Share

Bab 5. Tamparan

Aku mengaduh kesakitan saat kening mulusku membentur dashboard. Namun, aku mencoba mengabaikan rasa sakit itu dan menoleh ke arah belakang. “Bapak Tama gak apa-apa, ‘kan? Apa ada yang terluka?” tanyaku cemas.

Pria itu terlihat mendesis dan menggelengkan kepala. Aku yakin dia juga kaget karena kejadian itu terlalu mendadak. “Pak? Apa kepala Anda terbentur? Gegar otak atau gimana?” tanyaku beruntun.

“Apa kamu mau membuat kita mat– yakh!” Tiba-tiba Gartama berteriak dan menarik wajahku. “Ada apa dengan keningmu?”

“Saya?” Aku menatap pria itu dengan bingung, tetapi ketika tangan pria tersebut menyentuh keningku aku langsung meringis.

“Kamu berdarah?”

“S-saya gak tau,” ucapku, tetapi Pak Gunadi yang melihatku juga langsung sama cemasnya. Dia bahkan meminta maaf langsung kepadaku.

Belum sempat aku membuka mulut, tiba-tiba ketukan di jendela bagian belakang membuat kami bertiga menoleh semua. Seorang wanita dengan pakaian yang cukup terbuka itu terlihat begitu ngotot dan seperti ingin menghancurkan kaca mobil kami.

“Maaf, Pak. Apa Anda mengenal wanita itu?” tanyaku pada Gartama. Kuabaikan darah yang mengalir di pelipisku hanya untuk melihat reaksinya.

“Diamlah. Jalan, Pak!” tutur Gartama dingin, tetapi tangannya dengan cekatan segera mengusap pelipisku dengan sapu tangan mahalnya.

“Eh, gak usah, Pak. Nanti biar saya–”

“Bisa diam gak, sih? Apa susahnya menerima bantuan dari seseorang!”

Aku langsung mengatupkan bibir saat mendengar nada dingin serta mata yang menatapku tajam. Rasa takut langsung menyelubungi hatiku jika sudah berhadapan dengan sosok Gartama yang seakan-akan siap memangsa orang.

“T-tapi itu tadi–”

“Kamu mau diam atau kucium bibirmu!”

Aku langsung mundur, tetapi sebuah tangan sudah berada di belakang tengkuk untuk menahan pergerakanku. Mataku pun kembali menatap wajah tampan tanpa cacat Gartama, bahkan kulit wajahnya begitu mulus dan aku yakin lalat akan terpeleset ketika hinggap di sana. Jiwaku langsung iri dengki melihat itu. Aku yang seorang perempuan saja tidak sesempurna itu.

“Apa kebiasaanmu yang selalu menahan napas ketika dekat dengan lelaki akan terus berlanjut?”

“Hah? Maksudnya?” Aku bertanya heran. Jarak kami begitu dekat, bahkan aku bisa merasakan embusan napasnya dan itu benar-benar menggelitik perutku hingga membuatku menjadi mulas. “B-bapak bisa gak munduran sedikit?”

“Kenapa?”

“Karena situ udah bikin aku hampir sesak napas, Pak!” Ingin sekali aku berkata seperti itu, tetapi mulutku justru berkata lain, “K-karena itu di gigi bapak ada yang nyangkut.”

Setelah itu, Gartama menjauh dan aku langsung menatap ke depan. Aku langsung memegang bagian dadaku yang terus-terusan berdebar setelah kedekatan kami yang benar-benar membuatku sesak napas.

Aku juga tidak memedulikan suara Gartama, atau wajahnya yang berubah memerah di belakang setelah apa yang kukatakan. Kini, aku lebih memilih untuk menyelamatkan diri sendiri.

“Tapi, Tuan. Mbak yang tadi sepertinya tidak menyerah, deh.” Beritahu Pak Gunadi sambil melirik ke arah spion di depannya.

“Maksud kamu?” tanya Gartama yang membuatku jadi ikutan melihat ke arah belakang.

Aku mengernyit, tetapi kembali meringis saat luka itu kembali terasa perih. Namun, sosok yang dibicarakan oleh Pak Gunadi memang benar ada di sana. Wanita itu kini tengah menaiki ojek untuk mengejar kami. Aku segera menoleh ke arah sang bos. “Pak, itu gimana?”

Terdengar embusan napas berat dari Gartama. Entah masalah apa yang terjadi di antara dua orang itu, tetapi aku tebak jika wanita itu adalah salah satu teman main si bos yang mungkin saja mengejarnya karena ingin minta pertanggungjawaban dari si bos. Aku meringis dengan segala pemikiran buruk yang berkelebat dalam otakku tentang Gartama.

