Mengingat perkataan barusan, Membuat gue ketawa sendiri sambil geleng-geleng kepala. "Ih, gue centil banget. Geli, asli." Gue bangun lagi, ngambil tas yang udah selesai gue packing, terus naruhnya di atas meja.
Selesai beres-beres, gue liat treadmill yang ada di sudut kamar. Hmm, mumpung masih ada waktu, olahraga dulu kali ya. Setidaknya, biar badan gue nggak lemes-lemes amat kalau harus duduk lama di kampus nanti. Gue nyalain treadmill, atur kecepatan santai, terus mulai jalan cepat sambil nyalain musik dari speaker. Lagu upbeat ngiringin langkah gue, bikin semangat pagi ini lumayan kebangun. Dari bawah, samar-samar gue denger suara panci dan wajan di dapur. Bibik kayaknya lagi sibuk masak buat sarapan gue. "Mantep nih, pagi-pagi ada menu spesial lagi kayaknya," gumam gue sambil senyum kecil. Setelah beberapa menit treadmill, gue matiin mesinnya, terus ambil handuk kecil buat ngelap keringat. "Oke, sekarang mandi biar fresh." Gue jalan ke kamar mandi, sambil di kepala masih ada sedikit bayangan tetangga baru yang ganteng itu. Tapi yaudah, fokus dulu. Hari ini masih panjang. Setelah selesai mandi, gue berdiri di depan cermin, ngeringin rambut sambil ngerapihin penampilan. Gue putusin buat makeup tipis aja—bukan buat siapa-siapa, cuma biar muka keliatan lebih fresh aja. Sedikit BB cream, alis rapi, blush on samar, sama lip tint udah cukup kok. Selesai, gue ambil tas terus jalan turun ke bawah buat sarapan. Aroma masakan Bibik udah kecium dari tangga, bikin perut gue makin keroncongan. Sampai di dapur, gue liat Bibik lagi sibuk di sana, nyiapin meja makan. "Udah selesai, Mbak? Ini sarapan udah siap lho, makan dulu sebelum berangkat," katanya sambil senyum. "Iya, Bik. Apa aja nih menunya?" Gue duduk di kursi, ngelirik ke meja makan. Ada nasi goreng spesial lengkap sama telur mata sapi. "Special request seperti biasa, ya kan?" Gue nyengir sambil mulai ambil piring. "Iya deh, Mbak. Ini semuanya juga spesial, pokoknya biar Mbak tambah semangat kuliahnya," jawab Bibik sambil duduk di kursi sebelah, kayaknya dia mau istirahat sebentar. Kita makan sambil ngobrol santai. Bibik tiba-tiba buka obrolan, "Oh iya, Mbak. Saya liat tadi ada yang pindahan di rumah depan. Tetangga baru ya? Mbak kenal nggak siapa mereka?" Gue ngunyah pelan sambil mikir, terus geleng. "Nggak tahu, Bik. Nggak sempet nanya juga sih. Kayaknya mereka baru pindahan banget. Orangnya siapa ya, kira-kira?" Bibik ikut mikir sebentar, terus angkat bahu. "Ya, nggak tahu juga. Tapi barangnya banyak banget. Rumahnya kan besar, jadi mungkin keluarga besar juga." "Iya, mungkin." Tapi entah kenapa, pas Bibik ngomongin soal tetangga baru itu, jantung gue tiba-tiba berdebar. Rasanya aneh banget, kayak ada butterfly di perut. Gue minum air putih, berusaha nenangin diri. Dalam hati, gue mikir. Kenapa sih gue deg-degan gini? Perasaan nggak ada yang spesial juga. Tapi… kenapa gue jadi penasaran banget ya sama cowok itu? Gue makan pelan-pelan, berusaha kelihatan biasa aja di depan Bibik. Tapi pikiran gue terus aja ke arah tetangga baru itu. Apa yang bikin dia terasa… beda? "Gimana, Mbak? Nanti kalau ada waktu mungkin kenalan aja kali ya, biar nggak penasaran," usul Bibik sambil senyum tipis. Gue ikut senyum kecil, tapi cuma balas, "Iya, liat aja nanti deh, Bik." Padahal, di dalam hati, rasa penasaran gue makin besar. *Siapa sih dia? Kenapa rasanya kayak ada magnet gitu? Aduh, Rania, fokus. Jangan halu dulu deh.