Dipaksa menikah dengan CEO tampan dan kaya raya? Tentu saja aku mau! Mana ada terpaksa-terpaksanya. Itu, mah, namanya terpaksa tapi nikmat! Hari ini... aku menikahi cinta pertamaku. Ketika pria itu mengucap ijab kabul, menyematkan cincin di jari manisku, dan mengecup keningku penuh kasih di hari pernikahan kami. Rasanya itu semua seperti mimpi. Aku senang karena akhirnya dia akan menjadi cinta terkahirku juga. Namun, aku terlalu jumawa. Harapanku pupus tatkala mengetahui ternyata jauh sebelum kami menikah, dia sudah mencintai wanita lain selain diriku. "Padahal kukira akulah pemeran utamanya. Ternyata, aku hanyalah orang ketiga dalam hubungan kita." ~Sheril ***
View More“Kukira akulah pemeran utamanya.
Ternyata, aku hanyalah orang ketiga dalam hubungan kita.”
-Sheril
***
Dipaksa menikah dengan CEO tampan dan kaya raya? Jelas saja aku mau! Mana ada terpaksa-terpaksanya. Itu, mah, namanya terpaksa tapi nikmat!
Hari ini... aku menikah dengan cinta pertamaku.
Ketika pria itu mengucap ijab kabul, menyematkan cincin di jari manisku, dan mengecup keningku penuh kasih di hari pernikahan kami. Rasanya semua itu seperti mimpi.
Aku senang karena dia menjadi cinta pertama dan terakhirku.
Kebanyakan tamu undangan yang datang di pernikahan kami tampak asing bagiku. Mungkin mereka rekan bisnis Papa, atau kalau tidak tamu penting suamiku.
Kami menyalami mereka satu per satu. Sesekali mereka meminta berfoto bersama sebagai kenang-kenangan.
“Selamat, ya, atas pernikahan kalian berdua. Semoga Samawa,” ucap seorang tamu wanita yang mengenakan setelan tunik batik berwarna cokelat ketika menyalami kami berdua.
“Iya. Terima kasih,” jawab suamiku saat menjabat uluran tangannya.
Entah mengapa, mungkin ini hanya perasaanku saja atau bagaimana, aku merasa tadi ekspresi Mas Ais sedikit berubah. Seperti kikuk.
Aku mengedikkan bahu, acuh. Mungkin mereka teman lama.
Setelah menyalami para tamu undangan. Aku duduk bersama dengan keluarga besar kami sembari mengobrol hangat. Membahas segala hal mulai dari setelah ini kami akan honeymoon ke mana? Apakah nanti kami tinggal bersama dengan mertuaku atau hidup memisah? Ah, dan tentunya masih banyak lagi topik pembicaraan kami.
“Sheril. Suami kamu ke mana?” tanya Umi Anha alias Ibu mertuaku kepadaku.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mencari keberadaan Mas Ais. Memang dia tidak berada di sini.
“Nggak tahu, Umi. Mungkin Mas Ais lagi ke kamar mandi.”
“Oh, iya. Umi bisa minta tolong nggak sama kamu? Tolong cari si Ais, ya. Soalnya bentar lagi tamu kita dari Semarang mau dateng. Nggak enak kalau nanti mantennya nggak ada di sini,” pinta Ibu Mertuaku dengan lembut.
Aku mengangguk. Kemudian berdiri dari posisi dudukku hendak mencari Mas Ais.
Ketika aku berjalan hendak ke kamar mandi. Aku mendengar suara sayup-sayup yang menggelitik indra pendengaranku. Merasa penasaran, aku mencari di mana sumber suara itu berasal.
Dua belokan dari arah kamar mandi suara itu semakin terdengar semakin jelas.
Dengan hati-hati aku melongokkan kepalaku untuk mengintip apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Seketika, mataku membola. Tubuhku dingin, kaku membeku.
Di depan sana, aku melihat Mas Ais berdiri termangu berhadap-hadapan dengan seorang wanita yang entah siapa namanya pun aku tak tahu. Tapi yang jelas, seingatku wanita itu adalah salah satu tamu yang tadi menyalami kami.
Mas Ais menengok ke kiri dan kanan, seolah sedang memastikan tidak ada orang lain yang melihat keberadaan mereka berdua.
“Kamu bilang kamu cinta sama aku! Kamu bilang kamu mau nikahin aku tapi nyatanya kamu malah nikahin cewek lain!” ucap wanita tersebut sambil memukul bahu suamiku. Ia menangis hebat.
Sedangkan aku? Berdiri terpaku dengan wajah pasi.
“Pantes aja kamu selama ini ngilang dan nggak bisa dihubungi!” tambahnya, lagi.
“Hei, dengerin aku. Kamu tahu sendiri, kan, posisi aku kayak gimana. Ini semua di luar kendaliku.”
