Kamar nomor 27. Di mana kamar nomor 27. Batin Chloe bertanya-tanya.
“Tuh, di depan!” seru Grace yang ada di belakang Chloe. Dia terlihat sibuk menggeret dua buah koper—yang sebenarnya bukan miliknya—di kanan dan kirinya.
Huft. Lelah. Menaiki tangga hingga ke lantai empat memang bukanlah hal yang disukai Chloe. Terlebih masih harus berjalan beberapa langkah lagi hingga akhirnya sampai tepat di depan sebuah kamar dengan papan nomor 27 terpasang pada pintu.
Dan kini saatnya mengetes fungsi dari kunci yang sebelumnya diberikan oleh penjaga loket. Tak sampai lima detik, pintu kamar pun berhasil terbuka.
Tampaklah ruangan kecil bercat putih polos yang berisikan dua tempat tidur, dua lemari dan dua meja belajar. Semuanya masih tampak kosong. Perlahan Chloe melangkah masuk, diikuti dengan Grace. Mengamati satu per satu ruangan yang selama empat tahun ke depan akan menjadi tempat tinggalnya sementara. Mulai memikirkan harus didekor seperti apa agar terkesan lebih fresh.
Chloe meletakkan tas ransel dan tote bag-nya di atas tempat tidur yang dekat dengan jendela.
“Ini emang bakal cuma gue yang nempatin?” tanya Chloe yang sedang mengecek isi dari dalam lemari.
“Oh, ngga. Harusnya berdua. Tapi tadi kata petugasnya, temen kamar lo emang belom dateng. Paling nanti sore atau malem,” jelas Grace sambil merebahkan diri di tempat tidur satunya. Tidak peduli seprainya akan jadi berantakan.
“Terus, lo di kamar berapa?”
“Lantai enam. Mau itu di nomor berapa pun, gue yakin lo ngga bakal mau main ke sana, soalnya lo mesti harus naik dua lantai lagi dan lo paling males sama hal itu.”
“Haha! Tau aja,” sahut Chloe membenarkan. Grace memang tahu betul apa yang Chloe suka dan tidak suka.
Tiba-tiba Grace melompat bangun. Mengagetkan Chloe yang tengah mengecek pemandangan apa yang bisa dirinya lihat melalui jendela yang ada dekat dengan tempat tidur pilihannya. Rupanya hanyalah pemandangan taman belakang asrama.
“Okay, selamat beres-beres deh. Gue ada perlu sebentar.”
“Yah, lo ngga mau bantuin gue? Nanggung banget cuma bantuin bawa doang.”
“Dih, ngelunjak,” cibir Grace membuka pintu. “Eh, Chloe ...”
“Hmm,” balas Chloe malas.
“Gue seneng bisa liat lo lagi,” ujar Grace tersenyum seraya menutup pintu.
Chloe bergeming seketika. Sebenarnya Chloe sudah tidak ingin mengingat hal itu lagi, hanya saja setelah mendengar ucapan Grace barusan, tahu-tahu pikirannya kembali melayang ke momen dimana harusnya dirinyalah yang pergi ke akhirat. Kalau benar begitu, Chloe tidak akan ada di sini dan Grace tidak akan pernah melihat dirinya lagi.
Seketika di dalam kepala Chloe, muncul pikiran baru berupa sebuah pertanyaan. Apakah dirinya akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Grace?
Merasa kesadarannya telah terenggut oleh momen tak menyenangkan itu, dengan segera Chloe mengibas-ngibaskan kepalanya. Berharap dengan begitu, ingatan tentang momen kelamnya ikut rontok, berjatuhan, gugur, hilang, lenyap dari kepala. Namun, yang ada Chloe justru berubah pusing.
Ada baiknya dirinya beralih saja pada aktivitas membereskan segala barang bawaan yang ada di dalam koper maupun tas. Lumayan untuk menghabiskan waktu, sekaligus mengalihkan pikiran agar tidak memikirkan hal yang itu-itu saja. Mulai dari berbagai model pakaian yang satu per satu dimasukkan ke dalam lemari, laptop serta buku-buku bacaan diletakkan di atas meja, sampai boneka juga bantal kesayangan diletakkan di atas tempat tidur.
