Chloe menghabiskan waktunya hanya untuk menatap gundukan tanah yang telah diselumuti begitu rapi oleh rerumputan hijau. Membayangkan jika saja mamanya—Nyonya Alessa—tidak meminta untuk bertukar tempat, pasti nama Chloepatra lah yang terukir pada batu nisan di depannya.
Usai mamanya mengucap kalimat permintaan yang sakral itu, Chloe langsung tersadar dan menemukan dirinya sudah berada di sebuah ruang kamar di rumah sakit. Berharap apa yang dialami olehnya hanyalah mimpi. Namun, di saat dirinya memperoleh kabar bahwa mamanya telah meninggal, Chloe rasa apa yang terjadi padanya memanglah nyata.
Dokter juga mengatakan kesembuhan Chloe adalah bentuk dari keajaiban, karena tanpa diduga Chloe mampu melalui kondisinya yang begitu kritis. Ditambah dengan proses pemulihan yang terbilang cepat, dokter menyebut Chloe adalah orang yang sangat beruntung.
Beruntung. Satu kata itu terus saja berulang di dalam pikiran Chloe. Menghantuinya dengan perasaan bersalah atas kematian mamanya sendiri. Bagi Chloe, keberuntungan yang seperti ini justru menjadi beban berat untuknya. Mana mungkin dirinya bisa dengan santainya menjalani hidup yang tadinya ditakdirkan untuk mamanya? Bahkan jujur saja, Chloe baru tahu kalau kematian seseorang bisa diubah hanya dengan mengucapkan kalimat permohonan pada malaikat maut.
Intinya, semua yang telah terjadi sekarang adalah karena grim reaper yang berpenampilan seperti gangster itu. Jika saja dia tidak memberitahu cara untuk bertukar tempat, pasti hal semacam ini tidak akan terjadi. Lagi pula, lelaki itu main mengabulkan begitu saja tanpa mempertimbangkan dulu dengan Chloe. Itulah poin yang membuat Chloe kesal hingga detik ini. Seolah-olah hidup dan mati seseorang ada di genggaman tangan seorang grim reaper.
Dan ya—berdasarkan pengalaman pribadi Chloe—memang benar ada di tangannya. Contoh satu poin lainnya yang amat sangat membuat Chloe kesal.
“Chloe,” panggil seseorang dari arah samping. Panggilan yang berhasil membuyarkan lamunannya. “Ayo kita jalan.”
Chloe menoleh. “Iya, Pa.”
Tepatnya, sekarang sudah hari ketujuh kepergian mamanya. Chloe datang kembali bersama papanya ke pemakaman untuk meletakkan seikat bunga lagi, sebab mamanya sangat senang sekali dengan bunga. Sekaligus memberitahu bahwa dirinya akan mulai tinggal di asrama kampus agar lebih mudah menjalani perkuliahan sehari-hari.
Terasa berat juga untuk Chloe meninggalkan papanya seorang diri. Meskipun Tuan Edgar—papanya Chloe—selalu saja mengatakan kalau dirinya akan baik-baik saja, Chloe tetap tahu bahwa papanya tidak sedang baik-baik saja. Namun, kembali lagi semata-mata untuk menyenangkan hati papanya, Chloe sebisa mungkin menjadi anak yang penurut. Alhasil, dia memutuskan untuk mulai pindah ke asrama hari ini.
***
Pintu bagasi terbuka. Chloe mengambil koper-kopernya yang dibantu oleh papanya. Begitulah. Papanya selalu saja menganggap Chloe sebagai seorang remaja perempuan yang tidak boleh melakukan aktivitas yang berat-berat. Sampai-sampai menuruni dua buah koper kecil dari dalam bagasi mobil saja tidak boleh dilakukan seorang diri.
Usai menutup kembali pintu bagasi, Tuan Edgar berkacak pinggang.
“Bawaan kamu ngga terlalu sedikit?”
Chloe mengamati kembali dua buah koper di aspal, satu tas ransel di punggung, dan satu tote bag di bahunya. Mencoba mengingat-ingat apakah ada yang kurang atau tertinggal.