Aku mengerjap, masih bertanya-tanya dalam hati. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Dara....” Mas Ais hendak menyentuh wanita yang ternyata bernama Dara tersebut. Tetapi Dara menepis tangannya.
“Kamu bohongin aku!”
“Dara... Aku nggak cinta, Dar sama dia. Tolong dengerin penjelasanku dulu.”
Tercengang. Jantungku berdenyut ngilu tatkala mendengar Mas Ais yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suamiku mengatakan hal tersebut.
Tanganku mengepal kuat-kuat.
Kalau Mas Ais tidak mencintaiku, kenapa dia menerima perjodohan ini?!
Kalau ternyata dia sudah memiliki kekasih, harusnya dia tidak tidak menikahiku sejak awal, bukan?!
Aku marah, kecewa, tapi nyatanya aku tak dapat berbuat apa-apa.
“Pernikahan ini bukan kemauanku. Orang tuaku yang ngejodohin kami.”
“Tapi kamu bisa nolak, kan?!” teriak Dara tidak terima.
Dan yang membuat hatiku mencelos adalah suamiku menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukannya. Pelukan yang teramat erat seolah dialah pihak yang takut ditinggalkan.
Kakiku lemas. Belum cukup sampai di sana. Mas Ais juga mengatakan hal kedua yang tak kalah membuatku terpukul....
“Dara... jangan nangis lagi. Aku nggak punya perasaan apa pun sama dia. Untuk saat ini aku nggak bisa ninggalin dia karena aku nggak mau buat orang tuaku kecewa. Dara... Aku janji sama kamu kalau dia minta pisah. Maka di saat itulah aku bakalan nyeraiin dia.”
Tanpa terasa bulir bening jatuh menetes di pipiku.
“Tunggu beberapa bulan lagi. Setelah kami resmi bercerai. Nanti aku bakalan nikahin kamu dan kita bisa hidup bersama-sama, Dara.”
Aku menangis.
Hari ini... Pernikahan dan semua mimpi-mimpiku hancur.
Ternyata aku terlalu jumawa. Padahal kukira akulah pemeran utamanya. Nyatanya aku hanyalah orang ketiga dalam hubungan kita.
“Mas Ais!” ucapku tanpa terduga. Buru-buru aku menutup mulutku dan bersembunyi supaya tidak terlihat oleh mereka berdua.
Aku terkejut. Kenapa pula aku malah memanggilnya?!
Lalu Mas Ais.....
***
I* penulis: Mayangsu_
Clayton menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seirama dengan langkah kakinya membuat orang-orang yang berada disekitarnya merasa gemas. Ditambah Clayton menggunakan baju kuning dengan topi bebek semakin membuat siapa pun yang melihatnya ingin menggigit pipi bakpao-nya itu. “Dasar bebek!” saking gemasnya Jayden pun memukul bokongnya. “Ish nakal!” Protes si gembul mengerucutkan bibir. Akan tetapi kekesalan Clayton tak berlangsung lama. Kini dia sudah lupa dan melanjutkan kembali perjalanannya. Bibir mungil Clayton menyanyikan lagu yang liriknya tidak jelas—hanya dialah dan Tuhan yang tahu. “Hati-hati jalannya, Clay,” ucap Sheril mengingatkan karena Clayton yang semula berjalan biasa kini mulai penasaran naik naik ke pembatas jalan. “Iya mamaku yang tantik.” Jalan menuju champ tempat mereka berpiknik memang cukup jauh dari arah pintu masuk. Untung saja mereka datang pagi sekali jadi mereka tidak kepanasan. “Clayton jangan lari-lari!” teriak Sheril untuk kesekian kalinya. S
Meskipun ini hari weekend, tetap saja dari pagi sampai siang Ais masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya.Ais terlihat sedang duduk di sofa ruang keluarga, jari tangannya sibuk menekan tuts keyboard pada laptop yang sedang dipangkunya. Sedangkan di sebelah tempatnya duduk saat ini juga ada si gendut yang juga ikut-ikutan sok sibuk menonton kartun di youtube.Sesekali Ais mendesahkan napas lelah, jujur saja suara musik dari video yang tengah ditonton si gendut membuyarkan pikirannya. Dia tidak dapat fokus sama sekali.“Kecilin volumemu, Clayton. Papa lagi kerja,” ucap Ais kepada anaknya namun Clayton tidak mau menurutinya.“Clay bosen, Pa. Mama nggak ada di sini!” gerutu si gendut sambil bersedekap dada. Ais melirik ke samping dan melihat putranya masih betah menggembungkan pipinya lantaran kesal karena tadi dia tidak diizinkan Mamanya untuk ikut ke salon.“Bentar lagi pasti Mamamu pulang, kok,” balas Ais sekenanya. Ia pun melanjutkan kembali pekerjaannya.Meski mata Ais sibuk menata
