Wanita itu terus muncul di beberapa kesempatan. Pandangannya selalu tertuju pada Sandy . Sandy juga sebenarnya selalu melihat wanita itu, tetapi dia tidak berbuat apa-apa, bahkan sekadar bertanya pun tidak dia lakukan.
Sandy yang over percaya diri itu malah menduga bahwa wanita itu naksir padanya. Itulah sebabnya dia tidak mau merespon. Pacarnya sudah ada empat dan Sandy tidak mau menambah lagi, begitu pikirnya. Malam harinya, Sandy masih berada di pangkalan ojek. Dia sedang menunggu Kirana menghubunginya. Pria itu bergidik begitu angin malam berhembus. Meskipun pernah menjadi anak motor, tetapi sebenarnya Sandy cukup lemah bila terkena angin malam. "Gila, cepat banget malam tiba. Perasaan tadi langit masih terang," gumam Sandy sembari menggosokkan kedua tangannya. "Yang lain pada ke mana, sih? Kok nggak ada yang balik lagi sejak tadi?" Sandy bertanya-tanya karena rekan sesama tukang ojek belum kembali ke pangkalan. Padahal seingatnya, tujuan pelanggan mereka tidak jauh-jauh dari pangkalan ojek. "Jangan-jangan mereka pulang?" Sandy menduga-duga. Perlahan, bulu kuduknya meremang. Bau busuk juga tercium sangat menusuk di hidung sampai membuat pemuda itu mau muntah. Sandy berdecak karena merasa akan melihat sesuatu yang tidak ingin dia lihat. "Tolong jangan ganggu aku. Aku belum siap nganterin siapapun dari sebangsa kalian," ucap Sandy entah pada siapa. Sandy akhirnya bisa bernapas lega karena bau busuk yang ia cium barusan perlahan menghilang. Itu artinya makhluk halus yang hendak menemuinya sudah pergi menjauh. Tak ingin terus sendirian di pangkalan, Sandy pun bergegas pergi naik motornya. Dia akan menjemput Kirana meski pacarnya itu belum menghubungi. Sandy menjadi sangat tenang berada di jalan, lalu lalang kendaraan membuatnya merasa ditemani. Sandy pun tancap gas sambil sesekali berteriak seperti yang biasa ia lakukan ketika masih menjadi anak motor. Berteriak di saat berkendara rasanya sangat menyenangkan dan melegakan dada. Beberapa menit kemudian, Sandy telah sampai di depan gerbang pertama sebuah pabrik sepatu. Matanya celingukan ke dalam pagar untuk melihat keberadaan Kirana. Namun, pacarnya itu tidak terlihat di manapun, hanya orang-orang tak dikenal yang bubar bekerja saja yang nampak di matanya. Ketika kerumunan anak pabrik semakin membludak, Sandy menjauh dan duduk di atas motornya. Pria itu juga memainkan ponsel untuk memiksa apakah Kirana ada menghubungi atau tidak. Karena tak ada tanpa pesan atau telpon masuk, Sandy pun berinisiatif untuk menelpon duluan. Sayang, dia kehabisan pulsa. Sandy pun merengut pasrah menunggu telepon dari pacarnya. Lama menunggu membuat Sandy merasa mengantuk. Dia sampai mengerjapkan mata dan menepuk-nepuk pipi agar terus terjaga. Ketika tengah menguap, Kirana menepuk pundak Sandy dari belakang. "Aku manggilin dari tadi, nggak kedengaran?" tanya Kirana dengan bibir cemberut. Sandy tersentak kaget sesaat dan kemudian tersenyum melihat wajah manis anak kepala desa. "Ngagetin aja," ucap Sandy sembari mencolek pipi pacarnya. Kirana berdecak. "Makanya jangan melamun," ucapnya. "Hay atuh naik, jangan lupa pakai helm," ucap Sandy sembari mengambil helm cadangan. Pemuda itu tak hanya menyuruh, tetapi juga memakaikan helm di kepala