Share

Bab 8. Tangan Berotot

"Apa kamu tahu di mana kacamataku?"

Aku dan Nadia langsung bertemu tatap dan kami refleks melihat ke arah Tama yang masih berdiri di depan pintu ruangannya.

"Naina," panggilnya lagi dengan suara huskynya yang membuatku merinding.

"Em, apa bapak lupa menaruhnya di kamar mandi? Bukankah biasanya--"

"Masuk dan bantu aku cari!" perintahnya dengan seenaknya. Si Tama dengan semua jiwa otoriternya kadang membuatku hanya bisa mengangguk.

"Baik, Pak." Aku lalu melirik ke arah Nadia yang langsung membuat gesture telepon dengan tangannya. Kepalaku mengangguk dan kemudian meninggalkan Nadia yang juga pergi meninggalkan lantai 14.

"Permisi, Pak," ujarku saat akan melewati Tama. Aku berusaha menjaga kesopanan di antara makian yang kini sudah berada di ujung lidahku. "Lagian ini orang kenapa tidak menyingkir, sih? Kenapa juga harus tetap berdiri di samping pintu?" batinku menggerutu.

"Apa yang sedang dia lakukan tadi? Apa dia akan mengajakmu pulang?" Suara Tama tiba-tiba sudah berada di belakangku yang kini tengah berdiri di meja kerjanya dan sialnya, wajah dia tetap aja kelihatan ganteng, padahal ini sudah sore. Ini manusia apa bukan, sih?

Sementara diriku ? Dekil in the kumel, kayak baju belum disetrika. Eh, tapi gak dekil juga, sih. Aku sudah melihat wajahku sekilas pada kaca besar yang ada di ruangan si Tama. Masih pantaslah untuk menemani si bos Kutukupret yang senang bikin baper anak orang ke mana-mana.

Apa kata duni jika seorang Naina Kayla Putri, sektretaris dari Gartama Wirasesa tidak cantik dan malah kucel? Itu, bisa menjadi musibah untuk kami, terutama untukku.

"Nania?"

"Eh, iya, Pak. Em, maksud Bapak, Nadia?" tanyaku bodoh.

"Menurut kamu siapa lagi selain dia, Naina!" Dia seolah ingin menekankan bahwa diriku ini bodoh karena tidak mengerti dengan apa yang dia katakan.

Bibirku refleks memberengut. "Lagian situ ngomongnya gak jelas. Dia ... dia siapa? Kan, yang ada di dalam pikiranku gak hanya mikirin satu dia doang, tetapi kerjaan dan juga tetek bengek si Pak Tua itu juga yang bikin kinerja otakku diperas bagai kuda," desisku kesal

Akan tetapi, bibirku mengulas senyum semanis mungkin ke arah Tama. Namun, pria itu justru melengos. Dih, kuampret banget bukan?

"Nadia hanya ingin mengajakku pulang, Pak. Kan, tadinya saya pikir tidak akan lembur makanya dia mau memberikan tumpangan padaku," jelasku sambil terus mencari kacamata si Tama yang entah berada di mana.

Dari di atas meja, sampai laci pun tak luput dari pencarianku. Akan tetapi, si kacamata yang nyebelinnya sama dengan si pemilik justru seolah sembunyi begitu rapat sehingga membuatku kewalahan.

Aku pun kembali berdiri dan menatap Tama dengan mata memmincinh kesal. "Maaf, Pak. Sebenernya bapak terakhir memakai, atau menaruhnya di mana? Siapa tahu dengan seperti itu saya bisa mempunyai bayangan," lanjutku cepat.

"Kalau aku tau, gak mungkin aku nyuruh kamu buat nyariin, Naina!"

"Auw! Kenapa Bapak nyentil keningku lagi, sih? Ini yang tadi aja masih kerasa sakitnya," geeutuku pelan di akhir kalimat. Aku langsung mengusap dahiku yang kembali kena sentilan dari Tama.

"Karena kamu itu bodoh!" ujarnya tanpa beban.