“Ngga kok. Cukup. Lagi pula, tiap akhir semester kan aku pulang. Ngga bisa lama-lama juga tinggalin Papa sendirian.” Kedua tangan Chloe bergerak melingkari tubuh papanya yang agak berisi.
“Aduh, apa ngga malu ini dilihat banyak orang?” ledek Tuan Edgar seraya mengelus lembut punggung dan kepala Chloe.
“Bodo amat. Semua orang pasti tau kok kalau setiap Papa itu adalah cinta pertama anak perempuannya. Sampai kapan pun. Jadi, aku bebas peluk Papa kapan pun dan di mana pun,” jelas Chloe belum ada niatan melepas pelukannya. “Uhh, gimana ini, aku ngga punya teddy bear lagi yang bisa dipeluk setiap hari.”
Langsung Tuan Edgar mengetuk kencang dahi Chloe dengan jari telunjuknya.
“Enak aja. Kamu samain Papa sama boneka teddy bear?”
“Hehehe,” kekeh Chloe mendongak melihat papanya.
“Yaudah, masuk sana. Kamu kan juga harus beres-beres di kamar yang baru. Biar cepat selesai, terus kamu bisa istirahat,” perintah Tuan Edgar yang sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, masih terlampau sulit melepas Chloe—anak satu-satunya.
“Siap!” Chloe berseru sambil memeragakan gerakan hormat diikuti dengan hentakan sebelah kaki. “Aku masuk dulu ya. Bye, Papa. Hati-hati,” sambungnya diikuti dengan lambaian tangan, sambil terus memperhatikan sosok papanya hingga benar-benar hilang bersama dengan mobil yang melaju.
Detik ini juga Chloe menghela napas berat. Lengkungan senyuman yang sedari tadi sengaja ditampilkan di depan papanya, seketika lenyap. Berganti dengan raut wajah yang sayu.
Menurut Chloe, bukan seperti ini yang dirinya ingin. Diantar ke universitas impiannya hanya dengan seorang papa—tanpa mamanya. Membiarkan papanya pulang dan tinggal seorang diri tanpa ada yang menemani. Membayangkan sejenak bagaimana perasaan papanya pun Chloe tak sanggup. Entah bagaimana pula Chloe bisa menjalani keseharian hidupnya di asrama tanpa terpikirkan sedikit pun tentang kepergian mamanya? Kepergian yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
Aarrgghh! Chloe menggaruk kepalanya begitu frustasi.
“Chloe!”
Sontak Chloe menoleh ke arah suara berasal. Dalam hitungan detik, pegangan kedua kopernya langsung dilepas begitu saja untuk menyambut seseorang berambut model pixie yang barusan memanggilnya.
“Grace!” teriak Chloe tak kalah kencang.
Tidak peduli seantero lobi asrama menggema akibat teriakan keduanya, mereka berdua dengan percaya dirinya berpelukan bahkan sampai bergoyang dan berputar-putar.
“Ya ampun, akhirnya dateng juga anak kecil satu ini,” ujar Grace sambil mengacak-acak rambut Chloe. Andai Grace tahu betapa lamanya waktu yang dibutuhkan Chloe hanya untuk menata rambut panjangnya yang aslinya bergelombang tak keruan.
Chloe berusaha merapikan rambut seadanya.
“Hehe iya. Maaf gue ngga sempat kasih kabar.”
“By the way, sekali lagi gue turut berduka cita ya atas perginya nyokap lo.”
Chloe merapatkan bibirnya. “Iya, kan lo juga udah ngucapin lewat telepon.”
“Tetap aja ada rasa ngga enak kalau ngga diucapin langsung.”
“Ah, lebay deh,” ledek Chloe tertawa.
“Yaudah, sini gue bantuin bawa koper.” Grace dengan cekatan mengambil kedua koper Chloe. Tanpa adanya kalimat basa-basi menolak, Chloe biarkan saja.
