Setelah pembicaraannya dengan Dirga dan setelah pertemuannya dengan Delisha beberapa hari yang lalu. Nada memang tinggal di satu atap yang sama dengan Dirga, tapi sudah tak tidur di satu kamar yang sama.
Di setiap sepertiga malam, pukul 3 dini hari, Nada selalu membisikkan kata cinta di telinga sang suami yang tengah tertidur pulas. Bahkan setelah orang ketiga itu masuk ke rumah tangga mereka pun, diam-diam ia masuk ke kamar di mana Dirga tertidur dan berbisik lirih.
Seperti yang selalu ia lakukan.
Siang ini, Nada duduk sendirian di meja makan. Ia sama sekali tidak berselera untuk mengisi perut, padahal jam di dinding ruangan sudah menunjukkan pukul 2 siang.
Drrrrttt drrttt.
Pandangan mata Nada beralih pada ponselnya yang bergetar di samping piring. Dahinya mengernyit saat pesan masuk dari nomor yang tidak ia save terlihat di notifikasi.
Dengan dahi yang mengernyit, Nada mengambil ponselnya dan membaca pesan masuk tersebut.
Mata Nada terbelalak saat sebuah foto terlihat di layar. Dadanya dengan seketika terasa sesak dan tenggorokannya tercekat.
[Suami kita, Nad.]
Deg!
Foto tersebut memperlihatkan suaminya dan Delisha yang memakai baju pengantin sederhana. Mereka terlihat baru saja selesai melakukan akad.
[Aku tidak merebut. Sudah aku suruh berbagi dan jangan jadi penghalang, tapi kamu malah mempersulit. Egois kamu! Setelah ini maaf kalau Mas Dirga akan lebih sering sama aku. Soalnya kita menikah saling cinta. Beda sama kamu.]
Bulir bening kristal tiba-tiba saja keluar dari mata Nada.
“Jahat! Kalian jahat!” ucap Nada lirih. Menahan sesak di dada yang terasa perih.
Nada merapatkan kedua tangannya di atas meja, kemudian menenggelamkan wajahnya di sana. “Ya Allah … sakit ….”
***
Nada sudah memutuskan jika keputusan yang ia ambil ialah meninggalkan suaminya. Pesan dari Delisha tadi siang adalah sebuah pukulan yang membuatnya langsung sadar.
Dirga tidak menghargai permintaannya, jadi untuk apa ia bertahan untuknya?
Nada duduk di atas kursi di mana Dirga biasa mengerjakan pekerjaannya, ia menulis surat untuk Dirga dan ia juga sudah menyiapkan kado ‘terindah’ untuk suaminya.
Setelah selesai menulis surat untuk Dirga, ia berjalan ke arah lemari dan mengeluarkan seluruh bajunya dari dalam sana.
Air mata terus menetes membasahi pipi, rasanya sangat berat jika harus pergi dari rumah ini. Tapi cepat atau lambat rumahnya ini akan datang seorang tamu yang akan menetap lama, istri kedua suaminya.
Dan ia tak sanggup dan tak pernah mau jika harus melihat itu terjadi tepat di depan matanya. Dan mungkin saja setelah kepergiannya nanti, kamar yang ia tinggali sekarang akan menjadi milik Delisha.
Setelah siap semua, Nada mendorong kopernya menuju halaman rumah sembari menunggu taksi online. Ia harus segera pergi sebelum Dirga kembali, dan mungkin membawa Delisha ke sini.
Nada memegang perutnya yang masih datar. "Maafin Ummi sayang,” ucap Nada pelan, air mata kembali menetes lagi.
Semarang. Satu-satunya tempat yang bisa ia tuju adalah kediaman Alm Eyangnya, tinggal bersama sang ibu di sana. Karena setelah sang Eyang tiada, Dian sang ibu kembali ke kota di mana dia di lahirkan.
Tapi apa yang harus ia katakan nanti pada sang ibu? Penjelasan seperti apa yang harus ia jelaskan nanti?
5 menit kemudian taksi itu datang. Sebelum ke stasiun, Nada memutuskan untuk menemui ibu mertuanya terlebih dulu. Bagaimanapun, beliau adalah orangtuanya selama di sini.
“Mah?" Nada tersenyum dan mencium punggung tangan Marwah, ibunya Dirga ketika wanita paruh baya itu membuka pintu.
"Loh? Kenapa?" tanya Marwah bingung ketika melihat Nada tiba-tiba muncul di depannya. “Kok kamu bawa koper besar? Mau menginap di sini? Dirga-nya mana?”
