Home / Romansa / Oh...Jandaku tersayang. / 6. Hanum dan Hartono.

Share

6. Hanum dan Hartono.

Author: TT.nuya
last update Last Updated: 2022-03-26 19:02:08

"Kau sudah pulang...Bagus..Pulang saja, jangan pikirkan apapun." Ucap Hartono lembut, sembari mengusap kepala sang menantu.

Entah mengapa begitu tubuhnya yang lelah, menerima kehangatan pelukan dari Hanum, air mata kembali meleleh.

Bulir bening tersebut, seolah ingin berteriak kepada kedua orang tua di sana, dan mengadukan keburukan Bagas putra mereka.

Sebagai seorang wanita, Hanum mampu memahami penderitaan Angel.

Ia juga tahu dengan benar, bahwa seorang istri tak ada satu di antara ke duanya, yang rela untuk berbagi suami.

Hanum ikut merasakan kepedihan Angel, dan itu tulus adanya. Bagaimanapun, ia telah menganggap wanita itu sebagai putri sendiri, bahkan sebelum menjadi istri Bagas putranya.

Angel adalah sahabat Cantika, adik kandung dari Bagas, putri kesayangan Hartono.

Keduanya telah berteman sejak mereka masih duduk di bangku SMP, dan ketika kedua orang tua Angel mengalami musibah yang membuat Angel menjadi yatim piatu, Hanum lah yang banyak maju, untuk memberikan kekosongan di hati Angel.

Wanita itu bahkan, akan mengajak Angel di acara liburan keluarga mereka, jika ia berkenan dan sedang tidak memiliki urusan.

Angel juga, sering datang ke rumah keluarga Pambudi baik itu sekedar untuk berkunjung, ataupun menginap beberapa saat ketika ada waktu luang.

Bagi Angel, keluarga Pambudi adalah rumah ketiganya, setelah rumah peninggalan kedua orang tua, dan keluarga neneknya.

Dan ketika Bagas menaruh perhatian terhadap Angel, Hanum sang ibulah yang paling bersemangat mendukung hubungan mereka hingga ke jenjang pernikahan.

Wanita itu tak pernah berpikir, bahwa Bagas putranya yang di kenal baik dan pendiam, akan melakukan kesalahan besar terhadap Angel.

Hanum perlahan membawa Angel masuk kedalam kamar, ia ingin menenangkan dan mengajak sang menantu berbicara dari hati kehati, sebagai seorang teman, sebagai seorang ibu dan sebagai seorang wanita.

Dalam hati dan pikiran Hanum, ia tak ingin kehilangan putrinya ini. bagaimanapun pembuat masalah itu adalah putranya, dan jika terjadi suatu hal buruk dalam rumah tangga mereka, maka Hanum akan di jauhkan dari Angel.

Hanum juga menyadari bahwa jika itu benar-benar terjadi, sebaik apapun hubungan sebelumnya di antara mereka, Angel akan memiliki keengganan besar untuk melanjutkan pertalian silahturahmi seperti dulu.

Perlahan Angel mengikuti tarikan tangan Hanum, setelah melepas pelukan mereka.

Sementara Hartono yang masih memendam kecewa kepada putranya, hanya diam mendudukkan tubuhnya kembali pada kursi di tengah ruangan, tanpa menghiraukan kecanggungan Bagas.

Bagas mengerti, bahwa ayahnya saat ini masih marah kepadanya.

Meski tidak sebesar kemarin ketika baru datang, namun selama sang ayah berada di dekatnya sejak mereka sampai, pria itu menganggapnya udara.

"Aku tidak melakukannya dengan sengaja."

Bagas mulai membuka suara.

Sejak kemarin ia ingin menjelaskan segalanya ke pada keluarganya tersebut.

Namun, dengan kemarahan yang besar untuk dirinya, ia tidak pernah dapat menjelaskan dengan sempurna.

"Beri aku kesempatan bicara, semuanya bukan seperti apa yang kalian pikirkan."

Hartono masih diam, justru meraih remote tv yang berada di samping serta memencet beberapa tombol.

Tangannya yang mulai menunjukan jejak berlalunya waktu, berhenti bergerak ketika layar kaca di depan sana menampilkan sebuah acara talk show.

"Tapi kenyataannya kau bersalah, dan itu sungguh memalukan." Jawab Hartono datar.

Mulut itu mengatakan cibiran untuk Bagas, namun dengan mata yang terfokus pada layar tv.

"Kami melakukannya tidak dengan sengaja Yah, dan dia juga telah bersedia untuk melupakan kejadian itu." Bagas.

"Dia?, siapa yang kau maksud dengan dia, Angel atau selingkuhan mu?" Tanya Hartono lagi, masih dengan tatapan mata terfokus di lain tempat.

Mendengar pertanyaan itu, Bagas menunduk, dan dengan suara pelan ia kembali menjawab.

"Vanesa, wanita yang bersamaku malam itu, ia tak ingin menuntut apapun, dan berharap kami hanya sebagai teman seperti sebelumnya saja."

Suara Bagas terdengar sangat lirih, bahkan seolah itu sebuah gumaman saja.

