Share

[Bab 4] Merealisasikan Harapan

Seminggu berlalu. Waktu yang lama kutunggu untuk segera berangkat traveling akhirnya pun tiba. Pagi itu sangat bercahaya, pepohonan dan berbagai macam tumbuhan hijau bersinar layaknya batu zamrud yang menawan. Cahaya yang menyehatkan hinggap di permukaan tubuh para pejuang pagi yang sedang sibuk berolahraga untuk meningkatkan kesehatan. Ada juga para pekerja yang sudah mulai beraktivitas demi seberkah rezeki yang tak mau disia-siakan. Untuk para kaum rebahan, mereka sedang mengeram telur di sarangnya.

Sedangkan aku yang semalaman tidak bisa tidur, sedang sibuk membenahi barang bawaan untuk traveling. Koper hijau besar kuisi dengan berbagai macam kebutuhan hidup. Mulai pakaian, peralatan kebersihan, hingga obat-obatan kutata rapi di dalamnya.

Untuk tas hitam besar khusus traveling, aku isi dengan peralatan elektronik seperti laptop, charger, dan headshet. Hari itu aku menggunakan setelan khas anak traveling. Kaos putih polos dibalut dengan jaket dan celana denim menutup tubuhku yang tidak seberapa tinggi. Sepatu sport

abu-abu bercampur merah muda aku selaraskan. Gak lupa topi kupluk abu-abu aku hiasi kepalaku.

Aku akan segera berangkat menuju Provinsi Papua Barat, Indonesa. Bersama Agra, Alma, Aisyah, dan tidak lupa si Petualang Raka juga kuajak untuk mengeksplor Timur Indonesia. Rasa tidak sabar terus menghantui diriku yang sedari tadi mondar-mandir menunggu kedatangan mereka. Padahal, pesawat akan berangkat pada pukul 2 siang. Masih lumayan lama.

Ketika sedang duduk di teras depan rumah sambil menulis daftar harapan yang ingin kuwujudkan, tiba-tiba saja kekacauan menghampiri.

"HALLO MY OSA!!!!suara pekikan kencang si cempreng Alma memecah gendang telinga.

"Asalamualaikum ...," sambung Aisyah mengucap salam dan menghampiriku.

"Walaikumsalam ...," jawabku pada salam Aisyah. Sedangkan Alma tidak kugubris.

Mereka berdua sudah datang ke rumahku untuk menunggu keberangkatan. Alma dengan OOTD serba pink dan ungu membuat tampilannya semakin norak. Kupluk model rasta berwarna lila hinggap di atas kepalanya dengan rambut hitam panjang dan bergelombang. Kaos merah muda dengan kemeja luar berwarna ungu menutupi tubuhnya yang semampai. Tak lupa bawahan celana denim ungu juga sepatu sport

merah muda memadukan tampilan badut kota itu. Tampilannya norak, sesuai sifatnya.

Sedangkan Aisyah menggunakan sepatu sport

hitam, gamis khusus traveling berwarna hijau tua yang selaras dengan hijabnya—membungkus tubuh Aisyah yang membuatnya anggun. Topi model bucket

berwarna hitam menghiasi kepalanya. Ia muslimah sejati.

Masing-masing dari mereka hanya membawa satu tas besar untuk traveling. Lain halnya denganku yang repot bawa ini-itu, soalnya Papa terlalu protective sama kondisiku.

"Nunggu siapa lagi kita, nih?" tanya Alma padaku yang juga tampak bersemangat sambil mengunyah permen karet dalam mulutnya yang selebar gua.

"Sebentar, kita nunggu Agra sama temenku Raka. Soalnya Raka tahu banyak tempat. Masa lo gak tahu siapa aja yang ikut? Aneh, udah dikasih tahu padahal," jawabku sinis sambil meliuk-liukkan mata menyindir Alma.

