Share

Anggara

Di sana Handoko masih berusaha tetap tenang. Akan tetapi, ketika melihat sorot mata milik sang wanita, Handoko bergidik.

Tatapan itu tampak tajam sekilas, namun sedetik kemudian itu jelas tak memiliki titik fokus orang pada umumnya.

Ditambah lagi, dengan kesunyian di bibir mungil yang serangkai dengan air mata mengalir deras, jelas wanita di depannya tidak sedang dalam kondisi baik.

Menyadari keanehan itu, dengan langkah cepat ia mendekati samping mobil bagian belakang kemudi, dan berbicara sedikit berbisik.

"Tok..tok..tok"

Suara kaca mobil di ketuk.

"Sreeeeet."

Suara kaca mobil terbuka.

"Tuan...Sepertinya wanita ini agak tidak normal." Ucap Handoko pelan.

Mendengar bisikan tersebut, Anggara masih bersikap acuh tak acuh.

Baginya apapun atau siapapun di depan sana tidak ada sangkut pautnya dengan diri sendiri, lalu apa pedulinya?.

Ia adalah Anggara prawira, sosok realistis tinggi dalam segi apapun, termasuk segi hubungan di antara manusia.

Dengan sikapnya yang demikian, tak salah jika orang yang tidak mengenalnya dengan baik, akan selalu melebelkan sosok egois, arogan, serta sombong untuk pria tersebut.

Bahkan, julukan terbaik yang melekat untuknya selama setahun terakhir ini, adalah tubuh tak berjantung.

Lalu dengan sebutan itu, masihkan dapat di harapkan ia akan berbelas kasih ataupun bersimpati untuk sosok di depan sana, yang jelas-jelas telah menggangu perjalanan nyaman yang ia nikmati?.

Dan jawabannya tentu saja tidak.

Dia adalah seorang dari keluarga Prawira, dan juga kebetulan merupakan putra satu-satunya dari keluarga tersebut.

Dengan identitas itu, ia tidak peduli tentang tanggapan dan julukan dari orang lain.

Semua membutuhkan dirinya, dan ia adalah poros penentu untuk kelangsungan orang di sekitarnya.

Anggara masih acuh tak acuh, ia bahkan tidak melihat kearah sosok di depan mobil.

"Apa maksudmu?, ayo cepat jalankan mobil, jangan pedulikan dia." Jawabnya datar dari dalam mobil.

"Mungkin ini cara baru para wanita untuk menarik perhatian pria di tengah jalan." Imbuhnya lagi, tanpa menunggu jawaban Handoko, atau tertarik untuk melihat keberadaan Angel, ketika menutup kaca mobil di sampingnya.

Setelah Anggara menutup kaca samping mobil, ia melihat Handoko dengan cepat kembali masuk kedalam mobil, membunyikan klakson beberapa kali.

Anggara yang berada di kursi belakang tak peduli, dengan apa yang di lakukan supir dadakannya tersebut.

Ia kelelahan hari ini, banyak hal juga yang masih belum rampung menjadi beban pikirannya sekarang.

Bahkan, Anggara tak ambil pusing, ketika Handoko memutuskan untuk sedikit mengambil jalan di tepi pembatas jalan, yang masih berupa tanah tanpa paving.

"Dasar g*la, cari jembatan dan melompat saja, jangan merepotkan orang lain." Sarkas Handoko, untuk sosok di luar mobil mereka.

Anggara yang mendengar perkataan kasar sahabatnya tersebut tersenyum. Ia tak menyangka, bahwa pria disana dapat mengeluarkan perkataan seperti itu untuk seorang wanita.

Namun, senyum itu hanya bertahan sekilas saja, pria dengan julukan tanpa jantung tersebut, kembali merebahkan tubuh pada sandaran jok mobil, menikmati perjalanan kembali, yang tinggal sejengkal.

Namun, belum jauh mobil itu berjalan, ia kembali terganggu dengan tarikan mobil, akibat rem yang di injak tiba-tiba.