Paling tidak butuh tiga puluh menit hingga sampai pada tahap memastikan semuanya dalam keadaan rapi dan enak dipandang. Setelah dirasa cukup, waktunya beristirahat sejenak. Chloe membaringkan tubuh mungilnya dan membiarkan punggungnya mulai beradaptasi dengan tempat tidur yang bukan tempat tidur biasanya. Kemudian mengambil ponsel untuk mengirimkan chat pada papanya. Setidaknya untuk mengurangi rasa kesepian keduanya.
Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kamar Chloe. Mungkinkah itu teman kamarnya yang datang? Chloe segera membukakan pintu untuknya.
“Surprise!”
Grace muncul dengan tas besar di punggung dan satu tas lainnya yang sudah tergeletak di depan pintu kamar. Tanpa penjelasan panjang lebar, Chloe tentu saja sudah tahu apa maksudnya.
“Sial,” sambut Chloe dengan umpatan.
***
Setelah melalui malam yang terasa singkat, akhirnya Chloe berhasil melewati malam pertamanya di kamar yang baru. Lebih tepatnya di kamar asrama Universitas Seirios. Seperti mimpi memang dirinya dapat masuk di universitas yang memang terkenal bagus dan terkenal banyak peminatnya. Memperoleh beasiswa pula. Menjadi suatu kebanggaan tersendiri untuk Chloe. Oleh karena itu, apapun rintangannya, Chloe berjanji akan berkuliah dengan sungguh-sungguh. Dimulai dari hari ini. Hari dimana masa orientasi mahasiswa baru berlangsung.
“Tenang aja. Ngga bakal ada aksi senioritas di sini. Pokoknya selama masa orientasi itu lo cuma duduk manis di dalam auditorium pusat dan lo tinggal dengerin aja wejangan-wejangan dari pak rektor dan para petinggi Seirios lainnya. Habis acara universitas selesai, baru deh lo masuk ke aula jurusan dan dikenalin lagi sama dosen-dosen yang ngajar.”
Grace—penghuni asrama lama yang secara sengaja meminta pindah ke kamar nomor 27—menjelaskan rangkuman agenda masa orientasi dengan begitu lancar dan Chloe sangat berterima kasih atas penjelasan teman sekamarnya itu.
“Makasih loh spoiler-nya. Apa gue ngga perlu ikut orientasi aja? Jadi tinggal dengar penjelasan lebih detailnya dari lo?” tanya Chloe yang sudah siap menjalani orientasi pertamanya. Tinggal ditambah sentuhan terakhir, yaitu parfum.
“Ya, jangan dong. Katanya lo sekalian mau cari cowok? Justru masa orientasi ini waktu yang tepat buat lo bisa ngobrol basa-basi sama cowok yang lo incar.”
Mendengar ucapan Grace barusan, kepala Chloe mengangguk-angguk. Hanya saja …
“Eh, ngeselin! Kok lo malah ngajarin gue hal yang ngga bener sih?!” protes Chloe seraya melayangkan boneka emoji miliknya pada Grace yang malah tertawa sambil terus mengunyah chiki.
“Udah sana jalan. Dosen kita ganteng-ganteng kok.”
“Terus?” tanya Chloe yang tengah mengoles bibirnya sekali lagi dengan lipstik. “Maksudnya kalau ganteng bisa bikin semangat kuliah, gitu? Atau bisa dipacarin? Paling-paling juga udah pada di atas 40 tahun.”
“Hihihi. Eh, tapi ada kok yang muda, ganteng, tapi rada jutek. Namanya Pak—”
“Ah, udah. Gue jalan dulu,” sergah Chloe memotong perkataan Grace.
“Have fun, ya!”
***
Tanpa sadar setengah hari telah berlalu. Rupanya penjelasan Grace pada Chloe tentang masa orientasi memang kurang lengkap. Harusnya dia memberi tahu juga kalau perkenalan universitas di auditorium pusat saja pelaksanaannya hampir empat jam! Sampai-sampai bagian pangkal paha di sebelah belakang—atau sebutan terkenalnya yaitu bokong—terasa panas akibat dibuat duduk berjam-jam. Sesekali Chloe izin pergi ke toilet, tetap tidak hilang rasa panasnya.
