Sheril mengusap wajahnya yang basah di bawah guyuran air shower.
Riasan serta air matanya luruh jatuh ke bawah, tetapi tidak dengan rasa sakit di hatinya.
Dadanya terasa sesak setiap kali mengingat reka adegan di mana suaminya mengatakan kelak akan menceraikannya jika dia meminta untuk berpisah.
Sheril bertanya-tanya dalam hati....
Sekarang, apa yang harus ia lakukan?
Tidak mungkin juga, kan, Sheril menceritakan ini semua kepada orang tuanya? Yang ada mereka akan khawatir kepadanya.
Sheril mengembuskan napas berat, selesai mandi ia mengambil baju ganti yang sebelumnya diberikan oleh ibu mertuanya.
Agak ragu bagi Sheril ketika hendak mengenakan baju tidur berwarna biru dengan potongan rendah tersebut.
Sheril menelan ludah. Sangat rendah, sangat menerawang. Ini... terlalu seksi.
“Dara... jangan nangis lagi. Aku cinta sama kamu, Dar. Aku janji kalau nanti dia minta pisah. Aku bakalan nyeraiin dia dan kita bisa hidup bersama-sama.”
Lagi, perkataan itu terngiang kembali untuk kedua kali.
Sheril menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Rasanya ia ingin membuang saja baju tidur ini ke tempat sampah.
Tapi nyatanya ia tidak bisa.
Haruskah malam ini ia melayani suaminya?
Pasrah. Mau tidak mau akhirnya Sheril mengenakan baju tidur tersebut. Karena bagaimanapun juga inilah kewajibannya sebagai seorang istri.
Lebih baik saat ini ia berpura-pura tidak tahu saja apa yang sebenarnya telah terjadi meskipun Sheril yakin waktu itu Mas Ais tahu kalau dia memergokinya sedang berduaan dengan Dara.
Keluar dari kamar mandi Sheril memeluk erat handuk di depan tubuhnya untuk menyembunyikan lekuk tubuhnya karena ia malu. Baju ini terlalu tipis.
“Mas. Aku udah selesai man—” ucap Sheril terhenti ketika melihat ternyata suaminya sudah tertidur sambil menyangga kepalanya menggunakan tangan.
Sheril memang pernah mendengar obrolan orang dewasa yang mengatakan sebagian pengantin melakukan hubungan malam pertamanya justru di hari kedua karena mereka lelah setelah padatnya acara resepsi.
Tapi... kenapa jantung Sheril terasa berdenyut ngilu lagi?
Sheril merasa ditolak secara tidak langsung. Apakah sebegitunya Mas Ais tidak menginginkannya?
Bahkan Sheril berpikir apa mungkin Mas Ais menyuruhnya untuk mandi terlebih dahulu supaya dia bisa menghindari malam pertama mereka?
“Mas... kamu beneran udah tidur?” tanya Sheril memastikan. Namun tidak ada jawaban yang artinya suaminya sudah tertidur.
Tangan Sheril terulur hendak menyentuh lengan suaminya namun urung, ditariknya kembali tangan tersebut.
Lelah. Ya, sudahlah. Apa mau dikata. Tidak mungkin juga Sheril membangunkannya hanya demi menjalankan malam pertama mereka. Yang ada malahan Mas Ais akan mengira dirinya wanita macam apa.
Sheril membaringkan tubuhnya di sebelah Ais. Mereka tidur dengan saling memunggungi satu sama lain. Ini bukan seperti malam pertama, malahan seperti pasangan suami istri yang sedang bertengkar saja.
Malam ini Sheril mencoba tidur dengan perasaan yang berkecamuk.
***
Setelah diyakin Sheril sudah terlelap. Perlahan Ais membuka kelopak matanya. Ia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya ruangan yang masih terlihat buram.
Aim menengok ke belakang, memastikan Sheril sudah tertidur atau belum.