Aisyah mengangkat tangan kanannya. Ia menoleh ke arah jam tangan hijau yang menghiasi pergelangan tangan gadis buah zaitun itu—sebab, warna kulitnya coklat keemasan bak buah zaitun. "Udah jam 11:30, apa sempat kita ke bandara? Takutnya kita ketinggalan pesawat, Sa." Tanya Aisyah mulai khawatir.

Aku hanya menghela napas melihat Agra dan Raka yang tidak tepat waktu, padahal mereka berdua itu laki-laki. Berulang kali aku mondar-mandir di teras rumah yang perabotannya serba kayu. Kacamata hitam yang tertancap melindungi mata, sesekali kuperbaiki posisinya karena longgar. Mulutku mendecak kesal karena mereka berdua.

Dan akhirnya, Raka pun tiba dengan berlari terengah-engah. Tampak keringat bercucuran di dahi coklat mukanya. Kedua tangannya yang menggenggam tas abu-abu besar terlihat gemetar.

"Ma-maafkan aku datang terlambat, soalnya tadi dari kebun buah papa kamu, Sa," tutur Raka dengan nada gemetar dan tampak kelelahan.

"Ok-ok. Sekarang, mana si Nolep Agra? Jangan bilang dia lagi nemplok di kosen jendelaku, ya," aku menggerutu semakin membuat dongkol suasana.

Tiba-tiba Papa keluar dari rumah yang hari itu akan mengantarku dan teman-teman untuk pergi menuju bandara. "Sa, yuk, kita berangkat," ucapnya sambil memegang kunci mobil.

"Bentar, Pa. Agra belum dateng, entah ke mana dia."

"Hah? Bukannya Agra udah dari tadi di sini, ya?"

"Hah!?" Aku plonga-plongo tidak mengerti apa yang Papa maksud.

Entah aku yang terlalu bodoh atau dia yang tidak bisa ditebak, yang jelas, secara tidak terduga si Agra ikut keluar dari rumah dengan membawa tas biru tua di punggungnya.

"Ayo kita berangkat," katanya datar.

"Eh! Lo dari mana aja? Kok tiba-tiba udah di dalem rumah gue?" tanyaku ambigu padanya.

Sambil berjalan menuju garasi, Papa berkata, "Loh, kan dari pagi memang Agra udah di sini, kamu aja yang gak sadar."

Tidak tahu. Aku hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah laku anak itu. Aneh, kan? Bisa-bisanya dia datang ke rumah tanpa sepengetahuanku. Aku harap, aku tidak salah pergaulan. Berteman dengan makhluk yang tidak jelas apa jenisnya. Semoga dia manusia biasa.

