Beranda / Romansa / Ok, Aku Nyerah Bos! / Bab 7. Tama Menyebalkan

Share

Bab 7. Tama Menyebalkan

Penulis: Lavinka
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-11 06:45:03

“Yah!” teriak Hina sambil memisahkan tubuh kami.

Aku sendiri langsung menatap manik hitam milik Tama dengan pandangan shock. Namun, entah kenapa mataku justru tertuju ke arah bibir Tama. Seketika bayangan bibir itu yang menciumku tadi kembali terbayang dalam otakku layaknya kaset rusak.

"Gak, Na. Kamu gak boleh mikir kayak gitu!" batinku mengelak. Aku langsung menunduk untuk menutupi rona merah di pipiku ketika pandangan mata kami tidak sengaja saling bertemu.

"Tama!" Wanita itu menjerit tak terima, tetapi tidak kami pedulikan sampai hal yang lebih mengejutkan terjadi.

"Arghhh!"

"Pak Tama!" Aku menjerit reflek saat Tama yang tiba-tiba berdiri melindungi wajahku dari serangan si Hina.

Aku menatap orang yang kini tengah memelukku dan melindungiku dengan tatapan campur aduk. Aroma musk langsung menyapa indera penciumanku saat tubuhnya memelukku. Aku langsung menunduk dan meremas bagian dadaku ketika debaran itu kembali datang.

Aku langsung mengumpat dengan imajinasiku yang kadang suka melantur ke mana-mana. Aku berniat menjauh, tetapi sebuah tangan tetap mempertahankan ku untuk tetap berada dalam pelukan Tama. "Pak," seruku tertahan.

“Bawa dia pergi, Bodoh!” Aku bisa mendengar Tama yang tengah menahan geram akan tingkah Hina dan juga kinerja security yang tidak becus hanya menghalau satu wanita saja.

“Maaf, Tuan Tama.” Dua security yang baru saja datang segera menyeret tubuh Hina agar menjauh dari kami.

Setelah itu, keadaan menjadi hening. Yang kudengar sekarang adalah suara jantungku dan juga debaran milik pria yang tengah memelukku.

Kurasakan dua buah tangan mencoba melerai pelukan kami dan benar saja, si Tamalah pelakunya. Wajah itu memperlihatkan raut khawatir yang lagi-lagi membuatku salah paham.

“Naina. Apa kamu baik-baik saja?”

Kepalaku mengangguk. “Bapak gak apa-apa?” Eh, suara siapa itu? Apa itu suaraku? Hah! Serius?

“Dasar bodoh!”

“Aw!” Aku langsung menatap Tama dengan pandangan protes. “Kenapa bapak malah nyentil keningku?”

Bibirnya berdecak, tetapi tangannya kembali menyapa keningku. Bukan untuk menyentil, melainkan mengusapnya. Mengusapnya saudara-saudari! Gila tidak? Mana bibir itu lagi-lagi membuat otakku kembali traveling. Sial.

Sifat Bos satu ini memang kadang tidak bisa ditebak, bahkan sering diluar prediksi BMKG. Selalu semau dia tanpa peduli bagaimana kabar anak gadis orang yang dibikin baper.

Emang sekuampret itu si Tama!

“Bukankah tadi aku menyuruhmu untuk ke klinik? Terus, kenapa sekarang kamu malah sibuk ngurusin hal-hal yang tidak penting? Hah! Apa kamu gak tau, karena kamu … aku harus memundurkan jadwal meeting hari ini? Gak tau, ‘kan?”

See! Mulutnya yang kek boncabe level 100 itu mulai kumat. Bibirku hanya bisa berkedut. Ingin menimpali, tetapi siapa aku? Aku hanya seorang bawahan yang harus terima semua ocehan ala mie kuah super jeletot yang bikin telinga dower.

Hah! Sudah tidak zaman lagi bibir dower, sekarang yang ada telinga dower. Indera pendengaranku sudah huhah-huhah saking pedasnya mulut Tama yang nyerepet mulu di depanku.

“Naina!”

“Iya, Pak?” Aku menatap wajah super galak di depanku dengan pandangan polos.

“Kamu ini sebenarnya deng– ah, udahlah! Capek ngomong sama kamu!”

“Lah, dia malah ngambek!” Aku menatap kepergian Tama dengan bingung. Kugaruk belakang kepalaku sambil menatap sekitar yang sudah mulai sepi. “Eh, ke mana semua orang?”

