Share

Bab 7. Tama Menyebalkan

“Yah!” teriak Hina sambil memisahkan tubuh kami.

Aku sendiri langsung menatap manik hitam milik Tama dengan pandangan shock. Namun, entah kenapa mataku justru tertuju ke arah bibir Tama. Seketika bayangan bibir itu yang menciumku tadi kembali terbayang dalam otakku layaknya kaset rusak.

"Gak, Na. Kamu gak boleh mikir kayak gitu!" batinku mengelak. Aku langsung menunduk untuk menutupi rona merah di pipiku ketika pandangan mata kami tidak sengaja saling bertemu.

"Tama!" Wanita itu menjerit tak terima, tetapi tidak kami pedulikan sampai hal yang lebih mengejutkan terjadi.

"Arghhh!"

"Pak Tama!" Aku menjerit reflek saat Tama yang tiba-tiba berdiri melindungi wajahku dari serangan si Hina.

Aku menatap orang yang kini tengah memelukku dan melindungiku dengan tatapan campur aduk. Aroma musk langsung menyapa indera penciumanku saat tubuhnya memelukku. Aku langsung menunduk dan meremas bagian dadaku ketika debaran itu kembali datang.

Aku langsung mengumpat dengan imajinasiku yang kadang suka melantur ke mana-mana. Aku berniat menjauh, tetapi sebuah tangan tetap mempertahankan ku untuk tetap berada dalam pelukan Tama. "Pak," seruku tertahan.

“Bawa dia pergi, Bodoh!” Aku bisa mendengar Tama yang tengah menahan geram akan tingkah Hina dan juga kinerja security yang tidak becus hanya menghalau satu wanita saja.

“Maaf, Tuan Tama.” Dua security yang baru saja datang segera menyeret tubuh Hina agar menjauh dari kami.

Setelah itu, keadaan menjadi hening. Yang kudengar sekarang adalah suara jantungku dan juga debaran milik pria yang tengah memelukku.

Kurasakan dua buah tangan mencoba melerai pelukan kami dan benar saja, si Tamalah pelakunya. Wajah itu memperlihatkan raut khawatir yang lagi-lagi membuatku salah paham.

“Naina. Apa kamu baik-baik saja?”

Kepalaku mengangguk. “Bapak gak apa-apa?” Eh, suara siapa itu? Apa itu suaraku? Hah! Serius?

“Dasar bodoh!”

“Aw!” Aku langsung menatap Tama dengan pandangan protes. “Kenapa bapak malah nyentil keningku?”

Bibirnya berdecak, tetapi tangannya kembali menyapa keningku. Bukan untuk menyentil, melainkan mengusapnya. Mengusapnya saudara-saudari! Gila tidak? Mana bibir itu lagi-lagi membuat otakku kembali traveling. Sial.

Sifat Bos satu ini memang kadang tidak bisa ditebak, bahkan sering diluar prediksi BMKG. Selalu semau dia tanpa peduli bagaimana kabar anak gadis orang yang dibikin baper.

Emang sekuampret itu si Tama!

“Bukankah tadi aku menyuruhmu untuk ke klinik? Terus, kenapa sekarang kamu malah sibuk ngurusin hal-hal yang tidak penting? Hah! Apa kamu gak tau, karena kamu … aku harus memundurkan jadwal meeting hari ini? Gak tau, ‘kan?”

See! Mulutnya yang kek boncabe level 100 itu mulai kumat. Bibirku hanya bisa berkedut. Ingin menimpali, tetapi siapa aku? Aku hanya seorang bawahan yang harus terima semua ocehan ala mie kuah super jeletot yang bikin telinga dower.

Hah! Sudah tidak zaman lagi bibir dower, sekarang yang ada telinga dower. Indera pendengaranku sudah huhah-huhah saking pedasnya mulut Tama yang nyerepet mulu di depanku.

“Naina!”

“Iya, Pak?” Aku menatap wajah super galak di depanku dengan pandangan polos.

“Kamu ini sebenarnya deng– ah, udahlah! Capek ngomong sama kamu!”

“Lah, dia malah ngambek!” Aku menatap kepergian Tama dengan bingung. Kugaruk belakang kepalaku sambil menatap sekitar yang sudah mulai sepi. “Eh, ke mana semua orang?”

