Share

Oh My Brothers
Oh My Brothers
Penulis: ayurinp

Prolog - Kehidupan Arumi

Terkadang, di dalam hidup ini banyak hal yang tidak terduga dapat terjadi. Seperti apa yang menimpa gadis yang hidup selalu dalam ketidakberuntungan dan ketidakberdayaan. Secara tiba-tiba, sebuah kejadian tidak terduga terjadi padanya dan mengubah hidup gadis itu seratus delapan puluh derajat.

Naira Ananda Arumi. Gadis yang dari dulu hidup dan besar menyendiri dan sebatang kara, tiba-tiba mempunyai empat saudara baru dalam kehidupannya.

Ya, Naira Ananda Arumi.

Biasa di panggil, Arumi atau Rumi.

Seorang gadis yatim piatu yang sejak kecil tinggal di sebuah panti asuhan kecil di pinggir kota ini.

18 tahun yang lalu, seorang bayi perempuan mungil di tinggalkan begitu saja di depan pintu gerbang yayasan panti asuhan ‘St. Xavier’ di hari dimana hujan besar sedang turun lebat-lebatnya di seluruh penjuru kota.

Bayi itu telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik dengan nama Naira Arumi.

Arumi yang melalui harinya sebagai gadis yatim piatu.

Arumi yang tidak pernah mengharapkan kasih sayang sejak dulu.

Arumi yang tidak mengerti apa itu keluarga karena ia tidak tahu.

Arumi yang hanya ingin terus tinggal selamanya di panti asuhan kecil ini.

“Rumi, selamat ulang tahun yang ke sembilan belas.” Ibu Jang datang ke kamar sempit Arumi dengan membawa sebuah cheese cake kecil yang di hiasi satu buah lilin di atasnya.

Arumi tersenyum tipis, menutup buku pelajaran yang sedari tadi di bacanya lantas menghampiri Ibu Jang, sang Kepala panti kesayangannya itu dengan senyum bahagia.

Arumi meniup lilin kue ulang tahunnya lantas memeluk wanita paruh baya itu dengan penuh kasih sayang.

“Terima kasih, Ibu Kepala.“ Ibu Jang tersenyum, membelai rambut gadis itu dalam pelukannya.

Padahal rasanya baru kemarin, ia menimang bayi yang ia temukan gerbang itu dan sekarang ia sudah tumbuh menjadi gadis yang sudah besar.

Gadis yang cantik.

“Rumi, Rumi kan sudah berusia 19 tahun. Apakah Rumi akan terus ingin begini?” ucap Ibu Jang pelan, Arumi melepaskan pelukannya, menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan bingung.

“Ibu tahu, sejak dulu kau selalu menolak adopsi. Kau selalu membuat ulah agar para orang tua itu tidak mengambilmu, tapi...”

“Aku tidak memerlukan itu. Apakah Ibu tidak senang aku terus disini?”

“Bukan begitu, Rum. Kau tahu kan panti asuhan ini sudah sangat tua, sudah usang.”

“Aku hanya ingin terus berada disini. Aku akan berusaha keras agar tidak merepotkan Ibu dan yang lain. Aku akan merawat adik-adikku dengan baik. Tidak peduli berusia berapa pun, aku ingin tetap berada disini. Karena dari kecil aku sudah di sini. Hidupku di mulai di sini. Aku tidak butuh keluarga. Keluargaku adalah kalian.” suara Arumi terdengar mulai parau.

Ia sangat menghindari situasi dan pembicaraan seperti ini. Arumi mulai meraih tangan Ibu Jang dengan wajah memelas dan cemas,

“Ibu, Izinkan aku terus berada di sini. Izinkan aku mengabdikan hidupku di sini.” pinta gadis itu dengan suara memelasnya.

Ibu kepala Jang pada akhirnya hanya mengangguk dan kembali mengelus kepala Arumi dengan sayang. Sungguh gadis yang malang, begitu pikir Kepala panti asuhan tersebut dalam diamnya.

Entah bagaimana nasib gadis malang yang di kasihinya ini, begitu benak yang berkecamuk dalam pikiran sang Ibu Kepala panti. Karena ia tahu, tidak selamanya ia dapat membuat anak ini terus terfokus pada satu titik yang sama, yaitu hidup di panti asuhan kecil ini.