pacarnya. "Udah siap?" tanya Sandy . "Udah, ayo jalan." Kirana menjawab. Motor pun melaju meninggalkan kawasan pabrik. Selama perjalan itu Sandy terus bergidik merasa kedinginan. Dia berpikir bahwa nanti akan membeli jaket baru yang lebih tebal. "Kiran, bisa peluk bentar, nggak? Aku kedinginan," Sandy berkata sembari mengendikkan bahu. Meski terdengar seperti tengah memanfaat kesempatan di atas kesempitan, tetapi sebenarnya Sandy memang hanya ingin mendapat kehangatan tambahan. Dia tidak berpikir neko-neko saat itu. Murni karena kedinginan saja. Kirana melingkarkan kedua tangannya tanpa berkata apa-apa. Anehnya, Sandy justru merasa semakin kedinginan. Bahkan gigi pemuda itu sampai gemeletak saking dingin yang dirasa. Sedikit penasaran, Sandy pun mencoba melihat Kirana dari kaca spion. "Ya Allah Gusti," Sandy bergumam dengan wajah panik. Bagaimana tidak panik, yang dia lihat di belakang bukan Kirana pacarnya, melainkan sesosok pocong yang memakai helm. Sumpah, Sandy ingin menangis saat itu juga. Boro mah sudah minta dipeluk, ternyata malah dipeluk pocong. Bau busuk pun mulai tercium menyengat. "Abang Sandy sudah tahu, ya?" Suara datar di belakang terdengar jelas di telinga Sandy . "Pocong kurang ajar! Kenapa bohong pakek nyamar jadi Kirana segala," sentak Sandy . "Habisnya Abang tadi nggak mau nganterin pas aku datang ke pangkalan ojek. Jadi aku nyamar aja jadi pacarnya Bang Sandy," jawab si pocong. Makhluk berbalutkan kafan putih itu tertawa setelah selesai berkata-kata. "Kamu yang di pangkalan?" tanya Sandy . "Iya, tadi aku berdiri di belakang Abang." Si pocong mengangguk hingga helm di kepalanya membentur helm yang dikenakan oleh Sandy . Sandy memejamkan mata, dia merasa sedang ditipu dan dipermainkan. Jika tahu kalau pocong itu akan tetap ikut, dia tak akan repot menyuruhnya pergi sejak awal. "Ya udah, mau diantar ke mana? Kamu sudah jadi pocong, berarti ke makam, 'kan?" tanya Sandy . Dia sudah tak bisa kabur lagi kalau sudah begini. "Bukan ke makam, tapi ke rumah," jawab pocong itu. "Kenapa ke rumah?" tanya Sandy lagi. "Karena jasadku tertukar dengan jasad orang lain." "Kok bisa?" Sandy bertanya dengan suara yang meninggi. Dia jelas merasa kaget mendengar ada kasus jasad tertukar. "Ceritanya panjang, Abang mau denger ceritanya atau enggak?" tanya pocong itu. "Ceritain lah, nanti aku dianggap gila kalau tiba-tiba datang ke rumahmu tanpa penjelasan," jawab Sandy . "Jadi gini ceritanya. Aku adalah salah satu korban tewas dari lima korban lain dalam kebakaran di sebuah ruko. Itulah sebabnya jasadku bisa tertukar dengan jasad yang lain." Si pocong menjelaskan. Sandy manggut-manggut mengerti. "Terus, rumah kamu di mana? Jangan jauh-jauh, ya? Aku mau jemput pacarku soalnya," ucap Sandy sambil sedikit memberi saran. "Nggak jauh kok, rumah Aisyah di Cikembar di belakang gereja," jawab si pocong. "Ngomong dari tadi! Ini kita sudah jalan jauh ke arah lain," sahut Sandy . "Siapa suruh Abang ngebut tanpa bertanya." "Kamu yang salah, ngapain nyamar jadi Kirana . Aku 'kan jadi jadi nggak nanya-nanya tadi," sungut Sandy . Pemuda itu pun memperhatikan jalan dan berbalik arah ketika dirasa aman. Motor pun melesat cepat ke arah lain dan melakukan menuju ke rumah pocong bernama