Share

[Bab 7] Hipotesa Agra

“OSAA!!!”

Terdengar suara jeritan samar-samar dari kejauhan. Suaranya gak asing lagi, seperti orang yang sering aku dengar. Cemprengnya, melengkingnya, bahkan nadanya yang terdengar mencapai 8 oktaf itu.

Sorot putih cahaya senter mulai menembakki aku yang kesulitan mencari arah. Aku mulai bisa melihat dua orang perempuan dari kejauhan yang berlari menghampiriku. Satu menggunakan celana pendek, satunya lagi menggunakan jilbab dan baju terusan. Aku yakin itu Alma dan Aisyah.

“Alma? Aisyah?” Langkahku terhenti sembari menunggu mereka tiba di hadapanku. Pandanganku hanya berfokus ke senter putih mereka yang terus menyoroti diri.

Mereka pun tiba menghampiriku yang kesusahan dari tadi mencari arah. “Sa, lo gak papa?” tanya Alma padaku sambil merangkul badanku yang penuh luka dan pasir pantai. “Lo dari mana aja, Sa?” Aisyah dengan wajah cemasnya bertanya padaku dengan nada meleot-leot seperti ingin menangis.

“Kita pulang dulu,” jawabku datar pada mereka. Untungnya air mataku sudah terhapus dari wajah. Aku gak mau menceritakan kejadian yang sebenarnya pada mereka. Walau aku menolak Raka mentah-mentah, seenggaknya aku masih bisa jaga aib dia dan masih menerimanya sebagai teman, walau susah.

Derap langkah kami lanjutkan untuk kembali ke penginapan. Jalanku dituntun oleh mereka berdua yang untungnya berinisiatif mencariku kala genting seperti ini. Gak kebayang kalau aku gak ketemu mereka tadi, bisa-bisa nyasar ke mana-mana.

“Asalamualaikum,” salam terucap dari mulut mungil tak bergincu Aisyah. Pintu penginapan dibukakan Alma dengan perlahan, menghasilkan suara “Cklek” yang mengalihkan pandangan orang yang ada di dalamnya. Agra, wajahnya teralih dari tumpukan kertas dengan gelombang huruf  yang tersusun di dalamnya.

“Dari mana aja lo, Sa?” Gak biasanya, kali ini Agra bertanya padaku sampai merubah posisi duduk selonjornya menjadi tegak menatapku yang amburadul bermandi pasir bertato luka. “kaki lo, badan lo, kenapa? Luka-luka gitu?”

“Aisshh ... jangan bising dong, Gra,” keluhku dengan nada mendayu-dayu kesal. Agra yang baru kuterima sebagai seorang penyelamat hubunganku dengan Papa waktu di rumah, sekarang kembali kucuekin bagai benalu. Sifat sensitif kembali tergambar dalam benak.

Bahkan Aisyah dan Alma sekalipun gak berani bertanya setelah Agra kusembur tanpa masalah. “Mana Raka?” Masih berani, Agra seolah menentangku dengan menanyakan Raka yang jelas-jelas habis buatku kecewa.

 “GAK USAH TANYA GUE!!!” amukku dengan nada lancang mengaum di depan Agra yang gak punya salah. Brak!  Meja kaca berangka kayu di hadapan kubogem dengan kepalan tangan membuat Aisyah dan Alma yang duduk sedikit lebih jauh dariku terkejut. Namun Agra santai saja, malah pandangannya gak beralih menatapku yang tiba-tiba kesetanan ini. Kaca gak pecah, tanganku baik-baik saja, tapi hatiku meledak menghantam siapa saja yang gak bersalah.

Sejenak terlintas dipikiranku rasa rindu yang amat sangat. Rindu pada cinta pertama dalm hidupku. Pria pertama yang menjadi kekasih. Papa. Rasanya kepingin menelepon Papa yang jauh di sana, ingin mengadu keluh-kesah, tapi rasanya belum bisa, mengadu pada Papa tentang kebusukkan Raka yang dari dulu ia percayakan untuk menjaga diriku dalam pergaulan.