Walaupun masih terkejut terheran-heran, tapi mau tidak mau kami harus segera bergegas ke bandara. Papa yang sudah memanaskan mobil, menghampiri kami yang menunggu di teras depan rumah sambil membunyikan klakson. Aku duduk di depan kursi penumpang bersebelahan dengan Papa, Alma dan Aisyah duduk di kursi tengah mobil, sedangkan Agra dan Raka duduk di belakang berdua. Perjalanan kami tempuh, harapan yang kucita-citakan segera utuh.

~~~~~

Akhirnya kami sampai di bandar penerbangan. Setengah jam sebelum keberangkatan, untungnya kami sudah tiba duluan. Papa memarkirkan mobilnya dan ikut turun bersama untuk menunggu keberangkatan.

Aku dan yang lainnya menunggu di lobi bandara. Rasa semangat menggebu-gebu dalam benak. Udah sangat lama sekali aku tidak pergi keluar kota, terakhir mungkin 10 tahun lalu.

Sembari menunggu, Alma tampak menggeser-geser gawainya sambil nyengar-nyengir tidak jelas, giginya menggertak mengunyah permen karet dalam mulut. Aisyah sedang memegang Al-Qur'an model pocket bersampul coklat, matanya tertuju pada karya sastra Tuhan itu dengan hikmat. Raka sibuk plonga-plongo melihat sekeliling bandara. Wajar saja, dia belum pernah bepergian dengan pesawat, hanya kereta dan kapal yang biasa ia tumpangi untuk menjelajah Indonesia. Untuk Agra, dia tenang bersandar di pilar bandara dengan earpod tertancap pada kuping.

Aku yang berada di dekat Papa sedang memperhatikan dirinya berbicara, menasihati, dan memberi arahan.

"Sa, hari ini papa percayain kamu buat bepergian jauh untuk mewujudkan harapanmu. Papa harap, kamu jangan banyak ngeluh lagi ke depannya. Jangan nyari masalah, jangan bepergian sendiri, dan kalau bisa malam hari jangan ke mana-mana," tutur Papa menasihatiku dengan penuh harap. Wajah cemasnya terlihat dari raut. Aku mengangguk menandakan mengerti.

"Kejadian di mana kamu didiagnosis mengidap glaukoma bukanlah hal buruk. Tapi ketika kamu mantap melangkah keluar rumah dengan harapan yang kamu jadikan cita-cita saat ini, di situlah segalanya bisa terjadi. Baik, juga buruk," sambung Papa lebih dalam menasihati. Aku kembali mengangguk, menatap matanya yang penuh harap padaku.

Sepuluh menit sebelum keberangkatan, kami berkumpul untuk segera menuju gate pesawat. Papa kembali memberi nasihat, kini untuk teman-temanku.

"Alma, Aisyah, om minta tolong kalian temenin Osa selama traveling ini. Kalian teman dekatnya sejak sekolah, jadi om percayain sama kalian berdua, ya," nasihat Papa pada mereka berdua. Keduanya mengangguk sambil tersenyum tulus.

"Buat kalian berdua, Agra dan Raka. Om minta tolong jagain Osa selama perjalanan. Kalian tahu kan, Osa punya masalah pada penglihatannya. Jadi om harap kalian sebagai laki-laki bisa menjaga amanah om ini. Ingat! Osa itu perempuan, jangan buat dia nangis." Papa kembali memberi nasihat pada Agra dan Raka. Mereka berdua mengangguk paham.

"Ok, Om. Pasti!" ucap Raka pasti. Agra hanya diam.

Hari itu, aku melangkah keluar dari zona nyamanku untuk mewujudkan harapan yang kujadikan cita-cita, kuwujudkan dengan cinta, dan membidik semesta. Bersama Alma, Aisyah, Agra, dan Raka, aku wujudkan mimpiku menuju Timur Nusantara. Menuju Papua. 

~~~~~

Waktu yang telah kami tempuh dalam perjalanan dari Jakarta menuju Kota Sorong, Papua Barat selama kurang lebih 4 jam. Dan akhirnya sebentar lagi kami tiba di ujung Timur Indonesia.  Masa sudah menunjukkan pukul 18:00. Langit mulai tampak gelap untuk melihat Negeri Cendrawasih itu. Aku tidak tidur karena tidak sabar, sedangkan Alma, Aisyah, dan Raka tertidur lelap dalam cabine. Untuk Agra, ia asyik membaca buku tebal mengenai Papua. Anak itu tampak fokus di belakangku dengan tatapannya yang tajam memandang tumpukan tulisan itu.

Aku duduk bersebelahan dengan orang asing, tidak tahu dia siapa. Raka dan Agra duduk berdampingan berdua di cabine belakangku, sedangkan Alma dan Aisyah berdua duduk di cabine tengah sebelah kanan.

"UDAH NYAMPE!!!" jeritku bahagia memecah keheningan dalam pesawat.

Tampak penumpang lain terkejut dengan jeritanku, tidak terkecuali Alma, Aisyah, Raka, bahkan Agra terlihat terkejut dan menjatuhkan bukunya.