* Setelah selesai sarapan, gue liat jam di pergelangan tangan. Hah, setengah sepuluh? Astaga, udah mau telat nih kalau nggak cepet-cepet. Gue buru-buru naik ke atas buat ngambil tas dan semua perlengkapan yang udah gue siapin tadi. Pas turun lagi, Bibik lagi ngepel di dekat pintu depan. "Bik, aku pergi dulu ya." kata gue sambil pasang sepatu di depan pintu. "Iya, Mbak. Hati-hati ya di jalan," jawab Bibik sambil berdiri sebentar, ngeliatin gue yang udah siap. Gue keluar rumah, dan mata gue langsung tertuju ke arah depan. Mobil box besar itu ternyata sisa satu, tapi masih ada orang yang sibuk bongkar-bongkar barang. Mata gue otomatis mencari sosok itu—cowok yang tadi pagi bikin gue deg-degan. Dan benar aja, dia ada di sana. Masih pakai kaos putih simple, keliatan banget bahunya lebar, dan dia lagi ngangkat kardus besar ke dalam rumah. Tiba-tiba, dia nengok ke arah gue. Astaga, pandangan kita beradu. Sekejap gue lupa cara napas. Cowok itu ngeliat gue sekilas, tapi senyumnya tipis. Entah kenapa, senyuman itu bikin jantung gue berdebar lagi. Panik, gue buru-buru nunduk, ngerasa kayak anak SMA yang ketauan naksir cowok populer di sekolah. Gue mempercepat langkah, langsung menuju ke mobil. "Fokus, Ran! Fokus!" Gue ngomel sendiri sambil masuk ke mobil Mercedes Benz punya Ayah. Hari ini gue mutusin naik mobil itu aja biar cepet sampai kampus. Begitu duduk di kursi pengemudi, gue nyalain mesin sambil ngambil napas panjang. "Aduh, kenapa sih gue jadi kayak gini? Baru ketemu bentar aja, kenapa reaksinya heboh banget?" Sambil ngebenerin posisi duduk dan pasang seatbelt, gue liat lagi ke kaca spion. Cowok itu udah nggak kelihatan, mungkin lagi masuk ke rumah bawa barang. Gue buang napas lega, tapi di dalam hati, ada sesuatu yang nggak hilang. "Oke, fokus ke kampus dulu. Jangan halu. Jangan halu!" Gue nginjek pedal gas, mobil perlahan keluar dari garasi. Tapi bayangan cowok itu masih aja mampir di kepala gue sepanjang jalan.Mas Arsen berdehem pelan, menarik perhatian gue yang masih pura-pura sibuk minum. Gue menoleh, menunggu dia bicara, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. "Lalu," katanya pelan, nadanya terdengar seolah dia lagi mikirin sesuatu. "Kalau dalam waktu dekat ada yang melamar kamu, gimana?" Gue hampir keselek minuman gue sendiri. "Ha?" Gue menatap dia dengan mata membesar. "Maksudnya, Mas?" Dia tetap tenang, pandangannya lurus ke depan, seolah pertanyaan itu bukan hal besar. "Ya, misalnya aja ada seseorang yang serius ingin melamar kamu. Apa kamu siap?" Jantung gue berdebar kencang. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba, terlalu langsung, dan—tunggu, kenapa gue merasa ini bukan sekadar iseng? Gue tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Duh, Mas, pertanyaannya berat banget pagi-pagi gini." Arsen masih diam, tapi gue bisa merasakan kalau dia menunggu jawaban gue. Gue menarik napas dalam-dalam, mencoba menjawab dengan santai. "Kayaknya... aku belum kepikiran sejauh itu, si
Setelah pulang dari acara makan malam yang cukup panjang, gue ngerasa capek banget. Ayah dan Bunda udah langsung masuk ke kamar mereka, ngelanjutin istirahat setelah seharian penuh aktivitas. Gue pun masuk ke kamar, melemparkan tas di meja dan rebahan di tempat tidur, berharap bisa tidur cepat.Tapi, saat gue membuka handphone, tiba-tiba ada notifikasi chat dari Mas Arsen yang bikin gue berhenti sejenak. Gue langsung membuka pesan itu, membaca dengan cermat.Mas Arsen_Gimana makan malamnya? Seru nggak?_Gue terdiam beberapa detik, mikir dulu sebelum ngetik balasan. Makan malam tadi penuh dengan obrolan yang bikin gue penasaran, terutama setelah ketemu Mbak Savia. Tapi gue gak mau terlalu cerita banyak, takut dia malah makin bingung atau ngira gue terlalu over sharing.Akhirnya, gue ngetik singkat, berharap tetap terdengar santai. Me _Seru Mas, jarang-jarang ada family time kayak tadi. Mas gimana hari ini?_Setelah menekan tombol kirim, gue beranjak menuju kamar mandi, mau bersih-be