Perlahan Ais beringsut duduk sambil bersandar di sandaran tempat tidur. Ia menarik rambutnya ke belakang. Satu helaan napas keluar dari mulutnya.
Sebenarnya... apa yang saat ini sedang ia lakukan?
Sejujurnya... di dalam hati nuraninya, Ais merasa kasihan dengan Sheril yang tidak tahu apa-apa namun harus menerima semuanya.
Ais tahu tadi ketika ia berbicara dengan Dara, Sheril ada di situ.
Tubuh Ais terasa membeku ketika ia mendengar suara Sheril memanggil namanya.
Ketika Ais hendak mengejar, langkahnya terhenti karena Dara memeluknya erat-erat dari belakang. Dara mencegahnya untuk pergi.
“Jangan pergi,” mohon Dara sambil menangis terisak.
Ais berbalik badan, menatap manik Dara yang berkaca. Beberapa bulir bening di pelupuk matanya terjatuh, menetes ke bawah.
“Kamu cinta, kan, sama aku?” tanya Dara kepada Ais.
Ais mengangguk. Kemudian mengusap air mata Dara.
Ais juga mencintai Dara, sangat malahan. Tetapi kenapa ketika dia sudah bekerja keras agar secepat mungkin bisa menikahi Dara. Ketika dia ingin mengenalkan Dara kepada orang tuanya. Tiba-tiba Sheril datang, masuk ke dalam kehidupannya dan mengacaukan segalanya.
“Ais... kalau kamu cinta sama aku... kamu nggak boleh tidur sama dia,” ucap Dara sambil menggenggam erat baju yang Ais kenakan.
Terkejut. Mata Ais membola mendengar ucapan Dara barusan.
“Kenapa?”
Bukan Ais yang berkata barusan, melainkan Dara. Kenapa ketika Dara mengajukan persyaratan itu, Ais malah terlihat bimbang?
Bibir dara gemetar, “Apa jangan-jangan kamu juga menginginkan pernikahan in—”
“Aku janji aku nggak bakalan nyentuh dia,” potong Ais saksama.
Dara merasa lega mendengarnya. Karena setahunya, setelah lima tahun menjalin hubungan bersama, Dara tahu Ais adalah tipe lelaki yang selalu memegang teguh perkataannya.
“Kalau kamu ingkar janji. Aku bakalan marah.”
Mengangguk, Ais menggenggam erat tangan Dara yang terasa dingin.
“Nanti, kalau aku udah ada waktu, aku janji bakalan ke tempat kamu buat jelasin ini semua.”
Jadi, itulah alasan sebenarnya kenapa Ais pura-pura tertidur ketika tadi Sheril mandi duluan.
***
Ais berjalan pelan menuju balkon kamarnya. Ais tahu kalau dia telah keterlaluan membohongi Sheril. Tapi apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Tidak mungkin bisa diperbaiki lagi.
Jika dia menceraikan Sheril. Pasti Umi dan Abatinya akan kecewa. Bukan hanya itu saja, pasti Om Sean—alias Papanya Sheril—akan menghajarnya sampai mati kalau sampai Beliau tahu Ais membuat putri kesayangan menangis.
Langkah Ais sudah terlalu jauh. Sangat jauh. Sampai-sampai Ais tidak tahu bagaimana caranya untuk kembali.
Ais menggulir ponselnya yang menampilkan foto di mana Dara sedang mencium pipinya. Senyum Dara sangat manis. Ais tidak akan bosan berulang-ulang memandanginya. Seingat Ais, foto itu diambil setengah tahun yang lalu ketika mereka merayakan hari jadi mereka yang kelima.
Jari Ais berkutat menghubungi seseorang di seberang sana.
Nada sambung terdengar, selaras dengan detak jantungnya yang tak karuan.
“Halo....”
Suara yang terdengar familier menyambut indra pendengarannya. Sangat halus, namun sedikit serak, menandakan si penerima telepon mungkin sedang menangis.