"SSSTTTT ...!!!" bisik penumpang di sebelahku yang merasa terganggu.

"Hehehe ..., sorry," 

"Bising banget lo, Sa," protes Alma terbangun.

Aisyah menggeleng saja, sukmanya belum menyatu dengan raga.

"Belum nyampe, masih mau landing, woy!" tegur Agra jengkel. Sebetulnya, pesawat masih berada di atas angsana, menginjakkan daratan saja belum.

Pesawat pun menukik beberapa derejat ke arah tanah untuk mendaratkan tubuhnya di Bumi Timur. Raka yang baru terbangun, terkejut dengan keadaan saat itu. Wajahnya pucat gemetar tidak karuan, bibirnya komat-kamit panik.

"Loh ... loh ..., kok begini pesawatnya, Sa?" tanyanya heboh kepadaku yang sedang berdiri di lorong cabine saat sedang pendaratan.

"Pesawat lagi mendarat, norak lo!" Belum sempat aku menjawab, Agra sudah menjawab kepanikan Raka dengan ketus. Tidak biasanya Agra bersikap seperti itu.

"Santay, Ka. Kita udah nyampe," aku menimpal kembali, menjawab pertanyaan Raka. Bukannya semakin tenang, mulutnya tampak menggembung seperti ingin mengeluarkan harta pribadi dalam tubuhnya.

"WUEEK ...." Raka muntah, untungnya dia sempat memegang plastik kosong untuk menampungnya. Agra yang duduk di sebelahnya sedikit menjauh dengan ekspresi jijik.

Pesawat pun mendarat dengan selamat. Kami pun bergegas turun dari pesawat menuju keluar Bandar Udara Domine Eduard Osok. Pukul 6 sore,  hari sudah senja, cahaya mentari hampir di makan gelapnya malam. Rasa senang mendalam merasuki tubuhku. Aku lari sana-sini menjelajah seisi bandara. Rasanya bahagia, bisa melakukan trip jauh bersama teman dekat.

"HOOAAAA ... keren juga Papua," Sebuah kekaguman terkembang dalam hatiku.

"Aneh banget lo! Baru juga nyampe bandara, indah mata lo picek." Entah masalah hidup apa yang menimpa Agra, dia terus-terusan menyeletuk omonganku.

"Dih, emang gue ada ngomong sama lo!? Jangan banyak bicara! Nolep," jawabku kepadanya sambil mendongakkan kepala ke hadapan. Skakmat!

"Eemmm ... teman-teman, hari udah mulai gelap, untuk menuju Kepulauan Raja Ampat kita perlu ke pelabuhan dulu untuk menuju Waisai. Jadi bagaimana? Mau lanjut perjalanan hari ini juga, atau bermalam dulu di sini." Raka menjelaskan tentang rute yang harus kami lalui untuk menuju Raja Ampat.

"Kalau menurut gue sih, kita bermalam aja dulu di Sorong, soalnya hari udah gelap. Ntar lo kesusahan, Sa," saran Aisyah sambil melipat kedua tangannya.

"Bener sih, kata Aisyah. Cuman terserah elo aja, Sa. Kan yang bayar akomodasi semuanya papa lo," Alma mendukung argumen Aisyah.

Aku diam sejenak, mencoba melawan rasa ketidaksabaran dan ego untuk tidak berangkat hari ini juga. Telunjukku menempel ke kepala kanan sambil gaya-gayaan jadi pemikir handal.

"Ya udah, kita bermalam aja di hotel dekat sini, gampang itu." Agra menjawab seenak jidat tanpa harus berpikir.

"Eh, kok elo yang ngatur!"

"Memangnya jawaban lo gak sama kayak gue?"

"I-iya, sih. Yaudah deh, kita bermalam di hotel dekat sini. Hehehe ...." Aku pun menyetujui kebijakan Agra yang sok bijak.