***

“Arumi. Apa yang sudah kau lakukan? Kau tahu, kau bisa bersekolah di sini karena beasiswa. Bahkan uang buku pelajaran kau belum melunasinya. Seharusnya kau tahu diri, tapi sekarang kau malah berkelahi?” Arumi hanya terdiam mendengarkan semua makian gurunya itu.

“Dia menjambak rambutku, Bu Guru. Kenapa murid barbar seperti dia bisa berada di sekolah ini?”

“Hei, Dasom! Jelas-jelas kau yang menarik rambutku duluan! ” Arumi mengangkat wajahnya yang sedari tertunduk menatap gadis dengan rambut acak-acakan yang duduk di sampingnya.

“Lihat dia, Bu Guru. Sudah jelas-jelas salah, tapi malah mencari alasan dan melimpahkannya ke korban. Dia mencakarku. Kulit indah ku menjadi biru. Semua gara-gara dia, Bu Guru. Tolong berikan hukuman yang pantas untuk gadis liar itu. ”

Gadis bernama Dasom itu mulai memasang tampang sedihnya , menggulung lengan bajunya dan memperlihatkan ke guru di depannya.

Arumi memutar bola matanya jengah, sudah berapa kali ia melihat si ratu drama satu ini melakukan hal seperti ini padanya.

Ini benar-benar memuakkan.

“Sudah. Aku akan memanggil wali kalian masing-masing untuk datang.” ujar guru berkacamata itu kembali menyudahi perdebatan tanpa ujung antara Arumi dan Dasom.

“Tidak, Bu Guru. Jangan. Jangan memanggil Ibu Jang. Aku mohon.” Arumi langsung mengalihkan pandangannya kembali ke guru—nya, dengan wajah memohon gadis itu meminta agar guru—nya tidak memberitahu Ibu Jang tentang masalah ini. Ibu Jang pasti sedih, kalau tahu Arumi terlibat dan mendapatkan hukuman lagi di sekolah.

“Lalu apa? Kau mau apa sebenarnya?” guru berkacamata itu mulai jengah, ia menatap Arumi, meminta kepastian selanjutnya.

“Pukul aku saja Bu Guru.” Ucap Arumi pada akhirnya. Gadis itu menaikkan kaus kaki miliknya tanpa banyak berpikir, lalu berujar.

"Aku tidak akan membuat masalah lagi. Aku janji."

Tidak ada jalan lain. Selalu seperti ini.

Dasom tersenyum sinis mendengarnya.

"Arumi, berdirilah.” ujar Guru itu.

Arumi dengan serta merta bangkit dari duduknya.

Detik berikutnya ia bisa merasakan sebuah kayu yang cukup padat memukul betisnya. Arumi meringis, menggigit bibir bawahnya merasakan rasa sakit setiap kayu itu menyentuh betis mulusnya.

“Kau tidak akan membuat masalah lagi, kan?” tanya Guru itu sambil tetap melayangkan pukulan kayunya di kaki Arumi.

"Tidak... akan.” jawab Arumi pelan, meremas rok seragam—nya hanya untuk meredakan rasa sakit di kakinya.

“Kau tidak akan berkelahi dengan Vioren Dasom lagi?” tanya Guru itu kembali, masih mengayunkan kayunya ke arah kaki Arumi.

Arumi mencoba untuk menahan tangisnya yang sudah mau keluar.

“Tidak.” jawab gadis itu lagi, menahan rasa sakit yang menjalar di kedua betisnya.

Arumi meringis di balik wajahnya. Tuhan, mengapa hidup ini sangat tidak adil? Kenapa ia harus merasakan hukuman ini padahal jelas-jelas, yang salah di sini adalah gadis itu.

Gadis yang sedang tersenyum puas ke arahnya itu.

Vioren Dasom, gadis itu sangat bahagia melihat pemandangan ini.

Pemandangan Arumi yang tersiksa dan tidak pernah mendapatkan keadilan membangkitkan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya.

'Mampus.' gumam Dasom pelan, menyembunyikan tawa di dalam hatinya.

***

“Kau puas?” tanya Arumi begitu ia keluar dari ruangan guru dan kembali bertemu dengan Dasom yang kini sudah menata rambutnya kembali.

"Puas sekali. Bukankah sudah kubilang kalau fitnah dariku selalu berjalan dengan baik. Tidak akan ada yang mau mempercayai anak yatim buangan seperti mu.” jawab Dasom dengan tatapan mata meremehkan.

