Share

Bab 3 – Malam Pertama

Sheril mengusap wajahnya yang basah di bawah guyuran air shower.

Riasan serta air matanya luruh jatuh ke bawah, tetapi tidak dengan rasa sakit di hatinya.

Dadanya terasa sesak setiap kali mengingat reka adegan di mana suaminya mengatakan kelak akan menceraikannya jika dia meminta untuk berpisah.

Sheril bertanya-tanya dalam hati....

Sekarang, apa yang harus ia lakukan?

Tidak mungkin juga, kan, Sheril menceritakan ini semua kepada orang tuanya? Yang ada mereka akan khawatir kepadanya.

Sheril mengembuskan napas berat, selesai mandi ia mengambil baju ganti yang sebelumnya diberikan oleh ibu mertuanya.

Agak ragu bagi Sheril ketika hendak mengenakan baju tidur berwarna biru dengan potongan rendah tersebut.

Sheril menelan ludah. Sangat rendah, sangat menerawang. Ini... terlalu seksi.

“Dara... jangan nangis lagi. Aku cinta sama kamu, Dar. Aku janji kalau nanti dia minta pisah. Aku bakalan nyeraiin dia dan kita bisa hidup bersama-sama.”

Lagi, perkataan itu terngiang kembali untuk kedua kali.

Sheril menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Rasanya ia ingin membuang saja baju tidur ini ke tempat sampah.

Tapi nyatanya ia tidak bisa.

Haruskah malam ini ia melayani suaminya?

Pasrah. Mau tidak mau akhirnya Sheril mengenakan baju tidur tersebut. Karena bagaimanapun juga inilah kewajibannya sebagai seorang istri.

Lebih baik saat ini ia berpura-pura tidak tahu saja apa yang sebenarnya telah terjadi meskipun Sheril yakin waktu itu Mas Ais tahu kalau dia memergokinya sedang berduaan dengan Dara.

Keluar dari kamar mandi Sheril memeluk erat handuk di depan tubuhnya untuk menyembunyikan lekuk tubuhnya karena ia malu. Baju ini terlalu tipis.

“Mas. Aku udah selesai man—” ucap Sheril terhenti ketika melihat ternyata suaminya sudah tertidur sambil menyangga kepalanya menggunakan tangan.

Sheril memang pernah mendengar obrolan orang dewasa yang mengatakan sebagian pengantin melakukan hubungan malam pertamanya justru di hari kedua karena mereka lelah setelah padatnya acara resepsi.

Tapi... kenapa jantung Sheril terasa berdenyut ngilu lagi?

Sheril merasa ditolak secara tidak langsung. Apakah sebegitunya Mas Ais tidak menginginkannya?

Bahkan Sheril berpikir apa mungkin Mas Ais menyuruhnya untuk mandi terlebih dahulu supaya dia bisa menghindari malam pertama mereka?

“Mas... kamu beneran udah tidur?” tanya Sheril memastikan. Namun tidak ada jawaban yang artinya suaminya sudah tertidur.

Tangan Sheril terulur hendak menyentuh lengan suaminya namun urung, ditariknya kembali tangan tersebut.

Lelah. Ya, sudahlah. Apa mau dikata. Tidak mungkin juga Sheril membangunkannya hanya demi menjalankan malam pertama mereka. Yang ada malahan Mas Ais akan mengira dirinya wanita macam apa.

Sheril membaringkan tubuhnya di sebelah Ais. Mereka tidur dengan saling memunggungi satu sama lain. Ini bukan seperti malam pertama, malahan seperti pasangan suami istri yang sedang bertengkar saja.

Malam ini Sheril mencoba tidur dengan perasaan yang berkecamuk.

***

Setelah diyakin Sheril sudah terlelap. Perlahan Ais membuka kelopak matanya. Ia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya ruangan yang masih terlihat buram.

Aim menengok ke belakang, memastikan Sheril sudah tertidur atau belum.

Perlahan Ais beringsut duduk sambil bersandar di sandaran tempat tidur. Ia menarik rambutnya ke belakang. Satu helaan napas keluar dari mulutnya.

Sebenarnya... apa yang saat ini sedang ia lakukan?

Sejujurnya... di dalam hati nuraninya, Ais merasa kasihan dengan Sheril yang tidak tahu apa-apa namun harus menerima semuanya.

Ais tahu tadi ketika ia berbicara dengan Dara, Sheril ada di situ.

Tubuh Ais terasa membeku ketika ia mendengar suara Sheril memanggil namanya.

Ketika Ais hendak mengejar, langkahnya terhenti karena Dara memeluknya erat-erat dari belakang. Dara mencegahnya untuk pergi.

“Jangan pergi,” mohon Dara sambil menangis terisak.

Ais berbalik badan, menatap manik Dara yang berkaca. Beberapa bulir bening di pelupuk matanya terjatuh, menetes ke bawah.

“Kamu cinta, kan, sama aku?” tanya Dara kepada Ais.

Ais mengangguk. Kemudian mengusap air mata Dara.

Ais juga mencintai Dara, sangat malahan. Tetapi kenapa ketika dia sudah bekerja keras agar secepat mungkin bisa menikahi Dara. Ketika dia ingin mengenalkan Dara kepada orang tuanya. Tiba-tiba Sheril datang, masuk ke dalam kehidupannya dan mengacaukan segalanya.

