Share

Bab 6. Bibir Kami

Aku yakin setelah ini bakalan ada gosip-gosip murahan tentangku. Bukannya aku sok kepedean, melainkan sudah sedari lama aku mendengar tuduhan tak bermoral seperti itu melekat padaku.

Gila bukan? Aku saja yang melakoni hidup tidak pernah merasa menjadi simpanan para lelaki hidung belang, apalagi simpanan Gartama Wirasesa. Heol, itu sih bukan aku banget.

“Aku melalukan itu biar kamu sadar, kalau kamu itu sudah melakukan hal bodoh karena berniat menjadi sainganku. Lagian, situ gak usah sok manis, deh. Kamu, ‘kan, yang selama ini menyuruh Tama menghindariku? Kamu juga ‘kan yang memblokir nomorku di hp Tama? Kamu juga–”

“Wait!” Aku langsung memotong ucapan wanita itu. “Maaf, Nona. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini!” ujarku berniat menjelaskan. Namun, wanita itu lagi-lagi langsung menyela ucapanku.

“Salah paham!” Ada apa dengan orang ini? Apa pita suaranya tak sakit berteriak keras seperti itu.

Lagipula, ini orang ada masalah apa, sih, sama aku? Perasaan aku tak pernah menyinggung siapa pun, kecuali jika mengumpati para klien ganjen, atau wanita sok cantik yang berniat menggoda atasanku.

“Woi, Tua! Situ kalau mau ngomong itu ngaca dulu! Tampang udah kek nenek-nenek gak usah saingan sama aku ya masih cantik ini!”

“What? Tua?” Mataku langsung melotot shock dengan bibir setengah terbuka. Aku menunjuk pada diriku sendiri dengan perasaan tak percaya. Kukipasi wajahku yang panas dengan tangan. Bibirku sudah berniat mendampratnya, tetapi mulutnya wanita itu sudah kembali nyerocos.

“Kenapa, gak terima? Dengerin yah, Tua!” Wanita itu tiba-tiba menunjuk wajahku dengan tidak sopan dan aku pun langsung menepisnya.

Kutatap balik wanita itu dengan tak kalah sinis. “Dengar yah, Nona! Ada hal-hal yang pantas dan tidak pantas untuk diucapkan kepada orang yang tidak dikenal, apalagi jika orang itu mempunyai usia di atas Anda,” kutekankan setiap kata yang kuucapkan.

“Halah, bilang aja situ gak mau dibilang tua!”

Aku hendak mengumpat kasar ke wajah itu, tetapi seakan teringat jika kami sedang berada di kantor, aku kembali memasang raut wajah datar. “Sebaiknya jaga sikap Anda, Nona karena kita sedang menjadi tontonan banyak orang!” desisku tajam.

“Apa aku peduli?” Ingin kurobek senyum sinisnya itu. “Situ itu gak usah kebanyakan ceramah unfaedah. Kamu itu hanya orang miskin yang beruntung bekerja di sini. Jadi, gak usah sok-sokan tebar pesona sama pangeran hatiku, deh! Aku … Rosera Hinatabi tidak akan pernah me–”

“Ada apa ini?”

Aku sudah hampir menampar wajah sialan itu, tetapi derap langkah dari arah belakangku membuat tangan ini kembali mengepal di sisi tubuh. Hatiku langsung mencelos kala melihat Gartama datang bersama dengan dewan direksi lain.

Aku pun langsung mengumpat.

“Ada apa ini, Naina? Kenapa kamu tidak melakukan tugas yang kuberikan kepadamu? Hah!”

Aku langsung membungkuk sopan. “Maaf, Tuan Tama. Tapi, Nona ini memaksa untuk bertemu dengan Anda,” tuturku sopan sambil menunjuk ke arah wanita tadi.

Aku yakin tanganku sekarang rasanya asin karena orang yang aku tunjuk adalah titisan setan yang jika kata orang-orang dulu ketika menunjuk hal gaib jari kita haru dijilat, ataupun dimut agar setan itu tak menempeli.

“Yakh, aku ini adalah cal–”

“Shut up!”

Tiba-tiba suasana menjadi hening kala suara penuh penekanan dari Tama membuat semua orang yang ada di sekitar langsung ikut terdiam. Aku ingin melihat, tetapi aku masih ingin duitnya Tama. Jadi, aku memilih untuk tetap menunduk.

Sekarang yang kurasakan ingin sekali menginjak mulut wanita tadi. Berani sekali mengatai diriku ini tua. Woi, walaupun usiaku sudah kepala 3, tetapi aku yakin jika diriku lebih dari situ! Dasar jangkrik! Kecoa bunting!

“Tam? Apa kamu baru saja berteriak padaku?” Suara wanita yang katanya namanya siapa tadi? Rosera Hinatabi. Ah, nama itu terlalu cantik untuk orang urakan dan menjijikkan seperti dia.

Hina, bukankah itu jauh lebih pantas? Aku menyeringai. Nama itu pantas disandang oleh orang dengan mulut yang senang sekali menghina orang lain.

“Apa yang kalian lakukan di sini? Kembali bekerja!” Suara Tama yang ngebas dan sedikit serak-serak becek membuatku kembali ke alam nyata setelah tadi sibuk memberi julukan kepada wanita itu.

“Pergi-pergi!” Kali ini security mulai membubarkan kerumunan karyawan yang hobinya selalu mencari berita eksklusif dan kemudian disebarkan dengan bumbu-bumbu lain agar makin hot jeletot.

“Kenapa gak sedari tadi sih, Pak Satpam? Ini mulut dan tanganku gak akan gatel pengin nampol mulut si Hina itu.” Aku menggerutu kesal.

“Sayang, ke atas, yuk! Aku mau ngobrol!”

“Pulang dan jangan pernah datang ke sini lagi!” Aku melirik dari balik bulu mata lentikku saat mendengar suara di sampingku. Eh, sejak kapan ini Pak Tua berdiri di sisiku?

“Gak, Tam. Aku gak mau pulang. Pokoknya kita harus bicara.”

Aku menyeringai sinis kala mendengar nada suara penuh permohonan yang terlontar dari bibir si Hina tadi. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya dengan cabai rawit 1 kg, biar huhah-huhah sekalian.

Tiba-tiba, tanganku ditarik dan wajah kami sudah berhadapan dengan mata elang milik Tama yang menatapku teduh. “Em … ada-ada apa, yah, P-pak?” tanyanku gugup.

Aku berusaha untuk mundur, tetapi pria itu justru menarik kepala bagian belakangku hingga sebuah benda kenyal tiba-tiba melumat bibirku. Aku langsung melotot shock. “Bibirku!” batinku menjerit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status