Langit biru tua dan separuh ungu muda membentang luas di atas samudera, memancarkan aura murung. Suara ombak berdebur, keras bagai ledakan besar. Petir menyambar-nyambar, menampilkan atraksi pedang cahaya yang menyeramkan. Annastasia berada di bawah nyala kilat-kilat itu, mencoba berenang melawan arus.
"Pergi, Ann! Pergi!" Suara itu memekik di hamparan air tak bertepi. Suara entah dari siapa, dengan maksud yang juga entah apa. Annastasia terus berenang berkejar-kejaran, seakan menghindari sesuatu di belakang yang ingin menangkapnya.
"Pergi, Ann! Pergi dari sini!"
Ann terus berkecipak dengan air. Rasanya ia telah berenang bermil-mil jauhnya melintasi samudera bolak-balik. Ann terengah-engah sendiri.
"Ann, pergi! Sembunyilah, Ann! Sembunyi!"
Kini Ann berusaha menggerakkan kakinya, tetapi nihil. Tiba-tiba kedua kakinya terasa begitu berat, bahkan nyaris ingin lepas dari persendiannya. Tangannya juga tiba-tiba menjadi begitu pegal, seakan ia tengah menenteng beban berton-ton.
"Ann! Annastasia!"
Pekikan suara itu terus menggaung memenuhi udara di sekitar samudera, memantul sendirian bagai gema. Sedetik kemudian, Ann menjadi koma. Ia berada di ambang batas kesadaran. Imajinasinya menjadi liar. Segalanya terasa begitu nyata. Namun, otaknya tak sanggup memberikan perintah kepada syarafnya untuk menggerakan tubuh.
Arrghh! Annastasia memberontak dalam hati. Ia ingin berteriak tetapi sulit, entah mengapa, seperti ada sesuatu yang menahannya, menindihnya.
Hah... Hah... Annastasia terengah-engah. Kemudian, Hiks... Hiks... Gadis itu menangis. Ia merasa ajalnya telah tiba. Tampak sekilas berkelebatan kilasan kehidupannya; Waktu Ann baru lahir, ketika ia masih kecil, bermain di halaman rumah, menikah, tersenyum dan merana. Bagai roll film, cuplikan-cuplikan itu membanjiri penglihatannya dengan kenangan dan memori baik dan buruk.
"Ann, nanti kalau sudah sudah besar mau jadi apa?" Suara bunda mendadak sayup-sayup terdengar di telinga Annastasia, seketika membawa pikiran Ann kembali berlabuh ke dalam memori-memori yang indah. Wajah Ann kecil dengan pipi cabinya membayang lagi.
"Ann mau jadi penulis, bunda," suara Annastasia kecil bergaung. "Ann mau menginspirasi banyak orang dan memberikan sebuah Maha Karya."
Hiks... Hiks... Annastasia menangis, betapa sederhananya keinginannya itu. Ia telah lahir ke dunia dan tak banyak yang bisa ia tuntut atas kehidupannya. Ann pasrah. Ia tak bisa bergerak. Di tengah lautan, sebuah ombak setinggi monumen menjulang di atasnya. Bagai langit runtuh, ombak itu menghantam tubuh kecil Annastasia dan-
"Ann!"
Bentakan dari Isaac membangunkan Annastasia dari tidurnya, dari mimpi buruk dan sleep paralyse-nya. Annastasia langsung bangkit dan duduk. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, terengah-engah mengatur napasnya sendiri. Tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Ia melihat sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada lautan. Tidak juga ombak besar ataupun langit biru tua dan ungu muda. Semuanya tampak normal; ruang tamu bersofa empuk dengan lantai marmer yang sudah sebulan ini dipijaknya.
"Kenapa tidur di sofa?" tanya Isaac, ketus. Lirikan matanya tendesif, seolah tidurnya Ann begitu mengganggunya.
Hah... Hah... Ann masih terengah-engah, merasakan sensasi mimpi yang terbawa ke alam nyata. Ketika ia digempur ombak lalu tenggelam dan ketika tubuhnya tak bisa digerakkan. Ah, bahkan Ann masih bisa merasakan air laut yang asin di lidahnya, juga tusukan air di hidungnya yang membuatnya kepusingan, merasa sinus.