Belum cukup sampai di sana penyiksaan bagi Chloe. Masih ada agenda selanjutnya yang merupakan perkenalan jurusan. Lagi-lagi pemandangan deretan kursi disuguhkan ketika Chloe dan lainnya masuk ke dalam sebuah aula yang terdapat di dalam gedung jurusan matematika. Chloe seratus persen yakin, bahwa peserta orientasi yang lain pasti sama mengeluhnya.
Chloe menempati kursi yang ada di deretan paling depan. Tentunya untuk bisa melihat dengan jelas wajah para dosen yang akan mengajarinya nanti.
Satu per satu para dosen muncul dari pintu samping panggung setiap kali namanya dipanggil oleh mc. Menampilkan senyuman hangat, kepala yang menunduk ramah, lambaian tangan, raut wajah datar … eh.
Entah apa yang terjadi, Chloe merasa waktu seketika terhenti, kemudian kembali dan menemukan dirinya tengah berdiri seorang diri di tengah-tengah sekian puluh orang mahasiswa baru jurusan matematika yang sedang duduk serapi-rapinya di kursi masing-masing. Membuat mc bertanya pada Chloe apakah dirinya baik-baik saja. Tentu tidak sedang baik-baik saja, karena Chloe merasa amat sangat malu. Terlebih semua pasang mata tertuju padanya.
Chloe pun kembali duduk pada kursinya. Kaku bak manekin yang terpajang di banyak pusat perbelanjaan. Wajahnya menunduk, matanya tak berani menatap ke depan saat mc sedang memperkenalkan seorang dosen pria berambut sebahu yang baru saja muncul dengan raut wajah datar.
“Jadi, Pak Juanito Alexander ini adalah dosen termuda yang sekaligus menjabat sebagai pembina kemahasiswaan di jurusan kita. Keren, kan? Yang perempuan udah pada bisik-bisik nih, yaa? Hahaha tenang aja. Di semester satu ini kalian juga bakal ketemu Pak Juan kok. Tepuk tangan dulu dong buat Pak Juan,” jelas mc diikuti dengan beragam jenis suara tepukan yang menggema di dalam aula.
Di saat mc beralih memperkenalkan dosen lainnya, Chloe pun berusaha memberanikan diri setidaknya menggulirkan bola matanya untuk melihat sosok dosen bernama Juan yang sudah duduk di kursi di atas panggung.
Wajah yang tirus. Tulang rahang yang menonjol dan kokoh. Postur tubuh yang tinggi. Tatapan mata yang … shit! Chloe langsung berpaling lagi saat dosen itu tiba-tiba saja menoleh ke arahnya. Seakan tahu ada seorang mahasiswa baru yang memandanginya dengan begitu penasaran.
Tidak salah lagi, pikir Chloe demikian.
Tidak salah lagi kalau itu adalah wajah dari moderator yang Chloe lihat di dalam flyer seminar kemarin.
Tidak salah lagi kalau itu juga merupakan wajah milik grim reaper yang berpenampilan seperti gangster!
Mau tak mau Chloe datang menghampiri Juan demi menuntaskan rasa penasarannya yang sudah telanjur terpancing. Juan pun sengaja membiarkan pintu kamarnya terbuka. Membiarkan Chloe masuk tanpa perlu repot-repot membuka pintu.Awalnya Chloe mengira Juan sudah langsung merebahkan diri di atas tempat tidurnya, tapi ternyata dia masih sibuk mengecek ponsel. Chloe hendak lanjut melangkah setelah sempat berhenti di ambang pintu, tapi pergerakan Juan setelahnya entah kenapa membuat Chloe mengurungkan niatnya itu. Juan dengan santai melempar ponselnya ke atas tempat tidur, kemudian melepas hoodie yang dipakai. Sempat membuat Chloe berdengap, dikarenakan berpikir Juan tidak sedang mengenakan apa pun lagi di balik hoodie-nya, tapi ternyata di
