Jika ditanya kapan pertama kalinya aku jatuh cinta kepadanya? Maka jawabannya sejak aku berusia tujuh tahun, ketika rambutku masih dikucir dua, saat itulah aku sudah menaruh hatiku kepadanya.
Orang bilang ketika kita jatuh cinta waktu muda namanya cinta monyet. Tapi kalau perasaanku sama sampai aku tumbuh dewasa, itu namanya apa? Tidak ada monyet-monyetnya sama sekali.
Sekilas, ingatanku seolah ditarik mundur ke belakang.
Aku masih ingat. Sore itu, Kak Ais dan Kak Aim menjemputku pulang sekolah. Waktu itu aku sedang bertengkar hebat dengan kakak kelas yang menjahiliku.
Satu lawan tiga. Kak Aim langsung memarahi mereka sampai mereka lari terbirit-birit.
Karena Kak Ais dan Kak Aim takut dimarahi Papa. Mereka mengajakku mampir sebentar ke taman dekat sekolahan untuk membenahi tampilanku yang acak-acakan. Rambutku yang semula terkucir dua kini miring sebelah seperti timbangan, seragamku kusut, dasiku sudah copot, untungnya waktu itu aku tidak terluka.
Kak Aim menguncir rambutku yang berantakan, sedangkan Kak Ais sendiri duduk di depanku sambil tersenyum ramah, sesekali dia juga mengusap pucuk kepalaku dengan lembut.
“Kamu kenapa tadi berantem sama anak-anak itu? Nanti kalau kamu dimarahin Bu Guru gimana?” tanya Kak Ais kepadaku.
“Habisnya mereka nakalin Celil duyuan! Masak Celil nggak salah apa-apa tiba-tiba tas Celil ditalik-talik!” ucapku menggebu-gebu.
“Nih, lihat. Sampai putus gara-gara meleka!” tambahku sambil memperlihatkan tali tasku yang putus karena ulah tiga Kakak kelas nakal itu.
Bibirku mewek, hendak menangis. Tetapi Kak Ais baik, dia menghiburku.
“Habisnya kamu kurus banget, sih. Makanya kamu makan yang banyak biar nggak kalah waktu ngelawan mereka,” godanya kepadaku.
“Enak aja! Kalau tadi Kak Ais dan Kak Aim nggak misahin Celil. Pasti Celil yang bakal menang tahu!” balasku tidak terima.
Kak Ais tertawa lepas mendengarnya. Itulah pertama kalinya aku melihat senyum terindah miliknya yang membuat hatiku menghangat.
“Lagi pula kata Papa Celil nggak boyeh makan banyak-banyak tauuuuu. Nanti gendut! Terus kata Papa kalau Celil gendut nanti waktu udah gede nggak ada yang mau nikah sama Celil.”
Kak Ais tertawa, lagi. Dia sampai mengusap sudut matanya yang berair.
“Celil tetep cantik, kok, meskipun gendut,” ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan gemas. “Kalau besok gede nggak ada yang nikahin Celil karena Celil gendut. Biar Kakak yang nikahin Celil imut ini.”
“Janji?! Nggak bohong, kan? Kata Mama bohong itu dosa, lho.”
“Iya. Kakak Janji.”
Kak Ais mencubit pipi tembamku dan kami tertawa bersama.
Mungkin saat itu Kak Ais sedang bercanda. Tapi aku mengingatnya sampai kami tumbuh dewasa.
***
Aku memegang dadaku yang terasa sesak. Lucunya sekarang aku malahan berdiri termangu mendapati suamiku memeluk wanita lain dengan begitu eratnya.
“Dara… jangan nangis lagi. Aku nggak punya perasaan apa pun sama dia. Untuk saat ini aku nggak bisa ninggalin dia karena aku nggak mau buat orang tuaku kecewa. Dara… Aku janji sama kamu kalau nanti dia minta pisah. Maka di saat itulah aku bakalan nyeraiin dia.”
