Share

Kemalangan Arumi

Suara air mengalir masih mengelilingi wastafel pagi itu. 

Jam masih menunjukkan pukul 5 pagi, dan Arumi sudah berjibaku di dapur untuk mencuci piring-piring kotor bekas makan malam para penghuni panti asuhan ini. 

Sudah menjadi tugas Arumi untuk membersihkan berbagai perlengkapan panti sejak dulu. 

Lamunan Arumi kembali melayang saat ia memikirkan ucapan Dasom kemarin. 

Tentang Dasom yang akan mendaftar ke Draksita University. 

Siapa sih yang tidak tahu Draksita University? 

Setiap murid di kota ini pasti saling berebut memiliki mimpi untuk melanjutkan studi ke sana. 

Universitas itu adalah universitas dengan taraf internasional yang sangat bagus, pendidikannya bermutu dan fasilitas yang di tawarkan sangat mumpuni. 

Hanya mahasiswa pilihan yang dapat mendaftar di sana. 

Bisa di bilang, Draksita University adalah Universitas nomer satu di kota ini, ah, bukan. Bahkan skalanya adalah seluruh negeri.

Universitas itu bagaikan tempat impian untuk semua orang yang bermimpi mendapatkan pendidikan terbaik di negeri ini. Jaminan mutu untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. 

Banyak orang penting yang merupakan lulusan dari sana. Para pebisnis, pengusaha, ilmuwan, insinyur, sastrawan.

Arumi sering melihat mereka semua para lulusan Draksita menjadi pembicara di stasiun televisi. Mengungkapkan betapa beruntungnya mereka bisa menjadi bagian dari Draksita University. 

Arumi terdiam sejenak. 

Kalau boleh jujur, Arumi pernah mendapatkan tawaran beasiswa untuk melanjutkan sekolah di sana saat ia mendapatkan angket penentuan universitas beberapa bulan yang lalu. 

Arumi adalah murid yang rajin dan pintar. Ia selalu hampir mendapatkan tawaran beasiswa dari beberapa pihak akan prestasinya yang luar biasa cemerlang di bidang akademik. 

Sebenarnya Arumi sangat senang akan tawaran beasiswa itu. Siapa yang tidak senang sih kalau di tawari masuk ke dalam Universitas beken nomer satu di kota ini?  

Arumi tahu, bahkan semua teman sekelasnya memimpikan masuk ke sana, tapi karena seleksinya yang bukan main banyak yang menyerah dan tidak berani berpikir masuk ke Draksita. 

Arumi termasuk beruntung. 

Ia mendapatkan tawaran tersebut langsung dari pihak kampus karena nilai-nilai akademiknya yang terbilang gemilang selama kurun waktu tiga tahun. 

Arumi memang mati-matian mempertahankan peringkatnya selama di sekolah. Ia selalu menargetkan untuk menjadi peringkat satu bagaimanapun caranya. 

Karena hanya dengan cara itu ia dapat membanggakan Ibu kepala panti asuhannya selama ini bernaung.

Mempunyai salah satu anak asuh yang dapat beasiswa ke universitas bagus, itu pasti akan menjadi nilai plus untuk panti asuhan ini, bukan? 

Namun seketika Arumi tersadar akan sesuatu.

Ia tersadar jika menerima tawaran bersekolah di Draksita University itu sama saja ia akan semakin memberatkan Ibu Kepala,  menambah beban kepada wanita paruh baya itu. 

Uang semester di Draksita itu sangat mahal, tiga kali lipat nominalnya dari pengeluaran sebulan di panti asuhan tempat Arumi tinggal. 

Belum lagi untuk membeli perlengkapan lainnya, uang buku, uang bangunan, uang fasilitas, uang ekstrakulikuler tiap bulan yang akan memakan banyak biaya.

Meskipun mendapatkan beasiswa, memikirkan biaya hidup bertahan di kampus mewah itu saja sudah membuat Arumi menggelengkan kepalanya, tidak sanggup. 

Oleh karena itu, Arumi mengurungkan mimpinya dan menolak tawaran itu begitu saja.

Membiarkan mimpinya untuk menjadi mahasiswi Draksita meluap begitu saja, melayang ke udara bersama angan semunya. 

Dan pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk tidak usah memikirkan kuliah. 

Ia sudah mantap, setelah benar-benar lulus dari sekolah, Arumi akan mulai mencari pekerjaan. Part time pun tak mengapa, asalkan menghasilkan uang. 

Dasom benar, orang seperti dirinya memang tidak akan bisa melakukan sesuatu yang besar, karena dia bukan siapa-siapa. Hanyalah seorang gadis panti asuhan yang penuh mimpi-mimpi kelabu belaka.