“Biarkan saja dia!”

Lah, tumben amat. Biasanya kalau ada perempuan yang deketin langsung disosor kayak bebek.

“Ngapain kamu ngeliatin aku kayak gitu?”

“Ah, itu. Gak, kok, Pak.” Aku langsung menatap kembali ke arah depan, mengabaikan tatapan menusuk dari belakang yang membuatku menelan ludah kasar. Mungkin dia marah atau dendam karena aku sudah membohonginya masalah gigi yang nyangkut itu. Akan tetapi, aku memilih masa bodo.

Kini, setelah 15 menit dalam perjalanan, mobil kami sampai di lobi sebuah gedung pencakar langit milik Group Wirasesa. Perusahaan terbesar nomor 1 di Indonesia yang memiliki banyak anak perusahaan yang tersebar di berbagai daerah.

Aku segera turun dan mencoba mensejajari langkah Gartama, tetapi pria itu justru menghentikan langkahnya. “Kenapa, Pak? Apa ada yang tertinggal?” Aku ikut melihat ke arah belakang, tetapi mobil yang kami tumpangi sudah pergi.

“Kamu ke klinik dan obati lukamu! Aku tidak ingin membuat semua karyawan mengira jika aku ini adalah pemimpin yang tega kepada karyawannya,” tuturnya kemudian.

Aku menatapnya datar. “Jika bapak mau tahu, kalau semua orang yang ada di perusahaan ini sudah menganggap bapak ini adalah pemimpin berdarah dingin,” batinku.

“Ckckck. Naina, kamu denger gak sama apa yang aku perintahkan?”

“Ah, baik, Pak. Saya janji setelah mengobati luka ini akan langsung ke atas buat menyiapkan rapat nanti.”

“Gak usah. Aku mau pergi rapat sama Gilang saja. Sudah sana pergi!” usirnya padaku. Sedang dia berjalan menuju lift khusus milik si bos dengan diikuti oleh beberapa pengawal dan dewan direksi.

Aku menggaruk rambutku bingung. “Kesambet kali dia, yah?”

“Tama! Tunggu … aku mau bicara sama kamu!”

Suara teriakan itu segera membuatku menoleh ke arah wanita itu. “Itu orang sampai ke sini juga. Aku samperin aja, deh!” Kulangkahkan kaki ini untuk menghampiri wanita yang sempat membuat kami hampir mati. Dia sendiri kini tengah berdiri di depan lift di mana si bos dan yang lain sudah lebih dulu pergi meninggalkan lantai bawah.

Beberapa karyawan juga sama penasarannya denganku akan status wanita itu. Bagaimana tidak? Dia memanggil pemilik perusahaan ini dengan nama kecilnya. Tentu sebuah pertanyaan besar akan asal-usul dan statusnya membuat kami semua berspekulasi jika ada hubungan di antara Gartama dan wanita itu.

“Tama!”

“Permisi, Nona. Apa ada yang bisa saya bantu?” Aku memberikan senyum ramah kepada wanita itu. Ingat, ini adalah jam kerja dan diriku harus bersikap profesional, walau dalam hati ingin mencakar wajahnya yang kini tengah menatapku penuh penilaian dari atas hingga bawah. “Lancang sekali wanita ini!” umpatku dalam hati.

“Kamu sekretarisnya Tama, ‘kan?” tanyanya sombong.

Aku kembali mengulas senyum ramah. “Benar, Nona. Apa Anda ingin bertemu dengan Bapak Tama?” tanyanyaku sopan.

“Gak usah sok manis, deh. Aku tahu kalau kamu itu hanyalah simpanan dia, ‘kan? Kamu yang udah buat Tama jadi menjauh dari aku, ‘kan? Ngaku aja, deh!” tuduhnya.

Kupegang telunjuk tangan wanita yang menunjuk-nunjuk wajahku tidak sopan, bahkan beberapa karyawan yang masih berada di lantai bawah kini tengah mengerubungi kami. Aku turunkan tangan itu dengan perlahan dan masih mengulas senyum manis padanya. “Maaf, Nona. Sepertinya Anda salah orang. Ya, saya memang sekretaris bapak Tama. Tapi, saya bukan simpanan bapak. Jadi, jika Anda–”

Tiba-tiba, sebuah tamparan keras sudah melayang ke wajahku. Aku mengerjap shock hingga beberapa detik tidak ada suara apa pun yang kudengar dari sekitar. Namun, setelah sadar dari rasa terkejut, aku berusaha bersikap biasa saja, walau aku merasakan anyir dalam mulutku. Kutegakkan kembali tubuh ini dan ditatapnya wajah wanita itu dengan dingin. “Apa maksud Anda menampar saya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status