“Ah, terserahlah. Mending aku ke klinik buat obati luka ini jika tidak, aku yakin mulut si Tama itu bakalan kembali ceramah 7 hari 7 malam. Beuh, yang ada kupingku bisa trauma denger suaranya!”

Aku menggelengkan kepala memikirkan hal tersebut. Kini, ku langkahkan kakiku menuju klinik perusahaan yang terletak di samping pos security.

***

“Dasar jangkrik! CEO menyebalkan! Awas aja kalau nanti dia nyuruh-nyuruh, aku gak bakalan mau!” desisku penuh dendam.

Bagaimana aku tidak mengumpat jika pekerjaanku yang harusnya sudah selesai dan harusnya aku sudah bisa pulang, justru kembali terjebak dengannya.

Alasannya pun membuatku geleng-geleng kepala. “Yang rapat tadi, 'kan, dia sama Gilang. Terus, kenapa aku harus tetap standby dan membahas hasilnya? Hah? Korelasinya denganku itu apa?”

“Cie yang lagi ngintipin ruangan Ayank Tama. Prikitiiew, cukurukuk!” Suara Nadia kembali membuatku sadar jika kini di ruangan ini tidak hanya ada aku seorang, melainkan wanita itu.

Jangan tanya di mana Gilang? Dia sudah minggat. Asem banget bukan nasibku? Aku pun berdecih sinis dan kembali menghampiri meja kerjaku setelah tadi dari ruangan Tama Tua itu.

“Ngapain kamu ke mari? Aku lagi gak butuh teman curhat. Balik sono!” usirku. Aku langsung menyalakan laptopku yang tadi sudah kumayikan karena aku pikir akan bisa pulang ceoat.

Kenyataannya, aku justru harus terdampar lagi di ruangan ini. “Hahh, inginku mengumpat!” desisku tajam.

Akan tetapi, kilasan tentang bagaimana bibirku dan bibirnya yang kembali bertemu, membuatku tak bisa berkonsentrasi kerja. “Arghhh, bete-bete!” Kudorong kursi kerjaku ke belakang sambil memijit pangkal hidungku.

“Ngapa sih, Bes? Mumet mikirin utang yang belum lunas? Atau, kamu mikirin kapan bapak Tamamu yang tercinta itu ngelamar kamu?” Nadia kemudian duduk di kursi di depan meja kerjaku sambil bertopang dagu.

Aku langsung menatap Nadia dengan tatapan membunuh. “Sekali lagi kamu menyebut nama dia di depanku … akan ku,” jedaku sambil membuat gesture memotong leher.

“Uh, takut!”

Aku pun langsung menendang kesal udara kosong di depan kakiku. “Bisa diem gak sih, Nad? Kamu kalau ke sini cuma mau ngajak gelut, mending pergi, deh! Aku lagi bete, nih!” usirku kejam.

“Gak bisa!” Nadia dengan segala sifat menyebalkannya membuatku ingin sekali menjualnya ke pedagang asongan depan kantor. “Lagian, kusut banget sih itu muka. Kenapa? Calon suamimu bikin bete apalagi? Apa dia minta jatahnya kebanyakan?”

Aku langsung mendengkus kasar. “Ogah banget punya suami kayak dia. Yang ada tiap hari aku cuma bisa darting, alias darah tinggi doang,” balasku sengit. “Lalu, jatah apaan itu? Gak usah ngadi-ngadi, deh!”

“Halah, yang begini-begini nih, yang kadang suka jodoh. Di depan aja bilang gak mau, tapi kenyataannya malah mereka sudah nikah dan punya anak selusin,” cibir Nadia.

“Kamu pikir peranakan kagak bakalan bisa turun berok ngelahirin anak segitu banyaknya. Sinting kamu, yah? Lagian, ini tubuh manusia bukan hewan yang habis lahiran bisa langsung lari-larian.”

“Why not!”

Bibirku hendak menjawab ucapan Nadia, tetapi pintu ruang kerja Tama tiba-tiba terbuka dan membuat jiwa babuku refleks berdiri. “Apa Bapak butuh sesuatu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status