Aisyah. Nama yang cantik, meski tak secantik akhir hidupnya. Beberapa menit kemudian, motor telah sampai di sebuah rumah setengah badan yang terletak di belakang gereja. "Sudah bener ini rumahnya?" Sandy bertanya sembari menatap ke depan rumah. Pocong Aisyah turun dari motor dan berdiri di samping Sandy . Sandy sampai beringsut saking kaget melihat perwujudan pocong tersebut. Sandy pun mengetuk pintu dan mengucap salam. Namun, dia melirik ke arah pocong Aisyah setelahnya. "Maaf, keluargamu muslim, 'kan?" tanyanya. Sandy takut salah karena rumah Aisyah berada di belakang gereja. Pocong Aisyah mengangguk membenarkan. Sandy merasa lega karena dia tidak salah mengucap salam. Tak lama, pintu terbuka dan menampakkan seorang pria paruh baya yang berjalan sempoyongan. Sekilas lihat saja Sandy tahu bahwa pria itu sedang mabuk. Sandy hapal dari bau alkohol yang tercium dari arah pria itu. Beberapa saat kemudian, seorang wanita muda muncul di belakang pria mabuk itu. Saat itulah pocong Aisyah bebeksik di telinga Sandy . Pengakuan pocong itu membuat wajah Sandy terlihat marah.Sandy mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang malam itu. Di belakangnya, pocong Aisyah nampak terus berbicara."Kenapa Abang Sandy pulang lagi? Padahal tadi Abang Sandy sudah lihat bapaknya Aisyah!" Pocong itu bertanya dengan nada manja bak remaja perempuan.Sandy hanya mendengarkan tanpa mau menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa? Sudah jelas karena dia banyak berpapasan dengan pengendara lain di jalan. Sandy tidak mau dianggap gila karena berbicara sendiri, secara pocong Aisyah sudah pasti tidak terlihat kala itu.Ketika motor tiba di rumah, barulah Sandy berbicara. "Jangan ngajak aku bicara di jalan, nanti aja kalau aku sendirian," ucapnya.Pocong Aisyah menganggukkan kepalanya. Lantas dia mengikuti Sandy yang berjalan mendekati pintu masuk rumahnya."Assalamualaikum," ucap Sandy seraya mengetuk pintu."Mak? Sandy pulang!" seru Sandy setelah beberapa saat tak terdengar jawaban dari dalam rumahnya.Tak mau lama menunggu karena mengira ibunya sudah tertidur, Sandy pun merogoh sa
Beberapa hari setelah memulangkan pocong Aisyah ke rumah aslinya, Sandy kini bisa bernapas lega setelah beberapa kali harus melayani hantu sebagai penumpang ojeknya. Selama ini dia selalu merasa ketakutan dan cemas, tapi kini dia bisa kembali merasakan kebebasan dan ketenangan saat beraktivitas. Beban pikirannya terasa ringan karena tidak lagi merasa terintimidasi oleh wajah seram dan kasus para makhluk halus yang sering meminta bantuan padanya.Kehidupan pribadinya pun kembali normal, di mana dia bisa kembali menjalin hubungan dengan keempat pacarnya. Terutama Kirana, pacar pertamanya yang masih merajuk karena Sandy menolak mengantarnya bekerja beberapa waktu lalu. Sandy sadar bahwa dia harus segera meluruskan perasaan Kirana agar hubungan mereka kembali harmonis tanpa banyak drama.Di suatu Minggu pagi yang cerah, Sandy sudah mendapatkan panggilan telepon dari Rahayu, pacar keduanya. Wanita itu menelpon hanya untuk menyapa serta memberitahukan bahwa dia sudah hampir sampai ke rumah