‘Arumi, mengapa kau selalu mengeluh. Berhentilah sedih, menyedihkan tahu?  Bukankah kau masih memiliki kehidupan yang layak?’ 

Arumi mengambil nafas dan mencoba berkata pada dirinya sendiri, mengingatkan dirinya agar tidak menangis seperti orang bodoh menangisi hidupnya lagi. 

“Ada apa dengan kakimu?” ucapan Ibu Jang membuat lamunan gadis itu menguap seketika.

Arumi buru-buru berbalik menatap Ibu Kepala dan mengganti ekspresi wajahnya dengan sebuah senyum cerah yang sengaja ia tunjukkan.

“Ibu kepala, mengagetkanku saja. Aku terjatuh saat sepulang sekolah. Tidak apa-apa , kan?” Arumi memaksakan senyum bodohnya yang bisa langsung terbaca oleh Ibu Kepala.

Wanita paruh baya itu hanya terdiam menatap kaki Arumi yang membiru seperti habis mendapatkan sebuah pukulan yang cukup banyak.

"Benar tidak apa-apa?  Kau yakin?  Kau sedang tidak menyembunyikan sesuatu bukan?"

"Tidak, Ibu. Ibu ini terlalu khawatir. Lagipula kenapa aku harus berbohong pada Ibu, kan?"

“Ya sudah.  Bergegaslah ke sekolah. Kau harus mengurus berkas kelulusanmu hari ini kan? Dan,  oh ya, jangan lupa untuk pulang sebelum hari sore, akan ada orang tua yang datang ke sini . Kau harus mengurus adik-adik mu hari ini, kalau aku sendiri akan repot. Setidaknya hari ini, harus ada satu yang terpilih."

“Aku mengerti, Ibu." Arumi mengangguk sambil membersihkan tangannya dan bergegas memakai seragam sekolahnya kembali. 

Hari ini. 

Ia harus berhasil merayu salah satu orang tua asuh untuk memungut anak di tempat ini. 

***

Arumi melirik jam di ponselnya, sebentar lagi jam 4 sore dan ia belum juga pulang. Padahal hari ini akan ada orang tua yang datang ke panti untuk melihat anak-anak. 

Arumi kan harus mengurus para anak-anak yatim yang sudah ia anggap seperti adik-adiknya sendiri itu, karena Arumi tahu para anak itu sebagian ada yang nakal dan hanya Arumi—lah yang bisa membuat mereka patuh. 

Arumi mempercepat langkahnya agar bisa pulang tepat waktu setidaknya sebelum ‘orang tua’ itu datang namun langkah gadis itu terhalang seketika karena begitu banyaknya murid yang mendadak berkerubung di depan trotoar jalanan menutup berbagai akses jalan membuat Arumi tidak bisa lewat dengan mudahnya.

“WAA!!!! Mereka benar-benar C4!!!”

“Semuanya sangat tampan!!”

“Kenapa mereka bisa berada di sini? “

“Kenapa kau bertanya, sih. Suka suka mereka kan mau kemana saja.”

“Sepertinya mereka habis mencoba coffee di café ujung jalan itu!”

“Waaa~ mereka sangat tampan! Lihat, itu Kak Christ sedang meminum kopinya!"

“Apa kau sudah mengambil foto mereka? Cepat.”

“Aku menyentuhnya! Aku menyentuh Gerald!!”

“Mereka memang benar-benar pangeran Draksita. Sangat berbeda dengan lingkungan kita.”

“Aku akan pingsan!”

“Jangan biarkan mereka pergi!!!”

***

 

Arumi menggosok dengan kedua tangannya dan menaruhnya ke kedua kupingnya setengah meringis, mendadak telinganya menjadi bising mendengar suara-suara para manusia ini yang entah sedang meributkan apa, sungguh apa yang terjadi sebenarnya?

 

Apa ada artis yang tiba-tiba kedapatan berjalan di jalan trotoar ini dan langsung di kepung massa? 

Apa EXO datang melakukan jumpa fans di jalan sempit ini? Atau justru NCT yang datang? Arumi mendengus berat, ia tidak peduli dengan semua itu. 

Yang ia inginkan sekarang hanyalah agar ia bisa di beri jalan hingga ia bisa menyebrang ke ujung jalan sana dan sampai ke panti dengan tenang.

“Permisi, aku harus pulang cepat.” Arumi berusaha menyelusup masuk ke gerombolan itu hanya untuk bisa melewati jalan, namun itu benar-benar sulit mengingat banyak sekali manusia di sini yang entah sedang mengerubungi apa.