Anggara memejamkan mata malas, seolah ia tengah mengatur sebuah emosi yang hendak meraung keluar dari sangkarnya.

Perlahan ia membuka mata, namun masih dalam posisi tubuh yang bersandar dan bertanya. "Ada apa?."

"Tuan...sepertinya wanita itu pingsan." Jawab Handoko pelan.

Meski tak melihat sosok Handoko di depannya, ia mampu menebak bahwa pria di depannya, tengah menatapnya dari spion mobil.

Anggara masih bersabar untuk sahabat yang ia anggap bodoh di kursi depan, dengan malas ia kembali berucap. "Lalu?."

Tak ada sahutan ataupun perkataan dari pria di depan kemudi.

Anggara mulai kesal, ia meningkatkan nada suaranya satu Oktav. "Apa kau pikir kita harus membantunya?"

Kali ini Anggara tidak menunggu jawaban dari sahabatnya tersebut, dan kembali menyambung ucapan barusan. "Apa kau kira aku memiliki waktu untuk di buang sia-sia?, cepat jalankan mobil waktuku hampir habis."

Anggar di buat jengkel oleh Handoko, dengan sikap diamnya. Ia juga kesal karena waktu yang telah di susunnya sejak kemarin, kini berantakan.

Anggara tidak peduli, tentang apa yang kini berputar di benak sang sahabat tersebut. Meski ia melihat wajah menggantung Handoko, baginya yang terpenting mobil harus kembali di jalankan.

Namun, kekecewaannya kian membesar ketika, ia menyadari bahwa mobil yang di kendarai berjalan di bawah kecepatan.

Anggara mendudukkan tubuhnya tegap, ia menatap punggung pria di balik kemudi di depannya, dan bertanya. "Han...Apa kau bosan berkerja padaku?."

Suara itu di tekannya setenang mungkin, dan mata tajamnya menatap lekat kearah sosok di depan.

Dan benar saja, dalam hitungan sepersekian detik, Anggara mampu menangkap keterkejutan dari reflek tubuh Handoko.

"Hah...Tidak tuan." Jawab reflek Handoko, dengan nada sedikit gugup.

Anggara menyunggingkan senyum tipis. "Lalu..?"

Tanyanya lagi.

Ia kembali menatap lekat punggung di depannya, dan menunggu jawaban apa yang akan di sampaikan dari sosok di balik kemudi.

Akan tetapi, Jawaban itu tidak dengan cepat ia dengar, sehingga ia merasa bosan dan merebahkan tubuhnya kembali seraya menutup mata.

Anggara berpikir bahwa kini sahabatnya tersebut, telah mengerti dan akan menjalankan mobil dengan benar.

Namun, apa yang ia pikirkan bukanlah hal yang terjadi. Selang waktu yang tak lama, Handoko membuka mulut dan balik bertanya. "Lalu...?, lalu apa tuan?."

Mendengar pertanyaan pria di depan sana, Anggara di jok belakang bingung.

"Apakah sahabatnya ini masih orang yang sama, atau berubah bodoh hanya karena peran supir yang baru ia berikan beberapa jam yang lalu?." Gumam Anggara dalam hati.

Pikiran Anggara masih kesal dengan apa yang terjadi. Di tambah lagi dengan pertanyaan bodoh barusan, ia bisa meledak dan menghancurkan sosok di depan kemudi tersebut.

Anggara perlahan membuka mata, ia menatap langit-langit mobil dan menjawab sedikit sinis.

"Apa kau mulai bodoh?. Bahkan, siput pun tidak berjalan sepelan mobil ini."

Dan benar saja, setelah ia selesai mengatakan hal tersebut, mobil bergerak dengan kecepatan seharusnya.

Meski demikian, ia telah kehilangan minatnya untuk menikmati sisa perjalanan.