Sandy duduk bersila sambil mendengarkan si hantu basah bercerita. Dari penuturannya, hantu itu merupakan seorang remaja berusia 15 tahun bernama Syarif yang tewas tenggelam di sungai yang jaraknya cukup dekat dengan kampung Sandy. Sandy nampak heran karena sebenarnya sungai itu tidaklah dalam, rasanya tidak mungkin ada orang meninggal tenggelam di sana."Kamu nggak meninggal tenggelam, 'kan?" tanya Sandy seraya menatap lekat lawan bicaranya.Syarif si hantu basah nampak bingung bagaimana menjelaskannya. "Kematian saya memang karena tenggelam, Kak. Tapi sebelumnya saya memang sempat pingsan dulu," jawabnya."Pingsan kenapa? Karena kalau tenggelam sangat tidak mungkin. Sungai itu mah dalamnya juga cuma selutut aku doang," kata Sandy.Syarif menganggukkan kepalanya. "Seingat saya, saya sedang dalam perjalanan pulang selepas main malam itu. Saya nggak tahu penyebab pastinya apa, tapi motor yang kami tumpangi tiba-tiba ditendang dari samping sampai kami jatuh bersamaan. Teman saya langsung
Tubuh Sandy melayang di udara dan jatuh dengan keras ke atas aspal jalan. Sebelumnya, pria 22 tahun itu tengah mengikuti balap liar yang biasa diadakan oleh pemuda-pemuda yang mengaku sebagai geng motor. Sialnya, Sandy justru bertabrakan dengan pembalap lain yang melaju berlawanan arah. Sandy masih sadar saat itu, dia juga bisa melihat orang-orang berlarian ke arahnya. Namun, fokusnya hanya tertuju pada seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan sembari menatap ke arahnya. Sandy bertanya-tanya, siapakah wanita itu? Belum sempat pertanyaan yang berputar di benaknya terjawab, Sandy sudah keburu diangkat oleh rekannya dan dibawa pergi. Ketika membuka mata, Sandy telah berbaring di ranjang perawatan. Tangannya diinfus dan kepalanya juga diperban. Sandy celingukan seperti orang bingung karena hanya dia seorang yang ada di ruangan itu. Oh, salah. Sandy ersenyum ketika melihat pergerakan di ranjang depan. Dia tidak sendiri. Meski ranjang perawatan itu ditutup tirai, tetapi Sandy bisa m
Hari berikutnya, Sandy sudah diperkenankan pulang dari rumah sakit. Seperti biasa Mak Ijah akan menjemput anak itu dengan sepeda motor matic miliknya. Jujur saja selama Mak Ijah mengurus berkas kepulangan, Sandy terus mengekor di belakang ibunya karena dia terus mendengar seseorang memanggil namanya.Sandy yakin kalau suara itu milik suster berdarah yang mengganggunya beberapa hari kemarin. Karena terus berada di samping ibunya, Sandy pun tidak melihat hantu itu lagi. Pada akhirnya dia berhasil pulang ke rumah.Hal yang tak disangka-sangka, kepulangan Sandy disambut dengan adanya empat wanita yang berdiri di teras rumahnya. Keempat wanita itu langsung tersenyum begitu melihat Sandy datang."Sayangku.""Ayang!""Sayang.""Sandy."Keempat wanita itu menyapa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sandy yang mendengarnya hanya bisa menelan ludah karena sekarang dia dihadapkan dengan masalah baru.Lain lagi dengan Mak Ijah yang nampak biasa saja, wanita itu justru cengengesan sendiri. "Makan tu