Bahkan lelaki itu—yang beberapa jam lalu sudah sah menjadi suamiku—sudah berpikir untuk menceraikanku?
Tanpa terasa bulir bening menetes di pipiku.
“Mas Ais!” ucapku tanpa terduga. Buru-buru aku menutup mulutku dan bersembunyi supaya tidak terlihat oleh mereka berdua.
Aku terkejut. Kenapa pula aku malahan memanggilnya?!
Takut mereka mengetahui keberadaanku. Buru-buru aku mundur dan pergi dari sini.
Setelah melangkah cukup jauh. Kakiku terasa lemas hingga aku harus berpegangan pada dinding ruangan. Kewarasanku masih mempertanyakan apakah ini semua nyata atau hanya halusinasiku saja.
“Kamu kenapa?” ucap seseorang membuatku terkejut.
“Kak Aim….”
Kak Aim adalah saudara kembar suamiku. Mereka kembar identik sehingga tadi kukira dia adalah suamiku.
“Abang mana? Tadi Umi nyuruh aku buat nyamperin kalian soalnya kalian nggak balik-balik dari tadi.”
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban, kemudian menunduk, aku tidak ingin dia tahu kalau saat ini mataku berkaca-kaca.
“Sherl… kamu nangis?” tanyanya penuh selidik. Dia mengerti kalau ada yang tidak beres dengan diriku saat ini.
“Aku baik-baik aja, kok.”
Aku menepis tangannya yang terulur hendak menyentuh pundakku.
“Oh, oke,” ucapnya kikuk. “Aku coba cari Abang dulu kalau gitu.”
Dan hari ini hal yang paling berat kulakukan adalah di mana aku berusaha menarik seutas garis senyum ketika berhadapan dengan mertuaku, dengan Mama Papa, dan juga dengan semua tamu undangan lainnya padahal saat ini aku sedang hancur-hancurnya.
***
Malam semakin larut, beberapa tamu undangan sudah pulang. Keluarga besar kami memilih menginap di hotel bintang lima tempatku menyelenggarakan pesta pernikahan.
Dengan canggung Aku dan Mas Ais masuk ke kamar kami. Kukira setelah semuanya selesai Mas Ais akan memegang tanganku, berbicara dari hati ke hati menjelaskan semuanya kepadaku kalau tadi itu hanyalah kesalah pahamanku saja. Tetapi nyatanya Mas Ais hanya diam seribu bahasa. Padahal aku yakin sebenarnya dia tahu kalau tadi aku juga berada di sana dan menyaksikan itu semua dari kejauhan.
“Sheril….” panggil Mas Ais pelan.
Jantungku berdetak cepat. Apa Mas Ais hendak menjelaskan semuanya kepadaku?
“Y-ya? Apa?”
Tetapi aku keliru. Ternyata dia hanya mengatakan….
“Kamu aja yang mandi duluan. Terus habis itu gantian aku.”
Aku tersenyum getir dalam hati.
Benarkah pernikahan seperti ini yang aku harapkan?