“Permisi,tolong biarkan aku lewat.” Arumi berusaha menyelusup dari satu celah ke celah lain. Targetnya sekarang hanyalah agar segera bisa melewati jalan ini dan menyebrang ke arah sana, kembali pulang ke panti.

Namun seakan tidak ada yang mendengarkannya, ucapan Arumi menguap begitu saja ke udara.

Arumi justru makin terdesak terdorong oleh seorang murid wanita berbadan besar yang menghimpitnya.

Kekesalan Arumi semakin memuncak begitu badannya seenaknya saja di dorong-dorong dengan kasar dan kakinya di injak begitu saja oleh orang-orang ini. Belum lagi udara begitu panas, Arumi merasakan kekesalannya memuncak.

Kenapa ia selalu di persulit oleh orang-orang di sekitarnya? 

 

“YAAAAA!!!! APA KALIAN TIDAK BISA MEMBIARKAN KU LEWAT SEBENTAR SAJA!!!” Arumi berteriak dengan kesal membuat orang-orang itu sontak terdiam seketika, menatap Arumi yang sudah berteriak dan menampakkan raut wajah kesalnya.

Arumi memandang ke arah depan mendapatkan pemandangan 4 orang lelaki tampan mirip 'pria bunga' tengah menatap ke arahnya. 

Sungguh, Arumi tidak bohong ke empat pria itu terlihat sangat berkilauan. Tapi sayangnya, Arumi tidak peduli dengan semua itu. Mau setampan apa orang-orang yang ada di depannya sekarang, yang lebih penting baginya adalah bisa pergi dari tempat ini secepat mungkin. 

4 orang di sana itu juga tidak kalah terkejutnya mendengarkan suara Arumi yang terdengar sangat keras. 

Bisa Arumi rasakan kalau ke 4 orang itu mengarahkan pandangan mereka hanya kepada dirinya, gadis yang memecah suasana ramai tadi dengan teriakannya.

“Aah, Naira Arumi si anak buangan ya? Berani sekali kau berteriak kepada kami!” murid wanita berbadan besar yang tadi mendorong Arumi itu kembali mendorong tubuh kecil Arumi membuat Arumi refleks tersungkur ke jalan trotoar dengan mudahnya hanya dalam sekali dorongan.

“Ya!!! Heii!!!  Kau sudah membuat para pangeran kita kaget, tahu! Kau memang pembuat masalah, Arumi!” sekarang seorang gadis jangkung yang agak kurus merampas tas yang dibawa Arumi begitu saja, Arumi segera bangkit, hendak melawan dan mengambil kembali tasnya dari tangan gadis kurus itu.

“Siapa suruh kau berteriak kepada kami? Kau bahkan membuat pangeran kita terkejut. Kak C4, kalian tidak apa-apa kan? Gadis bodoh ini memang tidak punya etika. Seenaknya saja ia berteriak. Memang itu adalah yang dilakukan oleh seseorang yang tidak punya orang tua.” gadis kurus itu kembali berceloteh dan dengan seenaknya membuang tas orange Arumi begitu saja sambil sesekali menatap 4 pemuda di depannya dan memasang senyum munafik miliknya sesekali.

Arumi terkesiap mendapati tas orange miliknya yang sudah rusak dan menjadi kotor atas perlakuan gadis kurus tadi. 

Kenapa? Kenapa semua orang menjahatinya?

Kenapa seorang membencinya? Hanya karena ia adalah seorang gadis panti asuhan , ia bahkan tidak diizinkan untuk hidup dengan baik di dunia?

“Ya, terbaca dengan jelas. Dia kan tidak punya orang tua, jadi dia tidak pernah di ajari dengan benar.” timpal gadis berbadan besar tadi sambil tertawa.

Arumi mengepalkan tangannya perlahan mendengar celotehan orang-orang yang sudah menghinanya. 

Sungguh, ia tidak masalah jika semua orang meneriakinya gadis panti asuhan atau gadis buangan, namun jika menyinggung masalah orang tua Arumi tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia sangat sensitif dengan kata itu. 

Memangnya kenapa kalau ia tidak mempunyai orang tua? Apakah ini salahnya kalau ia terlahir tanpa memiliki orang tua disisinya?

Tess~

Satu bulir air mata jatuh membasahi pipi putih merona Arumi. 

Arumi bukanlah gadis yang cengeng, ia juga jarang untuk menangis sesulit apapun masalah membelenggunya.

Namun entah mengapa, kali ini ia tidak bisa menahan diri dan bersikap tegar seperti biasanya.

Terlalu menyakitkan. Hidup yang terlalu menyedihkan.

