Nero memandang selembar kertas yang diserahkan sekretarisnya dengan mata terbelalak. "Apa ini Nisa?" Dia bertanya kebingungan.
"Surat pengunduran diri saya, Pak."
Nisa menatap wajah lelaki tampan di hadapannya. Wajah yang selalu membuat hatinya merindu setiap saat. Wajah yang telah mengalihkan dunianya selama beberapa tahun terakhir ini."Kenapa? Apa gaji di kantor ini kurang buat kamu?" tanya Nero penasaran. Untuk beberapa karyawan yang mengundurkan diri karena alasan tertentu, dia akan langsung menyetujui. Namun, jika tanpa alasan yang jelas, dia pasti akan mempertanyakan.
"Gaji cukup. Mungkin memang sudah waktunya. Saya juga sudah lama di sini, hampir enam tahun," jelasnya.
Padahal dalam hatinya sedang bergejolak, berusaha menahan mati-matian air mata yang hendak jatuh. Dia harus kuat. Inilah keputusan terbaik yang sudah diambil.
Nero menganggukkan kepala berkali-kali, berusaha menerima ini. "Tapi harusny
Suara riuh dan teriakan menggema di rumah Bramantyo hari ini. Mereka mengadakan acara untuk menyambut usia tujuh bulan dari kehamilan yang dikandung putrinya."Gimana udah pantes belum?" tanya seorang wanita paruh baya yang mengenakan kebaya lengkap. Dia bertugas memandu acara."Belum ..." jawab ibu-ibu serentak. Kemudian kainnya diganti lagi."Sudah pantes?" Dia bertanya ulang."Belum...." Kata itu diucapkan berulang-ulang sampai kain yang ketujuh.Nero memandang istrinya yang terlihat senang. Dia tidak terlalu mengerti mengenai prosesi adat begini. Selama ini, hari-harinya hanya disibukkan dengan pekerjaan. Sempat dia merasa kasihan melihat Tania yang sedari tadi diguyur air saat siraman. Wanita itu terlihat mengigil menahan dingin, tapi dia menyelesaikan acaranya sampai akhir.Semua ini tidak akan berjalan lancar jika Ovi tidak ikut turun tangan. Mereka sepakat mengadakannya, selain untuk doa dan keselamatan
Suasana di ruangan itu diliputi ketegangan. Beberapa orang perawat, bidan dan seorang dokter kandungan sedang berdiri mengelilingi seorang wanita yang sedang berjuang di atas tempat tidur pasien."Tarik napas ya, Bu. Hembuskan pelan-pelan. Ya begitu terus." Suara seorang bidan memandu. Sementara sang dokter dengan sigap menunggu bayi akan muncul sebentar lagi.Tania terengah-engah. Kali ini bukan karena cumbuan Nero, tapi ada kepala bayi yang sudah mulai tampak dibawahnya untuk kemudian akan dikeluarkan seutuhnya."Ya, bagus! Sedikit lagi."Kali ini sang dokter yang berbicara. Sejak tadi jantungnya berdegup kencang. Pasiennya yang satu ini masih muda sekali, juga memiliki perawakan yang mungil, sehingga dia merasa sedikit khawatir, apakah bisa bersalin dengan cara normal atau harus melakukan operasi.Nero menggenggam erat tangan istrinya. Tidak tega rasanya melihat Tania menahan sakit. Wanita itu sendiri masih belum mau meny
"Rea, mas datang." Bram bersimpuh di batu nisan di sebuah area pemakaman. Matanya menatap sendu nama yang tertera di situ. Andrea Maharani.Tiga belas tahun sudah berlalu semenjak kepergian istrinya. Meninggalkan dirinya yang harus menduda di usia muda, juga seorang anak perempuan cantik yang waktu itu berusia lima tahun. Usia yang masih sangat membutuhkan kasih sayang ibunya.Bram memutar kembali memori bersama Andea. Ada banyak kenangan indah baginya, walaupun dia tahu, mungkin wanita itu tidak merasakan hal yang sama.Mereka dijodohkan. Bram yang waktu itu masih kuliah, diminta ayahnya untuk menikah. Dia yang masih sibuk belajar merasa terkejut atas permintaan orang-tuanya. Padahal saat itu dia tidak memiliki pacar sama sekali.Bram anak baik-baik. Walaupun statusnya anak seorang pengusaha kaya, dia tidak suka berprilaku yang aneh seperti teman seusianya. Lelaki itu sangat menjaga diri, sadar bahwa anak pertama yang akan menjadi penerus keluarga. Dia j
