Home / Romansa / Ok, Aku Nyerah Bos! / Bab 8. Tangan Berotot

Share

Bab 8. Tangan Berotot

Author: Lavinka
last update Last Updated: 2024-01-11 13:05:38

"Apa kamu tahu di mana kacamataku?"

Aku dan Nadia langsung bertemu tatap dan kami refleks melihat ke arah Tama yang masih berdiri di depan pintu ruangannya.

"Naina," panggilnya lagi dengan suara huskynya yang membuatku merinding.

"Em, apa bapak lupa menaruhnya di kamar mandi? Bukankah biasanya--"

"Masuk dan bantu aku cari!" perintahnya dengan seenaknya. Si Tama dengan semua jiwa otoriternya kadang membuatku hanya bisa mengangguk.

"Baik, Pak." Aku lalu melirik ke arah Nadia yang langsung membuat gesture telepon dengan tangannya. Kepalaku mengangguk dan kemudian meninggalkan Nadia yang juga pergi meninggalkan lantai 14.

"Permisi, Pak," ujarku saat akan melewati Tama. Aku berusaha menjaga kesopanan di antara makian yang kini sudah berada di ujung lidahku. "Lagian ini orang kenapa tidak menyingkir, sih? Kenapa juga harus tetap berdiri di samping pintu?" batinku menggerutu.

"Apa yang sedang dia lakukan tadi? Apa dia akan mengajakmu pulang?" Suara Tama tiba-tiba sudah berada di belakangku yang kini tengah berdiri di meja kerjanya dan sialnya, wajah dia tetap aja kelihatan ganteng, padahal ini sudah sore. Ini manusia apa bukan, sih?

Sementara diriku ? Dekil in the kumel, kayak baju belum disetrika. Eh, tapi gak dekil juga, sih. Aku sudah melihat wajahku sekilas pada kaca besar yang ada di ruangan si Tama. Masih pantaslah untuk menemani si bos Kutukupret yang senang bikin baper anak orang ke mana-mana.

Apa kata duni jika seorang Naina Kayla Putri, sektretaris dari Gartama Wirasesa tidak cantik dan malah kucel? Itu, bisa menjadi musibah untuk kami, terutama untukku.

"Nania?"

"Eh, iya, Pak. Em, maksud Bapak, Nadia?" tanyaku bodoh.

"Menurut kamu siapa lagi selain dia, Naina!" Dia seolah ingin menekankan bahwa diriku ini bodoh karena tidak mengerti dengan apa yang dia katakan.

Bibirku refleks memberengut. "Lagian situ ngomongnya gak jelas. Dia ... dia siapa? Kan, yang ada di dalam pikiranku gak hanya mikirin satu dia doang, tetapi kerjaan dan juga tetek bengek si Pak Tua itu juga yang bikin kinerja otakku diperas bagai kuda," desisku kesal

Akan tetapi, bibirku mengulas senyum semanis mungkin ke arah Tama. Namun, pria itu justru melengos. Dih, kuampret banget bukan?

"Nadia hanya ingin mengajakku pulang, Pak. Kan, tadinya saya pikir tidak akan lembur makanya dia mau memberikan tumpangan padaku," jelasku sambil terus mencari kacamata si Tama yang entah berada di mana.

Dari di atas meja, sampai laci pun tak luput dari pencarianku. Akan tetapi, si kacamata yang nyebelinnya sama dengan si pemilik justru seolah sembunyi begitu rapat sehingga membuatku kewalahan.

Aku pun kembali berdiri dan menatap Tama dengan mata memmincinh kesal. "Maaf, Pak. Sebenernya bapak terakhir memakai, atau menaruhnya di mana? Siapa tahu dengan seperti itu saya bisa mempunyai bayangan," lanjutku cepat.

"Kalau aku tau, gak mungkin aku nyuruh kamu buat nyariin, Naina!"