Agra mengibaskan tangannya ke arah Alma dan Aisyah yang sedang bengong menatapku bingung. Kemudian mereka berdua pergi memasuki kamar, meninggalkanku dan Agra di ruang tamu yang sepi. Berbagai perabotan dan material kayu dan babu dalam ruangan itu membuat setiap langkah kaki berdentum.

Wajahnku terus murung, menatap berbagai macam bentuk luka goresan hingga besotan terlukis di permukaan kulitku yang kuning langsat. Agra beranjak dari duduk, mengambil kotak P3K, dan menghampiriku kembali di ruang tamu.

Agra menggenggam pergelangan kakiku, menyelonjorkannya di atas sofa tempat kami duduk. Rasanya kaku, karena besotan juga ada di lututku. Tangannya membuka isi kotak putih P3K di atas meja, mengambil segumpal kapas, dan meneteskan 2-3 tetes cairan bening alkohol di atasnya.

“Aw!” Kapas terus digosokkan Agra ke luka-luka di kakiku. Sesekali aku menggeliat ngilu-ngilu perih karena alkohol mengenai lukaku.

“Pasirnya kasar. Pasti waktu sore lo manjat tebing dan susah turun ketika malam tiba.” Mataku beralih ke wajahnya yang tunduk berfokus pada luka. “Alkohol ini gunanya buat membersihkan bekas luka baru, biar steril dari kotoran.”

Lagi-lagi, sifat random Agra kembali. Padahal selama perjalanan dia tampak cuek padaku, malah berasa cringe. Tapi sekarang dia malah care kayak waktu pertama aku didiagnosis glaukoma.

“Lo itu masih labil, sama kayak gue waktu umur 18 tahun. Tapi waktu itu labilnya gue masih bisa dikontrol. Gak kayak elo yang baru dapet masalah dikit udah ngamuk-ngamuk, ngelampiasin ke orang yang gak salah. Dasar olm.” Seolah mengabaikan omelan Agra, aku malah terkejut dan baru tahu kalau umurnya gak sebaya denganku.

“Loh, umur lo berapa rupanya sekarang?” tanyaku memecahkan kesedihan dan melupakan sejenak masalah barusan.

“Dua puluh tahun.” Ternyata beda 2 tahun denganku, bahkan dengan Raka yang badannya lebih besar sekalipun.

“Ceritanya panjang kalo lo nanya kenapa kita bisa satu angkatan waktu sekolah. Nanti aja, gue gak suka diburu-burui. Tunggu sekuel cerita ini selanjutnya,” katanya lebih dulu menjawab pertanyaanku yang belum sempat terlontar. Entah sekuel apa yang dia maksud.

“Sekarang gue nanya, kejadian apa yang buat lo sampai kayak gini?” Agra kembali bertanya setelah semua lukaku dibersihkan dan diberi Betadine padanya.

“Sama kayak elo, gue gak suka diburu-burui.”