"Andrea itu pacar pertama. Bukan cinta pertama, tapi yang paling berkesan." Nero menatap wajah istrinya, kemudian melanjutkan cerita."Aku ketemu dia di kampus waktu orientasi mahasiswa baru. Gadis pemalu tapi pintar."Tania mendengarkan setiap ucapan suaminya dengan seksama tanpa menyela sedikitpun."Dia kesulitan ngerjain beberapa tugas, terus aku bantu. Aku kan dapat nilai tinggi di hampir semua mata kuliah. Mungkin itu sebabnya dia sering tanya." Lelaki itu menarik napas panjang. Sebenarnya dia tidak ingin mengingat lagi masa lalunya. Hanya istrinya berhak tahu agar tidak terjadi salah paham di antara mereka."Anak pengusaha kaya. Rekanan kakekmu. Aku ini yatim piatu. Bapak dulu penjahit. Ibu jualan sayur di pasar.""Setiap subuh sebelum berangkat ke kampus aku bantuin ibu jualan di pasar. Kadang nguli angkat-angkat barang kalau diminta. Uangnya aku tabung buat biaya kuliah," lanjutnya."Waktu itu kami habis makan
"Zal, Zal. Itu Tania lewat." Seseorang menyenggol bahunya.Rizal segera menoleh. Pujaan hatinya tampak cantik dengan rambut terurai. Biasanya diikat dengan bermacam-macam model. Hari ini berbeda, tapi dia tetap suka."Samperin, gih." Kata sesorang yang lainnya."Malu aku." Wajahnya memerah. Cukuplah melihat sang pujaan hati dari kejauhan, karena mendekatinya tak cukup berani.Gadis cantik itu selalu diantar jemput bodyguard-nya ke mana-mana. Katanya sih lelaki itu omnya, tapi Rizal sangsi. Menurut info dari Clara, adik papanya Tania cuma ada satu, perempuan dan tinggal di luar negeri."Kapan dapetnya kalau kamu malu terus. Kamu itu ganteng, pinter, ketua OSIS. Masa ngedeketin cewek keder," ucap yang lain."Liat tu, pengawalnya udah datang." Rizal menunjuk.Sebuah mobil Honda HRV meluncur ke depan gerbang sekolah. Tania hendak berjalan menuju kea rah jemputannya. Omnya sudah dating. Hari ini sepulang sekolah mereka mau jalan-jala
Rumah sakit begitu ramai hari ini, sehingga membuat para petugas medis sedikit kewalahan. Namun, mereka berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien.Tania sejak pagi sudah berada di IGD untuk menangani berbagai macam kondisi gawat darurat. Wanita itu juga sudah meminta izin untuk pulang malam kepada Nero karena pasien yang membludak."Hai!"Rizal menyapa Tania dengan ramah. Sebenarnya lelaki itu mempunyai jadwal di poli bedah, tetapi dia menyempatkan diri untuk menemui sang pujaan hati di IGD."Pasien kamu udah nungguin dari tadi, Zal. Jangan gak professional gitu," sindir Tania di sela-sela kesibukannya menulis rekam medis pasien. "Masa kangen aja gak boleh?" balas Rizal cuek, mengabaikan tatapan para perawat yang menahan tawa melihat kelakuannya."Kasihan mereka nungguin. Apa kamu tega?" sindir wanita itu lagi.Rizal menyerah dan akhirnya berpamitan dengan Tania menuju ke ruangannya. Benar saja, begitu dia tiba di poli bedah, antrean pasien begitu Panjang. Rata-rata mer
Rizal membuang pandangan saat Tiara menarik celananya hingga ke lutut. Tampaklah bekas luka jahitan memanjang di sebelah kaki kirinya. Sementara kaki kanannya begitu mulus dan bersih. Wajah Rizal sedikit merona karena menahan malu. Biasanya pasien yang ditemui setiap hari adalah para lansia atau anak-anak. Ada juga wanita muda tetapi tak semenarik Tiara. "Dulu waktu operasi sama Dokter Fauzan, ya?" tanya lelaki itu."Benar, Dokter. Cuma katanya jadwal Dokter Fauzan besok. Jadi saya periksa sama siapa aja boleh asal sakitnya hilang," jelas Tiara. "Apa masih nyeri?""Kalau malam nyeri, Dokter. Mungkin cuaca dingin. Ini juga saya sudah masuk kerja."Tiara tersenyum senang. Entah kenapa dia ingin menggoda Rizal. Biasanya juga dia kalem, tidak ganjen pada laki-laki. Walau dia hanya karyawati biasa, banyak yang menyukainya. Mereka juga berwajah tampan. Beberapa berstatus single. Ada juga yang sudah menduda. Juga suami orang yang suka menggoda. Untungnya Tiara kuat iman dan tidak mau ter
Rizal memarkir mobilnya di belakang bangunan rumah sakit. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung."Pagi, Dokter."Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Rizal melintas. Dia hanya mengangguk dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum."Hai, Dokter Rizal."Senyum Rizal memang langka dan mahal, kecuali untuk Tania. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda Sebagian pulau di Indonesia. Sebenarnya Rizal tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.Seperti biasa, Rizal ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggoda. Semua orang sudah tahu sikapnya dan merasa segan. Apalagi ketika dia begitu cekatan men