Disya merenggangkan tangannya, rasanya duduk beberapa jam dengan soal quiz di depannya membuat gadis itu sangat lelah.
"Langsung pulang, atau kantin dulu?" tanya Yumna.
"Caffe E-go," tutur Disya cemberut.
"Ah elah, kesana mulu tiap hari, udah berjam-jam kita di sana cuman nunguin om-om itu doang, mana gak datang-datang pula!" cibir Fani.
"Namanya juga usaha, kalian tuh jahat banget sih sama aku," rengek Disya.
Fani memutar bola matanya jengah, namun dia akhirnya menuruti ucapan Disya.
Mereka keluar dari kelas berjalan menyusuri lorong-lorong kampus, sesekali mereka membicarakan beberepa hal, lebih tepatnya Disya membicarakan soal kejadian saat di caffe E-go beberapa hari yang lalu. Ya... kejadian di mana Disya di panggil 'Mommy' oleh Kai. Bukan Kai, namun Devan yang menjadi topik pembicaraan. Saking ingin bertemu lagi dengan Devan. Disya selalu datang lagi ke caffe E-go berharap dia akan bertemu lagi dengan Devan ataupun Kai. Namun nihil, mereka hanya membuang-buang waktu di sana.
"Stop! Itu Pak Devan 'kan?" ujar Alya yang membuat ketiga sahabatnya menghentikan langkahnya.
"Mana?" tanya Disya semangat.
"Itu!"
Disya langsung tersenyum sumringah, dengan cepat dia berlari menghampiri lelaki itu yang sedang berjalan di tengah-tengah bangunan kampus, dengan beberapa orang lainnya. Mereka terlihat sedang berbincang sambil melihat-lihat sekitar.
"Pak Devan," panggil Disya menarik bibirnya tersenyum.
Dengan refleks keempat orang di depan Disya menengok ke belakang.
Disya langsung berlari dan memeluk tubuh jangkung Devan, lelaki itu yang belum siap dengan pelukan Disya bahkan sedikit terhuyung kebelakang, tetapi dia kembali bisa menegakkan tubuhnya. Kejadian itu dilihat oleh semua mahasiswa yang kebetulan sedang ada di sana, bahkan ada yang sampai membelalakkan matanya, termasuk ketiga sahabat Disya.
Masalahnya kenapa Disya memeluk Devan, di hadapan Rektor Universitas Ganendra? Benar-benar tidak tahu malu!
"Daddy," ucap Disya mendongak menatap wajah tampan Devan. Namun tangannya masih memeluk tubuh lelaki itu. Devan sampai membelalakkan matanya saat Disya memanggilnya dengan sebutan itu.
"Pasti mau cari aku 'kan kesini," tutur Disya dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
"Mana Kai? Pak Devan gak bawa Kai kesini?" tanya Disya lagi.
"Ekhem!"
Karena deheman itu, Disya langsung menatap ke arah laki-laki paruh baya yang ada di samping Devan. Matanya langsung membelalak terkejut, rupanya itu salah satu dekan kampus. Disya buru-buru melepaskan tangannya yang sedang memeluk Devan, saat dia menoleh ke kiri betapa terkejutnya dia saat mendapati ada Rektor Universitas Ganendra juga wakilnya yang sedang memperhatikan Disya.
"M—maaf Pak, sa—saya salah orang!" Disya sedikit membungkukkan tubuhnya lalu dia berbalik dan berlari menghampiri sahabatnya yang juga sudah menutupi wajahnya dengan tas milik masing-masing dari mereka, tentu saja mereka malu!
"Disya! Kamu ya malu-maluin banget sih, astaga!" pekik Yumna saat mereka sudah berada di parkiran.
"Sorry," lirih Disya dengan wajah yang memerah.
"Sekali aja gak bikin malu bisa?" tanya Yumna yang sudah mulai mengomel.
"Iya maaf, mana aku liat di sana ada Pak rek—“
"Ya makannya liat-liat dulu dong, otaknya Pak Devan terus ya!" dumel Alya.
"Fani," rengek Disya mencoba meminta pembelaan, karena kedua sahabatnya sudah mulai memarahinya.
"Udah-udah, mending pulang deh ayo!" ajak Fani.
~✧✧✧~
"Siapa?" tanya Husein.
"Siapa apanya Pah?" tanya Devan balik bertanya kepada lelaki paruh baya yang sedang duduk di kursi kebesarannya. Matanya masih fokus menatap selembaran kertas yang berisi tulisan-tulisan bertinta hitam itu, walaupun sedang mengobrol dengan putra sulungnya.
"Perempuan tadi," ujar Husein.
Devan menatap Papahnya lalu dia mengangguk mengerti siapa yang di maksud olehnya. "Perempuan aneh," jawab Devan mengangkat bahunya acuh.
Husein mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas di depannya, lalu menatap Devan penuh selidik. "Dia bisa tahu nama kamu lho," tutur Husein.
"Dia perempuan yang di panggil mommy sama Kai, Pah."
"Oh, yang waktu itu Mamah ceritain? Kirain Papah, kamu main gitu sama dia."