Grace sebenarnya adalah kakak kelas Chloe sewaktu masih di sekolah menengah atas. Mendadak saling kenal dikarenakan sama-sama pernah mengikuti seleksi olimpiade matematika tingkat nasional. Hanya saja keduanya gagal lolos dan terpaksa berhenti ketika masih di tahap pertama. Sejak saat itulah hubungan Grace dan Chloe sudah seperti kakak adik. Tidak seperti anak-anak lainnya yang begitu hormat dengan kakak kelas, Chloe sudah tidak pernah lagi memanggil Grace dengan panggilan ‘kak’. Cukup panggil nama saja, seperti yang diminta oleh Grace sendiri. Lebih-lebih keduanya sama-sama anak tunggal. Membuat Grace merasa memiliki adik, sementara Chloe merasa memiliki kakak. Yah, meskipun kakaknya ini agak tomboi.
Beruntung Grace tahu kalau Chloe mengambil universitas yang sama dengannya. Tentunya Grace jadi akan bertemu lagi dengan Chloe sesering dulu. Jurusan yang sama pula. Bahkan dari jauh-jauh hari Grace sudah berjanji akan menjadi senior yang baik dan siap membantu Chloe menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Apalagi Chloe berhasil menerima beasiswa penuh selama empat tahun. Mau tak mau, siap tidak siap, nilai-nilanya di setiap semester haruslah baik. Jika tidak, bye bye scholarship!
“Jadi, ini khusus buat asrama perempuan?” Kepala Chloe mulai berkeliling.
“Kenapa? Berharap dicampur sama asrama cowok?” tanya Grace menebak apa yang ada di kepala Chloe.
“Ya, siapa tau. Lumayan buat cuci mata habis seharian liat rumus,” celetuk Chloe yang ikut menghentikan langkahnya saat Grace berhenti tepat di depan sebuah loket yang masih terletak di lobi.
“Belajar, woy! Jangan pacaran. Ingat tuh beasiswa,” cetus Grace menasihati dengan sedikit bumbu ancaman. “Kunci kamar mahasiswa baru atas nama Chloepatra,” lanjutnya bicara pada seseorang di balik loket. Chloe tebak dia adalah penjaga asramanya.
Di tengah waktu menunggu, tanpa sadar kepala Chloe kembali mengitari sekitar. Hingga kaki jenjangnya mulai melangkah pelan menuju salah satu dinding yang terpasang sebuah papan mading besar. Terdapat banyak flyer, brosur, surat edaran, surat pengumuman, memo, dan informasi lainnya yang ditempel di sana. Bahkan sudah hampir tidak ada celah kosong untuk menempelkan informasi lagi.
Sampai akhirnya mata Chloe tertuju pada sebuah flyer kegiatan seminar minggu lalu yang di dalamnya terdapat dua buah foto narasumber dan sebuah foto moderator. Diamatinya dengan lekat foto moderator yang terpampang. Entah kenapa wajahnya terkesan familiar bagi Chloe. Hanya saja fotonya terlalu kecil, jadi Chloe tidak bisa memastikan.
“Eh, ngapain?” tanya Grace mengagetkan.
“Ngga, cuma liat-liat aja.”
Grace memberikan kunci kamar Chloe. "Congratulation! Anda fix jadi penghuni asrama Universitas Seirios," ujarnya bertepuk tangan.
Chloe pun tertawa sambil menerima kunci kamarnya.