"Ann nungguin Abang," jawab Ann setelah susah payah ia mengendalikan dirinya. Kini pikiran dan otaknya telah menyatu ke alam nyata. Ia mengelap keringatnya di dahi.
"Kenapa nungguin gue?" tanya Isaac. Lelaki itu tak sedikitpun merasa tersanjung diberi perhatian oleh istrinya begitu.
"Seorang istri harus menunggu suaminya pulang kan?" tanya Ann balik, dengan nada suara yang sedikit filosofis.
"Yah, sambil menunggu, lo nyalain TV. Terus lo ketiduran dengan ngebiarin TV menyala. Pemborosan." Isaac memencet tombol merah di remote lalu layar TV yang tadinya menayangkan acara berita pun langsung mati, menjadi gelap. Sesaat, suasana dicekam hening. Tak ada lagi suara sayup-sayup presenter TV yang sejak berjam-jam lalu menjadi suara terkencang di ruangan.
"Akhirnya Abang pulang," Ann masih berusaha bersikap manis kepada sang suami, yang kemudian ditanggapi lelaki itu sebagai suatu kelancangan.
"Ini rumah gue. Terserah gue mau pulang apa enggak."
Ann merasa tertohok.
"Dan jangan suka melakukan pemborosan. Gue yang kerja. Gue yang bayar listrik dan semua keperluan disini."
Seolah-olah Annastasia hidup menumpang, perkataan Isaac itu langsung membuat Ann merasa down. Sesalah itukah diriku? Ann bertanya-tanya di dalam hati. Tapi demi menghindari keributan yang lebih luas, Ann pun memilih memendam pertanyaannya itu.
Isaac naik ke lantai atas, menuju kamarnya.
"Abang, Abang udah makan?" Annastasia melangkah mengekor di belakang Isaac.
"Hmmm..." jawab Isaac, lebih seperti gumaman. Lelaki itu tak sedikitpun berniat untuk menoleh ke belakang, ke arah istrinya yang susah payah mengejar langkahnya.
"Ann masakin makanan ya buat Abang?" Annastasia masih menawar. "Abang sukanya makan apa?"
"Gak perlu," jawab Isaac sambil merogoh kunci di sakunya. Isaac berhenti di depan pintu kamarnya. Ia memutar kunci.
"Tapi masa Abang gak laper, bang?" Annastasia merasa sangsi. "Ann juga belum makan. Ayo kita makan bersama," lanjutnya dengan senyum yang tulus bercampur lugu.
Isaac menarik napas. Sedetik kemudian, ia memutar badannya menghadap Ann. Sorot matanya tajam, seakan penuh amarah. Sampai di tahap ini, Ann refleks melangkah mundur. Mendadak, ia menjadi takut oleh suaminya sendiri yang tak pernah menutup-nutupi kebenciannya padanya.
"Maafin Ann, bang," kata Ann, pelan dan sedikit parau. Mendengarnya, Isaac refleks mengangkat alisnya, merasa heran dengan sikap sang istri yang lemah ini.
"Kenapa lo belum makan?" tanya Isaac, akhirnya. Itu adalah kalimat pertama yang diucapkannya tanpa nada tendesif sejak ia pulang ke rumah tadi.
"Ann nungguin Abang," jawab Annastasia, lembut.
"Terus kalau misalnya gue gak makan, lo gak makan??" Nada suara Isaac meninggi lagi.
"Maaf, Ann mengganggu Abang," suara Annastasia semakin lemah, seiring dengan semakin rendahnya kepercayaan diri perempuan itu.
Isaac menarik napas. "Walaupun kita sudah menikah, kita akan terus hidup masing-masing. Lo ingat perjanjiannya?"
Ann mengangguk dengan penuh penyesalan.
"Maafin Ann, bang," kata Ann sambil terus menunduk.
"Ck!" Isaac mencebik. "Minta maaf terus lo."
"Maaf, Abang..."
"Maaf lagi."
Tak ada sahutan. Annastasia tak berani menjawab ucapan suaminya lagi. Isaac menghela napas berat lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa tak habis pikir dengan tingkah istrinya.