"Dasar Olm. Bukan mata lo aja yang picek rupanya, otak lo juga.” Mulutnya nyengir-nyengir melihat tingkah lakuku.

"NOLEP BRENGSEK!!!"

~~~~~

Malam itu, akhirnya kami pun memutuskan untuk menginap di Swiss-Belhotel Sorong. Hotel bintang empat yang hanya 10 menit dari bandara. Kami menggunakan jasa taksi Blue Bird

untuk menuju ke sana.

Raka duduk di kursi penumpang paling depan sebelah supir. Aku, Alma, dan Aisyah— kami duduk di kursi tengah berdempetan. Sedangkan Agra, dia sendiri duduk di kursi paling belakang sambil terus membaca buku tebalnya.

"Sa," sahut Raka padaku memulai pembicaraan.

"Hmm ...." Aku hanya bergumam.

"Sebenarnya ... kita bisa kok, hari ini juga berangkat ke Waisai dengan pesawat."

"Loh? Kenapa gak lo bilang dari tadi, Ka!?"

"Hehehe ... soalnya aku takut naik pesawat."

"LAH ... Kamu gimana, sih!!" aku membentak kesal mendengar pengakuan Raka yang memperlambat perjalanan karena takut naik pesawat. Pandangannya terus menatap ke hadapan sambil menggaruk kepalanya entah gatal atau tidak.

"Dasar plin-plan," sambung orang pintar belakang kursiku.

Perjalanan pun kami lanjutkan. Malam itu suasana di Kota Sorong sangat sunyi dan sepi. Berbeda dengan Jakarta, mau siang atau malam hari, pasti suasana ramai. Bising suara klakson mobil, asap di mana-mana. Sumpek.

~~~~~

Sepuluh menit kemudian, kami tiba di hotel tujuan. Dengan susah payah aku keluar dari mobil menuju dalam hotel secara meraba. Suasana di luar sangat gelap, mataku buta seketika.

Raka membawa koper bawaanku, sedangkan Agra tiba-tiba memegang kedua bahuku dan menuntunku dari belakang. Entah apa maksudnya, yang jelas aku tak berkata dan sibuk meraba-raba hingga ke dalam hotel.

Aku pun langsung melakukan booking kamar di tempat. Dua kamar hotel aku pesan untuk penginapan kami yang tidak sampai sehari. Aku memesan kamar yang kelas orang hemat. Standar room. Ingat! Orang kaya itu bukan orang yang punya banyak uang, tapi mereka yang berhemat, itulah orang kaya. Jadi paham ya!

Setelah kamar kupesan, kami pun langsung menempatinya untuk bermalam. Aku, Alma, dan Aisyah tidur di kamar nomor 59 di lantai satu. Sedangkan Agra dan Raka tidur di kamar nomor 60 bersebelahan dengan kamarku. Walaupun kamar yang kupesan terbilang murah, tapi tetap saja fasilitasnya mewah karena hotel itu berbintang empat.

 Tidak pikir panjang, tubuhku yang dari tadi pegal-pegal langsung kurebahkan di atas tempat tidur empuk yang luas sesampai di kamar. Pikiranku terus dihantui ketidaksabaran hari esok untuk menjelajah Raja Ampat. Rasa rindu akan alam Nusantara seolah tak terbendung. Bahkan ngantuk pun seketika lenyap diganggu alam Papua yang terus membayang.

Alma yang ikut rebahan di sebelahku terlihat sedang sibuk dengan gadget-nya. Terihat jari jempol kanannya menggeser-geser layar media elektronik itu dengan pandangan hampir tidak berkedip sama sekali. Aneh, kok bisa orang zaman sekarang lebih suka memandang layar ponsel

begitu sampai lupa waktu? Padahal ada alam terbuka yang indah untuk dinikmati sambil terpaku. Dasar generasi tunduk.