“Halo. Kamu... baik-baik aja, kan?” tanya Ais dengan suara yang sengaja ia buat selirih mungkin, takut orang lain mendengarnya terutama istrinya.
“Menurut kamu?”
Diam sejenak, Ais pun menjawab, “Kamu masih nangis?”
“Hmm... pacarku selama lima tahun ini tiba-tiba nikah sama orang lain. Jadi apa aku salah kalau aku nangis karena hal itu?”
Ais membuka mulutnya hendak menjawab, namun urung, dikatupkannya kembali mulutnya rapat-rapat.
“Bukannya kamu lagi malam pertama sama istri baru kamu? Aku terkejut suami orang lain malahan nelepon aku malam-malam begini,” ucap Dara sarkastik.
Ais menengok ke belakang. Di sana, dalam keremangan cahaya ruangan, Ais memastikan apakah Sheril masih tidur terlelap.
“Kamu sendiri yang minta aku buat nggak nyentuh dia, kan?”
Dara meremas seprainya yang bermotif bunga sakura. Padahal Dara belum pernah bertemu dengan Sheril sebelumnya, tetapi sekarang Dara begitu membencinya.
Kenapa wanita itu tiba-tiba muncul di kehidupan mereka dan dengan teganya wanita itu juga memisahkannya dari Ais!
Padahal hanya Ais yang Dara miliki.
Dara benci, benar-benar benci!
Untung saja saat ini Ais masih cinta mati kepadanya, bagaimana kalau tidak?
“Besok aku bakal ke tempat kamu.”
“Hmm.” Dara bergumam menjawab perkataan.
“Ais....”
“Ya?”
“I love you...”
Suara Dara terdengar lirih ketika mengucapkan hal tersebut. Samar-samar kembali tenggelam dalam isakan.
Biasanya Ais dan Dara bertukar kata good night atau I love you ketika sedang berteleponan dengan Dara. Tapi kali ini Ais tidak berani menjawabnya. Dia takut Sheril terbangun atau kemungkinan buruknya lagi Sheril akan mendengarnya
“Kenapa kamu cuma diem aja?”
Ais menelan ludah. Dia tidak tega mendengar Dara menangis.
“I Love you too. Jangan lupa istirahat.”
Sudahlah, lagian Sheril juga sudah tidur.
Telepon mereka berakhir.
Suara dentuman pintu terdengar. Ais keluar sebentar untuk menenangkan pikiran.
Ketika lengang memenuhi ruangan, Sheril membuka matanya. Setetes bulir bening mengalir ke bawah. Ternyata sesakit ini, ya, berpura-pura buta dan tuli atas semuanya?
Tidak tahan lagi, Sheril meremas kain seprai kuat-kuat. Tangisnya pecah.
‘Haruskah dia bercerai saja?’
Ais melangkahkan kakinya keluar dari kamar tipe honeymoon suite tempatnya bermalam untuk mencari udara segar. Mungkin membeli kopi instant di minimarket dekat hotel ini adalah opsi yang terbaik. Lorong hotel yang dilaluinya tampak sepi. Pun sama, di dalam lift tempatnya berpijak juga hanya ada dirinya seorang. Lagi pula siapa juga yang kurang kerjaan keluyuran di malam hari kecuali dia yang sedang lari dari kenyataan bahwa sekarang ini dia sudah resmi menjadi seorang sumi. Yang berengsek. Ais menekan tombol ke lantai paling dasar, kemudian ia menyandarkan punggungnya pada dinding lift yang terasa dingin sampai meresap ke punggung. Ketika denting lift berbunyi, seketika indra pendengaran Ais disambut selamat datang oleh suara cekikikan yang terdengar sangat familier. Merasa penasaran, Ais mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari di mana sumber suara berasal. Di depan sana, Ais melihat kembarannya sedang duduk dengan kaki naik sebelah ala oran
Sejak kecil Sheril memang dimanja oleh kedua orang tuanya. Apa pun yang ia inginkan, pasti akan dituruti. Pun juga, mungkin salah satu alasan Sean menjodohkan putrinya dengan Ais karena sejak kecil Sheril sangat menyukai Ais. “Mommy Celil pengin cepedaaaa!” Suara cempreng anak berusia tujuh tahun menggema memenuhi ruangan. April memijit keningnya, pusing bukan main. Astaga, padahal rumah ini sangat besar tapi bisa-bisanya teriakan Sheril terdengar di mana-mana. “Mommy Pleasee, beyiin Celil cepeda,” mohonnya lagi untuk kesekian kalinya sambil menampilkan ekspresi sememelas mungkin. “Nggak Sheril. Kan, Mommy udah bilang kalau kamu mau sesuatu itu kamu harus nabung dulu buat ngedapetin apa yang kamu mau.” Sheril tidak mau mendengarkan penjelasan Mommy-nya. Pokoknya dia tidak akan berhenti menangis sampai keinginannya dituruti. “Lagian kamu kemarin udah beli barbie satu set, lho, ya. Inget nggak?” tambah April mengingatkan.