"Auw! Kenapa Bapak nyentil keningku lagi, sih? Ini yang tadi aja masih kerasa sakitnya," geeutuku pelan di akhir kalimat. Aku langsung mengusap dahiku yang kembali kena sentilan dari Tama.

"Karena kamu itu bodoh!" ujarnya tanpa beban.

Aku langsung menatap pria itu dengan sorot mata tak percaya. Sambil memegang dahi, aku segera berjalan mendekat ke bosku. Namun, karena perbedaan tinggi bada kami, aku harus mendongak hanya untuk berbicara padanya.

"Apa?" tanya Tama dengan seringai tengilnya. Otot tangannya yang dilipat di depan dada itu benar-benar membuatku hilang fokus. "Kenapa melihatku seperti itu? Nyesel kamu nolak aku dulu?"

Aku menelan kasar ludahku. "Jangkrik! Ini maksudnya apa coba bahas masa lalu si sini?" batinku berteriak. Namun, lagi-lagi yang keluar dari mulutku justru berbeda dengan raungan hatiku. "Maaf, Pak. Saya mau nyari kacamata bapak di kamar mandi dulu."

Aku sudah berniat kabur. Akan tetapi, seseorang tiba-tiba menarik kerah kemejaku dari belakang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Tama, si Pak Tua yang hobi bikin darah tinggi. "Em, apa Bapak butuh sesuatu?" Aku tersenyum manis.

Tama diam, tetapi dia melihatku dengan sorot mata yang berbeda dan itu sungguh membuat bulu kudukku meremang. Kakiku bahkan refleks berjalan mundur kala pria di depanku terus mendekat sampai langkahku terhenti saat punggung ini sudah mentok.

Aku menelan ludah gugup. Tangannya yang berotot itu kini sudah bertengger kokoh di sisi kepalaku dengan satunya lagi berada di pinggangku. "Woi, jantung! Bisa diem gak? Gak usah bikin kakiku lemas, dong!" batinku memelas.

"Apa kamu masih dekat dengan dia?" Aroma mint langsung masuk indera penciumanku saat pria itu berbicara begitu dekat denganku.

"Oh, Tuhan. Please! Tolong hambamu ini agar bisa keluar dari jerat bos gilaku ini!" batinku meminta tolong, apalagi saat jari telunjuk Tama dengan lancang menelusuri wajahku. Aku sampai merinding.

"Em, bisakah Bapak m-mundur s-sedikit?" Aku berusaha bicara senormal mungkin, walau kenyataannya sulit. Suaraku masih terdengar bergetar gugup dan itu benar-benar melukai harga diriku.

"Kenapa? Apa jantungmu berdebar sekarang?" Suaranya yang begitu dekat itu membuatku menahan napas. Rasanya, aku ingin pergi, tetapi kakiku seolah tertanam hingga membuatku sulit bergerak.

"Bukankah kamu juga sering melakukan hal ini dengan dia?"

"Dia?" Aku mulai menatap balik wajah Tama yang kini hanya berjarak beberapa centi dari wajahku. Aku bahkan hampir kehilangan fokus jika saja tak ingat, kalau pria di depanku ini sering membuatku baper, lalu setelah itu kembali dibanting ke dasar bumi.

"Maksud Bapak apa?" Keningku mengernyit. "Lalu, siapa yang dimaksud oleh Bapak?"

Dia berdecih sinis. "Apa kamu lupa, atau pura-pura lupa dengan apa yang kalian lakukan beberapa hari lalu di taman kantor, hm?" bisiknya tepat di samping telingaku.

Tubuhku langsung merinding. Tanganku pun terkepal erat saat merasa tak tahan dengan situasi absurd bin menegangkan ini. Namun, sebisa mungkin aku tetap mengutamakan kewarasan.

Otakku mulai berpikir dengan siapa yang dimaksud oleh Tama. Setelah mencoba menggali ingatan, satu nama langsung terlontar begitu saja dari bibirku. "Kaisar?"