Aisyah, dia sedang sibuk mengadu dengan Yang Maha Kuasa. Dia beribadah isya, mencoba menyusul ketertinggalannya dalam beribadah, karena waktu sudah menunjukkan pukul 22:00. Entah apa yang diminta, yang jelas, ia berhati tulus. Terlihat dari wajahnya yang sedang berdoa sambil menunduk dan sesekali meneteskan air mata. Itu sudah biasa, Aisyah memang agamis. 

Setengah jam kemudian, Aisyah terlihat tidur lelap di sebelah kananku, sedangkan Alma juga tertidur dengan layar HP yang masih aktif.

Aku grasak-grusuk gelisah semakin tak bisa tidur. Tidak ada ngantuk terasa dalam diriku. Akhirnya, kuputuskan untuk keluar dari kamar, mencoba untuk mencari udara segar di halaman hotel yang penuh cahaya lampu. Kolam renang persegi panjang terlihat berbinar-binar berwarna biru bak berlian. Aku duduk di pinggir kolam renang sambil mencelupkan kedua kakiku ke dalamnya. Sesekali kugoyangkan kedua kakiku merasakan sejuknya air kolam.

Tiba-tiba terdengar suara pria yang menyahutku dengan nada mengejek. "Woy, lo mau jadi olm nyemplung di kolam?"

Aku menoleh ke arah kiri, benar saja tebakanku, Agra si Nolep datang menghampiriku. Dia duduk di sebelahku sambil tersenyum ledek menghadap diri. Aku pun menjawab singkat, "Berisik!”

"Kalem-kalem .... Ngomong-ngomong, pasti lo gak bisa tidur ya, karena gak sabar buat besok?" tanya Agra padaku beralih pembicaraan.

Aku mengangguk mantap, tanda membenarkan perkataannya, kemudian aku membalas, "Pasti lo risih ya, karena lo gak suka tidur sekamar dengan Raka?" tanyaku balik sambil tersenyum sinis.

"Dih ... sok tahu lo!"

"Agra ... si Nolep anak rumahan, lo jangan menghindar, deh. Gue itu Olm! Walau penglihatan gue keganggu, tapi feeling gue itu gak bisa diremehin. Gue itu pekaan. Paham lo!" aku mencoba membongkar kedok Agra. Entah apa-apa saja sebutan yang kuberikan buatnya. Yang jelas, semua panggilan atau ejekkan yang kukatakan hanya menjurus pada satu makna, yaitu “kurang pergaulan”.

"Benar, sih. Gue males banget tidur di sebelah dia. Dia katro banget, masa bathtub dijadikan ember, terus dia mandinya pake gayung plastik yang dibawanya sendiri—bentuknya love lagi." Agra menceritakan keluh-kesahnya tidur bersama Raka, bibirnya mengerucut dengan alisnya yang mengerut.

"Ih ... Agra, lo jangan gitu, dong! Raka itu temen gue dari SD. Seenggaknya dia gak nolep kek elo, dia anak petualang, gak kayak elo yang hobinya berteori!" aku menyela kesal atas sikap Agra yang merendahkan Raka. Dia terlalu arogan, itu yang buatku tidak suka sama dia.

"Hahaha ... lu itu cewe realistis banget, ya. Terlalu berpatokan dengan realita."

"Lah? Elo terlalu banyak imajinasi, sampai gak bisa bedain mana dunia nyata mana halusinasi.

"Udah ah, lo nyari ribut mulu, Gra."

Kemudian aku diam. Lelah berdebat dengan orang yang terlalu sering berteori, hobinya banyak beradu argumen, Alma pun kurasa kalah debat dengannya.