Sandy semakin ketar-ketir ketika hidungnya mencium bau anyir khas darah. Dia tahu kalau penumpangnya sudah berubah menjadi hantu menyeramkan sama seperti yang ia lihat di rumah sakit. "Abang mau baca surah An-Nas lagi , enggak?" Hantu suster berdarah itu bertanya dengan nada mengejek. Sandy biasanya akan mudah terprovokasi, tetapi kali ini nyali untuk adu bacot sudah menghilang dan tergantikan dengan rasa takut yang luar biasa. "T-tolong jangan gangguin saya," ucap Sandy tergagap. "Aku enggak mau ganggu, kok. Aku cuma mau diantar pulang ke rumah," jawab hantu wanita. "Saya nggak kenal kamu, saya nggak mau kenal juga. Tolong cari orang lain saja buat nganterin kamu pulang," ucap Sandy masih dengan bibir yang gemetar. "Aku maunya sama Abang Sandy." Hantu wanita melingkarkan kedua tangannya di perut Sandy. Perut Sandy semakin mules merasakan hawa dingin yang menembus jaketnya. "Y-ya udah, di mana makam kamu?" Sandy akhirnya menyerah dan berniat untuk mengantarkan saja hantu itu k
Keesokan harinya, Sandy hanya berbaring di atas sofa berbalutkan selimut bulu. Pria itu langsung demam setelah pulang dari kediaman Dinda semalam. "Ini anak, ampun deh! Dulu pulang subuh kelayapan balap motor. Sekarang disuruh ngojek sampai kebablasan pulang subuh juga. Bingung emak sama kamu, San!" Mak Ijah mengomel ketika datang dengan membawa segelas teh hangat untuk putranya. "Sandy habis nganterin hantu, Mak. Kasihan banget loh, Mak. Dia dibunuh tetangganya sendiri sampai tiga tahun jasadnya belum ditemukan," Sandy bercerita. "Makin ngaco aja omongan kamu ini, Nak. Ini pasti gara-gara kepala kamu yang terbentur pas kecelakaan itu." Mak Ijah geleng-geleng kepala. "Sandy nggak ngaco, Mak! Coba aja pantau berita hari ini, pasti kasus Dinda di-up lagi." Sandy berdecak karena ibunya tak mempercayai dirinya. Siapa pula yang mau percaya jika Sandybercerita sesantai itu? Mak Ijah menghembuskan napas panjang. "Sudah lah, minum saja ini, habis itu sarapan. Emak sudah buatkan bubur bua
Sandy duduk bersila sambil mendengarkan si hantu basah bercerita. Dari penuturannya, hantu itu merupakan seorang remaja berusia 15 tahun bernama Syarif yang tewas tenggelam di sungai yang jaraknya cukup dekat dengan kampung Sandy. Sandy nampak heran karena sebenarnya sungai itu tidaklah dalam, rasanya tidak mungkin ada orang meninggal tenggelam di sana."Kamu nggak meninggal tenggelam, 'kan?" tanya Sandy seraya menatap lekat lawan bicaranya.Syarif si hantu basah nampak bingung bagaimana menjelaskannya. "Kematian saya memang karena tenggelam, Kak. Tapi sebelumnya saya memang sempat pingsan dulu," jawabnya."Pingsan kenapa? Karena kalau tenggelam sangat tidak mungkin. Sungai itu mah dalamnya juga cuma selutut aku doang," kata Sandy.Syarif menganggukkan kepalanya. "Seingat saya, saya sedang dalam perjalanan pulang selepas main malam itu. Saya nggak tahu penyebab pastinya apa, tapi motor yang kami tumpangi tiba-tiba ditendang dari samping sampai kami jatuh bersamaan. Teman saya langsung
Beberapa hari setelah memulangkan pocong Aisyah ke rumah aslinya, Sandy kini bisa bernapas lega setelah beberapa kali harus melayani hantu sebagai penumpang ojeknya. Selama ini dia selalu merasa ketakutan dan cemas, tapi kini dia bisa kembali merasakan kebebasan dan ketenangan saat beraktivitas. Beban pikirannya terasa ringan karena tidak lagi merasa terintimidasi oleh wajah seram dan kasus para makhluk halus yang sering meminta bantuan padanya.Kehidupan pribadinya pun kembali normal, di mana dia bisa kembali menjalin hubungan dengan keempat pacarnya. Terutama Kirana, pacar pertamanya yang masih merajuk karena Sandy menolak mengantarnya bekerja beberapa waktu lalu. Sandy sadar bahwa dia harus segera meluruskan perasaan Kirana agar hubungan mereka kembali harmonis tanpa banyak drama.Di suatu Minggu pagi yang cerah, Sandy sudah mendapatkan panggilan telepon dari Rahayu, pacar keduanya. Wanita itu menelpon hanya untuk menyapa serta memberitahukan bahwa dia sudah hampir sampai ke rumah