Sheril mengusap wajahnya yang basah di bawah guyuran air shower. Riasan serta air matanya luruh jatuh ke bawah, tetapi tidak dengan rasa sakit di hatinya. Dadanya terasa sesak setiap kali mengingat reka adegan di mana suaminya mengatakan kelak akan menceraikannya jika dia meminta untuk berpisah. Sheril bertanya-tanya dalam hati.... Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Tidak mungkin juga, kan, Sheril menceritakan ini semua kepada orang tuanya? Yang ada mereka akan khawatir kepadanya. Sheril mengembuskan napas berat, selesai mandi ia mengambil baju ganti yang sebelumnya diberikan oleh ibu mertuanya. Agak ragu bagi Sheril ketika hendak mengenakan baju tidur berwarna biru dengan potongan rendah tersebut. Sheril menelan ludah. Sangat rendah, sangat menerawang. Ini... terlalu seksi. “Dara... jangan nangis lagi. Aku cinta sama kamu, Dar. Aku janji kalau nanti dia minta
Ais melangkahkan kakinya keluar dari kamar tipe honeymoon suite tempatnya bermalam untuk mencari udara segar. Mungkin membeli kopi instant di minimarket dekat hotel ini adalah opsi yang terbaik. Lorong hotel yang dilaluinya tampak sepi. Pun sama, di dalam lift tempatnya berpijak juga hanya ada dirinya seorang. Lagi pula siapa juga yang kurang kerjaan keluyuran di malam hari kecuali dia yang sedang lari dari kenyataan bahwa sekarang ini dia sudah resmi menjadi seorang sumi. Yang berengsek. Ais menekan tombol ke lantai paling dasar, kemudian ia menyandarkan punggungnya pada dinding lift yang terasa dingin sampai meresap ke punggung. Ketika denting lift berbunyi, seketika indra pendengaran Ais disambut selamat datang oleh suara cekikikan yang terdengar sangat familier. Merasa penasaran, Ais mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari di mana sumber suara berasal. Di depan sana, Ais melihat kembarannya sedang duduk dengan kaki naik sebelah ala oran
Sejak kecil Sheril memang dimanja oleh kedua orang tuanya. Apa pun yang ia inginkan, pasti akan dituruti. Pun juga, mungkin salah satu alasan Sean menjodohkan putrinya dengan Ais karena sejak kecil Sheril sangat menyukai Ais. “Mommy Celil pengin cepedaaaa!” Suara cempreng anak berusia tujuh tahun menggema memenuhi ruangan. April memijit keningnya, pusing bukan main. Astaga, padahal rumah ini sangat besar tapi bisa-bisanya teriakan Sheril terdengar di mana-mana. “Mommy Pleasee, beyiin Celil cepeda,” mohonnya lagi untuk kesekian kalinya sambil menampilkan ekspresi sememelas mungkin. “Nggak Sheril. Kan, Mommy udah bilang kalau kamu mau sesuatu itu kamu harus nabung dulu buat ngedapetin apa yang kamu mau.” Sheril tidak mau mendengarkan penjelasan Mommy-nya. Pokoknya dia tidak akan berhenti menangis sampai keinginannya dituruti. “Lagian kamu kemarin udah beli barbie satu set, lho, ya. Inget nggak?” tambah April mengingatkan.
“Maksud Om apa?” tanya Sheril, bingung. Dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. “Om pengin ngejodohin kamu sama AIS.” Mendengar pernyataan tersebut seketika mata Ais membola. Ia terkejut bukan main. Saking terkejutnya sampai-sampai tanpa disadari Ais berdiri dari posisi duduknya. A-apa? Sheril hendak dinikahkan dengannya?! Jelas saja Ais marah. Kenapa orang tuanya tidak mendiskusikan hal ini dengan dirinya terlebih dahulu?! Padahal pernikahan bukan hal sesepele itu. Tadi Umi dan Abati juga mengatakan kalau tujuan mereka datang ke sini hanya untuk makan malam, bukan lamaran. “Kamu kenapa, Ais?” Anha mengerutkan kening. Anha cukup tertegun dengan reaksi putranya barusan. “Mungkin saking senangnya karena mau dinikahkan sama gadis secantik Sheril makanya Ais jadi kaget kayak gitu,” tambah Hamkan membuat semua orang yang berada di ruang makan tertawa. Namun hal tersebut tidak berlaku kepada Aim, Ais d