Aku langsung menatap pria itu dengan sorot mata tak percaya. Sambil memegang dahi, aku segera berjalan mendekat ke bosku. Namun, karena perbedaan tinggi bada kami, aku harus mendongak hanya untuk berbicara padanya.

"Apa?" tanya Tama dengan seringai tengilnya. Otot tangannya yang dilipat di depan dada itu benar-benar membuatku hilang fokus. "Kenapa melihatku seperti itu? Nyesel kamu nolak aku dulu?"

Aku menelan kasar ludahku. "Jangkrik! Ini maksudnya apa coba bahas masa lalu si sini?" batinku berteriak. Namun, lagi-lagi yang keluar dari mulutku justru berbeda dengan raungan hatiku. "Maaf, Pak. Saya mau nyari kacamata bapak di kamar mandi dulu."

Aku sudah berniat kabur. Akan tetapi, seseorang tiba-tiba menarik kerah kemejaku dari belakang. Siapa lagi pelakunya jika bukan Tama, si Pak Tua yang hobi bikin darah tinggi. "Em, apa Bapak butuh sesuatu?" Aku tersenyum manis.

Tama diam, tetapi dia melihatku dengan sorot mata yang berbeda dan itu sungguh membuat bulu kudukku meremang. Kakiku bahkan refleks berjalan mundur kala pria di depanku terus mendekat sampai langkahku terhenti saat punggung ini sudah mentok.

Aku menelan ludah gugup. Tangannya yang berotot itu kini sudah bertengger kokoh di sisi kepalaku dengan satunya lagi berada di pinggangku. "Woi, jantung! Bisa diem gak? Gak usah bikin kakiku lemas, dong!" batinku memelas.

"Apa kamu masih dekat dengan dia?" Aroma mint langsung masuk indera penciumanku saat pria itu berbicara begitu dekat denganku.

"Oh, Tuhan. Please! Tolong hambamu ini agar bisa keluar dari jerat bos gilaku ini!" batinku meminta tolong, apalagi saat jari telunjuk Tama dengan lancang menelusuri wajahku. Aku sampai merinding.

"Em, bisakah Bapak m-mundur s-sedikit?" Aku berusaha bicara senormal mungkin, walau kenyataannya sulit. Suaraku masih terdengar bergetar gugup dan itu benar-benar melukai harga diriku.

"Kenapa? Apa jantungmu berdebar sekarang?" Suaranya yang begitu dekat itu membuatku menahan napas. Rasanya, aku ingin pergi, tetapi kakiku seolah tertanam hingga membuatku sulit bergerak.

"Bukankah kamu juga sering melakukan hal ini dengan dia?"

"Dia?" Aku mulai menatap balik wajah Tama yang kini hanya berjarak beberapa centi dari wajahku. Aku bahkan hampir kehilangan fokus jika saja tak ingat, kalau pria di depanku ini sering membuatku baper, lalu setelah itu kembali dibanting ke dasar bumi.

"Maksud Bapak apa?" Keningku mengernyit. "Lalu, siapa yang dimaksud oleh Bapak?"

Dia berdecih sinis. "Apa kamu lupa, atau pura-pura lupa dengan apa yang kalian lakukan beberapa hari lalu di taman kantor, hm?" bisiknya tepat di samping telingaku.

Tubuhku langsung merinding. Tanganku pun terkepal erat saat merasa tak tahan dengan situasi absurd bin menegangkan ini. Namun, sebisa mungkin aku tetap mengutamakan kewarasan.

Otakku mulai berpikir dengan siapa yang dimaksud oleh Tama. Setelah mencoba menggali ingatan, satu nama langsung terlontar begitu saja dari bibirku. "Kaisar?"

Lagi-lagi Tama berdecih, bahkan setelah itu dia melepaskan kungkungan diriku hingga tubuhku yang lemas ini terjatuh di atas lantai. Aku mengumpat dengan reaksi tubuhku yang begitu lemah akah keberadaan si Tama itu.

"Menjauh lah dari dia! Aku gak suka!" perintahnya dingin.

"Hah!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status