Sandy mengemudikan motornya dengan kecepatan sedang malam itu. Di belakangnya, pocong Aisyah nampak terus berbicara."Kenapa Abang Sandy pulang lagi? Padahal tadi Abang Sandy sudah lihat bapaknya Aisyah!" Pocong itu bertanya dengan nada manja bak remaja perempuan.Sandy hanya mendengarkan tanpa mau menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa? Sudah jelas karena dia banyak berpapasan dengan pengendara lain di jalan. Sandy tidak mau dianggap gila karena berbicara sendiri, secara pocong Aisyah sudah pasti tidak terlihat kala itu.Ketika motor tiba di rumah, barulah Sandy berbicara. "Jangan ngajak aku bicara di jalan, nanti aja kalau aku sendirian," ucapnya.Pocong Aisyah menganggukkan kepalanya. Lantas dia mengikuti Sandy yang berjalan mendekati pintu masuk rumahnya."Assalamualaikum," ucap Sandy seraya mengetuk pintu."Mak? Sandy pulang!" seru Sandy setelah beberapa saat tak terdengar jawaban dari dalam rumahnya.Tak mau lama menunggu karena mengira ibunya sudah tertidur, Sandy pun merogoh sa
Wanita itu terus muncul di beberapa kesempatan. Pandangannya selalu tertuju pada Sandy . Sandy juga sebenarnya selalu melihat wanita itu, tetapi dia tidak berbuat apa-apa, bahkan sekadar bertanya pun tidak dia lakukan.Sandy yang over percaya diri itu malah menduga bahwa wanita itu naksir padanya. Itulah sebabnya dia tidak mau merespon. Pacarnya sudah ada empat dan Sandy tidak mau menambah lagi, begitu pikirnya.Malam harinya, Sandy masih berada di pangkalan ojek. Dia sedang menunggu Kirana menghubunginya. Pria itu bergidik begitu angin malam berhembus. Meskipun pernah menjadi anak motor, tetapi sebenarnya Sandy cukup lemah bila terkena angin malam."Gila, cepat banget malam tiba. Perasaan tadi langit masih terang," gumam Sandy sembari menggosokkan kedua tangannya."Yang lain pada ke mana, sih? Kok nggak ada yang balik lagi sejak tadi?" Sandy bertanya-tanya karena rekan sesama tukang ojek belum kembali ke pangkalan. Padahal seingatnya, tujuan pelanggan mereka tidak jauh-jauh d
Keesokan harinya, Sandy hanya berbaring di atas sofa berbalutkan selimut bulu. Pria itu langsung demam setelah pulang dari kediaman Dinda semalam. "Ini anak, ampun deh! Dulu pulang subuh kelayapan balap motor. Sekarang disuruh ngojek sampai kebablasan pulang subuh juga. Bingung emak sama kamu, San!" Mak Ijah mengomel ketika datang dengan membawa segelas teh hangat untuk putranya. "Sandy habis nganterin hantu, Mak. Kasihan banget loh, Mak. Dia dibunuh tetangganya sendiri sampai tiga tahun jasadnya belum ditemukan," Sandy bercerita. "Makin ngaco aja omongan kamu ini, Nak. Ini pasti gara-gara kepala kamu yang terbentur pas kecelakaan itu." Mak Ijah geleng-geleng kepala. "Sandy nggak ngaco, Mak! Coba aja pantau berita hari ini, pasti kasus Dinda di-up lagi." Sandy berdecak karena ibunya tak mempercayai dirinya. Siapa pula yang mau percaya jika Sandybercerita sesantai itu? Mak Ijah menghembuskan napas panjang. "Sudah lah, minum saja ini, habis itu sarapan. Emak sudah buatkan bubur bua