"Hah? Main apa?"
"Gak banyak para pengusaha, pejabat yang punya simpenan perempuan-perempuan di belakang istrinya."
"Aku gak punya istri."
"Jadi dia—"
"Aku gak main-main sama perempuan, kalaupun iya aku main-main sama perempuan, tidak akan mungkin aku mau sama dia!"
Husein terkekeh mendengar penuturan anak pertamanya. "Kenapa gak mau? Dia cantik menurut Papah," ujar Husein.
"Cantik sih lumayan, gak jelek-jelek banget."
"Trus masalahnya?"
"Kecil!"
~✧✧✧~
'Pak Devan mungkin kenalan rektor atau dekan di kampus.' 'Ah... tapi bisa jadi Pak Devan dosen baru yang bakalan ngajar di kampus.' Disya sedang duduk di depan meja belajarnya sambil menopang dagu, tangan satunya memainkan bolpoint berwarna biru muda. Dirinya terus memikirkan kenapa Devan bisa ada di kampusnya tadi. Seketika bibirnya ditarik menampilkan sebuah senyuman. "Atau Pak Devan sengaja cari tahu tentang aku, makannya dia ke kampus buat nemuin aku?" ucap Disya bermonolog—untuk pemikirannya kali ini. Disya benar-benar sangat percaya diri sekali, sih. Mana mungkin Devan ke kampus hanya untuk mencari tahu tentang dirinya ataupun menemuinya? "Ah... Pak Devan so sweet banget!" Disya menangkup kedua pipinya yang memerah, dia benar-benar seperti orang tidak waras berbicara sendiri, dan senyum-senyum sendiri karena pemikirannya yang berlebihan itu! "Disya!" "Eh!" Disya terperanjat kaget, kala seseorang sudah menepuk pundaknya. "Bunda." "Bunda sudah panggil kamu dari tadi lho
"Permisi!" teriak Disya melewati beberapa orang yang sedang berjalan di lorong koridor, tak sedikit orang-orang yang Disya tabrak karena ia berlari. "Maaf!" Walaupun tidak sopan meminta maaf dengan berteriak seperti itu, setidaknya Disya meminta maaf kepada orang-orang yang ditabraknya bukan? Disya sejenak berhenti berlari, mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Hanya beberapa detik kakinya kembali berlari. "Mas Fino?" tanya Disya kepada seorang laki-laki yang dari tadi sibuk berjalan mondar-mandir gelisah di depan sebuah ruangan. "Iya." "Ini!" Disya menyerahkan skripsi kepada laki-laki di depannya. "Ibu saya kemana?" tanyanya. "Sudah aku suruh pulang tadi," jawab Disya. Laki-laki di depan Disya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Disya. Saat Disya sampai di gerbang kampus, ia bertemu dengan seorang wanita yang katanya sedang mengantar skripsi anaknya. Hari ini anaknya akan sidang namun Ibu itu tidak tahu fakultas MIPA ada di mana. Maka dari itu Disya men
Kaki Disya bergerak mondar-mandir di depan ruangan dosennya. Ini sudah jam empat sore namun dosennya tidak kunjung datang. "Aish! Katanya jam satu, ini sudah jam empat kenapa calon suami aku belum datang juga sih?" dumel Disya. "Kamu lagi apa ya?!" tanya seorang dosen wanita menghampiri Disya. "Emm... ini Bu, saya mau ketemu sama Pak Devan." Dosen wanita di hadapan Disya itu menatap Disya dengan tatapan seolah-olah tidak suka dengan Disya. "Oh!" Dosen itu sudah akan melenggang pergi, tetapi Disya buru-buru menghentikannya. "Bu Selly, boleh minta tolong hubungin Pak Devan. Handphone saya ketinggalan di rumah," ucap Disya menatap salah satu dosen itu dengan tatapan memelas. Ini terkesan tidak sopan sih, tapi mau bagaimana lagi? Karena keteledoran dirinya sendiri hingga ia lupa membawa handphonenya. "Ya nanti saya hubungi Pak Devan!" ucapnya ketus lalu melenggang pergi meninggalkan Disya. "Terimakasih ya Bu." Disya mendengus kesal karena dosen wanita itu mengabaikan ucapan Disya.