“Maksud Om apa?” tanya Sheril, bingung. Dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. “Om pengin ngejodohin kamu sama AIS.” Mendengar pernyataan tersebut seketika mata Ais membola. Ia terkejut bukan main. Saking terkejutnya sampai-sampai tanpa disadari Ais berdiri dari posisi duduknya. A-apa? Sheril hendak dinikahkan dengannya?! Jelas saja Ais marah. Kenapa orang tuanya tidak mendiskusikan hal ini dengan dirinya terlebih dahulu?! Padahal pernikahan bukan hal sesepele itu. Tadi Umi dan Abati juga mengatakan kalau tujuan mereka datang ke sini hanya untuk makan malam, bukan lamaran. “Kamu kenapa, Ais?” Anha mengerutkan kening. Anha cukup tertegun dengan reaksi putranya barusan. “Mungkin saking senangnya karena mau dinikahkan sama gadis secantik Sheril makanya Ais jadi kaget kayak gitu,” tambah Hamkan membuat semua orang yang berada di ruang makan tertawa. Namun hal tersebut tidak berlaku kepada Aim, Ais d
Ais menarik napas dalam-dalam. Tatapannya mengarah ke atas, menatap kosong langit-langit ruangannya yang berwarna putih bersih. Alasan dia akhirnya berubah pikiran dan mau menikah dengan Sheril adalah; Abati menjanjikan memberikan jabatannya kepadanya. Itu artinya dia memiliki uang untuk mensejahterakan kehidupan Dara. Alasan yang kedua, Umi sangat menyayangi Sheril. Anggap saja menikah dengan Sheril adalah salah satu bentuk baktinya kepada Umi. Lalu alasan ketiga, Ais tidak mau mengecewakan banyak hati. Biarlah dia berkorban asal keluarganya bahagia, asal Om Sean dan Tante April bahagia. Bahkan untuk saat ini Ais masih belum tahu apakah esok dia bisa jatuh cinta kepada Sheril seperti kata kebanyakan orang tentang cinta datang karena terbiasa. Ais merubah posisinya ke samping. Ia menyentuh rambut hitam Sheril yang sudah tertidur pulas. Merabanya secara perlahan. Merasakan gesekan satu per satu sulur rambutnya deng
Dara menatap kedua baju yang tergeletak di atas ranjangnya. Yang satu berwarna cokelat dan satunya lagi berwarna tosca. Ia bingung harus memilih yang mana karena semuanya terlihat sangat cantik. Ponsel Dara yang berada di saku bergetar, tanda satu pesan w******p masuk. Ais: Kamu suka bajunya? Dara mengukir senyuman. Kemarin Ais membawakannya banyak sekali baju kerja dan juga baju harian. Dara: Suka banget! Makasih, ya. Memangnya wanita mana yang tidak suka diberi hadiah seperti ini. Ais: Iya, sama-sama. Ini aku lagi urus surat pembelian apartement buat kamu biar bisa segera kamu tempati. Dara: Ya, ampun! Seharusnya kamu nggak usah repot-repot tau sampai kayak gitu. Ais: Nggak pa-pa. Emang dari dulu aku pengin beliin ini buat kamu. Tidak pernah Dara sebahagia ini sebelumnya. Tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan bagus, serta baju