Anggara kembali membawa tubuhnya duduk dengan benar. Tangannya hendak meraih tas kerja di samping tempat duduk, dan melewati waktu untuk mengecek laporan.

Namun, ketika mata itu melihat kearah spion mobil, ia menangkap senyum tipis di bibir Handoko.

Dalam sekejap jiwa tiran miliknya meronta.

Ia berpikir, bahwa pria di depan kemudi, telah memiliki pikiran buruk untuk dirinya.

"Han.."

Panggilnya dengan suara yang ia tekan.

"Iya tuan.."

Jawab Handoko, juga dengan tenang.

"Apa kau mencemooh ku dalam hati?" Anggara.

"Tidak tuan, itu tidak mungkin terjadi." Jawab Handoko masih tenang.

"Lalu..?." Anggara lagi.

Entah apa yang di pikirkan Handoko. Namun, wajah Anggara mulai berkabut tebal.

"Ekheeem."

Handoko mengeluarkan sinyal palsu deheman.

"Ada apa dengan "lalu" tuan?." Sambung Handoko lagi.

Anggara melihat jelas, senyuman yang tersungging tipis di bibir Handoko lagi dari kaca spion, dan kembali berkata. "Kau terlihat bodoh dengan senyuman itu."

Tatapan Anggara bertemu manik Handoko yang melirik spion sejenak, sebelum kembali fokus menatap ke depan.

Perasaan sensitif Anggara kembali berontak, dan dengan reflek ia bertanya kembali. "Untuk siapa kau tersenyum Han?."

Dengan bahasa lain, senyum sinis tersebut tengah di tunjukan untuk mengejek siapa?, jika itu untuknya maka Anggara telah memutuskan, untuk membatalkan rumah yang telah ia janjikan kepada pria itu.

Namun, ia tidak menyangka bahwa jawaban sahabat yang beberapa saat lalu ia katakan bodoh, akan mengubah suasana dalam mobil seketika itu juga.

"Oh...ini untuk siput tuan."

Mendengar jawaban konyol sang supir, Anggara mengernyitkan kening dan menampilkan ketidaksenangan.

Namun sedetik kemudian Handoko kembali melanjutkan perkataannya. "Jika ada siput secepat mobil kita, sepertinya olimpiade untuk mereka bisa di adakan tuan."

Dan benar saja, begitu ucapan tersebut terselesaikan, dalam waktu singkat suara gelak tawa di dalam mobil pecah dari kedua pria di sana.

Suasana tegang dengan bumbu kemarahan yang hampir pecah, nyatanya berubah menjadi tenang dan lebih nyaman akibat keajaiban "siput".

Namun, tiba-tiba sebuah suara dari Anggara kembali menarik tawa mereka.

Menyimpan candaan yang harmonis itu, kembali kedalam peti kaku keseriusan keduanya.

"Apa wanita itu benar-benar pingsan Han?" Anggara.

"Sepertinya begitu tuan." Handoko.

"Lalu..?."

Lagi- lagi kata itu meluncur dari bibir Anggara, di balik punggung Handoko.

Namun kali ini, pria di balik kemudi mobil tidak lagi kebingungan.

"Baik tuan." Sahutnya reflek.

Dengan cepat Handoko melambatkan mobil, berputar arah, dan kembali menyusuri jalan sama, yang telah ia lewati beberapa detik lalu.

Sementara itu, Anggara yang berada di kursi belakang, kembali merebahkan punggung seraya bergumam pelan. "Semoga kita tidak membodohi diri sendiri."

Mendengar ucapan itu, Handoko menyahutinya dalam hati. "Saya harap juga demikian."

Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata, tidak cepat dan juga tidak lambat.

Dan hal itu membutuhkan waktu hampir 3 menitan, untuk bisa kembali ketempat semula, dimana ia bertemu dengan wanita disana.

Dan seperti apa yang mereka pikirkan, sosok tubuh itu masih tergeletak tak sadarkan diri di tengah jalan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status