Sandy semakin ketar-ketir ketika hidungnya mencium bau anyir khas darah. Dia tahu kalau penumpangnya sudah berubah menjadi hantu menyeramkan sama seperti yang ia lihat di rumah sakit. "Abang mau baca surah An-Nas lagi , enggak?" Hantu suster berdarah itu bertanya dengan nada mengejek. Sandy biasanya akan mudah terprovokasi, tetapi kali ini nyali untuk adu bacot sudah menghilang dan tergantikan dengan rasa takut yang luar biasa. "T-tolong jangan gangguin saya," ucap Sandy tergagap. "Aku enggak mau ganggu, kok. Aku cuma mau diantar pulang ke rumah," jawab hantu wanita. "Saya nggak kenal kamu, saya nggak mau kenal juga. Tolong cari orang lain saja buat nganterin kamu pulang," ucap Sandy masih dengan bibir yang gemetar. "Aku maunya sama Abang Sandy." Hantu wanita melingkarkan kedua tangannya di perut Sandy. Perut Sandy semakin mules merasakan hawa dingin yang menembus jaketnya. "Y-ya udah, di mana makam kamu?" Sandy akhirnya menyerah dan berniat untuk mengantarkan saja hantu itu k
Hari berikutnya, Sandy sudah diperkenankan pulang dari rumah sakit. Seperti biasa Mak Ijah akan menjemput anak itu dengan sepeda motor matic miliknya. Jujur saja selama Mak Ijah mengurus berkas kepulangan, Sandy terus mengekor di belakang ibunya karena dia terus mendengar seseorang memanggil namanya.Sandy yakin kalau suara itu milik suster berdarah yang mengganggunya beberapa hari kemarin. Karena terus berada di samping ibunya, Sandy pun tidak melihat hantu itu lagi. Pada akhirnya dia berhasil pulang ke rumah.Hal yang tak disangka-sangka, kepulangan Sandy disambut dengan adanya empat wanita yang berdiri di teras rumahnya. Keempat wanita itu langsung tersenyum begitu melihat Sandy datang."Sayangku.""Ayang!""Sayang.""Sandy."Keempat wanita itu menyapa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sandy yang mendengarnya hanya bisa menelan ludah karena sekarang dia dihadapkan dengan masalah baru.Lain lagi dengan Mak Ijah yang nampak biasa saja, wanita itu justru cengengesan sendiri. "Makan tu
Tubuh Sandy melayang di udara dan jatuh dengan keras ke atas aspal jalan. Sebelumnya, pria 22 tahun itu tengah mengikuti balap liar yang biasa diadakan oleh pemuda-pemuda yang mengaku sebagai geng motor. Sialnya, Sandy justru bertabrakan dengan pembalap lain yang melaju berlawanan arah. Sandy masih sadar saat itu, dia juga bisa melihat orang-orang berlarian ke arahnya. Namun, fokusnya hanya tertuju pada seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan sembari menatap ke arahnya. Sandy bertanya-tanya, siapakah wanita itu? Belum sempat pertanyaan yang berputar di benaknya terjawab, Sandy sudah keburu diangkat oleh rekannya dan dibawa pergi. Ketika membuka mata, Sandy telah berbaring di ranjang perawatan. Tangannya diinfus dan kepalanya juga diperban. Sandy celingukan seperti orang bingung karena hanya dia seorang yang ada di ruangan itu. Oh, salah. Sandy ersenyum ketika melihat pergerakan di ranjang depan. Dia tidak sendiri. Meski ranjang perawatan itu ditutup tirai, tetapi Sandy bisa m