“Ok ok. Kalo itu jawaban lo. Kalau gue nanti udah dapet jawabannya dan tahu siapa yang buat lo luka-luka gini, gue gak bakal tinggal diam. Siapa pun orangnya yang berani ngelukai olm, gue bakal turun tangan sekalipun badan gue lebih kecil dari orang itu,” tegas Agra mengubah ekspresi wajahnya. Tangannya menggeram melihatku terluka seperti ini. Janjinya untuk turun tangan dan terus mencari tahu siapa pelakunya, membuat wajah lugu Agra menjadi kaku dan beringas. Seandainya dia tahu yang berbuat Raka, sudah dapat dipastikan hubungan kami akan semakin berantakan. Antara Agra dengan Raka. Mana yang harus kupilih?

~~~~~

            Gerutu derasnya ombak membangunkanku yang pulas di ranjang penginapan Misool Eco Resort. Vila mewah modern tempat kami menginap berisi empat ruang kamar dengan view yang berbeda. Dua kamar yang berhadapan langsung dengan pantai dan dua kamar lagi yang tertutup. Semalam kuputuskan untuk tidur di kamar depan yang berhadapan dengan pantai sendirian. Ingin menenangkan diri dari kejadian semalam.

            Alma dan Aisyah tidur berdua di kamar yang bermodel sama denganky. Sedangkan Agra tepar di ruang tamu karena semalaman dia membaca buku tebalnya.

            Raka, semalam sewaktu aku dan Agra masih mengobrol di ruang tamu, ia kembali. Entah dari mana. Aku gak sudi menatap wajahnya, ia pun menundukkan pandang dan berjalan lurus ke kamar. Seolah gak ada kejadian apa- apa. Rasa syok dan marah masih terbirat di hatiku. Rasanya ingin mengusir dia dari sini dan menjauhi aku selamanya, tapi itu gak mungkin untuk sekarang, karena aku sudah berjanji lebih dulu untuk mengajak mereka berlibur.

            Pagi itu pukul 08.30, pantai biru berlian yang cerah tampak dipenuhi oleh wisatawan yang sedang menikmati spot diving dan snorkeling. Aku keluar dari kamar dengn tergopoh-gopoh karena luka di lutut kanan masih terus berdenyut. Masih basah.

            Melewati Alma yang sedang menikmati jasa pijat di ruang tamu sambil tidur tengkurap, kemudian menggapai pintu keluar vila. “Mau ke mana?” tanya Agra seolah menghadangku dari belakang.

            “Mau nyebur.”

            “Jangan dulu, tunggu sembuh dulu luka lo.”

            “Kenapa sih, Gra? Udahlah, luka dikit doang kok lu yang repot,” protesku yang bersihkeras ingin segera menikmati sejuknya air pantai.

            “Nanti luka lo gak sembuh-sembuh, Sa. Makin basah kena air, makin sakit juga.” Memang ada benarnya juga perkataan Agra, lagi pun, kaki kananku masih kaku, masih pincang dibawa jalan, gimana mau dibawa diving nanti?

            Aku menghela napas jengkel, padahal udah sejak lama aku ingin sekali ngerasain berenang di alam terbuka, ketika sampai di sini, ada saja kendala. “Kita kan seminggu di sini, ini masih hari kedua kita di Pulau Misool, mending lo cari kesibukan lain selain ke air,” sambung Aisyah yang dari tadi sibuk memotret pemandangan dengan kamera Alma.

            “Mending nanti kita ke resto seafood deket sini, pada belum makan, kan? Terserah kalian mau makan apa di sana,” saran Alma yang masih menggelepar di ranjang dipijit oleh pelayan khusus. Matanya terpejam merasakan setiap tekanan yang diberikan pada punggung badut kota itu.

            “Ya iyalah, kan yang bayar juga ujung-ujungnya gue.”

            “Kan elo yang ngajak kami.” Skakmat!

            Aisyah cengengesan saja mendengar perdebatan dua kaleng rombeng ini. “Hahaha ... walaupun kami gak tahu soal masalah lo, tapi kayaknya lo udah move on dari kejadian semalam ya, Sa.” Bukan aku yang cepet ngelupain masa lalu, tap yang dikata Agra benar, aku labil, emosiku masih sulit dikontrol.

~~~~~

            Resto makanan laut yang jaraknya gak jauh dari penginapan kami kunjungi. Tampak kanopi-kanopi tradisional yang terbuat dari jerami dan ilalang membentuk atap tradisional khas Papua, honai, berjejer rapi dengan kursi yang mengelilingi meja di tengahnya. Ada pun meja kayu panjang dengan kursi yang juga panjang terpampang menghadap langsung ke pantai, cocok untuk keluarga besar. Untuk yang ingin tempat privasi, resto juga menyediakan ruangan in-door dengan tema tradisional khas Papua.

            Berbagai macam furniture seperti angklung yang menggantung di atas atap resto membuatnya berbunyi merdu ketika angin menghampir. Untuk dekorasi terbuka, mereka menata berbagai macam tanaman hijau di pekarangan restoran.

