya tak karuan, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari secepat mungkin.

"Sophie ?" dr.Allarick kaget saat Sophia masuk keruangannya tanpa mengetuk pintu. Langkah kaki Sophia semakin cepat dan memegang baju dr.Allarick.

"Ke.... kemana nenekku ?" Sophia bertanya dengan sesegukan.

"Tenanglah Sophie..." dr.Allarick menyuruh Sophia duduk di kursi dan memberikannya air namun ia tolak.

"Nenekmu sudah dipindahkan ke ruangan VVIP di lantai atas, kau tidak mengetahuinya ?" Sophia menghentikan isak tangisnya dan menatap dr.Allarick

"VVIP ?" ulang Sophia, dr.Allarick mengangguk.

"Kukira kau sudah mengetahuinya. Nenekmu dipindahkan tadi pagi."

"Siapa yang memindahkannya ?"

"Aku juga tidak tahu. Pihak rumah sakit memindahkannya begitu saja."

Setelah mendengar penjelasan dari dr.Allarick, Sophia segera memasuki lift menuju lantai atas dengan wajah masih cemas. Sophia berjalan menuju ruangan di ujung lorong yang dijaga oleh para bodyguard. Pintu ruangan itu terbuat dari kaca hitam, lantai atas ini sangat sepi. Tidak ada orang berlalu-lalang seperti biasanya.

'Apa yang sebenarnya terjadi ?' pikiran Sophia terus mengulang pertanyaan itu.

"Permisi. Apa nenekku di dalam ?" tanya Sophia pada perempuan yang sedang duduk di meja kerjanya sambil menelepon.

"Ah... anda Nona Sophia ?" Sophia mengangguk.

Perempuan berpakaian formal itu memberi isyarat pada para bodyguard agar Sophia bisa masuk. Bodyguard itu menundukan kepalanya begitu Sophia lewat. Sementara perempuan itu masih kebingungan dengan keadaan seperti ini.

"Nenek !" Sophia berlari memeluk Martina yang sedang menyandarkan bahunya di kasur.

"Sayang, kau kenapa ?" bahu Martina terasa basah.

"Kukira nenek pergi kemana." Sophia menghapus air matanya kemudian duduk di pinggir tempat tidur Martina.

"Tidak ada tempat selain ranjang untuk nenek." Martina mengelus pipi cucunya sayang, Sophia menggelengkan kepalanya.

"Siapa yang membawa nenek kemari ?" tanya Sophia penasaran.

"Beberapa perawat."

"Nenek !!" teriak Sophia dengan bibir yang mengerucut.

"Aku tidak tahu Sophie, seorang pria memberitahu bahwa itu perintah tuannya," jelas Martina.

Sophia melihat sekeliling ruangan. Kamar yang sangat luas, bahkan terdapat bathub di kamar mandi, televisi yang besar, sofa yang luas dan pemandangan langsung ke taman belakang rumah sakit. Sophia harus mencari tahu siappa yang melakukan ini, awalnya ia berpikir Gunner yang melakukannya. Tapi tidak mungkin, Gunner menghilang beberapa hari yang lalu layaknya ditelan bumi.

Sophia hendak kembali bekerja sesudah berpamitan pada Martina. Ia kembali menanyakan siapa yang memindahkaan neneknya pada dr.Allarick, tapi jawabannya masih sama. dr.Allarick juga berkata bahwa obat baru yang diberikan oleh pihak rumah sakit membuat keadaan Martina membaik.

Sophia tidak perlu mengeluarkan uang lagi, karena rumah sakit bilang itu memang khusus untuk Martina. Bukannya merasa tenang, Sophia malah gelisah. Sebenarnya ia ingin Martina kembali ke kamarnya yang lama, tapi melihat keadaan neneknya yang membaik dan Martina menyukai kamar itu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Mungkin kali ini ia harus bersyukur pada Tuhan telah mempermudah hidupnya.

Sophia kembali ke apartemennya setelah selesai bekerja. Nanti malam Sophia berniat mencari pekerjaan baru, ia harus mulai menabung untuk kedatanga anggota keluarga baru. Kebutuhan anaknya kelak harus tercukupi, bahkan harus lebih disaat ayahnya tidak ada.

Sophia memutar kunci apartemen dan masuk. Ia melepaskan sepatunya dan menyimpannya dengan rapi di rak sepatu miliknya. Tangannya sibuk mencari saklar lampu saat ia membuka jaket yang dikenakannya.

"Sophia." Lampu apartemen menyala bersamaan dengan panggilan itu.

Sophia mematung. Suara ini, ia ingat dengan jelas suara bariton yang sangat ia benci. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, jantung Sophia berdetak dengan kencang. Ia memberanikan mencari asal suara. Seorang pria sedang berdiri sambil menyilangkan tangannya dan bersandar didinding, matanya yang tajam menatap Sophia lekat.

"Anda salah orang, Tuan." ucap Sophia dengan nada datar.

Sophia membukakan pintu apartemennya bermaksud menyuruh pria itu keluar. Edmund tersenyum kecil, lagi-lagi jawaban ini yang ia dapatkan saat berdekatan dengan Sophia.

"Tidak mungkin kau melupakan malam itu, Sophia. Aku ingat dengan jelas bagaimana kau menjerit ketakutan hingga memasrahkan dirimu sendiri," ucap Edmund dengan nada menantang.

"Brengsek ! Pergi dari sini iblis ! Kau adalah makhluk terkutuk." Sophia berteriak sambil mendekat menunjuk wajah Edmund.

Edmund memegang tangan Sophia yang sedang menunjuknya dan menariknya hingga jarak mereka cukup dekat. Sophia berusaha melepaskannya namun Edmund memegang tangan itu semakin kencang.

"Dengar Sophia, aku datang dengan baik-baik dan kau harus memperlakukanku baik pula." Edmund berkata dengan penuh tekanan.

"Kau masuk tanpa izin sialan, jadi sudah seharusnya kau diusir," ucap Sophia masih berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Edmund.

"Aku akan menikahimu." terucap begitu saja dari bibir Edmund. Sophia yang terkejut segera mendorong dada Edmund hingga mereka kini memiliki jarak, ia tersenyum mengejek menatap Edmund.

"Aku tak pernah ingin dinikahi oleh pria sepertimu, pergi sebelum aku berteriak !"

"Ini perintah. Bukan tawaran." Edmund berjalan mendekati Sophia yang mulai mundur perlahan.

"Kau tidak berhak atas diriku." Sophia menahan air matanya.

"Tapi aku berhak atas bayi ini," Sophia menegang, bagaimana pria ini bisa tahu hal yang sangat ia sembunyikan. Bahkan dari neneknya.

"Ingat itu baik-baik." Edmund mengelus sekilas perut Sophia yang masih datar sebelum ia keluar dari apartemen dan meninggalka. Sophia yang masih tidak percaya.

---

IG : @ALZENA2108

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status