Ada rasa bersalah saat Devan melihat Disya sekilas tadi. Wajahnya yang selalu ceria berubah drastis kala Devan mengatakan hal itu kepadanya. Devan tidak bermaksud membuatnya menangis dan sakit hati. Hanya saja Devan benar-benar malas menanggapi tingkahnya. Kalo bukan untuk uang lalu apa? Mana ada gadis yang masih berumur sekitar dua puluhan menyukai laki-laki seperti Devan yang umurnya saja sudah menginjak kepala tiga, sudah mempunyai anak satu pula. Di jaman sekarang tidak sedikit perempuan yang masih muda menjadi simpanan para pejabat, pengusaha dan laki-laki mapan yang bisa memberikannya uang hanya untuk sekedar foya-foya. Tidak peduli dia sudah tua, sudah mempunyai istri bahkan anak. Semua itu tidak masalah yang terpenting uang selalu mengalir ke rekeningnya, dibelikan mobil mewah, liburan ke luar negeri, diberikan hadiah-hadiah mahal, dibelikan apartemen, bahkan mungkin ada yang langsung dibelikan rumah. Devan memijat pelipisnya, baru saja dia sampai di rumah dan selesai membe
“Astaga, siapa tuh?” pekik Gio saat memasuki kelas, ia melihat Disya sedang duduk manis di salah satu kursi. Beberapa orang yang akan memasuki ruangan juga menatap Disya dengan tatapan heran, bahkan mereka dengan kompak menghentikan langkahnya di depan pintu. Disya yang ditatap hanya menampilkan wajah polosnya balas menatap mereka. “Ini pasti penunggu ruangan ini yang lagi menjelma jadi Disya ya ‘kan?" Alif berjalan menghampiri meja yang sedag ditempati Disya dengan wajah penuh curiga. Alif memberanikan diri untuk mencubit lengan Disya hingga suara jeritan terdengar dari mulut Disya. Mata perempuan itu melotot menatap Alif horor. “Sorry Sya, gue kira lo hantu hahaha ….” Alif mengakhiri ucapannya dengan tertawa kencang diikuti oleh semua orang yang ada di ruanga ini, mereka kembali melangkah untuk menduduki kursinya masing-masing. “Suatu hal yang sangat menakjubkan seorang Disya datang ke kampus ngga telat,” ucap Yumna. “Biasanya juga ngga telat,’’ protes Disya. “Hey bercanda nih
Perlahan tangan Devan membuka kenop pintu kamar Kai. Saat pintu sudah terbuka dia langsung mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar, ada banyak sekali mainan Kai yang berserakan di lantai. Bola matanya kini menatap kearah kasur, terlihat Kai sedang tidur sambil memeluk perempuan yang ada di sampingnya. Devan melangkah masuk, saat sudah ada ditepi kasur dia mencondongkan tubuhnya untuk mencium kening putranya cukup lama, setelahnya menatap perempuan yang ada di samping Kai, lalu menghela napasnya jengah. “Masih belum kapok juga?” Devan berbicara sangat lirih. Devan terus memperhatikan wajah Disya yang masih tenang terlelap tidur. Cukup lama dia memperhatikan wajah Disya akhirnya dia kembali menegakkan tubuhnya, mengambil buku dongeng yang ada di tangan Disya, dan menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. Setelah menyimpan buku dongeng di rak buku, Devan mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur. Setelahnya dia berjalan untuk keluar kamar. “Pak Devan.” Baru saja Dev
Devan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, juga handuk putih yang melilit pinggangnya. Kakinya berjalan masuk kedalam walk-in closet untuk memakai pakaiannya. Tadi saat Devan baru masuk kedalam rumah dia menayakan keberadaan Kai kepada ART-nya. Siti memberi tahu jika Kai sudah tidur. Memberi tahu jika siang tadi Maya membawa Disya ke rumah, mereka bermain dengan Kai, membuat makanan kesukaan Kai. Hingga akhirnya Maya harus pulang karena katanya ada urusan, dan Maya meminta Disya untuk tetap menemani Kai hingga Devan datang. “Baru begitu saja sudah gemeteran, gimana kalo saya benar-benar melakukannya,” ucap Devan bermonolog sambil menyisir rambutnya, dia kembali teringat dengan wajah pucat dan ketakutan Disya, tadi. Devan hanya bermain-main tadi, dia hanya ingin memberi pelajaran kepada Disya. Mendengar Disya yang terus mengoceh membuat telinganya sakit. Devan kira kejadian kemarin membuat Disya membencinya, membuat Disya marah, dan membuat Disya akan berhenti menyukainya, t
“Daddy!” Kai menaiki tubuh Devan yang masih bergelung dengan selimutnya. Ia mencubit-cubit pipi Devan gemas dengan tujuan agar Devan bangun. Namun, Devan hanya melengguh tanpa membuka matanya. “Wake up Dad!” Devan menyentuh jari jemari Kai yang sedang mencubit pipinya lalu dia membawa Kai kedalam pelukannya. “Daddy masih ngantuk Kai,” lirih Devan. “Mommy kemana, tadi malam kan aku tidur sama mommy?” Devan langsung membuka matanya, pagi-pagi Kai sudah membahas Disya. “Pulang ke rumahnya.” “Hari ini kita ke rumah mommy ayo, aku pengen main lagi sama mommy, Dad.” “Tidak! Daddy sudah bilang kalo dia bukan mommy Kai!” Devan menatap wajah Kai, nadanya agak meninggi. Kai mengerucutkan bibirnya, dia melepaskan pelukan Devan dan langsung menuruni kasur, berjalan keluar dari kamar. Devan menghela napasnya pelan, dia tidak bermaksud berbicara dengan nada tinggi kepada anaknya. Hanya saja dia sangat malas jika harus membicarakan Disya. Kai juga tidak pernah mengerti jika Disya bukan mommyn