Begitu sampai di restoran, gue langsung keluar duluan, sementara Ayah dan Bunda menyusul dari belakang. "Ayo, malah berdiri di situ," kata Bunda, sedikit gak sabaran. Gue menghela napas, kenapa malah deg-degan sih? Padahal dulu waktu Mbak Risya ngenalin suaminya, gue gak gini-gini amat. Gue akhirnya ngekor aja di belakang Ayah dan Bunda yang jalan duluan. Dari kejauhan, gue melihat Mbak Risya melambai ke arah kami. Ya ampun, kangen banget!"Mbak!" seru gue, langsung mempercepat langkah. Begitu sampai di meja, gue langsung meluk Mbak Risya erat. "Mbak, udah lama banget gak ketemu! Kangen!" Dia ketawa kecil sambil membalas pelukan gue. "Mbak juga kangen banget sama kamu." Gue melepas pelukan dan langsung nanya, "Eh, Dara mana? Kok gak keliatan?" Dara, anak Mbak Risya yang masih satu tahunan itu, biasanya selalu ada di sekitar. "Oh, biasa, lagi di toilet sama Papanya," jawabnya santai. Sementara itu, Ayah dan Bunda bersalaman dengan Mbak Risya. Gue duduk di sampingnya dan
Suara pintu utama terbuka terdengar dari lantai atas. Gue langsung bangkit dari kasur dan turun ke bawah. Begitu sampai di ruang tamu, Ayah masih pakai jas dokternya, wajahnya keliatan capek tapi tetap tersenyum. "Ayah!" Gue langsung berlari ke arahnya, mencium tangannya, lalu beralih ke Bunda, mencium tangannya juga. "Adek!" Ayah menyambut gue dengan pelukan hangat. "Siap-siap ya, biar nanti gak buru-buru. Ayah harus balik ke rumah sakit lagi, ada jadwal operasi." Gue langsung cemberut. "Ih, Ayah sibuk banget! Padahal acara kayak gini jarang juga. Aku kan masih kangen!" Bunda ikut menimpali sambil melipat tangan di dada. "Tuh, dengerin, Pak Dokter. Kerja mulu, anak istri di rumah jadi nomer sekian." Ayah terkekeh kecil, melepas jasnya dan menggantungnya di sandaran kursi. "Bukan gitu, Sayang. Pasien gak bisa nunggu. Nanti Ayah buru-buru pulang kalau operasi selesai, ya?" Gue masih manyun, tapi tahu juga gak bisa ngapa-ngapain. "Pokoknya janji ya, Ayah gak boleh lama!" A
Gue berdeham pelan, nunggu siapa yang barusan ngomong sama Pradita. Suaranya berat, tapi kayaknya bukan suara yang familiar. Mas Arsen? Enggak, bukan. Apa suaranya berubah? Sosoknya akhirnya keluar dari dalam rumah. Cowok tinggi, keliatan masih muda, ekspresinya santai. "Siapa, Kak? Temen kamu?" tanyanya, nada suaranya ramah tapi matanya penuh selidik. Oh God. Bukan. Gue hampir aja refleks mundur karena kaget. Jantung gue langsung naik drastis. Pradita cuma mengangguk santai ke arah gue, "Tetangga sebelah." Lelaki itu—oke, gue baru ngeh sekarang—ternyata lumayan ganteng juga. Hehehe. Gue ngasihin wadah makanan ke tangan Pradita, terus menjulurkan tangan buat menjabat lelaki di dekatnya. "Saya Rania, tetangganya Pradita," gue ngenalin diri sambil tersenyum. "Saya Dewo, Omnya Pradita," katanya, suaranya lebih ramah dari ekspresi keponakannya yang tetap datar. Dia melirik wadah makanan yang gue bawa. "Ini, bua
"Gimana, barang buktinya sudah diterima semua?" tanya Arsen, langkahnya mantap menuju kubikel Anton, rekannya yang bertugas di bagian Penyidik Kriminal. Anton mengangguk, menyodorkan setumpuk laporan yang tertata rapi. "Sudah, Pak. Hari ini kita juga punya jadwal interogasi untuk tersangka bandar yang kemarin ditangkap," lapornya dengan nada serius. "Bagus," Arsen mengambil salah satu lembar laporan, matanya tajam menelusuri setiap detail yang tercetak di sana. Setiap nama, setiap keterkaitan dalam jaringan itu—semuanya berpotensi mengarah ke sesuatu yang lebih besar. Ia mengetukkan jarinya perlahan di atas meja, berpikir dalam diam. "Pastikan kita nggak kecolongan. Gue mau semua titik yang mereka sebutin diawasi penuh," perintahnya akhirnya, suaranya tenang, tapi tegas. Anton mengangguk mantap. “Siap, Pak. Tim sudah disebar di beberapa lokasi yang dicurigai sebagai tempat transaksi. Kita tinggal tunggu perkembangan dari lapangan.” Arsen meletakkan laporan itu, menatap Anton