“Ah, terserahlah. Mending aku ke klinik buat obati luka ini jika tidak, aku yakin mulut si Tama itu bakalan kembali ceramah 7 hari 7 malam. Beuh, yang ada kupingku bisa trauma denger suaranya!”

Aku menggelengkan kepala memikirkan hal tersebut. Kini, ku langkahkan kakiku menuju klinik perusahaan yang terletak di samping pos security.

***

“Dasar jangkrik! CEO menyebalkan! Awas aja kalau nanti dia nyuruh-nyuruh, aku gak bakalan mau!” desisku penuh dendam.

Bagaimana aku tidak mengumpat jika pekerjaanku yang harusnya sudah selesai dan harusnya aku sudah bisa pulang, justru kembali terjebak dengannya.

Alasannya pun membuatku geleng-geleng kepala. “Yang rapat tadi, 'kan, dia sama Gilang. Terus, kenapa aku harus tetap standby dan membahas hasilnya? Hah? Korelasinya denganku itu apa?”

“Cie yang lagi ngintipin ruangan Ayank Tama. Prikitiiew, cukurukuk!” Suara Nadia kembali membuatku sadar jika kini di ruangan ini tidak hanya ada aku seorang, melainkan wanita itu.

Jangan tanya di mana Gilang? Dia sudah minggat. Asem banget bukan nasibku? Aku pun berdecih sinis dan kembali menghampiri meja kerjaku setelah tadi dari ruangan Tama Tua itu.

“Ngapain kamu ke mari? Aku lagi gak butuh teman curhat. Balik sono!” usirku. Aku langsung menyalakan laptopku yang tadi sudah kumayikan karena aku pikir akan bisa pulang ceoat.

Kenyataannya, aku justru harus terdampar lagi di ruangan ini. “Hahh, inginku mengumpat!” desisku tajam.

Akan tetapi, kilasan tentang bagaimana bibirku dan bibirnya yang kembali bertemu, membuatku tak bisa berkonsentrasi kerja. “Arghhh, bete-bete!” Kudorong kursi kerjaku ke belakang sambil memijit pangkal hidungku.

“Ngapa sih, Bes? Mumet mikirin utang yang belum lunas? Atau, kamu mikirin kapan bapak Tamamu yang tercinta itu ngelamar kamu?” Nadia kemudian duduk di kursi di depan meja kerjaku sambil bertopang dagu.

Aku langsung menatap Nadia dengan tatapan membunuh. “Sekali lagi kamu menyebut nama dia di depanku … akan ku,” jedaku sambil membuat gesture memotong leher.

“Uh, takut!”

Aku pun langsung menendang kesal udara kosong di depan kakiku. “Bisa diem gak sih, Nad? Kamu kalau ke sini cuma mau ngajak gelut, mending pergi, deh! Aku lagi bete, nih!” usirku kejam.

“Gak bisa!” Nadia dengan segala sifat menyebalkannya membuatku ingin sekali menjualnya ke pedagang asongan depan kantor. “Lagian, kusut banget sih itu muka. Kenapa? Calon suamimu bikin bete apalagi? Apa dia minta jatahnya kebanyakan?”

Aku langsung mendengkus kasar. “Ogah banget punya suami kayak dia. Yang ada tiap hari aku cuma bisa darting, alias darah tinggi doang,” balasku sengit. “Lalu, jatah apaan itu? Gak usah ngadi-ngadi, deh!”

“Halah, yang begini-begini nih, yang kadang suka jodoh. Di depan aja bilang gak mau, tapi kenyataannya malah mereka sudah nikah dan punya anak selusin,” cibir Nadia.

“Kamu pikir peranakan kagak bakalan bisa turun berok ngelahirin anak segitu banyaknya. Sinting kamu, yah? Lagian, ini tubuh manusia bukan hewan yang habis lahiran bisa langsung lari-larian.”

“Why not!”

Bibirku hendak menjawab ucapan Nadia, tetapi pintu ruang kerja Tama tiba-tiba terbuka dan membuat jiwa babuku refleks berdiri. “Apa Bapak butuh sesuatu?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 121. End

    “Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 120. Menyambut Kelahiran Penerus Wirasesa

    Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 119. Kunjungan

    “Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 118. Dikutuk Suami

    Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 117. UGD

    Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 116. Kecelakaan

    "Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status