Home / Romansa / Ok, Aku Nyerah Bos! / Bab 6. Bibir Kami

Share

Bab 6. Bibir Kami

Author: Lavinka
last update Last Updated: 2024-01-10 14:06:03

Aku yakin setelah ini bakalan ada gosip-gosip murahan tentangku. Bukannya aku sok kepedean, melainkan sudah sedari lama aku mendengar tuduhan tak bermoral seperti itu melekat padaku.

Gila bukan? Aku saja yang melakoni hidup tidak pernah merasa menjadi simpanan para lelaki hidung belang, apalagi simpanan Gartama Wirasesa. Heol, itu sih bukan aku banget.

“Aku melalukan itu biar kamu sadar, kalau kamu itu sudah melakukan hal bodoh karena berniat menjadi sainganku. Lagian, situ gak usah sok manis, deh. Kamu, ‘kan, yang selama ini menyuruh Tama menghindariku? Kamu juga ‘kan yang memblokir nomorku di hp Tama? Kamu juga–”

“Wait!” Aku langsung memotong ucapan wanita itu. “Maaf, Nona. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini!” ujarku berniat menjelaskan. Namun, wanita itu lagi-lagi langsung menyela ucapanku.

“Salah paham!” Ada apa dengan orang ini? Apa pita suaranya tak sakit berteriak keras seperti itu.

Lagipula, ini orang ada masalah apa, sih, sama aku? Perasaan aku tak pernah menyinggung siapa pun, kecuali jika mengumpati para klien ganjen, atau wanita sok cantik yang berniat menggoda atasanku.

“Woi, Tua! Situ kalau mau ngomong itu ngaca dulu! Tampang udah kek nenek-nenek gak usah saingan sama aku ya masih cantik ini!”

“What? Tua?” Mataku langsung melotot shock dengan bibir setengah terbuka. Aku menunjuk pada diriku sendiri dengan perasaan tak percaya. Kukipasi wajahku yang panas dengan tangan. Bibirku sudah berniat mendampratnya, tetapi mulutnya wanita itu sudah kembali nyerocos.

“Kenapa, gak terima? Dengerin yah, Tua!” Wanita itu tiba-tiba menunjuk wajahku dengan tidak sopan dan aku pun langsung menepisnya.

Kutatap balik wanita itu dengan tak kalah sinis. “Dengar yah, Nona! Ada hal-hal yang pantas dan tidak pantas untuk diucapkan kepada orang yang tidak dikenal, apalagi jika orang itu mempunyai usia di atas Anda,” kutekankan setiap kata yang kuucapkan.

“Halah, bilang aja situ gak mau dibilang tua!”

Aku hendak mengumpat kasar ke wajah itu, tetapi seakan teringat jika kami sedang berada di kantor, aku kembali memasang raut wajah datar. “Sebaiknya jaga sikap Anda, Nona karena kita sedang menjadi tontonan banyak orang!” desisku tajam.

“Apa aku peduli?” Ingin kurobek senyum sinisnya itu. “Situ itu gak usah kebanyakan ceramah unfaedah. Kamu itu hanya orang miskin yang beruntung bekerja di sini. Jadi, gak usah sok-sokan tebar pesona sama pangeran hatiku, deh! Aku … Rosera Hinatabi tidak akan pernah me–”

“Ada apa ini?”

Aku sudah hampir menampar wajah sialan itu, tetapi derap langkah dari arah belakangku membuat tangan ini kembali mengepal di sisi tubuh. Hatiku langsung mencelos kala melihat Gartama datang bersama dengan dewan direksi lain.

Aku pun langsung mengumpat.

“Ada apa ini, Naina? Kenapa kamu tidak melakukan tugas yang kuberikan kepadamu? Hah!”

Aku langsung membungkuk sopan. “Maaf, Tuan Tama. Tapi, Nona ini memaksa untuk bertemu dengan Anda,” tuturku sopan sambil menunjuk ke arah wanita tadi.

Aku yakin tanganku sekarang rasanya asin karena orang yang aku tunjuk adalah titisan setan yang jika kata orang-orang dulu ketika menunjuk hal gaib jari kita haru dijilat, ataupun dimut agar setan itu tak menempeli.

“Yakh, aku ini adalah cal–”

“Shut up!”

Tiba-tiba suasana menjadi hening kala suara penuh penekanan dari Tama membuat semua orang yang ada di sekitar langsung ikut terdiam. Aku ingin melihat, tetapi aku masih ingin duitnya Tama. Jadi, aku memilih untuk tetap menunduk.

Sekarang yang kurasakan ingin sekali menginjak mulut wanita tadi. Berani sekali mengatai diriku ini tua. Woi, walaupun usiaku sudah kepala 3, tetapi aku yakin jika diriku lebih dari situ! Dasar jangkrik! Kecoa bunting!

“Tam? Apa kamu baru saja berteriak padaku?” Suara wanita yang katanya namanya siapa tadi? Rosera Hinatabi. Ah, nama itu terlalu cantik untuk orang urakan dan menjijikkan seperti dia.

Hina, bukankah itu jauh lebih pantas? Aku menyeringai. Nama itu pantas disandang oleh orang dengan mulut yang senang sekali menghina orang lain.

“Apa yang kalian lakukan di sini? Kembali bekerja!” Suara Tama yang ngebas dan sedikit serak-serak becek membuatku kembali ke alam nyata setelah tadi sibuk memberi julukan kepada wanita itu.

“Pergi-pergi!” Kali ini security mulai membubarkan kerumunan karyawan yang hobinya selalu mencari berita eksklusif dan kemudian disebarkan dengan bumbu-bumbu lain agar makin hot jeletot.

“Kenapa gak sedari tadi sih, Pak Satpam? Ini mulut dan tanganku gak akan gatel pengin nampol mulut si Hina itu.” Aku menggerutu kesal.

“Sayang, ke atas, yuk! Aku mau ngobrol!”

“Pulang dan jangan pernah datang ke sini lagi!” Aku melirik dari balik bulu mata lentikku saat mendengar suara di sampingku. Eh, sejak kapan ini Pak Tua berdiri di sisiku?

“Gak, Tam. Aku gak mau pulang. Pokoknya kita harus bicara.”

Aku menyeringai sinis kala mendengar nada suara penuh permohonan yang terlontar dari bibir si Hina tadi. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya dengan cabai rawit 1 kg, biar huhah-huhah sekalian.

Tiba-tiba, tanganku ditarik dan wajah kami sudah berhadapan dengan mata elang milik Tama yang menatapku teduh. “Em … ada-ada apa, yah, P-pak?” tanyanku gugup.

Aku berusaha untuk mundur, tetapi pria itu justru menarik kepala bagian belakangku hingga sebuah benda kenyal tiba-tiba melumat bibirku. Aku langsung melotot shock. “Bibirku!” batinku menjerit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 121. End

    “Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 120. Menyambut Kelahiran Penerus Wirasesa

    Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 119. Kunjungan

    “Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 118. Dikutuk Suami

    Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 117. UGD

    Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 116. Kecelakaan

    "Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status