Keheningan yang mengikuti intrusi Jenderal Kael lebih menakutkan daripada teriakan perang mana pun. Di dalam gua es, tim yang tersisa duduk membeku, bukan karena hawa dingin, tetapi karena rasa ngeri dari pelanggaran privasi yang baru saja mereka alami. Taman suci di dalam jiwa Luca dan Aeri telah dinodai oleh kehadiran asing yang dingin dan analitis.
“Dia… dia ada di dalam kepala kita,” bisik Fyren, suaranya gemetar. Untuk pertama kalinya, topeng sinisnya hancur total, memperlihatkan ketakutan yang murni.
Luca dan Aeri saling pandang, rasa terganggu dan terekspos terpancar jelas di mata mereka. Mereka kini sadar bahwa setiap upaya untuk menyembuhkan diri, setiap rencana yang mereka diskusikan dalam keheningan pikiran mereka, setiap emosi yang mereka bagikan melalui Ikatan Vital mereka, kini bisa "terdengar" oleh musuh. Mereka tidak lagi memi
Fajar yang baru akhirnya tiba di dalam gua es, bukan dari cahaya matahari, tetapi dari mata yang perlahan terbuka satu per satu. Proses pemulihan yang lambat dan menyakitkan, yang dipandu oleh kecerdasan Rhyza, ketekunan Fyren, dan harmoni sunyi dari Luca dan Aeri, akhirnya membuahkan hasil.Veyran adalah yang pertama kali bisa duduk tegak tanpa bantuan, pikirannya yang tajam kembali berfungsi meskipun tubuhnya masih terasa berat. Lalu Trint, yang lukanya telah pulih secara ajaib berkat kekuatan barunya. Dan akhirnya, Fyren, yang sistemnya telah distabilkan oleh Rhyza, meskipun masih ada percikan listrik kecil sesekali di sambungan armornya.Terjadi sebuah reuni yang sunyi dan emosional. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, hanya anggukan kepala yang penuh pengertian dan tatapan mata yang menunjukkan rasa terima kasih yang mendalam. Mereka telah melewati neraka bersama, dan kini mereka kembali sebagai satu kesatuan.“Sudah waktunya,” kata Luca, suaranya yang kini tenang memecah kehenin
Di dalam Benteng Jiwa yang rapuh, sebuah paradoks yang mematikan telah tercipta. Di satu sisi, di dalam taman cahaya mental mereka, Luca dan Aeri perlahan-lahan menenun kembali jiwa mereka yang retak. Setiap bunga cahaya baru yang mekar, setiap riak tenang di danau cermin mereka, adalah sebuah langkah menuju pemulihan.Namun, di dunia nyata, setiap langkah itu adalah sebuah pukulan bagi para penjaga mereka.Veyran terbatuk hebat, darah segar menodai lantai es. Gelembung realitas di sekitar gua bergetar hebat, nyaris pecah. Di seberang ruangan, Nyxel mengerang kesakitan, memegangi kepalanya saat lagu statisnya dihantam oleh gelombang harmoni yang tiba-tiba dari dalam.“Berhenti! Kalian harus berhenti!” teriak Rhyza melalui tautan mental, suaranya dipenuhi kepanikan. “Kemajuan kalian… menyakiti mereka!”Di dalam taman cahaya, Luca dan Aeri tersentak, terpaksa menghentikan proses penyembuhan mereka. Mereka kembali ke dunia nyata, dihadapkan pada wajah Veyran dan Nyxel yang pucat dan mend