"Ya udah, sana lo masak atau beli makanan," ujar Isaac, lebih seperti memerintah. "Gua gak mau dibilang menyiksa orang atau dianggap menganiaya lo karena lo kelaparan," lanjutnya.
Ann mengangguk, meskipun ia merasa sebenarnya Isaac telah menyiksanya secara mental. Namun, lagi-lagi, karena Ann tidak suka menciptakan keributan atau membuat keributan menjadi makin parah, akhirnya ia hanya bisa memendam protesnya itu.
"Abang mau makan juga?" tanya Annastasia. Itu adalah keberaniannya yang terakhir untuk malam ini. Penawarannya yang terakhir ketika Isaac tak kunjung baik padanya.
"Ya udah, boleh," jawab Isaac, sedikit malu-malu.
Sepasang manik mata Ann langsung berbinar ketika mendengarnya, ia pun bertanya penuh antusias, "Makanan kesukaan Abang apa?"
"Terserah," kata Isaac, malas dan ketus. Ia berbalik badan lalu melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Annastasia melangkah maju, masih seantusias sebelumnya, "Makanannya mau dibawa ke kamar atau-"
"Terserah," potong Isaac, lalu menutup pintu.
Cklek! Pintu dikunci.
Ann mematung disitu, di depan pintu yang terkunci, sendirian. Hatinya berdesir perih.
Annastasia membuka matanya perlahan dan langsung disambut oleh pemandangan langit-langit berlampu redup yang menggantung rendah. Awalnya pemandangan itu tampak samar-samar, sebelum akhirnya menjadi jelas. Persis seperti orang yang baru tersadar dari pingsannya. Namun, Ann tidak pingsan. Ia hanya tertidur terlalu lelap. Ia merasa ia bermimpi dalam tidurnya, sepertinya ia berjalan-jalan ke masa lalunya dan mengenang kepahitan hidupnya. Tentang kecelakaan orang tuanya. Tentang pernikahannya. Tentang kebohongannya di Temple of The Prophet. Ia bahkan masih bisa mendengar sedikit bunyi gemerincing gelang kakinya di hari jadinya sebagai pengantin. Seperti sebuah suara yang mengalir di telinganya, menembus dimensi khayal. Namun, detik berikutnya ketika nyawanya benar-benar sudah pulih, semua kelebat bayangan itu lenyap. Semua bunyi menghilang dan hanya menyisakan hening. Tanpa bangkit dari tidurnya, Ann menoleh ke kanan dan melihat Isaac sedang sibuk mengetik-ngetik di balik meja ko
Mimpi itu berlangsung lama di kepala Ann. Mimpi yang kembali memutar memorinya terdahulu, dan saat ini, Ann seakan bisa mendengar bunyi gemerincing gelang kakinya memenuhi ruangan. Waktu itu adalah pertama kalinya Ann tiba di rumah ini, rumah Isaac yang besar dan luas. Langkah Ann terhenti di ruang ibadah. Ia terpukau dengan hiasan-hiasan dinding yang terukir."Abang punya ruang ibadah. Syukurlah," seru Ann. "Ternyata rumah Isaac tidak seburuk yang aku kira. Laki-laki itu pasti setidaknya cukup perhatian dengan agamanya," batinnya.Isaac tidak menjawab, ia malah pergi ke ruang tengah, tempat segalanya terlihat lebih modern. Ia duduk disana. Tanpa ekspresi. Matanya seakan menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan hal lain."Abang..." seru Ann. Gadis itu mencoba akrab dengan suaminya, yang kemudian dibalas oleh Isaac dengan muka masam.Ann menyerah. Satu penolakan ajakan bicara dari suaminya sudah cukup membuatnya berspekulasi bahwa Isaac bukanlah orang yang r
Akhir dari pertemuan antara Ann dan Isaac adalah... mereka semua menuju Temple of The Prophet untuk meminta kepada para Shalaim tanggal berapa dan hari apa pernikahan seharusnya dilaksanakan. Sementara Tuan dan Nyonya Mendeelev asyik berdiskusi dengan para Shalaim, Ann duduk di lantai di depan gapura Kuil. Ia khusyuk memandangi langit Amonmakh yang keemasan. "Lo bener-bener ngeliat?" tanya Isaac, yang tiba-tiba sudah ada disampingnya. Entah dari mana ia datang. Ann menoleh sebentar, tapi kemudian Isaac membuang muka, sehingga Ann kembali menatap kuil di depannya. "Gue gak denger jawaban lo," desak Isaac. "Enggak," jawab Ann. Lalu, ia diam. "Gue juga enggak ngeliat malaikat dari dalam diri lo," tegas Isaac. "Tapi gue bilang gue liat, karena...." kalimat Isaac tertahan sejenak. "Gue gak mau ngecewain orang tua gue aja." Hening. Dedaunan maple di teras berguguran terseret angin, menyusur masuk ke halaman kuil. Pepohon Mesquite ber
Di antara kelelahan dan tidurnya, di antara jeritan perang dan rudal-rudal yang menghancurkan satu kota, di antara pertengkaran suami istri dan nafsu birahi, Annastasia bermimpi. Dan mimpinya, membawanya ke masa lalu. Ke masa sebelum ia menikah dengan suaminya, Isaac. Berbagai kejadian terasa telah berlalu begitu jauh sekali, seakan semuanya terjadi dalam kehidupan yang sebelumnya, dan tiba-tiba saja kembali sambil membawa memori perasaan yang ganjil. *** Ada saat-saat dimana kamu kehilangan semua yang kamu punya. Ketika kamu gagal. Ketika orang-orang yang kamu cintai pergi meninggalkanmu, dan kamu merasa begitu sendirian. Kamu bahkan tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup. Kamu hilang arah. Hilang tujuan. Kamu seperti tersesat di sebuah labirin gelap. Kamu mencoba mencari-cari cahaya, tetapi kamu tidak menemukannya. Itulah yang dirasakan Annastasia ketika orang tuanya dinyatakan meninggal. Bahkan dalam mimpi, perasaan kehilangan orang tua sama saja bur
Lalu bersamaan dengan proses reproduksi yang terjadi antara suami istri, Isaac dan Ann, mimpi buruk peperangan kembali muncul menjadi background mengerikan dari kisah mereka. Dini hari, sekitar pukul tiga lewat tujuh, serangan udara meledak di wilayah terluar dari North Bank, tepatnya di Teluk Tengah. Kejadian ini tepat seminggu setelah Rotsfeller menyebarkan surat ancaman lewat udara yang menginstruksikan North Bank untuk menyerah, meletakkan senjata, angkat tangan dan mengibarkan bendera putih. Namun, Raja Armani tak pernah merespon ancaman tersebut dan Raja Nathaniel menganggap itu sebagai sebuah pertentangan. Maka. ia pun merasa bahwa North Bank halal diserbu. "Si Vis Pacem, Para Bellum," pesan The Holy Lord King Nathaniel dalam suatu pidatonya di hadapan seluruh pejabat dan bangsawan Meyhem. Artinya, "Jika Engkau menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang." Sebuah pernyataan yang cukup ironi mengingat ia sendiri yang mencetuskan pera
Ann terjatuh, tetapi ia berhasil bangkit berdiri. Dengan mata yang sama melototnya dengan Isaac, Ann mengacungkan jari tengah. "F*CK YOU!!!" Teriaknya dengan nada yang paling tinggi dan paling kasar yang pernah diteriakkan oleh seorang istri. "GUE JUGA BISA KEJAM SAMA LO, BRENGS*K!!!" Ann menjambak rambut Isaac. Keras. Kuat. Kencang. Seolah-olah seluruh kekesalannya tumpah di jambakan itu. "AARGGHH!!!" Isaac mengaduh. Ia memegangi kepalanya. Ia menginjak kaki Ann dengan kakinya sampai Ann kesakitan dan jambakannya lepas. Isaac mendorong Ann lagi. Ann terjatuh untuk ke sekian kalinya. "OKE, KALAU ITU MAU LO!!!" Seru Isaac. Ia merapihkan kerah bajunya lalu berkacak pinggang sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Matanya nyolot, menatap tajam. Setelah mengelap keringat dengan punggung tangannya, ia menunjuk Ann, "GUE PASTIIN KALI INI GUE GAK AKAN KALAH DARI LO!!!" Ann berdiri lagi lalu menampar Isaac. PLAAKK!!! Isa