Mobil menempuh jalanan Pulau Misool yang dipenuhi pasir-pasir putih yang tak terhingga jumlahnya. Aku sibuk menikmati pemandangan sekitar dari kaca jendela mobil. Hamparan padang laut yang biru bercampur dengan hijau emerald buatku tak beralih pandang. Di sebelah kanan tampak jajaran hutan mangrove yang hijau nan mempesona. Tebing-tebing menjulang tinggi tampak seolah mengapung ke udara. Gradasi berbagai macam warna menjadikan suasana pulau itu bagai serpihan surga yang jatuh ke bumi.
"Numpang duduk." Penghayatanku terpecah oleh kedatangan Agra yang duduk di sebelahku.
"Eh, Agra-" Dengan sigap Agra langsung memotong pembicaraanku yang niatnya akan berlangsung panjang lebar. "Apa? Ngajak diving, snorkeling? Ogah!"
"Idih, kenapa?" Sejenak aku bingung. Alis kukerutkan dan bertanya pada diri sendiri: Kenapa bisa orang nolep gini sombong? "Ooo ... lo gak bisa berenang ya?" Tanda tanya di atas kepalaku akhirnya pergi. Seperti biasa, aku menuduh ini-itu pada Agra. Walau sudah diingatkan, sifat sok tahu aku masih menjadi ciri khas. Osa si Salamander.
"Udah, deh. Lo ajak aja Raka buat nyelem, dia kan anak petualang kata lo!" jawabnya semakin kesal, wajah cool-nya seolah gak berharga ketika bicara padaku.
"Tapi gue pengen lo ikut. Please ...." Tanpa menjawab apa pun, Agra yang semakin panas langsung beranjak dari kursi sebelah. padahal belum sampai 5 menit dia duduk di dekatku.
Jelas saja, aku ngeten dia yang sedang mencari-cari kursi kosong di lorong mobil mini yang sedang berjalan itu. Kemudian dia berbalik badan ke arahku, mungkin gak dapat tempat duduk kosong selain di tempatku. Aku yang masih mengeten langsung menegakkan posisi duduk ketika dia yang sudah suntuk akhirnya kembali ke kursi di sampingku.
"Gra," tanyaku lagi. Dia diam saja, memangku tas bawaannya dan mengusuk-ngusuk jidat dekat batang hidung. Mungkin dia pusing. Tapi, tetap aja aku lanjut bicara, "Nanti kita diving, yuk?"
PLOK!
~~~~~
Misool Eco Resort, sampailah kami di penginapan termewah di Pulau Misool. Pohon kelapa berjejer dan menjulang tinggi meneduhkan suasana laut. Tampak jajaran penginapan terbangun di pinggir laut dengan tema tradisional. Ada juga penginapan yang dibangun dengan tema modern. Kamar-kamar penginapan menghadap langsung ke arah birunya air laut yang berlipat-lipat.
Para pemandu wisata menejelaskan tentang penginapan yang bisa kami tempati selama di Noth Lagoon. "Any question?" tanya seorang pemandu perempuan yang berkulit hitam dengan rambut keriting terkuncir satu.
Dengan sembrononya aku langsung mengangkat tangan dan bertanya dengan Bahasa Indonesia. "Ada vila kelas luxury?" Wajahku yang teduh karena ditutup oleh topi pantai yang lebar tampak songong ketika bertanya. Kacamata hitam anti sinar UV masih menghalangi mataku.
"Semua pelayanan penginapan kami sediakan untuk wisatawan dengan tarif yang disesuaikan," jawab orang itu sambil tersenyum formal. Mungkin karena keharusan bersikap ramah yang diajarkan oleh kelas pariwisata.
~~~~~
Barang bawaan kami letakkan di sudut vila yang sudah kami pesan. Aisyah, manajer pribadiku yang aku percayakan memegang kartu kredit Papa untuk segala macam pembayaran sudah mengurus semuanya. Ini salah satu dari banyak kartu kredit yang dikoleksi Papa.
Vila Utara, tempat kami menginap untuk satu Minggu kedepan sangat dekat dengan spot yang ingin kubaurkan. Ya, diving dan snorkeling.
Ketika yang lain sibuk merebahkan badan menghilang penat, aku yang semakin menggebu-gebu ingin menceburkan diri ke jernihnya air laut terus mengajak mereka. "Guys ... ayo kita nyelem." ajakku sambil berlenggak di depan pintu vila.
"Udah jam 3 sore, lo mau diving panas-panas begini?" Agra bertanya dengan nada heran denganku. Ia sedang duduk bersandar di kursi santai berbahan kayu.
"Loh, bukannya justru sore-sore begini malah gak panas?" Aku duduk di meja landai dengan material rotan persegi delapan sebelah kursi Agra.
"Justru di jam 2-3 menjelang sore itu matahari lagi panas-panasnya." Aku yang bebal menepis pernyataannya dengan menanyakan sumber perkataan dia barusan. "Sok tahu ... emangnya lo tahu dari mana?"
"Tuh." Tangannya menunjuk buku tebal berjudul "Nature Activities" yang berada di sampingku. "Buka aja di halaman 305 paragraf ketiga tentang aktifitas matahari."
Senyum terpaksa kugambarkan di wajah, memberi isyarat bahwa aku gak mau buka halaman buku yang dia katakan. Liat bukunya aja udah enek, apalagi baca tulisannya. "Hehe ... eng-enggak, deh. Iya, gue percaya."
Aku mengalihkan pandangan, melihat Raka keluar dari vila yang entah mau ke mana. "Ka, lo mau ke mana?" tanyaku dengan nada agak tinggi. Ia terhenti di depan bingkai pintu dan menjawab, "Mau nyari udara segar sore." Aku beranjak dari meja dan berdiri di hadapannya. "Ikut!"
~~~~~
Oranye, warna latar langit sore itu. Matahari tampak di ujung barat laut, belum sepenuhnya ke barat yang nantinya akan segera tenggelam di sana. Tapi tetap saja, pukul 3 sore masih lumayan cerah. Benar kata Agra, malah tambah panas cuaca di sore itu. Walau panas, tapi embusan angin yang hilir-mudik menyejukkan suasana sekitar. Dendangan pohon kelapa yang bergoyang sesuai arah angin membuat suasana Pulau Misool semakin adem. Sunyi, seperti di puncak. Yang membedakan keduanya yaitu: jika di puncak, udaranya sangat dingin, jalanan yang berkelok naik-turun. kalau di pantai seperti ini, udaranya lebih hangat dan panoramanya beragam; antara laut, pasir pantai, hingga tebing, dan penghijauan di sekitar.
Aku masih terus mengikuti Raka berjalan, entah ke mana aku pun gak tahu. "Kita mau ke mana, Ka?" tanyaku yang berada di samping kanannya dekat dengan air laut yang maju-mundur menyapu pasir. kakiku basah karenanya, baju terusan pantaiku berkibar ditiup angin.
"Gak tahu, hehehe," jawabnya enteng saja dengan nada berat. Kulit eksotisnya bercahaya karena sinar matahari yang hinggap di kulit Anak Petualang itu.
"Loh, loh gak pernah ke sini sebelumnya?"
"Belum."
"Katanya pernah ...."
"Iya, waktu itu sampai Waisai aja sama bapak, gak sampai ke Pulau Misool ini, Sa." Ia merubah posisi tangannya yang diletakkan di belakang kepala seolah menopangnya agar tak jatuh. "Tapi tenang, katanya ada tempat populer deket sini." Aku mengangguk pelan lalu menundukkan pandang. Rambutku yang sebahu terus berembus merusak pandangan dari kacamata hitamku. jaga-jaga kalau malam tiba, walaupun gak ngaruh juga walau udah pake kacamata.
"Sa." Kali ini Raka yang membuka pembicaraan
"Ya?"
"Kamu ngerasa seneng gak, temenan sama aku?"
"Aduh, Ka. Harusnya gue yang nanya ke elo soal kayak gitu. Udah jelas gue nyaman banget deket elo, bahkan dari SD."
"Kalau aku malah lebih." Wajahku langsung mendonga ke arahnya yang beberapa senti lebih tinggi dariku. "Ma-maksudnya?"
"Eh ... ma-maksudku, jangankan seneng, aku malah terhibur deket kamu."
"Apa-nya yang buat lo terhibur dari gue? Bukannya justru gue yang suka sembrono, jadi orang-orang pada cringe deket-deket gue."
"Ya enggak lah, justru kamu jadi penghibur. Inget gak, kalau gak salah waktu kelas 4-5 SD gitu, aku lupa. Waktu itu kamu sering nawarin daganganku di tengah lapangan, tanpa rasa malu. Inget?"
"Yang mana, ya?" Sejenak aku berpikir, pandanganku meraba-raba langit. "Oh! Yang waktu setiap jam istirahat, ya?"
"Nah, bener. Bahkan jam pelajaran Buk Ani guru kesenian, kamu gak pikir-pikir buat nawarin dia."
"Ohiya, hahaha. Inget gue. Untungnya Bu Ani orangnya baik." Kami bersenda gurau, mengenang masa SD dulu yang penuh kenangan. Kemudian Raka beralih pembicaraan lain.
"Kabar kamu dengan Agra, kayak mana?" tanyanya dengan merubah ekspresi menjadi datar kembali.
"Gimana apanya?" Lagi-lagi aku bingung dengan pertanyaan gantung Raka. Gak seperti biasanya dia bersikap gugup seperti ini. Biasanya dia percaya diri sekali. Raka gak melanjutkan pertanyaannya. Dia diam sambil menggeleng seolah menarik kembali pertanyaannya itu. Tentu saja, aku yang kepo terus berpikir apa yang dia maksud. Dan akhirnya, TING! Osa Si Salamander Pekaan keluar lagi.
"Ma-maksud lo gue ada hubungan gitu sama Agra?" Aku bertanya, mencoba menyelidikki isi hatinya dengan argumen yang asal-asalan.
Raka menundukkan pandangannya. "Kalau nanya aja gak masalah, kan?"
"Owalah, Ka. Kalau nanya itu langsung aja kek, bikin gue penasaran aja. Gue gak suka ya digantungin begini." Raka hanya cengengesan saja, gak tahu isi perasaannya. "Kalau sama Agra ya gue cuma temenan. Sama kayak Alma dan Aisyah, elo juga. Cuman bedanya lo itu temen gue dari kecil, jadi gue ngerasa lebih deket aja sama lo gitu."
Wajah sawo matang Raka tampak memerah. Gak tahu kenapa, mungkin karena terkena sinar matahari. Wajarlah.
Sampailah kami di sebuah tebing yang menjulang tinggi bak anak gunung. Tebing itu mengitari lautan kecil yang terperangkap di tengahnya menjadi danau, berbentuk sesuatu tapi aku gak tahu bentuk apa. Di tebing batu itu tumbuh berbagai macam tanaman hijau bagai lumut di kolam batu.
"Pegangan," pinta Raka sambil menodongkan tangan kanannya ke arahku. Aku yang tampak kesusahan untuk menaikki tebing itu mau tidak mau menerima genggaman tangan Raka. kami mendaki perlahan, menuju puncak yang tidak terlalu tinggi. Sesekali aku tersandung karena baju terusan yang kukenakan beberapa kali terinjak. Jalanku juga gagu, menahan ketidakseimbangan bebatuan yang bentuknya gak karuan.
Dengan susah payah akhirnya kami sampai ke puncak tebing itu. Genggaman tanganku kulepas dari tangan Raka. Merasa gak nyaman.
"Ikuti aku," kata Raka sambil memimpin jalan menjejaki tebing itu. Perjalanan belum usai, Raka membidik dengan telunjuknya untuk segera pergi ke tempat yang ia tunjuk. Aku yang sibuk menyeimbangkan badan, gak sempat menoleh ke sana kemari melihat panorama indah butiran pulau kecil sekitar.
Sampailah kami di tempat yang tadi ditunjuk Raka. Aku mencoba menyesuaikan posisi, tapi susah karena penglihatanku yang mulai gamang. Dengan sekonyong-konyong Raka memegang kedua bahuku dan menghadapkanku ke arah danau.
"Lihat ke bawah." Dengan awas, aku mencoba menoleh ke bawah, melihat danau yang tadi aku gak tahu bentuknya apa, namun sekarang sudah jelas bentuknya. Bentuk hati.
Aku ternganga, terpelongo, terbingung, terheran-heran sampai gak bisa berkata apa-apa. "Ini namanya Danau Cinta Karawapop. Aku tahu tempat ini dari temen yang udah pernah ke sini," tuturnya jelas sambil tersenyum puas akhirnya bisa menunjukkan ini padaku.
"Ke-ke-kenapa gak ajak yang lain juga ke sini, Ka? Kan kalau rame-rame lebih seru." tanyaku yang tak beralih pandang ke indahnya danau itu.
"Kamu tahu, Sa. Aku itu orangnya tersirat. Gak suka blak-blakkan," tandas Raka seolah mengabaikan pertanyaanku. Ia duduk di bebatuan tebing sebelahku, aku mengikutinya. Masih bingung dengan apa yang dimaksud.
"Maksudnya apa sih, Ka. Jangan ngegantung gue bilang." Aku menoleh ke arahnya yang membuang pandang ke depan. Wajah cemas mulai kupancarkan. Sekelebat terpikir pikiran itu dalam benak. Namun secepatnya kuhilangkan.
"Tapi sekarang aku mau langsung aja," katanya lagi dan mengabaikan pertanyaanku. Seolah perkataan dia sebelumnya ia sambung kembali.
"RAKA!!!" Jeritku dengan nada mendayu-dayu cemas.
Wajahnya kini menoleh ke arahku. Terlihat sisi sebelah kanan wajahnya lebih cerah karena cahaya mentari sudah berlenggak di ufuk barat. Siluat wajah tirusnya terpancar dalam pandang. Kami terus beradu pandang. Perlahan tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat. Aku semakin takut, hal itu terjadi untuk pertama kalinya dalam hidupku.
"Aku, cinta sama kamu, Sa. Aku suka sama kamu. Aku sayang sama kamu." Dia langsung to the point di tengah kebingunganku.
JLEB! Ngena banget ke benak. Kali ini aku lebih terkejut dibanding sebelumnya ketika melihat danau berbentuk hati. Bibirku gemetaran, bingung mau bicara apa. Raka terus menatapku dengan pandangan penuh harap. Gak terasa, mataku berair, melihat kebutaan yang akan datang padaku suatu hari nanti.
Kedua tanganku dengan sigap kulepas dengan paksa. Kini kedua tangan Raka terbuka bagai hampa. Kuusap berkali-kali air mata yang menggenang dalam kelopak. Mulai mengatur napas sesuai ritme paru-paru.
"Lo tahu kan, Ka. Kita udah lama temenan." Aku mencoba menjelaskan dan menjawab pernyataan Raka dengan nada gemetar. Raka menatapku serius, masih penuh harap. Aku menundukkan pandangan. "Lo tahu juga kan, orang tua gue bermasalah soal percintaan dan gue gak mau itu terulang ke gue."
"Tapi aku janji, Sa. Aku janji bakal jadi yang terbaik buat kamu. Kamu tahu kan, aku kayak apa orangnya? Memangnya, aku pernah nyakitin kamu selama kita temenan?" Wajahnya masih kekeh berharap dengan alis yang mengernyit ke atas.
"Iya, tapi lo baiknya jadi temen gue aja. Jadi sahabat. Jangan gitu dong, Ka," bujukku untuk tetap menjadi teman dengannya. Aku takut Raka bakal jadi orang yang kujauhi karena keputusannya ini.
"Perasaan seseorang itu bagai benih. Ketika dari kecil dia ditanam dan dirawat dengan baik, maka akan tumbuh asri. Sama kayak perasaan aku ke kamu, dulu hanya sekedar teman, perlahan jadi sahabat, dan akan lebih dari itu." Lagi-lagi kiasan, aku gak suka dengan kiasan. Selalu menggunakan hal lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Namun tetap saja aku menolak, malah rasa benci dan takut mulai kurasakan ketika di dekat Raka.
Terpaksa dengan perumpamaan pula aku menjawab dan semoga bisa menandaskan harapannya ke aku. "Tapi, Ka. Tanaman yang tumbuh asri, gak selalu berbuah yang manis. Pasti ada yang asam, atau bahkan busuk karena di makan hama atau terlalu matang." Raka masih terus menatapku, berharap aku berpikir lain. Namun tidak. "Jadi lo tahu kan intinya? Maaf, gue gak bisa nerima kemauan lo. Gue nolak lo sebagai orang yang lebih dari teman."
Benar saja, kandas sudah harapan Raka padaku. Wajahnya seolah terpental menunduk ke bawah, tangannya mengepal-ngepal basah seperti memeras santan, rambut ikalnya terserak di dahi yang basah berkeringat.
"Ok. Tapi aku janji, rasaku ke kamu gak akan bisa kayak dulu lagi, Sa. Pasti selalu ingin lebih." Wajahnya tampak merah padam, seolah menyimpan sekelumat dendam. Raka beranjak dari duduknya, meninggalkanku sendiri menuruni tebing.
Hari semakin sore, mentari oranye dengan cepatnya berganti menjadi merah seperti luka di hati Raka. Berdarah. Langit tentu saja semakin gelap, membuatku gelagapan mencari jalan untuk turun. Kacamata hitamku gak berguna lagi di keadaan seperti ini, karena glaukomaku terasa semakin parah.
Raka menuruni tebing enak saja, melompat ke sana kemari, hinggap di tebing yang sedikit lebih rendah, dan menapakki tanah pergi menjauh. Berulang kali aku memanggilnya, berharap dibantu namun percuma saja, ia gak menggubris.
Dengan susah payah aku menuruni tebing, pandangan gamang semakin membuatku histeris ketakutan, tingginya tebing juga tak lupa menjadi penghalang. Aku hanya mencoba meraba bebatuan tebing yang sedikit rendah untuk mencapai tanah. Mencoba menjadi olm seperti apa yang dibilang Agra. Beberapa kali tubuhku terantuk ke bebatuan tebing yang tajam, luka besot di tangan dan kaki mulai terbentuk. Sakit, tapi mungkin Raka lebih dari ini.
Akhirnya aku sampai ke tanah. Tinggal bagaimana aku kembali ke penginapan hanya dengan merasa dengan rabaan dan sedikit warna-warna yang kabur. Hawa dingin yang amat sangat terasa di sisi kiriku, aku berspekulasi bahwa di kiriku ada lautan luas. Sesekali kakiku tersapu oleh air yang terus menggulung ke daratan. Perih, karena luka terkena air dan pasir. Tak henti-hentinya kakiku melangkah lurus secara konsisten, hingga akhirnya secercah cahaya kuning menerangi ujung pandangku. Mungkin itu lampu penginapan, tapi penginapan gak cuma satu saja, ada banyak, berjejer membentang panjang.
Aku sempat berpikir, kalau saja tadi aku gak ikut Raka ke tempat itu, mungkin saja dia gak bakal nembak aku, dan pastinya dia gak sakit hati karena keputusannya itu. Ternyata dia sama kayak Agra, random, gak bisa ditebak.
~~~~~
“OSAA!!!”Terdengar suara jeritan samar-samar dari kejauhan. Suaranya gak asing lagi, seperti orang yang sering aku dengar. Cemprengnya, melengkingnya, bahkan nadanya yang terdengar mencapai 8 oktaf itu.Sorot putih cahaya senter mulai menembakki aku yang kesulitan mencari arah. Aku mulai bisa melihat dua orang perempuan dari kejauhan yang berlari menghampiriku. Satu menggunakan celana pendek, satunya lagi menggunakan jilbab dan baju terusan. Aku yakin itu Alma dan Aisyah.“Alma? Aisyah?” Langkahku terhenti sembari menunggu mereka tiba di hadapanku. Pandanganku hanya berfokus ke senter putih mereka yang terus menyoroti diri.Mereka pun tiba menghampiriku yang kesusahan dari tadi mencari arah. “Sa, lo gak papa?” tanya Alma padaku sambil merangkul badanku yang penuh luka dan pasir pantai. “Lo dari mana aja, Sa?” Aisyah dengan wajah cemasnya bertanya padaku dengan nada meleot-leot seperti ingin menangis.
Sudah dua hari berturut-turut liburan di Pulau Misool berlalu. Dua hari berturut-turut pula aku dihantui rasa gelisah, marah, dan berbagai tragedi. Belum ada setitik pun kebahagiaanku yang terwujudkan dalam harapan. Kukira liburan dengan sahabat itu menyenangkan, bisa bersenda gurau tanpa batasan. Tapi buatku rasanya tidak, malah merekalah yang membuat masalah.Hari itu rencana makan di restoran aku urungkan. Aku kembali ke vila seorang diri. Alma dan Aisyah aku tinggalkan di restoran. Lagi-lagi air mata berlinang di permukaan pipi, hatiku keruh kembali. Padahal belum sepenuhnya aku terjun ke dunia percintaan, tapi rasanya udah enek, gak tertarik tentang urusan remaja itu. Aku ingin kembali seperti dulu.Sambil duduk bersandar di kasur vila kamarku, berulang kali kuusapkan kelopak mata ini dari linangan air mata. Hatiku sesak dibuatnya.Pikirku kembali melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat usiaku baru menginjak 7 tahun. Waktu itu aku dan P
"Gimana kalau kita nyebur aja di pantai ini?" seru Alma dari bawah tebing menawarkan kami."Setuju!" Mendengar tawaran Alma, sejenak aku melupakan koreng di kaki dan langsung menuruni tebing dengan sembrono. Aisyah yang mendongak menatapku turun tampak berkspresi seolah merasa ngilu dengan gerakkan gesitku menuruni tebing. Takut terbesot lagi."Ya Allah, Sa. Kan udah janji tadi buat gak nyebur ke pantai, nanti luka lo gak sembuh-sembuh," keluh Aisya kepadaku yang mengingkari janji buat gak berenang.Dengan beradu argumen sebentar denganku, akhirnya Aisyah menyerah dan mengalah untuk membiarkanku berenang bersama Alma di pantai di hadapan. Bagaimana bisa aku menolak untuk tidak menyentuh air pada liburan yang didominasi oleh lautan jernih ini?"Hufftt ... yaudah deh, terserah. Tapi kalian kan gak bawa baju ganti?""Tenang aja, kita pulang basah-basahan.""Kalian aja, gue gak ikut." Aisyah memilih untuk tidak ikut berenang. Ia meng
"Ah ...." Lega rasanya sehabis berenang di pantai pagi tadi, kemudian malamnya berendam dalambathtubberisi air hangat dengan wewangian yang menenangkan. Lilin-lilin aromaterapi menemani kesenyapan meditasiku. Taburan kelopak bunga mawar mengambang di permukaan air hangat yang kurendami. Aku tenggelam dalam keheningan. Pikiranku kembali cemerlang.Dor-dor-dor. Daun pintu berwarna putih bersih di hadapan terketok. Sepertinya ada seseorang di sisi lain pintu itu. "Sa, buruan mandinya, udah waktunya makan malam. Jangan lama-lama, ntar badan lo keriput." Aisyah sepertinya bukan hanya manajer pribadiku saja, tapi dia juga sudah menjadi orang tuaku.Aku bersahut panjang kepadanya, berkata bahwa sebentar lagi aku selesai mandi.Tubuh mungilku yang bermandikan busa dan bunga kubangkitkan, melangkah keluar daribathtub,kemudian membasuh diri dengan air mengalir. Tidak terasa, ternyata sudah lebi
"Oh, pasti pindah vila. Udah gue duga itu." Suara datar itu seperti tidak asing di telinga. Tapi aneh, padahal gak ada orang di ruangan ini.Aku menoleh ke sekeliling ruang televisi, mencari asal suara yang terdengar menyebalkan itu."Gue di sini, picek." Astaga! Si Nolep udah ada di sampingku. Tapi sejak kapan? Bukannya tadi aku baru saja duduk termenung di sini? Gak ada sesiapa dari tadi. Tiba-tiba saja anak ini berada tepat di samping kiriku—di atas sofa yang sama denganku.Namun karena kegundahan hati, aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Biasa saja. "Ishhh ... lo mending minggir jauh-jauh, jangan ganggu," ucapku merenge
"Oh, pasti pindah vila. Udah gue duga itu." Suara datar itu seperti tidak asing di telinga. Tapi aneh, padahal gak ada orang di ruangan ini. Aku menoleh ke sekeliling ruang televisi, mencari asal suara yang terdengar menyebalkan itu. "Gue di sini, picek." Astaga! Si Nolep udah ada di sampingku. Tapi sejak kapan? Bukannya tadi aku baru saja duduk termenung di sini? Gak ada sesiapa dari tadi. Tiba-tiba saja anak ini berada tepat di samping kiriku—di atas sofa yang sama denganku. Namun karena kegundahan hati, aku tidak begitu terkejut dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Biasa saja. "Ishhh ... lo mending minggir jauh-jauh, jangan ganggu," ucapku merengek p
Rumah ini sangat tidak nyaman untuk standar manusia di dunia. Lapuknya kayu yang menjadi material utama bahan pembangun, membuatnya berisiko ambruk kapan saja. Atap berbahan seng yang terdengar nyaring ketika hujan, juga sudah tampak berlubang, meloloskan cahaya matahari siang ke permukaan semen tak berkeramik rumah itu. 'Rumah reot', 'Rumah Gubuk', 'Rumah Bobrok', mungkin sebutan itu lebih tepat daripada menyebutnya sebagai 'Rumah Manusia'.Listrik yang menjad alternatif penerangan untuk berbagai macam keperluan, kini tidak kelihatan secercah cahaya pun di setiap sudutnya. Bau amis ikan semilir tercium ke penciuman setiap orang yang bertamu. Bagaimana tidak, rumah guru muda yang punya cita-cita mulia ini berbelakangan langsung dengan penangkaran ikan.
"Haduh! Langitnya mulai gelap, Gra." Aku memerhatikan horizon dunia, menatap mentari mulai meninggalkan bumi untuk berganti dengan bulan.Pasir pantai yang tadinya terasa hangat, kini menyejuk disebabkan hawa malam itu yang sangat rendah. bayi-bayi penyu seluruhnya sudah melanglang buana menuju lautan lepas, menuju tanpa batas.Aku yang sedari tadi mulai gusar karena pandangan terganggu, terus mengeluh pada Agra."Tenang aja," gumam Agra sambil merogoh saku dalam switer tebalnya. "Nih, untung gue bawa lampu."Dua buah lampu teplok kecil ia keluarkan dari baju tebalnya yang sedari ta