Tanpa Arumi sadari, ke 4 pemuda di sana itu yang merupakan objek kerubungan para murid wanita ini sedari tadi terus menatap Arumi dalam diam. Tidak ada yang mengalihkan pandangan mereka sedetik pun dari sosok Arumi saat gadis itu menangis.

Arumi menghapus bulir air mata yang menyentuh pipinya, lantas meraih kembali tas nya yang sudah kotor berbalik untuk segera meninggalkan tempat ini.

“Bisakah kalian menyingkir? Aku sudah muak dengan kehidupan ini.” ujar Arumi pelan kepada 4  pemuda yang berada di depan dan menghalangi langkahnya.

Satu per satu para pemuda itu menggeser langkah mereka dengan teratur memberikan jalan kepada Arumi untuk lewat. Arumi tidak peduli, ia tidak peduli pada apapun. 

Tidak peduli kepada pandangan sinis dan mengejek yang di ajukan para teman-temannya itu. Arumi menyeret langkahnya menyebrangi sisi jalan untuk segera kembali pulang.

Empat pemuda itu masih memandangi sosok Arumi yang berjalan pergi dari arah belakang. 

Seakan tidak memperdulikan teriakan histeris para gadis yang kembali mengelukan nama mereka, ke 4 lelaki itu hanya fokus kepada pandangan mereka masing-masing.

Gadis dengan seragam cokelat yang sedang beranjak pergi itu.

Gadis yang dari tadi terus mereka perhatikan.

“Gadis yang menarik, huh?” gumam mereka berempat secara bersamaan entah karena satu koneksi yang sama atau hanya... sebuah kebetulan semata. 

***

Arumi menghapus sisa-sisa jejak air matanya dan menepuk-nepuk tas miliknya hanya untuk menghilangkan debu dan pasir yang membuat tas ini menjadi begitu kotor begitu sampai di depan gerbang panti asuhan. 

Gadis itu berusaha mengambil nafas dan memaksakan senyumnya, ia tidak boleh membuat Ibu Kepala curiga.

“Aku pulang.” sahut Arumi begitu ia beranjak masuk ke dalam. 

Anak-anak panti sudah menunggunya sedari tadi, mereka langsung menyambut kedatangan Arumi yang baru pulang dari sekolah.

“Kak Rumi, kenapa lama sekali? Kak Rumi, kata Ibu Kepala ‘orang tua’ akan datang.” anak lelaki kecil dengan rambut jamur itu langsung menghampiri Arumi yang baru akan membuka kaus kakinya.

“Kak Rumi, apa benar salah satu dari kita akan diambil? Aku takut, Kak. Takut sekali.” sekarang gadis kecil berambut pendek sebahu dengan gigi susu itu merengek di lengan Arumi dan menampakkan wajah cemas yang menggemaskan. 

Arumi terkekeh pelan menatap adik-adiknya ini.

“Reyna, Kevin, kenapa harus takut? Seharusnya Reyna, Kevin senang dong, mungkin salah satu dari kalian akan mendapatkan keluarga baru. keluarga yang hangat.” jawab Arumi sambil membelai pelan rambut lurus dua anak kecil bernama Reyna dan Kevin itu.

“Tabita minggu lalu juga mendapatkan keluarga baru. Tapi ia tidak pernah datang kembali kemari lagi, Kak."

“Kak, terus kenapa Kakak belum mendapatkan keluarga baru?” Arumi terkesiap mendengar ucapan polos yang begitu saja keluar dari adik kecilnya yang sedang menatapnya polos. 

Arumi terdiam sejenak.

Arumi sejak kecil selalu menolak jika ia akan diadopsi. 

Banyak pasangan orang tua yang berniat mengambilnya , namun Arumi benar-benar selalu membuat masalah agar orang tua itu batal mengadopsinya. 

Arumi juga tidak tahu mengapa ia menjadi seperti itu. Arumi hanya merasa takut dengan kehidupan yang baru. Ia takut meninggalkan panti asuhan ini. 

Ia takut mengenal arti sebuah keluarga yang mungkin hanya akan memberikan sebuah luka padanya. Itulah mengapa, sampai sekarang Arumi tinggal di Panti Asuhan kecil ini. 

Ia sudah terlalu terbiasa tinggal disini.

“Sudah, sudah. Apa kalian sudah mandi? Kakak akan mengganti baju kalian. Cepat.” Arumi kembali memasang senyumnya yang sempat memudar dan menggiring para adik-adiknya itu kembali ke kamar.

Hari ini cukup menguras tenaga, tapi seperti motto hidup Arumi selama ini, ia harus tetap semangat!  Karena hidup ini terlalu berharga untuk di lalui dengan mengeluh dan berakhir dengan tangisan, bukan?  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status