Kamar nomor 27. Di mana kamar nomor 27. Batin Chloe bertanya-tanya.“Tuh, di depan!” seru Grace yang ada di belakang Chloe. Dia terlihat sibuk menggeret dua buah koper—yang sebenarnya bukan miliknya—di kanan dan kirinya.Huft. Lelah. Menaiki tangga hingga ke lantai empat memang bukanlah hal yang disukai Chloe. Terlebih masih harus berjalan beberapa langkah lagi hingga akhirnya sampai tepat di depan sebuah kamar dengan papan nomor 27 terpasang pada pintu.Dan kini saatnya mengetes fungsi dari kunci yang sebelumnya diberikan oleh penjaga loket. Tak sampai lima detik, pintu kamar pun berhasil terbuka.Tampaklah ruangan kecil bercat putih polos yang berisikan dua tempat tidur, dua lemari dan dua meja belajar. Semuanya masih tampak kosong. Perlahan Chloe melangkah masuk, diikuti dengan Grace. Mengamati satu per satu ruangan yang selama empat tahun ke depan akan menjadi tempat tinggalnya sementara. Mulai memikirkan haru
Kedua kaki Chloe bergetar hebat selama acara perkenalan jurusan berlangsung. Lebih tepatnya setelah mc memperkenalkan seorang dosen bernama Juanito Alexander. Sampai-sampai perempuan yang duduk di sebelah Chloe meminta dirinya untuk segera izin pergi ke toilet saja, karena melihat kakinya yang terus-menerus bergetar layaknya sedang menahan ingin buang air kecil. Merasa kalau itu adalah ide yang bagus untuk menenangkan hati juga pikiran, jadi Chloe beranjak dari posisinya dan melangkah keluar dari aula secepat mungkin. Pasti cuma mirip, batin Chloe berkata. Iya betul. Pasti cuma mirip. Chloe menangkup kucuran air yang keluar dari dalam keran wastafel. Membasuh wajahnya beberapa kali, kemudian memosisikan kedua tangannya bertopang pada meja wastafel. Dadanya bergerak kembang kempis menghirup udara. Dan untuk yang terakhir kalinya, diambilnya udara begitu dalam, lalu dihembuskan perlahan melalui mulut. Barulah setelah itu napasnya mula
Grace, gue harusnya udah meninggal. Grace, lo harus percaya sama gue. Pak Juan itu mirip banget sama grim reaper yang ditugasin bawa gue ke akhirat! Dan gue merasa kalau itu emang dia!Grace, gue harus gimana?Segala bentuk kalimat pernyataan dan kalimat pertanyaan berkecamuk di dalam kepala Chloe. Membuat semacam rentetan daftar yang Chloe sendiri pun tahu bahwa dia tidak bisa mengatakan hal semacam itu pada Grace. Akan dibilang apa dia nantinya? Gila? Stres? Atau mungkin efek kelelahan? Memang Grace akan mendengarkan cerita Chloe hingga tuntas—karena pada dasarnya Grace adalah seorang pendengar yang baik—namun setelah itu Chloe yakin, kalau teman sekamarnya itu akan langsung memintanya untuk segera periksa ke rumah sakit.Suara jentikan jari seketika berhasil menarik perhatian Chloe dari semangkuk mie instan di atas meja. Lupa kalau dia sedang berada di kantin asrama untuk makan malam.“Wah, jadi dari
Suara dentingan menyambut ketika tombol pada lift berpendar di angka tiga. Beberapa orang yang berdiri berdempetan di depan Chloe mulai melangkahkan kakinya ke luar lift, kemudian menyebar ke arah yang berbeda. Sementara Chloe bergerak ke arah kiri mengikuti seorang lelaki yang sempat menoleh ke arahnya. Chloe tebak, lelaki ini juga memiliki urusan yang sama dengannya.Ini adalah kali pertama Chloe datang ke lantai tiga gedung jurusannya, setelah saat orientasi kemarin hanya berada di lantai dua—tempat dimana aula sekaligus ruang para dosen berada. Sedangkan lantai tiga hingga lantai lima diperuntukkan untuk ruang kelas kuliah dan lantai enam difungsikan khusus untuk beberapa laboratorium jurusan.Usai beberapa langkah terlewati, Chloe berbelok masuk ke salah satu ruangan. Menemukan deretan bangku kuliah berwarna hijau yang tampak begitu kontras dengan ruangan yang bernuansa putih. Entah kenapa Chloe masih merasa mual setiap kali melihat deretan kursi. Bokongnya