Arumi sudah akan maju dan mendorong Dasom untuk menarik kembali ucapannya barusan, namun Arumi mengurungkan niatnya mengingat ia tidak boleh membuat masalah lagi.

Ia tidak boleh merepotkan Ibu Kepala lagi.

Ia tidak boleh membuat masalah lagi.

“Hah? Kenapa? Akhirnya kau sadar juga ya kalau kau tidak punya kekuatan. Selamanya kau hanya akan berakhir sebagai sampah Arumi. Dasar, anak buangan!” seru Dasom kembali dan mulai tertawa meremehkan.

“Terserah kau mau bilang apa.” ujar Arumi pada akhirnya dan mulai berjalan pergi dengan langkah terseok-seok kembali ke kelas menahan rasa sakit yang mengelilingi kakinya akibat hukuman barusan.

'Tidak apa-apa, Arumi. Hari ini adalah hari terakhir sekolah. Setelah kelulusan kau tidak akan menjumpai masalah seperti ini lagi.' gumam Arumi, memberikan semangat tersendiri ke dalam hatinya.

“Setidaknya kau bisa bernafas lega. Setelah lulus dari sekolah ini, aku akan masuk ke Universitas impian semua orang. Aku akan ke Draksita University.Tempat yang cocok untuk kaum berkelas seperti diriku. Sementara kau, huh, kau tidak mungkin bisa masuk Draksita kan? Selamanya kita tidak akan pernah bertemu lagi. Aku yakin seratus persen, kau bahkan tidak akan masuk kuliah. Kau kan tidak punya uang sama sekali.”

Dasom kembali membuka suaranya, sebelum kemudian beranjak pergi dari lorong panjang itu.

Arumi menghentikan langkahnya sejenak setelah mendengar ucapan Dasom barusan, terhenyak setelah mendengarkan cerocosan musuh bebuyutannya barusan.

Draksita University?

***

"Apa? Adopsi?" seorang lelaki bertubuh tegap di meja makan nampak terkejut begitu sepasang suami istri paruh baya di tengah itu melontarkan niat mereka dalam satu tarikan nafas.

"Lagi?"

"Papa sama Mama serius mau adopsi lagi?" tanya lelaki bertubuh agak mungil yang duduk tidak jauh dari mereka, ia melemparkan pandangan ke arah dua lelaki lainnya yang langsung menghentikan aktivitas makan setelah mendengar pembicaraan ini.

"Serius. Sudah lama kan. Kalian berempat bakalan punya adik." ujar lelaki paruh baya itu, terdengar bersemangat. Begitupun dengan istrinya yang duduk di sebelahnya, perempuan paruh baya itu daritadi sibuk menepuk tangannya gembira.

Keempat lelaki di meja makan itu saling melempar pandangan satu sama lain.

"Ya bagus deh. Kita bakalan punya adik cowok lagi, kita bakal ngebesarin dia jadi anak yang tangguh kayak kita berempat."

"Eits, kali ini, kita akan mengadopsi anak perempuan." potong wanita paruh baya itu cepat, membuat keempat lelaki di meja makan itu langsung terbelalak kaget di buatnya.

"APA? PEREMPUAN?" sontak mereka berempat kaget bersamaan.

Sepasang suami istri itu mengangguk bersamaan.

"Iya, perempuan. Kalian bakalan jadi kakak laki-laki, para abang." jawab lelaki paruh baya itu masih dengan senyum yang sama terlukis di balik wajah tuanya yang masih terlihat tampan.

"Bersiaplah Chandrawinata bersaudara. Adik perempuan kalian yang manis akan datang sebentar lagi." tambah wanita paruh baya yang duduk di sampingnya sumringah. Kelihatan sekali, kedua orang ini adalah orang yang paling semangat akan pengumuman mendadak ini.

Tidak ada angin, tidak ada hujan.

Tuan Richard dan Nyonya Gita Chandrawinata tiba-tiba memutuskan untuk mengadopsi seorang anak lagi untuk masuk ke dalam keluarga mereka.

Keempat Chandrawinata bersaudara yang berada di meja makan saling melemparkan tatapan satu sama lain dalam diam dan membatin secara bersamaan.

'Hella, dude. Orang tua kita ini memang tidak kira-kira kalau memberi kejutan. Mereka selalu berhasil membuat jantung kita melompat.' batin ke empat pemuda di meja makan itu secara bersamaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status