Di dalam keamanan Benteng Jiwa yang rapuh, waktu seolah berjalan dengan ritme yang berbeda. Di luar, dunia nyata membeku, ancaman dari Jenderal Kael tertahan oleh perisai psikis yang tak terlihat. Namun di dalam, sebuah perjalanan lain yang tak kalah penting sedang berlangsung.Di Dalam Taman CahayaLuca dan Aeri kembali berdiri di tengah reruntuhan taman es mereka. Ini bukan lagi tempat kedamaian Aeri, bukan pula cerminan dari badai Luca. Ini adalah ruang bersama mereka, sebuah kanvas kosong yang menunggu untuk dilukis ulang.“Kita mulai dari mana?” bisik Luca, menatap kehancuran di sekelilingnya.Aeri tidak menjawab dengan kata-kata. Ia melangkah ke tanah yang retak, memejamkan mata. Ia tidak lagi mencoba mengingat masa lalunya yang hilang; sebaliknya, ia fokus pada masa kini. Pada perasaan hangat dari teman-temannya yang berjuang di luar, pada tekad di dalam diri Luca. Dari telapak tangannya, sebuah cahaya keemasan yang lembut mulai mengalir.Di tempat cahaya itu menyentuh tanah, b
Keheningan yang mengikuti intrusi Jenderal Kael lebih menakutkan daripada teriakan perang mana pun. Di dalam gua es, tim yang tersisa duduk membeku, bukan karena hawa dingin, tetapi karena rasa ngeri dari pelanggaran privasi yang baru saja mereka alami. Taman suci di dalam jiwa Luca dan Aeri telah dinodai oleh kehadiran asing yang dingin dan analitis.“Dia… dia ada di dalam kepala kita,” bisik Fyren, suaranya gemetar. Untuk pertama kalinya, topeng sinisnya hancur total, memperlihatkan ketakutan yang murni.Luca dan Aeri saling pandang, rasa terganggu dan terekspos terpancar jelas di mata mereka. Mereka kini sadar bahwa setiap upaya untuk menyembuhkan diri, setiap rencana yang mereka diskusikan dalam keheningan pikiran mereka, setiap emosi yang mereka bagikan melalui Ikatan Vital mereka, kini bisa "terdengar" oleh musuh. Mereka tidak lagi memi
Di dalam keheningan gua es, sebuah sumpah baru telah dibuat, tetapi sumpah itu terasa hampa di hadapan kenyataan yang dingin. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan—Ritual Gema Harmoni—tetapi dua komponen terpentingnya, Luca dan Aeri, rusak dan tidak bisa digunakan.“Kita harus fokus menstabilkan Luca terlebih dahulu,” kata Rhyza, suaranya yang logis mencoba memetakan jalan keluar dari keputusasaan. “Badai di dalam dirinya adalah ancaman yang paling langsung. Jika kita bisa menenangkannya, kita bisa mulai merencanakan langkah selanjutnya.”“Tidak,” sebuah suara tenang memotongnya. Itu adalah Luca. Ia duduk di samping ranjang Aeri, matanya tidak pernah lepas dari wajah pucat gadis itu. “Kau salah, Rhyza. Aeri adalah jangkarku. Badai ini tidak akan pernah tenang tanpanya.”
Di dalam taman es yang sunyi, di bawah tatapan bintang-bintang yang membeku, waktu seolah berhenti. Tangan Luca yang terulur tetap menggantung di udara, sebuah undangan yang rapuh di antara dua dunia. Aeri menatap tangan itu, lalu pada pantulan wajahnya yang damai di danau cermin. Di sini, ia memiliki segalanya yang telah hilang: kedamaian, ingatan, sebuah surga yang sunyi. Di sana, di dunia nyata, hanya ada penderitaan, pertarungan, dan sebuah kekosongan yang menakutkan di dalam dirinya.Tetapi di sana juga ada Luca.Ia melihat permohonan di mata Luca, sebuah kerapuhan yang jarang sekali pemuda itu tunjukkan. Ia merasakan kebenaran dalam kata-katanya—bahwa ia adalah jangkarnya, bahwa ia tidak bisa menghadapi badai itu sendirian. Dan di dalam hatinya yang damai, Aeri menyadari sebuah kebenaran yang pahit. Surga ini, kedamaian ini, tidaklah nyata jika ia h