Tenggorokan Nada tercekat saat menatap Marwah, ia bingung bagaimana cara menjelaskannya. Nada memeluk Marwah dan menghapus air matanya cepat.
Marwah pun meraih pergelangan tangan Nada dan menariknya ke arah sofa.
"Ma," ucap Nada, "Nada mau minta tolong sama Mama, boleh?"
Marwah mengerutkan alis bingung "Minta tolong apa?" tanya Marwah semakin tak mengerti setelah tadi ia melihat Nada menitikkan air mata.
Dengan sangat ragu-ragu Nada mulai menceritakan semuanya pada sang ibu mertua. Air mata terus menetes saat ia bercerita, sesekali ia menghentikan ucapannya saat tenggorokannya kembali tercekat hingga ia sulit untuk berbicara dan mengucapkan kata.
Marwah ikut menitikkan air mata tak percaya jika putra kesayangannya itu akan melakukan tindakan bodoh sejauh itu.
"Maaf Mah, maaf karena Nada gak bisa terus berada di samping Mas Dirga, Nada gak sanggup kalau harus ada wanita lain. Maaf kalo Nada durhaka…."
"Ya Allah, Nad ... Kenapa kamu ngomong gitu?" Marwah sontak langsung memeluk sang menantu, "Mama mohon, bertahan sebentar ya? Biar Mama yang ngomong sama Dirga," ucap Marwah.
Nada melepas tubuh Marwah di pelukannya. "Nada datang ke sini bukan untuk mempengaruhi Mama agar berada di kubu Nada.” Nada menggeleng. “Nada cuma mau pamit sama Mama.”
"Tapi, Nada—"
"Mah ... Mama tentu tidak mau kan Mas Dirga terus berbuat dosa? Mama gak mau kan Mas Dirga terus menumpukkan dosa? Mama juga tentu mau kan Mas Dirga bahagia?" tanya Nada.
Marwah tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak, pria yang hidup dengannya hampir 30 tahun itu kini mengkhianati cinta dengan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.Dan yang lebih gila, sang suami menikahi wanita yang lebih pantas menjadi putrinya. Lebih gila lagi, wanita itu adalah wanita yang hampir saja merusak rumah tangga putra mereka dan sempat menjadi simpanan putra mereka. Hatinya hancur, sakit tak terkira. Dadanya terasa sesak, nyeri seperti ribuan jarum berhasil menusuk hatinya. Tenggorokannya juga tercekat, hingga rasanya sulit sekali menarik napas dan menghirup udara. Ia begitu sangat sulit bernapas seperti ikan yang dilempar ke daratan."Mah?" panggil Dendi. Pandangan Marwah lantas beralih pada asal suara. Dilihatnya sang suami yang baru saja membuka pintu. Marwah yang sejak tadi duduk di tepi ranjang seraya terisak itu sontak beranjak dan berkata, "Kamu? Mau apa kamu ke sini, huh?" tanya Marwah dengan nada yang ketus. Nada suaranya juga terdengar gemetar."Aku minta
"Mau apa kamu ke sini?" Nada berbicara dengan ketus saat melihat Delisha yang baru saja datang. Delisha tak menjawab, ia malah memutar kedua bola matanya malas saat Nada bertanya. "Maaass?" ucapnya memanggil suaminya semakin mengacuhkan. Nada yang merasa geram itu lantas mendekati Delisha, kemudian memegang pergelangan tangan Delisha dan menariknya keluar. "Mau apa kamu? Lepas!" ucap Delisha dengan nada yang ketus saat Nada menariknya kasar. Sedang Nada, ia tidak peduli, ia malah semakin kasar menarik Delisha untuk keluar. Karena jujur saja, ia benar-benar geram dan muak sekali menghadapi Delisha yang kini tingkahnya semakin di luar batas. "Sayang?" panggil Dirga mengikuti sang istri yang berjalan keluar. Nina dan Ryan juga mengikuti langkah kaki Nada yang berjalan keluar. "Pelan-pelan, aku sedang hamil!" ketus Delisha, ia melepas dengan kasar tangan Nada saat mereka sudah berada di ruang depan. "Bagaimana kalau aku terjatuh dan bayiku kenapa-kenapa, huh?" "Bagus kalau