“Ais... kalau kamu cinta sama aku... kamu nggak boleh tidur sama dia,” ucap Dara sambil menggenggam erat baju yang Ais kenakan.

Terkejut. Mata Ais membola mendengar ucapan Dara barusan.

“Kenapa?”

Bukan Ais yang berkata barusan, melainkan Dara. Kenapa ketika Dara mengajukan persyaratan itu, Ais malah terlihat bimbang?

Bibir dara gemetar, “Apa jangan-jangan kamu juga menginginkan pernikahan in—”

“Aku janji aku nggak bakalan nyentuh dia,” potong Ais saksama.

Dara merasa lega mendengarnya. Karena setahunya, setelah lima tahun menjalin hubungan bersama, Dara tahu Ais adalah tipe lelaki yang selalu memegang teguh perkataannya.

“Kalau kamu ingkar janji. Aku bakalan marah.”

Mengangguk, Ais menggenggam erat tangan Dara yang terasa dingin.

“Nanti, kalau aku udah ada waktu, aku janji bakalan ke tempat kamu buat jelasin ini semua.”

Jadi, itulah alasan sebenarnya kenapa Ais pura-pura tertidur ketika tadi Sheril mandi duluan.

***

Ais berjalan pelan menuju balkon kamarnya. Ais tahu kalau dia telah keterlaluan membohongi Sheril. Tapi apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Tidak mungkin bisa diperbaiki lagi.

Jika dia menceraikan Sheril. Pasti Umi dan Abatinya akan kecewa. Bukan hanya itu saja, pasti Om Sean—alias Papanya Sheril—akan menghajarnya sampai mati kalau sampai Beliau tahu Ais membuat putri kesayangan menangis.

Langkah Ais sudah terlalu jauh. Sangat jauh. Sampai-sampai Ais tidak tahu bagaimana caranya untuk kembali.

Ais menggulir ponselnya yang menampilkan foto di mana Dara sedang mencium pipinya. Senyum Dara sangat manis. Ais tidak akan bosan berulang-ulang memandanginya. Seingat Ais, foto itu diambil setengah tahun yang lalu ketika mereka merayakan hari jadi mereka yang kelima.

Jari Ais berkutat menghubungi seseorang di seberang sana.

Nada sambung terdengar, selaras dengan detak jantungnya yang tak karuan.

“Halo....”

Suara yang terdengar familier menyambut indra pendengarannya. Sangat halus, namun sedikit serak, menandakan si penerima telepon mungkin sedang menangis.

“Halo. Kamu... baik-baik aja, kan?” tanya Ais dengan suara yang sengaja ia buat selirih mungkin, takut orang lain mendengarnya terutama istrinya.

“Menurut kamu?”

Diam sejenak, Ais pun menjawab, “Kamu masih nangis?”

“Hmm... pacarku selama lima tahun ini tiba-tiba nikah sama orang lain. Jadi apa aku salah kalau aku nangis karena hal itu?”

Ais membuka mulutnya hendak menjawab, namun urung, dikatupkannya kembali mulutnya rapat-rapat.

“Bukannya kamu lagi malam pertama sama istri baru kamu? Aku terkejut suami orang lain malahan nelepon aku malam-malam begini,” ucap Dara sarkastik.

Ais menengok ke belakang. Di sana, dalam keremangan cahaya ruangan, Ais memastikan apakah Sheril masih tidur terlelap.

“Kamu sendiri yang minta aku buat nggak nyentuh dia, kan?”

Dara meremas seprainya yang bermotif bunga sakura. Padahal Dara belum pernah bertemu dengan Sheril sebelumnya, tetapi sekarang Dara begitu membencinya.

Kenapa wanita itu tiba-tiba muncul di kehidupan mereka dan dengan teganya wanita itu juga memisahkannya dari Ais!

Padahal hanya Ais yang Dara miliki.

Dara benci, benar-benar benci!

Untung saja saat ini Ais masih cinta mati kepadanya, bagaimana kalau tidak?

“Besok aku bakal ke tempat kamu.”

“Hmm.” Dara bergumam menjawab perkataan.

“Ais....”

“Ya?”

“I love you...”

Suara Dara terdengar lirih ketika mengucapkan hal tersebut. Samar-samar kembali tenggelam dalam isakan.

Biasanya Ais dan Dara bertukar kata good night atau I love you ketika sedang berteleponan dengan Dara. Tapi kali ini Ais tidak berani menjawabnya. Dia takut Sheril terbangun atau kemungkinan buruknya lagi Sheril akan mendengarnya

“Kenapa kamu cuma diem aja?”

Ais menelan ludah. Dia tidak tega mendengar Dara menangis.

“I Love you too. Jangan lupa istirahat.”

Sudahlah, lagian Sheril juga sudah tidur.

Telepon mereka berakhir.

Suara dentuman pintu terdengar. Ais keluar sebentar untuk menenangkan pikiran.

Ketika lengang memenuhi ruangan, Sheril membuka matanya. Setetes bulir bening mengalir ke bawah. Ternyata sesakit ini, ya, berpura-pura buta dan tuli atas semuanya?

Tidak tahan lagi, Sheril meremas kain seprai kuat-kuat. Tangisnya pecah.

‘Haruskah dia bercerai saja?’

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nova Ugara
tenangkan diri mu sheril..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status