Lagi-lagi Tama berdecih, bahkan setelah itu dia melepaskan kungkungan diriku hingga tubuhku yang lemas ini terjatuh di atas lantai. Aku mengumpat dengan reaksi tubuhku yang begitu lemah akah keberadaan si Tama itu.

"Menjauh lah dari dia! Aku gak suka!" perintahnya dingin.

"Hah!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 121. End

    “Mama! Di mana kaos Abang?”“Huwaa! Abang kenapa buang dasi Nina?”Suara teriakan dan tangisan mengawali pagiku hari ini. Astaga! Kepalaku hampir pecah mengurus dua bocil kesayangan Tama. Setiap hari, bahkan setiap pagi telingaku hampir berdengung mendengar teriakan duo kembar itu.Itu sebenarnya anak siapa, sih? Sumpah berisik banget.“Mah, gak usah dumel dalam hati, deh! Buruan bantu Abang cariin kaos kaki!” Teriakan dari dalam kamar anak pertamaku kembali terdengar. Aku menghela napas. Tangan yang sedang memegang spatula rasanya sudah gatal ingin melempar benda tersebut. Namun, jika teringat bagaimana aku mengandung, melahirkan, dan menyusui, semua amarahku langsung luruh.Berganti menjadi rasa sayang. “Mama lagi masak, Abang,” balasku berteriak. Berharap Nino mau mengerti akan kesibukan mamanya juga.Ya, Nina dan Nino adalah anakku dan Mas Tama. Mereka kini sudah besar, bahkan sudah belajar di sekolah swasta, kelas 2. Usia mereka 8 tahun dan sedang aktif-aktifnya. Jadi, ibunya ju

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 120. Menyambut Kelahiran Penerus Wirasesa

    Masa kehamilan adalah masa di mana semua para ibu harus bekerja extra untuk menjaga diri serta calon jabang bayi di dalam kandungan. Dia tidak boleh stres, tidak boleh makan makanannya yang terlalu manis, atau pedas, dan masih banyak pantangan lainnya.Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Pada trimester pertama dan kedua, aku tak begitu banyak keluhan. Namun, ketika trimester akhir, aku jadi sulit tidur, tidak leluasa bergerak, bahkan ketika bangun tidur pun kesulitan bangun.Oh my God. Ini jelas sangat menyiksa. Namun, tidak semua ibu hamil buruk, kok. Ada kalanya aku merasa menjadi orang yang spesial, yaitu ketika semua keluarga memberikan apa pun yang aku inginkan. Dari perhatian hingga semua kasih sayang tercurah untukku.I’m so happy.Kini di usia kehamilanku yang sudah mencapai 37 minggu, perutku sudah beberapa kali mengalami yang namanya kontraksi palsu. Aku sedikit ada cerita. Waktu itu, pada saat pertama kali mengalami kontraksi palsu, aku sampai heboh dan memanggil Mas T

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 119. Kunjungan

    “Ya, aku memang gila karena dirimu. Jadi, jangan pernah bermain-main denganku! Mengerti!”Aku terkikik, mengangguk sambil menangkupkan kedua tangan dengan menundukkan kepala sebagai tanda menyerah. “Ok, aku takut dikutuk eh kamu, Sayang. Jadi, kita akhiri inis emua sebelum merembet ke mana-mana!”“Nah, gitu, dong! Itu baru istri Gratama Wirasesa.” Senyumnya culas. Perdebatan kecil itu pun berakhir dengan kemenangan Mas Tama. Lebih tepatnya aku yang mengalah.Astaga, random banget emang itu calon bapak satu. Dia pikir manusia bisa memilih? Jelas tidak. Takdir itu sudah diatur oleh Tuhan. Jodoh, rezeki, anak, hidup, dan mati seseorang semua hanyalah Tuhan yang tahu. Jadi, daripada perdebatan kami tak selesai, akhirnya aku mengalah. “Mas, kita telpon kakek, yuk!”“Ah, benar. Sebentar, biar aku ambilkan ponselmu.”Aku menunggu dengan kaki selonjor yang digoyang-goyang, lucu. Apalagi sandal bulu dengan kepala boneka kelinci yang besar semakin membuat gak henti memainkannya.Mas Tama data