Jari lentik Sheril menekan enam digit tombol kombinasi pada badan pintu. Sebenarnya sampai saat ini Sheril masih bingung kenapa pula pemilik tempat ini memberi tahu kode tempat tinggalnya kepada Sheril. Meskipun mereka sudah kenal cukup lama, tapi apa iya orang itu tidak takut kalau rumahnya Sheril bobol? Mengedikkan bahu, acuh tak acuk, Sheril pun memutar knop pintu ke bawah. Tapi ommong-omong orang itu ada di rumah tidak, ya? Dia memiliki jadwal kerja yang fleksibel jadi Sheril akan semakin marah jika orang itu tidak ada di dalam. “Mahen! Kamu di dalem, kan?!” teriak Sheril setelah pintu tersebut terbuka. Mahen adalah satu-satunya sahabat yang Sheril miliki. Ia kakak tingkat sewaktu Sheril masih kuliah. Pria yang dicari itu mendesah lelah. Pasti selalu ada keributan jika Sheril berkunjung ke tempatnya. “Dasar berengsek! Sahabatnya nikahan tapi bisa-bisanya kamu nggak dateng!” sembur Sheril memekakkan telinga. “Ya, kan, waktu
Ais membuka pintu kamar, ia kelepasan mendorongnya agak keras sampai menimbulkan dentuman membuat kedua orang yang berada di dalamnya terkejut. Mulut Sheril masih menganga, popcorn yang tadi hendak ia masukkan ke dalam mulutnya pun terjatuh ke bawah. Astaga! Kenapa pula suaminya tiba-tiba mendobrak pintu segala! Bikin kaget saja! “Ka-kalian lagi ngapain?” tanya Ais tergagap. “Lagi nonton.” “Kenapa? Mau nonton bareng?” tambah Mahen sambil menyodorkan cup berisi popcorn ke arah Ais. Ais masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia tidak tahu kenapa dia bisa bertindak seperti ini. Kakinya seolah tergerak sendiri menaiki anak tangga, lalu dia juga mendobrak pintu kamarnya. Bahkan Ais sampai sudah berpikiran yang tidak-tidak mengenai Sheril dan Mahen. Tetapi dibanding itu semua, keheranan Ais menggunung tatkala mengetahui ternyata di dalam kamar Sheril dan Mahen sedang menonton kartun dua ulat bodoh—yang satu berwarna
Meskipun kemarin merupaka hari yang buruk bagi Sheril. Tapi malam ini dia memimpikan sesuatu yang indah. Sesuatu yang semanis permen kapas sampai membuatnya tersenyum dengan mata terpejam. Di mimpinya itu, Sheril yang masih kecil memegangi sepedanya kuat-kuat, ia takut terjatuh. “Kak Ais jangan dilepasin, ya. Sheril belum siap,” pintanya dengan mimik wajah memelas. Ais mengangguk. Ternyata meskipun Sheril terlihat pemberani, sampai-sampai pernah bertengkar dengan Kakak kelasnya, tapi dia bisa merasa ketakutan juga. “Iya Kakak Pegangin. Jangan takut. Lagian, kan, pakai roda tambahan di belakang juga.” Meski begitu Sheril masih takut, roda tambahan yang dimaksud hanya dipasang sebelah kanan kanan saja, hal itu tentunya tidak menjamin Sheril dapat menaiki sepedanya dengan seimbang. “Alah tinggal diinjek aja pedalnya. Paling kalau jatuh cuma nyungsep ke got. Nggak bakal sampai mati, kok. Tenang aja,” celetuk Aim yang dari tadi menyaksikan