Ais menarik napas dalam-dalam. Tatapannya mengarah ke atas, menatap kosong langit-langit ruangannya yang berwarna putih bersih. Alasan dia akhirnya berubah pikiran dan mau menikah dengan Sheril adalah; Abati menjanjikan memberikan jabatannya kepadanya. Itu artinya dia memiliki uang untuk mensejahterakan kehidupan Dara. Alasan yang kedua, Umi sangat menyayangi Sheril. Anggap saja menikah dengan Sheril adalah salah satu bentuk baktinya kepada Umi. Lalu alasan ketiga, Ais tidak mau mengecewakan banyak hati. Biarlah dia berkorban asal keluarganya bahagia, asal Om Sean dan Tante April bahagia. Bahkan untuk saat ini Ais masih belum tahu apakah esok dia bisa jatuh cinta kepada Sheril seperti kata kebanyakan orang tentang cinta datang karena terbiasa. Ais merubah posisinya ke samping. Ia menyentuh rambut hitam Sheril yang sudah tertidur pulas. Merabanya secara perlahan. Merasakan gesekan satu per satu sulur rambutnya deng
Dara menatap kedua baju yang tergeletak di atas ranjangnya. Yang satu berwarna cokelat dan satunya lagi berwarna tosca. Ia bingung harus memilih yang mana karena semuanya terlihat sangat cantik. Ponsel Dara yang berada di saku bergetar, tanda satu pesan w******p masuk. Ais: Kamu suka bajunya? Dara mengukir senyuman. Kemarin Ais membawakannya banyak sekali baju kerja dan juga baju harian. Dara: Suka banget! Makasih, ya. Memangnya wanita mana yang tidak suka diberi hadiah seperti ini. Ais: Iya, sama-sama. Ini aku lagi urus surat pembelian apartement buat kamu biar bisa segera kamu tempati. Dara: Ya, ampun! Seharusnya kamu nggak usah repot-repot tau sampai kayak gitu. Ais: Nggak pa-pa. Emang dari dulu aku pengin beliin ini buat kamu. Tidak pernah Dara sebahagia ini sebelumnya. Tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan bagus, serta baju
Jari lentik Sheril menekan enam digit tombol kombinasi pada badan pintu. Sebenarnya sampai saat ini Sheril masih bingung kenapa pula pemilik tempat ini memberi tahu kode tempat tinggalnya kepada Sheril. Meskipun mereka sudah kenal cukup lama, tapi apa iya orang itu tidak takut kalau rumahnya Sheril bobol? Mengedikkan bahu, acuh tak acuk, Sheril pun memutar knop pintu ke bawah. Tapi ommong-omong orang itu ada di rumah tidak, ya? Dia memiliki jadwal kerja yang fleksibel jadi Sheril akan semakin marah jika orang itu tidak ada di dalam. “Mahen! Kamu di dalem, kan?!” teriak Sheril setelah pintu tersebut terbuka. Mahen adalah satu-satunya sahabat yang Sheril miliki. Ia kakak tingkat sewaktu Sheril masih kuliah. Pria yang dicari itu mendesah lelah. Pasti selalu ada keributan jika Sheril berkunjung ke tempatnya. “Dasar berengsek! Sahabatnya nikahan tapi bisa-bisanya kamu nggak dateng!” sembur Sheril memekakkan telinga. “Ya, kan, waktu
Ais membuka pintu kamar, ia kelepasan mendorongnya agak keras sampai menimbulkan dentuman membuat kedua orang yang berada di dalamnya terkejut. Mulut Sheril masih menganga, popcorn yang tadi hendak ia masukkan ke dalam mulutnya pun terjatuh ke bawah. Astaga! Kenapa pula suaminya tiba-tiba mendobrak pintu segala! Bikin kaget saja! “Ka-kalian lagi ngapain?” tanya Ais tergagap. “Lagi nonton.” “Kenapa? Mau nonton bareng?” tambah Mahen sambil menyodorkan cup berisi popcorn ke arah Ais. Ais masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia tidak tahu kenapa dia bisa bertindak seperti ini. Kakinya seolah tergerak sendiri menaiki anak tangga, lalu dia juga mendobrak pintu kamarnya. Bahkan Ais sampai sudah berpikiran yang tidak-tidak mengenai Sheril dan Mahen. Tetapi dibanding itu semua, keheranan Ais menggunung tatkala mengetahui ternyata di dalam kamar Sheril dan Mahen sedang menonton kartun dua ulat bodoh—yang satu berwarna