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 118. Dikutuk Suami

    Setelah aku mengusir Mas Tama, aku tidak mendengar suara apa pun lagi. Aku pikir, dia pergi dan lebih memilih mementingkan egonya. Tanpa sadar, aku mendengkus dan menitikkan air mata.Bodoh.Akan tetapi, aku langsung menghentikan tanganku yang hendak mengusap mata. Mataku mengerjap ketika merasakan sisi ranjang di belakang punggungku bergerak. Aku sedikit berjengit kala kepalaku diangkat olehnya.Akan tetapi, yang membuat bibirku tak bisa menahan senyum adalah saat tangan Mas Tama dijadikan bantalan untuk kepalaku. Semua emosi yang sempat mengisi relung hatiku seketika luruh. Digantikan oleh rasa hangat dan nyaman di mana darahku berdesir mendapati perhatian-perhatian kecil itu. Aku tetapi, aku tetap bergeming. Tak mengatakan apa-apa, walau kini tubuhku sudah ditarik untuk didekap erat olehnya. Bibir bagian bawahku seketika turun. Ragu, antara ingin tetap diam, atau bicara padanya.“Maaf, Naina,” bisiknya tepat di sisi telingaku.Aku melipat bibir ke dalam, menunggu kelanjutan ucapa

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 117. UGD

    Sebuah kecelakaan baru saja terjadi. Mobil yang kami tumpangi ditabrak oleh mobil yang lawan arah. “Ada apa ini?” Mas Tama keluar dari mobil untuk mengecek kondisi di luar.Sementara diriku hendak menyusul dan membuka pintu, tetapi mulutku langsung merintih kesakitan sambil memegang bagian perut. “Arkh, kenapa sakit sekali?” tanyaku bingung.Aku menarik napas, membuangnya lewat mulut, berusaha untuk menetralisir rasa sakit itu. Namun, hal itu sama sekali tidak membantu. Perutku terasa melilit, seperti diaduk-aduk hingga membuat keringat mulai keluar dari pori-pori kulitku.“M-mas,” panggilku tertatih. Aku mendongak, menatap Mas Tama dari kaca jendela. Dia sedang berdebat di luar. Aku kembali menunduk, memelukku perutku sendiri. Rasanya, aku ingin meraung dan menangis sejadi-jadinya. Ini benar-benar sakit sekali.“Nona.”Kepalaku mendongak saat mendengar bunyi pintu dibuka dan ditutup dari depan. Jack–supir pribadi Mas Tama– masuk untuk mengecek keadaanku. “Nona? Nona kenapa?” Wajah

  • Ok, Aku Nyerah Bos!   Bab 116. Kecelakaan

    "Bagaimana, Dok?” tanya Mas Tama tak sabar.Aku sendiri baru saja duduk di kursi samping Mas Tama, setelah dokter memeriksa perutku. Entah cream apa yang digunakan karena terasa dingin di kulit perutku. Tangan kami saling bertaut satu sama lain di bawah meja. Aku yakin Mas Tama juga merasakan apa yang sedang kurasakan. “Sebentar, yah!” Dokter bernama Karina tersenyum sambil menulis sesuatu di kertas catatan milikku. Untuk sementara waktu, kami semua dilingkupi keheningan hingga perasaan gugup dan juga deg-degan begitu terasa. Dokter Karina sendiri tetap santai di kursinya dan jujur aku kesal.Dia tak tahu saja jika sekarang jantungku dugun-dugun gak jelas, kayak lagi nungguin Mas Tama nyatain cinta sama aku. Jadi, please, deh, Dok! Gak usah bikin anak orang mati penasaran.“Dok,” panggil Mas Tama sekali lagi.Aku melirik Mas Tama yang juga sudah tak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Aku menepuk punggung tangannya dan mengusapnya lembut. Dia lalu mengangguk, tersenyum kecil sambil m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status