Dendi sama sekali tidak memperdulikan ucapan Delisha yang melarangnya untuk pulang. Walau wanita itu terus berteriak hingga membuat gendang telinganya terganggu, Dendi terus melangkah pergi. Setelah hampir 30 menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang Dendi kemudikan berhenti juga di depan sebuah halaman. Ia lantas keluar dari mobil dan masuk."Assalamualaikum," salam Dendi begitu masuk rumah. Dilihatnya rumah yang terlihat ramai dengan anak dan juga menantunya. Terkecuali putri sulungnya. Alih-alih mendapatkan sambutan baik dari anak dan menantunya, ia malah di tatap dengan tatapan sinis. Apalagi Nina, putrinya itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat benci penuh amarah."Mau apa Papa ke sini?" tanya Nina dengan nada yang ketus. Menatap sang ayah dengan tatapan benci. Karena jujur saja ia sama sekali tidak menyangka dan juga tak percaya jika sang ayah yang selama ini ia hormati, ia segani dan ia anggap sebagai panutannya dan bahkan ia berharap bisa mempunyai suami yang pers
"Kenapa kamu datang ke acara pernikahan Nina? Sudah aku bilang untuk jangan bertingkah!" ucap Dendi dengan nada yang ketus pada Delisha. Walau diketusi, Delisha nampak acuh tak acuh. Ia duduk bersandar pada sofa seraya memainkan jari-jari lentiknya dan raut wajahnya terlihat santai seolah tak terjadi apa pun. 'Aku menunggu hari ini dengan tidak sabar, mana mungkin melewatkannya begitu saja,' ucap Delisha di dalam hati, "Dan akhirnya, semua yang terjadi hari ini benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Mereka semua nampak sangat kaget dan si Marwah itu hancur! Setelah urusanku dengan si Marwah itu selesai, tiba nantinya giliranmu Nada," batin Delisha lagi. Senyuman nampak terlihat di bibirnya saat ia sibuk dengan isi hati dalam lamunannya. Melihat Delisha yang malah tersenyum saat ia sedang banyak bicara, Dendi mulai geram dan kesal sekali. "Delisha! Aku sedang berbicara denganmu! Tatap suamimu jika sedang bicara!" "Apa sih? Berisik!" ucap Delisha mulai menatap pria paruh baya yan
"Apa? Jadi si Delisha itu sekarang istri dari ...." Ryan menatap Dirga tak percaya setelah mendengar pria itu bercerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Kini, mereka semua sedang berkumpul di kediaman rumah Marwah. Nina dan Ryan nampak terlihat sangat shock. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling membahagiakan, malah menjadi sebaliknya. Bahkan mereka yang seharusnya malam ini menikmati waktu bersama, harus mengesampingkannya dulu karena masalah yang dibuat oleh Delisha. Mendengar respon Ryan setelah ia bercerita, Dirga mengangguk. "Iya, perempuan sialan itu tadi mengatakannya dan Papa sama sekali tidak mengelak. Dia malah meminta maaf pada Mama, itu artinya yang dikatakan oleh si Delisha itu memang benar." Ryan dan Nina tak bersuara, sama-sama bingung bagaimana harus merespon. Apalagi Nina, ia begitu sangat shock mendengar ayahnya kembali menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi anaknya. "Demi apa pun aku benar-benar tidak habis pikir!" ucap Ryan,
"Apa maksud dari ucapanmu, huh?" tanya Nada, ia pun sama bingungnya. Pikiran buruk mulai terlintas di pikirannya. Apalagi melihat Delisha yang dengan berani menyelipkan tangan di siku lengan ayah mertuanya. Sedang ia tahu, jika keluarga suaminya adalah keluarga yang cukup agamis. Jelas tidak mungkin jika sang ayah mertua tetap diam saat di sentuh oleh wanita lain selain mahramnya. Jika demikian, itu artinya ...."Kok kamu masih tanya sih, Nad. Masa apa yang aku lakukan masih belum jelas dan tidak membuat kalian mengerti." "Delisha? Cukup! Kamu pergi dari sini dan jangan membuat keributan!" ucap Dendi."Apa sih, Mas? Kamu diam dan jangan banyak bicara! Aku sudah cukup lama menunggu hari ini tiba!" jawab Delisha. "Mas? Dia memanggil kamu Mas, Pah?! Apa maksudnya ini, huh?" tanya Marwah pada sang suami. Suaranya sedikit gemetar saat berbicara."Papa akan jelaskan nanti saat di rumah, Mah," jawab Dendi."Kenapa harus nanti sih, Mas? Sekarang saja," jawab Delisha dengan senyuman yang se