            Para pelayan hilir-mudik berjalan melayani pesanan dengan sopan sesuai aturan SOP. Sebagian besar para pelayan berkulit hitam dan berambut keriting. Berbagai macam keberagaman di tempat ini aku nikmati dengan sepenuh hati. Wajah sumringah pelayan dalam menjalankan tugasnya tampak tulus walau beban berat di pundak.

            Berbagai cara penyajian makanan tersedia. Mulai dari order biasa dengan jasa para waiters atau dengan metode buffet yang sudah disajikan di atas meja panjang dengan berbagai macam jnis makanan, dari makanan western, asia, hingga tradisional semuanya siap dihidangkan oleh pramusaji.

            Dengan tangan yang menopang piring putih dan tubuh menghadap jejeran makanan yang tersedia di meja buffet, aku bertanya ini-itu pada pramusaji pria di hadapan. "Ini ikan apa namanya, Pak?" tanyaku sambil menunjuk ikan yang dibungkus dengan daun talas di hadapanku.

"Ikan bungkus, makanan khas Papua," jawabnya formal sambil menjulurkan telapak tangannya ke arah ikan yang kumaksud.

"Kalau yang kayak pie ini apa namanya?" lanjut Alma bertanya pada pelayan sembari menangkat hidangan manis yang mirip seperti pie  dengan atasan stroberi, keju, coklat, dan lainnya.

"Ini kue lontar, makanan yang dulu dibawa penjajah Belanda ke Papua dan langsung diterima dengan baik sehingga mashyur di lidah masyarakat lokal." Pelayan kembali menjawab dengan sedikit menjelaskan sejarah kue lontar yang diadaptasi dari namanya lontart.

Kini saatnya Aisyah bertanya, "Oh, ini sagu lempeng, kan?" Aisyah menunjuk ke arah makanan yang mungkin gak asing lagi di lidah orang Indonesia sekalipun.

Kemudian pelayan mengangguk dan menimpal, "Sagu lempeng merupakan makanan yang benar-benar identik dengan Papua. Mempunyai bentuk seperti batangan persegi panjang dan warnanya merah kecoklatan atau porna. Apabila digigit, akan terasa bahwa teksturnya sangat keras, hampir mirip dengan kue bagea. Sebab, terbuat dari tepung sagu yang dicetak dengan besi, lalu dipanggang. Proses itu bisa mengurangi kadar air, sehingga menghambat pertumbuhan jamur dan mikroba. Karena kue ini dapat bertahan lama." Kali ini si pelayan serba tahu itu menjelaskan tentang proses pembuatan sagu lempeng. Benar-benar profesional.

Setelah banyak cincong dan membuat mulut pramusaji berbusa, akhirnya pilihan makanan kami bulatkan. Aku mengambil seekor lobster jumbo bakar, ikan bungkus, dan minuman lemon teh segar. Alma mencapit udang sambal, kue lontar, dan segelas cocktail. Aisyah memilih sup kambing karena dia alergi terhadap makanan laut. Minumnya hanya air putih.

Aku berniat baik pada Agra yang tetap stay duduk di meja. Ingin mengambilkannya makanan, namun makanan apa yang dia suka? Aku tak tahu, kuputuskan untuk sejenak meninggalkan Alma dan Aisyah untuk kembali ke meja dan bertanya pada Agra.  Hitung-hitung minta maaf padanya yang semalam kusembur tanpa sebab.

"Gra, lo mau ma ...." Ucapanku menggantung, Agra gak ada di meja tempat tadi kami berkumpul. Ke mana dia? Kusapukan penglihatan ke seluruh penjuru arah, hanya sekumpulan orang yang sedang huru-hara menikmati liburan mereka. Gak ada Agra. Gak bisa kutebak, apa yang ada dipikiran random-nya. "Aissshh ... ke mana lagi anak itu?" 

Masih penasaran, tatakan yang berisi makanan dan minuman yang kubawa tadi kuletakan di atas meja, meninggalkannya, dan pergi mencari Agra. Aku keluar dari restoran.

Gak terasa, sampailah aku di garis pantai. Mataku kembali menyelidik ke kanan dan kiri hamparan luas pasir pantai. Tetap gak ada anak itu. Raib. Bukan masalah khawatir anak itu raib kek, hilang kek, atau apalah itu. Tapi entah kenapa diriku yang lain menggerakkan aku untuk mencarinya.

Lima menit berlalu, mungkin Alma dan Aisyah juga bingung aku ke mana. Langkahku tak berhenti mengacaukan pasir pantai, terus membuat jejak sendal vila di atasnya. Kudongakkan kepala ke atas dan menyerong sedikit ke kanan, menatap tebing batu kecil yang di atasnya tampak bayangan dua orang yang berhadapan. Voila! Ternyata itu Agra dan Raka yang saling bertatap muka. Penglihatanku gak mungkin salah. Hari ini masih siang, masih terang, kacamata yang kugantung di lingkar leher baju kaosku kugunakan untuk memperjelas pandang. Apa yang mereka lakukan di atas sana?

Sial, aku gak bisa mendengar apa pun dari bawah sini. Embusan angin yang tak henti-henti membuat gelombang suara mereka tak sampai ke pendengaranku. Belum lagi pasang-surut air laut yang merambah naik-turun ke daratan pantai. Ricuh.

Pikiran burukku membayang, aku takut Agra yang serba tahu sudah mengetahui permasalahanku dengan Raka dan ia berniat untuk melabrak. Jangan ditanya dari mana anak itu tahu permasalahanku, waktu itu aja ketika aku banyak masalah dia bisa jadi juru selamat dan memperbaikki hubungan aku sama Papa yang kala itu bentrok soal pendidikan. Tapi tetap saja, itu kan pikiran liarku. 

Rasa penasaranku terus membumbung tinggi, hingga kuputuskan untuk mendaki tebing tempat mereka berkompromi. Walau masih ada rasa trauma memanjat tebing, tapi setidaknya tebing kali ini gak begitu tinggi. Juga hitung-hitung latihan mendaki untuk ke Puncak Jayawijaya nanti.

Untungnya pakaian yang kukenakan hari ini gak seribet kemarin. Kaos putih oblong dan celana denim abu-abu bercampur biru membuatku leluasa mendaki tebing. Kugapai celah-celah tebing dengan kedua tanganku, menginjakkan kaki ke permukaannya, naik-naik-naik, dan sampai. Kini aku sejajar dengan mereka. Agra membelakangiku menatap Raka sambil melipat kedua tangannya ke dada. Sedangkan Raka yang melihatku di balik tubuh Agra berucap, "O-Osa?" Wajah kakunya terkejut.

Agra membalikkan badannya, menghadapku yang nekat memanjat tebing sendirian. "Lo ngapain di sini?" ucapnya datar dengan alis yang merengut. Aku bertanya kembali padanya-untuk apa dia menjumpai Raka? Padahal dia sendiri gak suka banyak bicara dengan Raka.

"Itu Osa, tanyakan padanya apa aku ada nyakitin fisiknya?" potong Raka berbicara tegas pada Agra. Entah apa yang mereka bahas, mungkin aku ketinggalan pembicaraan mereka. Tapi pikiran liarku menebak-sepertinya Agra sedang menginterogasi Raka soal kejadian semalam ketika aku pulang dengan penuh luka.

"Semalam, apa benar lo diapa-apain sama dia?" tanya Raka garang menatapku dengan tangan kiri menunjuk ke arah belakang-ke arah Raka. Benar saja, dia sedang menganalisis masalahku. Selalu saja anak ini ikut campur urusanku, padahal dia bukan siapa-siapaku. 

"Eng ... eng ... enggak, kok. Gue gak ada masalah apa-apa sama Raka, gue gak diapa-apain," jawabku terbata-bata sambil memandang takut wajah serius Agra. 

"Tapi kan semalam lo pergi sama dia, ke mana dia rupanya?" tanyanya dengan nada tegas, wajah putihnya kembali memerah, urat lehernya membayang. Dia marah tampaknya.

"Memang semalam kami pergi berdua, tapi habis itu dia entah pergi ke mana. Luka-luka di badan gue karena semalam nekat manjat tebing sendirian." Kali ini aku menjawab pertanyaan Agra lancar saja, karena emosiku juga mulai tersulut karena keikutcampurannya dalam urusanku.

"Tebing mana yang lo daki?"

"Gak tahu, lupa gue namanya, pokoknya yang di deket danau berbentuk hati."

"Hmmm ... it's not make sense, bagaimana bisa lo tahu tempat itu padahal lo sendiri gak tahu namanya, padahal tempat itu sangat populer di Pulau Misool. Danau Love Karawapop, itu nama danaunya." Agra mulai menganalisisku, menatapku tajam, dan mengelus dagunya dengan ibu jari dan telunjuknya. "Kalau pun lo tahu tempat itu, lo gak bakal berani pergi sendirian, lo juga pastinya nyadar kalau hari mulai gelap saat itu. Sudah pasti ada orang lain yang nemenin lo, kan?

"Menurut gue, lo pergi ke danau tersebut bersama dia." Agra menunjuk kembali jemarinya menuduh Raka dan melanjutkan, "Mungkin lo di ajak sama dia ke sana, berdua saja. Tempat itu terkenal romantis, dengan keindahan danaunya yang berbentuk love. Gue tahu maksud dan tujuannya mengajakmu ke sana, tapi apa gak lebih baik lo ngaku aja, Sa? Gue tahu kok, lo gak diapa-apain secara fisik, tapi hati lo mungkin dilukai oleh keegoisannya." Benar saja, Agra berhipotesa lagi dan membuat aku dan Raka diam seribu bahasa. Gak mungkin kutepis, semua analisisnya benar, wawasannya secara nyata mungkin nihil, tapi secara teori dia bisa menerawang dan mengetahui seluk-beluk danau itu. Buku seolah ia jadikan jendela dunia.

"Lo itu teralalu ngikut campur urusan gue ya, Gra. Jangan belagu sok tahu, sok jadi yang paling pintar, dan menjadikan apa pun yang lo rasa menarik lo hakimin. Lo bukan siapa-siapa gue, kita gak ada hubungan keluarga, dan gue juga gak terlalu deket sama lo!" Karena sudah kepalang basah, namun kekerasan kepalaku merajai segalanya, akhirnya dengan terpaksa aku membentak Agra dengan mengalihkan persoalan. Menurutku dia terlalu berlebihan mencampuri urusanku sampai seperti ini, padahal dia bukan siapa-siapa. Itu kenapa aku gak suka bergaul dengan anak nolep kayak dia. 

"Lihat, kamu dengar, kan? Bersikaplah realistis, bro," sambung Raka dengan senyum miring yang menandakan emosinya sedang teraduk menjadi satu. 

Sejenak kami terdiam, membiarkan angin bersenandung merdu di antara ketegangan. Agra mengembalikan ekspresi keruhnya menjadi datar kembali, membalikkan badan dari Raka, berjalan melewatiku, dan turun dari tebing itu dengan santainya. Percekcokan berakhir.

"Sa ...." Raka mendekatiku dengan wajah berharap, aku menjauhinya dengan wajah kesal dan membalas, "Diem lo! Lo kira gue belain lo apa? Jangan banyak berharap. Brengsek!" AKu kembali menuruni tebing dengan awas.

Dua hari berturut-turut, kesedihan dan kemarahan menghantui jiwaku. Semalam Raka yang kupupuskan harapannya, sekarang Agra yang malah kuacuhkan perhatiannya. Rasanya benar-benar serba salah, ingin menyalahkan Raka tapi memang perasaan tidak bisa dibantah, ingin menyalahkan Agra tapi apa yang dikatakan benar, juga ingin menyalahkan diriku namun aku juga punya hak memilih. Bingung. Apakah aku harus menyalahkan semesta yang tak bersuara untuk meredam emosi segala rasa? Entahlah.

~~~~~ 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status