Mendengar serta melihat ekspresi tersebut, Handoko tersenyum sinis kepada sang putra.

"Bahkan jika itu tidak di sengaja, dan tidak ada hubungan apapun di antara kalian. Mengapa aku merasa nada itu, seolah kau menganggapnya baik, bahkan dia juga menarik simpati serta pembelaanmu?" Hartono.

"Ingat....Selain ayahmu, aku juga seorang pria. Dan yang lebih penting, waktu hidupku jauh lebih banyak darimu."

Hartono menghela nafas sejenak, ia beralih menatap remote tv yang ia pegang.

Meski tatapan itu di sana, namun pada kenyataannya sorot mata itu tampak sendu.

"Jangan membuat putih menjadi abu-abu, tanyakan pada hati kecilmu, apakah itu tidak di sengaja atau kau memang menginginkannya?, bahkan jika orang telah buta, ia masih dapat membedakan aroma madu dan air kotoran."

Mendengar perkataan yang meluncur tajam untuk dirinya, Bagas mengangkat kepala dan menoleh kearah Hartono.

"Yah...aku tidak pernah mencintai orang lain, selamanya Angel adalah satu-satunya, dan aku tidak pernah membelanya. itu adalah kenyataan yang terjadi."

Suara Bagas terdengar berbobot, seakan perkataan dan pendapat Hartono semuanya salah. Dan dirinyalah yang benar di sini.

Bagas berpikir ia benar dalam penyampaian perkataannya barusan, tanpa menutupi apapun, atau berniat membela siapapun.

Melihat keyakinan sang putra, dan sedikit meninggikan suara di depannya, Hartono menjadi bertambah kesal.

Dengan sedikit tekanan Hartono meletakkan kasar remote tv yang dipegang, pada bantalan kursi di samping tempat duduknya.

Hartono menatap mata Bagas lekat, dengan pandangan mencemooh.

Sementara Bagas yang di tatap sedemikian rupa, menyadari telah bersikap tidak sopan kepada sang ayah.

"Maaf...saya tidak bermaksud untuk kasar." Bagas.

"Itulah bedanya jika orang bodoh berlagak pandai.

Bahkan, jika ia bersalah tetap saja merasa paling benar." Hartono.

"Menurutmu dia tidak ingin menggangu kalian dan melupakan kejadian itu, lalu mengapa istrimu bisa memiliki bukti di tangannya?, apa kalian sedang tayangan live, sehingga banyak orang yang menyaksikan perbuatan kalian."

Hartono berdiri dari duduk, ia tidak tahan lagi dengan kebodohan putranya tersebut.

Namun, baru beberapa langkah, pria yang telah setengah abad tersebut kembali menghentikan langkah, dan berkata. "Kau bisa menikah dengan siapapun, bahkan jika itu ada 2,3 atau tak terhitung jumlahnya, tapi menantu keluarga Pambudi hanya satu orang Angel saja."

"Dan satu hal lagi, dalam pandangan pria tua ini, semuanya jelas salahmu. Sebagai seorang pria kau terlalu lemah dalam mengambil sikap, dan hal itu berakibat buruk untuk diri dan keluargamu sendiri."

Hartono meninggalkan Bagas, dengan pikirannya yang "Leng".

Ada sedikit kebimbangan dalam benaknya saat ini.

Namun, perkataan sang ayah memang benar adanya.

Bagaiman mungkin ada orang lain yang berada di ruangan itu, dan bahkan leluasa mengambil gambar kejadian di malam tersebut.

Bagas kembali mengingat rekaman gambar Vidio di telepon genggam Angel, ia memikirkan dari sudut mana pose Vidio dirinya dan Vanesa di ambil.

Namun, dalam sekejap saja, wajah Bagas menghitam dadanya bergemuruh hebat.

"Sial...sial...ternyata ini benar ulahnya, sial...sial.."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Oh...Jandaku tersayang.   Hanya karena teh.

    "Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati. Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, sebab di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke depan. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir, wanita itu berpikir bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah ia memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu beberapa saat tadi, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa sesak menyeruak dalam dada, yang perlahan menghimpit hati Angel, mungkin ini mengacu pada rasa malu, kesal pada diri sendiri, atau mungkin merasa rendah sert

  • Oh...Jandaku tersayang.    Daftar hitam.

    "Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah

  • Oh...Jandaku tersayang.   Lebih bodoh darimu

    "Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t

  • Oh...Jandaku tersayang.   Beauty Phoenix.

    " Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan. "Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dia merasa kesal melihat orang lain menertawakan sekertaris nya, meskipun dia juga sempat merasa lucu tadi. Tapi itu berbeda jika dia yang mentertawakan makhluk bodoh ini, dan hanya dia yang boleh orang lain tidak. Anggara tidak menyadari semua sikap dan tindakannya saat ini. Maklumlah seorang Anggara kapan akan mempertimbangkan ucapan d

  • Oh...Jandaku tersayang.   Pemakan segala.

    "Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret

  • Oh...Jandaku tersayang.   Bertemu lagi.

    "Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status