Beberapa minggu kemudian.Alex dan Grace benar. Chloe harus bangkit dan harus berpikir positif. Terlebih semakin bertambahnya hari, semakin banyak pula kemajuan kabar yang diberikan oleh Alex. Chloe harus yakin bahwa Juan akan kembali. Meski terkadang rasa rindu benar-benar menguras air matanya, tapi Chloe bisa menghadapinya dan kembali beraktivitas seperti biasa. Tidak peduli celotehan dan celetukan yang tak enak didengar berseliweran di telinga kanan dan kirinya. Chloe berusaha mengabaikan itu semua.Namun, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa hatinya berangsur waswas ketika tahu waktu satu bulan akan usai. Pertanyaan-pertanyaan yang dulu pernah menggerayangi pikirannya kini kembali bermunculan. Bagaimana jika bukti-bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membuat Juan kembali? Bagaimana jika Juan sungguh-sungguh tidak kembali? Bagaimana jika Chloe di
"Chloe, ayo dong. Lo jangan terus-terusan nangis begini. Gue harus lakuin apa biar seenggaknya lo berhenti nangis, lo bangun dari tempat tidur, dan yang paling penting … lo mau makan."Grace sudah tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa dalam menghadapi Chloe yang benar-benar kacau. Tidak mau makan. Tidak mau kuliah pula. Terlebih ketika dirinya tahu ada banyak orang yang menyalahkan dirinya atas kepergian Juan.Selang dua hari tanpa tanda-tanda kehadiran Juan di ruang kuliah, Alex mau tak mau mengirimkan surat permohonan pengunduran diri Juan sebagai dosen Seirios dikarenakan suatu hal yang mendesak, dimana Alex sengaja tidak menyebutkan detail alasannya. Mulai saat itu timbul banyak spekulasi yang semuanya menjurus pada satu sumber, yaitu Chloe. Orang-orang mulai menyangkutpautkan kepergian Juan yang tiba-tiba dengan Chloe. Lebih tepatnya dengan hub
Aneh. Tidak biasanya Juan pergi begitu lama. Memang Chloe tidak sedang menunggu Juan di suatu tempat. Chloe hanya sedang menunggu kabar dari lelaki itu sejak siang tadi. Sejak dimana Juan memberikan Chloe kejutan yang sungguh-sungguh membuatnya terkejut, bahkan hingga sekarang masih terasa bagaimana rasanya. Memang baru berjalan beberapa jam, tapi tetap saja tidak biasanya Juan mengabaikan Chloe begitu lama hanya karena sedang pergi menemui Alex.Chloe bolak-balik mengecek ponselnya sambil berbaring di atas tempat tidur.Chloe : Apa obrolan kalian sangat penting?Akhirnya Chloe bertanya itu dan chat tersebut tampaknya tidak benar-benar terkirim, sebab masih tertanda ceklis satu. Benar-benar an
Juan melangkah santai melewati pintu Gedung Malaikat Maut usai mengantarkan satu arwah di siang hari yang terik. Berjalan melenggang tanpa tau apa yang terjadi. Bahkan beberapa pasang mata yang memperhatikannya di lobi gedung pun tidak cukup membuatnya terusik.Tak jauh di depannya, Alex berjalan menghampiri. Bola matanya bergulir memandangi Juan dari ujung kepala hingga ujung kaki."Kenapa?" tanya Juan tak paham. "Jangan ikut-ikutan yang lain. Lihat gue kayak lihat siapa aja," cetusnya.Alex menatap dengan tatapan kosong."Ju …," panggilnya. "Lo … ada yang cari lo."Juan mengernyit. "Siapa?"Tiba-tiba saja dua sosok berjubah dan bertudung hitam yan
Pak Juan : Chloe, saya ada penjemputan. Sepertinya kamu harus makan siang sendiri hari ini.Tidak boleh mengeluh, pikir Chloe. Menjemput arwah adalah tugas utama Juan, Chloe tidak bisa melarangnya. Lagi pula, apa bisa Chloe yang merupakan seorang manusia ini melarang malaikat maut menjemput arwahnya? Sekilas sempat terpikirkan juga oleh Chloe bagaimana jika malaikat maut tidak datang untuk menjemput arwahnya? Apa malaikat maut tersebut akan dihukum? Hukuman macam apa yang bisa diterima malaikat maut?Chloe bersama dengan beberapa mahasiswa lainnya menyudahi agenda pertemuan dengan dosen pembimbing akademik sebelum memasuki semester baru. Menerima wejangan dari sang dosen untuk mengambil mata kuliah yang diajar oleh dosen selain Juan, seperti yang pernah Juan katakan. Namun, tidak ja