“Maaf Pak, itu betul toilet laki-laki kan, ya?” Pertanyaan itu bergaung di dalam rongga telinga Chloe. “Iya betul. Perempuan ini cuma ….” Kedua mata Chloe dan Juan bertemu. “… salah ruangan.” Di sela-sela suara debaran jantungnya yang makin menjadi-jadi, Chloe masih sempat mendengar suara pergerakan tangga lipat aluminium di belakangnya. Saking paniknya, Chloe berharap orang di belakangnya tidak benar-benar pergi dan meninggalkan dirinya hanya berdua dengan Juan dalam situasi yang teramat canggung. Juan meletakkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Saking dekatnya, Chloe bisa melihat rambut-rambut halus tersebar rata di sekitar lengan Juan dikarenakan lengan kemejanya tergulung hingga siku. “Masih betah diam di situ?” tanya Juan menanggapi posisi Chloe yang masih membungkuk memandangi area pinggang ke bawah miliknya. Mendengar pertanyaan bernada sarkastis itu, perlahan Chloe menegakkan posisi tubuhnya yang tak seberapa tinggi jika d
Semalam, setelah mengecek ulang jadwal kuliahnya di hari ini, Chloe justru tidak bisa tidur.Sepanjang malam yang dilakukannya hanyalah telentang memandangi langit-langit kamar—yang membuat Chloe ingin menempelkan hiasan bintang-bintang glow in the dark di atas sana—sambil mengetuk-ngetuk jari-jari yang saling berkaitan satu sama lain di atas dada.Entah apa tepatnya yang menjadikan Chloe tidak bisa tidur, sebab ada begitu banyak hal yang berseliweran di dalam kepalanya dan Chloe tidak bisa memilih satu saja yang bisa disalahkan sebagai penyebab insomnia-nya. Mulai dari memikirkan mamanya, papanya, beasiswanya, bagaimana dirinya menceritakan semuanya pada Grace, hingga memikirkan Juan.Bahkan seorang Juan yang notabene adalah seseorang yang baru saja dikenal Chloe beberapa hari belakangan pun, ikut berkontribusi dalam penghalang tidur malamnya. Dan pastinya, bukan memikirkan tentang wajahnya yang tampan, bola matanya yang jernih, tubuhnya ya
“Kenapa? Apa ada yang salah sama ucapan gue?”Bermodalkan seringai yang menyeramkan serta tatapan mata yang kosong, Mike perlahan-lahan makin mendekati Chloe, sementara Chloe makin menempelkan punggungnya pada pintu darurat. Berharap dirinya memiliki kekuatan tersembunyi seperti mampu menyerap ke dalam pintu yang padat, kemudian muncul di sisi yang lain.Perasaan Chloe sungguh tidak enak. Agak mual. Seakan sekumpulan organ di dalam tubuhnya tahu bahwa akan ada hal buruk yang menimpanya saat itu juga apabila dirinya tak kunjung membuka pintu. Namun, jari-jarinya yang sudah menggenggam erat gagang pintu, mendadak kaku. Tidak bisa diajak bekerja sama. Terlebih seperti ada yang tidak beres dengan pita suaranya. Ingin rasanya berteriak, tapi suaranya justru teredam, bukannya keluar dengan lantang.“Chloe … hei, Chloe,” panggil Mike berkali-kali. “Chloe, lo ngga apa-apa?” tanyanya lagi dengan raut wajah panik. Aura menakutkan
Sepasang sepatu boots hitam berderap pelan di atas aspal. Berjalan menembus keramaian tanpa seorang pun menyadari keberadaannya. Diperhatikannya orang-orang di sekitar yang hanya berdiam diri, saling berbisik, memotret, merekam, tanpa ada niatan membantu—ada, lima orang, setidaknya. Satunya tampak sedang menelepon. Mungkin menelepon rumah sakit terdekat untuk meminta agar segera mengirimkan ambulans.“Hei, Juan,” sapa seorang lelaki yang tiba-tiba muncul dari seberang jalan. Lelaki yang berpenampilan sama dengannya.“Bareng lo ternyata.”“Aduh, sibuk banget kayaknya sampai ngga sempat liat di aplikasi siapa yang ikutan jemput.”Juan menyeringai tipis sambil melihat ponselnya yang menampilkan deretan informasi perihal orang yang akan dijemputnya kali ini. Seorang remaja perempuan berumur tujuh belas tahun yang masih mengenakan seragam sekolah. Juan menggelengkan kepala melihatnya.“Uhh, sw