Kami duduk di pinggiran kolam hanya berdua, melamun, dan mendalami isi pikiran masing-masing. Wajahku menatap langit, yang malam itu banyak bintang berkilau dan sebuah bulan benderang. Indah, rasanya sayang jika kusia-siakan penglihatanku ini untuk hal bodoh yang tidak berguna. Ciptaan Tuhan, bagiku ini adalah karya terindah yang bisa kurasakan. Pantulan lukisan langit itu terrefleksi di permukaan bola mataku yang berbinar, terlukis di sana.

~~~~~

Pagi pun tiba, hari itu tepat pukul 07:00 WIT. Mataku yang sembab terbuka perlahan, masih sedikit kabur untuk melihat pemandangan di samping kiri. Kemudian kukucek-kucek sambil menguap lebar menyatukan raga yang terpisah sementara.

Terlihatlah tubuh jangkung Alma tanpa apa pun. Eh, maksudku tanpa busana. Sontak saja aku berteriak, "BRENGSEK!!! Lo ngapain bugil di depan gue?"

"Habis mandi, hehehe ...," jawabnya santai sambil nyengir dengan mulut guanya. 

Bukannya langsung menutup badannya dengan handuk, Alma malah melanjutkan bugil show-nya tanpa mempedulikan aku.

"Lo pakai baju di kamar mandi dong!!"

"Dih, lo kenapa sewot, sih? Kita kan sama-sama perempuan."

"Jijik gue .... Bulu lo kek hutan rimba!" Aku menjauhinya pelan-pelan.

Aku pun langsung bangkit dari tempat tidur dan beranjak menuju keluar kamar meninggalkan si aktris bugil itu yang sedang asyik body care-an sambil telanjang. Badannya memang bening, tapi aku masih normal. Woy!

Di depan pintu kamar, aku menerima pesan W******p

dari Aisyah. Kubuka dan kubaca isi pesan teks darinya.

Asalamualaikum, Sa. Kalo lo udah bangun, langsung ke buffet aja, ya. Kami makan pagi di sini soalnya.

Membaca pesan dari Alma, aku pun bergegas menuju buffet hotel itu. Mukaku masih sembab, belum dicuci. Malah pemandangan hutan rimbalah yang menjadi pandangan pertama di pagi itu. Kesal, Alma memang tidak tahu malu kalau sama teman.

Terlihat Aisyah, Agra, dan Raka duduk dalam satu meja persegi panjang dengan pemandangan alam pagi Sorong. Tempat itu menampilkan keasrian Kota Sorong yang ditumbuhi pepohonan yang menghiasi pekarangan hotel dengan teduhnya. 

Aku pun duduk bersebelahan dengan Aisyah dan berhadapan dengan Agra .

Aisyah sedang sibuk menonton video kajian dari Youtube

ditemani dengan secangkir coklat panas dengan cangkir batu berwarna hitam pekat. Tak lupa sepiring roti panggang yang masih hangat tepampang di hadapannya. 

Raka sedang sibuk membaca tabloid bertema alam dengan sesekali ia memutar-mutar halaman kertas itu. Segelas teh hangat dan semangkuk soto kambing ia santap disela kesibukkannya membaca.

Sedangkan Agra melanjutkan membaca buku tebal tentang daerah Timur Indonesia yang sebentar lagi kami jelajahi. Ia bersandar di dinding dekat jendela tempat itu, wajahnya fokus menatap tulisan-tulisan dalam buku. Di sampingnya, menganggur segelas kopi hangat Americano

yang kepulan asapnya menyebar ke mana-mana.

Di hadapanku pula, terhidang semangkuk sup krim jagung dan jus wortel susu kesukaanku.

Aku membuka pembicaraan di tengah-tengah mereka yang sibuk dengan urusannya masing-masing. "Ka-kalian udah dari tadi nunggu di sini?" 

Kesunyian pecah, mereka bertiga menatapku dengan sedikit terkejut. Aku yang jadi pusat perhatian di meja itu hanya nyengir tidak jelas.