Mata Dara membola melihat kedatangan Sheril yang tak diundang ke kediamannya.“Ka-kamu....” ucap Dara terbata.Kenapa bisa Sheril datang kemari?Ketika Dara hendak menutup pintunya, Sheril dengan sigap menahan pintu tersebut sembari berkata, “Bukannya ada suatu hal yang perlu kita bicarakan, Dara?”Senyuman miring terukir jelas di bibir merah Sheril.Dara mulai cemas, ia mengeratkan giginya lantaran ketakutan, saat ini Dara tidak mengharapkan kedatangan Sheril di kediamannya.Seketika Dara mendorong pintu ruangannya lagi agar Sheril tidak masuk ke dalam. Namun sayangnya Sheril dapat menahan pintu tersebut dan merangsek masuk ke dalam.“Kamu nggak sopan banget, sih! Pergi nggak!” teriak Dara namun yang diteriakinya malahan dengan santainya bersedekap dada.“Apa kayak gini caramu menyambut seorang tamu? Ramahnya...." ejek Sheril tertawa sarkastik.Dara yang sudah habis kesabarannya pun mengambil vas bunga yang berada di atas meja dekat tempatnya berdiri lalu Dara mengayunkan vas bunga
“Tolong makanan yang itu dibawa ke sana, ya?” ucap Mama April menyuruh salah satu pelayan yang sedang mengangkat baki makanan untuk menuju ke meja tamu yang tadi telah ditunjuknya tadi. Pelayan tersebut mengangguk dan melaksanakan tugasnya dengan baik.“Huft, capeknya,” keluh Mama April menyeka keringat yang menetes di keningnya. Meskipun mereka sudah menyewa jasa untuk acara baby shower ini, namun tetap saja rasanya dari tadi tidak selesai-selesai. Mungkin itu semua karena keluarga besar mereka menggelar acara ini secara dadakan.Bagi yang tidak tahu, Baby shower adalah suatu pesta yang diadakan untuk ibu dan calon bayinya. Biasanya mereka akan memberitahu semua orang yang hadir apakah bayi tersebut laki-laki atau perempuan dengan cara ada yang menuliskan jenis kelamin si bayi di lembar kertas yang disembunyikan di dalam kue tart, ada juga yang menggunakan balon dengan dua jenis warna berbeda sebagai penanda. Contohnya; balon warna biru untuk jenis kelamin laki-laki sedangkan balon
“Sekarang buka bajumu.”Ucapan Ais barusan membuat pipi Sheril bersemu.Bukannya menuruti perintahnya untuk membuka baju, Sheril malah menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh.“Apaan sih, Mas!” teriak Sheril untuk menyembunyikan rasa malunya. Bisa-bisanya suaminya sefrontal itu kepadanya.“Apanya yang apa?” tanya Ais keheranan. Padahal, kan, niat Ais menyuruh istrinya membuka bajunya agar dia dapat membersihkan bekas kopi serta membantunya mengoleskan obat luka untuk Sheril.Ya, begitulah Ais. Sifat tidak pekaanya belum seratus persen hilang darinya.“Nggak mau!” pipi Sheril semerah udang rebus. Meski mereka sudah menikah tetap saja ia malu. “Terus gimana caranya aku ngolesin obat ini kalau kamu nggak mau buka baju?”Mendengar hal tersebut barulah ekspresi Sheril yang semula malu-malu kucing berubah menjadi datar. Ck, memangnya siapa yang tidak kesal jika berada di posisi Sheril?! Kalimat suaminya saja ambigu seperti itu! Padahal tadi Sheril kira Mas Ais menyuruhnya membuka baj
“Jadi siapa aja yang tahu kalau kamu sebenernya nggak sakit?” tanya Ais mengintrogasi istrinya yang saat ini menampilkan wajah memelas agar tidak dimarahi.Pukul setengah satu malam, mereka baru merebahkan diri di atas ranjang setelah drama tadi tentunya.“Umm... yang tahu Papa, Mama, Abati, Umi, teruss....” Ais yang semula menyandarkan kepalanya di dada Sheril pun menyipitkan mata, menatap istrinya yang saat ini sedang menahan tawa.“Kalian keterlaluan tahu nggak, sih!”Mendengar hal tersebut tawa Sheril malahan semakin meledak.“Aim sama Mahen juga tahu.”Wajah Ais tercengang. Ba-bahkan mereka juga tahu?“Awas, ya, kapan-kapan aku bakalan bales kamu!”Ais membenamkan wajah ke tubuh Sheril lagi membuat Sheril terkekeh. Kenapa suaminya mendadak bersikap seperti anak kecil seperti ini, sih? Uh gemasnya. Apakah seorang laki laki jika sudah cinta kepada pasangannya akan bersikap seperti ini?“Mas geser, dong. Sesak tahu!” protes Sheril karena dari tadi suaminya tiduran di dada Sheril.Bu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments