Share

Bab 2 - Bukan Pernikahan Impian

Jika ditanya kapan pertama kalinya aku jatuh cinta kepadanya? Maka jawabannya sejak aku berusia tujuh tahun, ketika rambutku masih dikucir dua, saat itulah aku sudah menaruh hatiku kepadanya.

Orang bilang ketika kita jatuh cinta waktu muda namanya cinta monyet. Tapi kalau perasaanku sama sampai aku tumbuh dewasa, itu namanya apa? Tidak ada monyet-monyetnya sama sekali.

Sekilas, ingatanku seolah ditarik mundur ke belakang.

Aku masih ingat. Sore itu, Kak Ais dan Kak Aim menjemputku pulang sekolah. Waktu itu aku sedang bertengkar hebat dengan kakak kelas yang menjahiliku.

Satu lawan tiga. Kak Aim langsung memarahi mereka sampai mereka lari terbirit-birit.

Karena Kak Ais dan Kak Aim takut dimarahi Papa. Mereka mengajakku mampir sebentar ke taman dekat sekolahan untuk membenahi tampilanku yang acak-acakan. Rambutku yang semula terkucir dua kini miring sebelah seperti timbangan, seragamku kusut, dasiku sudah copot, untungnya waktu itu aku tidak terluka.

Kak Aim menguncir rambutku yang berantakan, sedangkan Kak Ais sendiri duduk di depanku sambil tersenyum ramah, sesekali dia juga mengusap pucuk kepalaku dengan lembut.

“Kamu kenapa tadi berantem sama anak-anak itu? Nanti kalau kamu dimarahin Bu Guru gimana?” tanya Kak Ais kepadaku.

“Habisnya mereka nakalin Celil duyuan! Masak Celil nggak salah apa-apa tiba-tiba tas Celil ditalik-talik!” ucapku menggebu-gebu.

“Nih, lihat. Sampai putus gara-gara meleka!” tambahku sambil memperlihatkan tali tasku yang putus karena ulah tiga Kakak kelas nakal itu.

Bibirku mewek, hendak menangis. Tetapi Kak Ais baik, dia menghiburku.

“Habisnya kamu kurus banget, sih. Makanya kamu makan yang banyak biar nggak kalah waktu ngelawan mereka,” godanya kepadaku.

“Enak aja! Kalau tadi Kak Ais dan Kak Aim nggak misahin Celil. Pasti Celil yang bakal menang tahu!” balasku tidak terima.

Kak Ais tertawa lepas mendengarnya. Itulah pertama kalinya aku melihat senyum terindah miliknya yang membuat hatiku menghangat.

“Lagi pula kata Papa Celil nggak boyeh makan banyak-banyak tauuuuu. Nanti gendut! Terus kata Papa kalau Celil gendut nanti waktu udah gede nggak ada yang mau nikah sama Celil.”

Kak Ais tertawa, lagi. Dia sampai mengusap sudut matanya yang berair.

“Celil tetep cantik, kok, meskipun gendut,” ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan gemas. “Kalau besok gede nggak ada yang nikahin Celil karena Celil gendut. Biar Kakak yang nikahin Celil imut ini.”

“Janji?! Nggak bohong, kan? Kata Mama bohong itu dosa, lho.”

“Iya. Kakak Janji.”

Kak Ais mencubit pipi tembamku dan kami tertawa bersama.

Mungkin saat itu Kak Ais sedang bercanda. Tapi aku mengingatnya sampai kami tumbuh dewasa.

***

Aku memegang dadaku yang terasa sesak. Lucunya sekarang aku malahan berdiri termangu mendapati suamiku memeluk wanita lain dengan begitu eratnya.

Dara… jangan nangis lagi. Aku nggak punya perasaan apa pun sama dia. Untuk saat ini aku nggak bisa ninggalin dia karena aku nggak mau buat orang tuaku kecewa. Dara… Aku janji sama kamu kalau nanti dia minta pisah. Maka di saat itulah aku bakalan nyeraiin dia.”

Bahkan lelaki itu—yang beberapa jam lalu sudah sah menjadi suamiku—sudah berpikir untuk menceraikanku?

Tanpa terasa bulir bening menetes di pipiku.

“Mas Ais!” ucapku tanpa terduga. Buru-buru aku menutup mulutku dan bersembunyi supaya tidak terlihat oleh mereka berdua.

Aku terkejut. Kenapa pula aku malahan memanggilnya?!

Takut mereka mengetahui keberadaanku. Buru-buru aku mundur dan pergi dari sini.

Setelah melangkah cukup jauh. Kakiku terasa lemas hingga aku harus berpegangan pada dinding ruangan. Kewarasanku masih mempertanyakan apakah ini semua nyata atau hanya halusinasiku saja.

“Kamu kenapa?” ucap seseorang membuatku terkejut.

“Kak Aim….”

Kak Aim adalah saudara kembar suamiku. Mereka kembar identik sehingga tadi kukira dia adalah suamiku.

“Abang mana? Tadi Umi nyuruh aku buat nyamperin kalian soalnya kalian nggak balik-balik dari tadi.”

Aku mengangguk pelan sebagai jawaban, kemudian menunduk, aku tidak ingin dia tahu kalau saat ini mataku berkaca-kaca.

“Sherl… kamu nangis?” tanyanya penuh selidik. Dia mengerti kalau ada yang tidak beres dengan diriku saat ini.

“Aku baik-baik aja, kok.”

Aku menepis tangannya yang terulur hendak menyentuh pundakku.

“Oh, oke,” ucapnya kikuk. “Aku coba cari Abang dulu kalau gitu.”

Dan hari ini hal yang paling berat kulakukan adalah di mana aku berusaha menarik seutas garis senyum ketika berhadapan dengan mertuaku, dengan Mama Papa, dan juga dengan semua tamu undangan lainnya padahal saat ini aku sedang hancur-hancurnya.

***

Malam semakin larut, beberapa tamu undangan sudah pulang. Keluarga besar kami memilih menginap di hotel bintang lima tempatku menyelenggarakan pesta pernikahan.

Dengan canggung Aku dan Mas Ais masuk ke kamar kami. Kukira setelah semuanya selesai Mas Ais akan memegang tanganku, berbicara dari hati ke hati menjelaskan semuanya kepadaku kalau tadi itu hanyalah kesalah pahamanku saja. Tetapi nyatanya Mas Ais hanya diam seribu bahasa. Padahal aku yakin sebenarnya dia tahu kalau tadi aku juga berada di sana dan menyaksikan itu semua dari kejauhan.

“Sheril….” panggil Mas Ais pelan.

Jantungku berdetak cepat. Apa Mas Ais hendak menjelaskan semuanya kepadaku?

“Y-ya? Apa?”

Tetapi aku keliru. Ternyata dia hanya mengatakan….

“Kamu aja yang mandi duluan. Terus habis itu gantian aku.”

Aku tersenyum getir dalam hati.

Benarkah pernikahan seperti ini yang aku harapkan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status