"Astaghfirullah, Osa. Gue sampai gak sadar lo udah datang. Sorry, ya," jawab Aisyah yang langsung meletakkan handphone-nya di atas meja.

"Baru 15 menit kok kami di sini, Sa." jawab Raka dengan senyum. Tampak lesung pipit tergambar di kedua sisi pipinya.

"Kayak nunggu artis aja gue di sini," Agra bersungut dengan tak beralih pandang dari bukunya.

"Ya maaf, soalnya aku baru bangun tadi. Ok, gue mau ngambil makan dulu."

"Udah gue ambilin kok Sa, buat lo. Itu." Aisyah menunjuk ke arah sup krim jagung dan jus wortel susu yang berada di hadapanku.

"Awww ... makachi my Ichaaa ...." Icha, nama panggilanku untuk Aisyah yang terkadang kugunakan ketika sedang manja-manjanya.

Beberapa menit berlalu, Aisyah baru menyadari ada seorang lagi yang kurang. "Ngomong-ngomong, Alma ke mana?"

"Itu anak bisa-bisanya tadi bu-" Tiba-tiba seseorang dari belakang, datang dan menutup mulutku yang hampir membocorkan aib Alma di dalam kamar tadi.

"Ta-tadi gue body care-an di kamar, jadi agak lama. Hehehe ... sorry ya pada nunggu," Ternyata Alma yang menutup mulutku. Dengan cepat dia mencoba memperbaiki reputasi.

Kami semua sudah berkumpul di satu meja makan untuk membahas perjalanan selanjutnya untuk segera menuju destinasi pertama, Kepualauan Raja Ampat.

"Ok-ok, jadi Raka yang menuntun jalan, sekarang lo jelasin panduan yang harus kita lalui buat ke Raja Ampat.” Aku mempercayai Raka untuk menuntun jalan di trip kali ini.

Raka merubah posisinya menjadi tegak sambil membentangkan selembar peta besar di hadapan kami. "Ini, kita di sini sekarang," jari telunjuknya menuju ke arah kota Sorong, tempat kami berada, kemudian dia menyambung pembicaraan, "Kemudian kita ke sini, melewati pelabuhan untuk menuju Waisai, Kabupaten Raja Ampat dengan kapal."

"Terus nanti kita nginep di mana?" tanya Alma menimpal pembicaraan Raka. Dia duduk di tengah aku dan Aisyah. Aroma minyak wangi bercampur body lotion menyerbak dalam pembicaraan itu. Raka tampak sesekali menggosok-gosok hidungnya. Mungkin tidak terbiasa.

"Memangnya kita mau nginep berapa lama di sana?" Belum terjawab pertanyaan Alma, Aisyah menambahkan lagi.

"Tanya aja sama Ratu-nya, dia kan yang atur semuanya." Akhirnya Agra menyerahkan semua ketidaktahuan mereka kepadaku.

Lagi-lagi pandangan mereka semuanya tertuju padaku. menunggu jawabanku yang sebenarnya juga tidak tahu. "Emm ... ki-kita nginep di sana seminggu aja, deh."

"Yakin? Biayanya gak kecil loh, Sa." Raka mengerutkan dahinya seolah tidak percaya akan waktu yang kuberikan.

Dengan santai dan seolah tanpa beban, aku tegaskan pada mereka. "Kita bakal nginep di Raja Ampat seminggu, jangan pikir biaya, gue kan anak sultan." Tangan kanan aku posisikan di atas meja dengan telapak yang menopang rahang kanan. Wajah belagu kugunakan.

"Pokoknya gue mau puas-puasin liburan di sana, pengin nikmatin liburan ini dengan kalian, gak usah banyak mikir ini itu, nikmatin aja.”

Pembicaraan kami sudahi, perjalanan akan kami lanjutkan pukul 08:45 WIT untuk segera menuju pelabuhan yang akan mengantar kami ke Waisai, Kepulauan Raja Ampat-dengan kapal. Hari itu penuh rencana, rencana yang kuimpikan akan berjalan lancar sesuai bayangan, namun belum tentu realita mengizinkan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status