Marwah diam tak menjawab apa yang Nada tanyakan.
"Nada juga mau Mas Dirga bahagia, Mah, dan kebahagiaan itu bukan bersama Nada.”
"Maafin Mama Nad ... Maafin Mama ... Maaf Mama tidak bisa mendidik Dirga, Maaf telah membuat kamu terluka separah ini," ucap Marwah sembari menghapus air mata di pipinya,
Mata Nada mulai berkaca-kaca lagi. "Mama gak salah kok. Nada malah seneng, setidaknya Nada pernah bahagia sama Mas Dirga. Kita pernah saling jatuh cinta dan memadu kasih," ucap Nada, ia menyentuh perutnya yang masih datar.
‘Kita bahkan akan menjadi orangtua,’ batin Nada berucap.
Sambil masih terisak, Nada kembali berucap. “Nanti kalo Mas Dirga udah pulang, bilang sama dia, Nada udah siapin semuanya di kamar. Nada pamit ya. Assalamualaikum," pamit Nada mencium punggung tangan Marwah.
***
Semarang.
Nada duduk sendirian di kamarnya dengan tatapan kosong. Ia masih memikirkan pria yang akan menjadi ayah dari buah hatinya itu. Ia merindukan Dirga, ia rindu senyum dan tawa pria itu. Ia masih tak menyangka jika kisahnya dengan Dirga hanya berjalan singkat.
“Sekarang dia pasti lagi sama perempuan itu….”
Nada jadi membayangkan waktu mereka di awal pernikahan dulu. Dirga sangat manja, tidak mau keluar dari kamar ketika akhir pekan.
Dan sekarang, mungkin pria itu sedang melakukan hal yang sama dengan madunya. Membayangkannya, membuat Nada sesak.
“Siapa?” suara ibunya tiba-tiba terdengar.
Dian, ibunya Nada, masuk ke kamar, lalu duduk di samping Nada. Ia melihat mata putrinya yang berkaca-kaca. Semenjak pulang kemarin Lusa, Dian sering sekali memergoki putrinya yang diam-diam menangis.
“Hm? Ng–nggak, Mi,” jawab Nada.
“Jujur sama Ummi, kamu sedang ada masalah kan dengan Dirga? Kenapa?” tanya Dian.
Nada diam sebentar sebelum akan menjawab. Membuka mulut malah membuat tenggorokannya tercekat.
“M–Mas Dirga ….” ucap Nada dengan suara yang gemetar.
“Dirga kenapa? Dia menyakiti kamu? Mengangkat tangannya sama kamu jadi kamu memilih pulang ke sini karena tidak tahan?” tanya Dian.
Nada yang menunduk itu menggelengkan kepalanya. “Nada mungkin lebih memilihkan disakiti fisik daripada batin seperti ini.”
“Terus?”
Nada mengambil ponsel, ia lantas memperlihatkan sebuah foto pada sang ibu.
“Astaghfirullahaladzim! Dirga … dia menikah lagi?” tanya Dian menatap sang putri dengan tatapan kaget.
Nada menatap sang ibu dengan air mata yang sudah berurai. Kemudian mengangguk.
“Iya, sama Delisha…..”
Nada langsung terisak sesegukan. Dian yang merasakan sakit yang dirasakan sang putri sontak memeluk Nada.
“Harusnya kalau dia gak mau dijodohin, ngomong dari awal! Kita semua tidak ada yang memaksa! Bukan malah menyakiti kamu seperti ini!” ucap Dian kesal. “Kamu tenang saja, besok Ummi temui ibunya!”
Nada terduduk tegak dan menatap sang ibu. Kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata.
“Jangan, Ummi kan gak tau apa-apa!”
“Terus? Mau diam saja?” tanya Dian emosi.
Nada menundukkan kepala. “Nada ingin berpisah saja, Nada gak mau jadi orang ketiga di cinta mereka. Nada mau fokus dengan kehamilan Nada saja.”
Mata Dian kembali terbelalak. “Kamu … hamil?”
Nada mengangguk.
“Kurang ajar si Dirga itu!”
***
Hari demi hari Nada lalui di kampung ibunya. Memang tidak mudah, tapi ia berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya. Ia sadar kalau lebih banyak orang yang menyayanginya di sini.
“Remaja masjid di sini aktif lho, Nad. Ummi juga baru tau kemarin dari Qia,” ucap Dian bersemangat.
Nada dan Dian sedang berjalan bersama setelah pulang menghadiri Tabligh Akbar. Sejak berada di sini, Dian selalu membawa Nada ke dalam kajian-kajian agama agar anaknya tidak diam di rumah terus.
“Beberapa akhi-akhi ada yang anterin ukhti-ukhtinya pulang karena kan malem pulangnya. Jadi mereka itu sebelum masuk masjid, sama yang ada di sana ditanya, pulangnya sama siapa gitu. Kalau sendirian, ada yang anterin,” ibunya kembali bercerita.
Nada tersenyum tipis. “Akhi-akhi? Ukhti-ukhti? Pfffttt ….” Nada tertawa pelan.
Akhirnya ia bisa tertawa sejenak setelah stress menghadapi masalah rumah tangganya.
“Ck! Ummi serius Nada!” sahut Dian dengan mata yang memicing. “Kamu ikutan sana remaja masjid. Siapa tau kan nanti ada salah satu laki-laki yang suka sama kamu.”
“Jadi ikutan remaja masjid cuma buat begitu? Bukan buat cari ilmu?”
“Ya kan siapa tau aja, Nad. Ini anak remaja masjid lho. Akhlaknya pasti bagus, buktinya dia ikut yang bermanfaat.”
Nada hanya menggelengkan kepala. Padahal putusan pengadilan belum ada, statusnya secara resmi masih menjadi istri seorang Dirga.
Lagipula, para remaja masjid pun belum tentu benar-benar sholeh.
‘Seperti Mas Dirga… aku takut dikecewakan lagi,’ gumam Nada dalam hati.
“Aku mau datang, tapi kalau niatnya untuk memikat laki-laki nggak ya, Mi!” ucap Nada pada akhirnya karena sang ummi terus mengoceh.
“Kalau Pak Ustadz-nya mau sama kamu gimana?”
Nada baru saja membuka mulut hendak menjawab. Namun, getaran ponsel di saku gamisnya sudah lebih dulu terasa. Ia lantas menghentikan langkah dan merogoh saku celananya mengambil ponsel.
Terlihat pesan masuk dari nomor yang tak ia kenali lagi. Nomor itu terlihat mengirimi sebuah foto. Akhir-akhir ini sering kali nomor tak dikenal masuk, dan Nada langsung memblokir nomor itu.
Namun sekarang, ia dilanda rasa penasaran, Nada akhirnya menyentuh nomor itu dan melihat foto yang kini terpampang di pesan chat.
“Astagfirullah!” Nada sontak berucap dengan tangan yang bergetar.
Marwah tak henti-hentinya menangis. Bagaimana tidak, pria yang hidup dengannya hampir 30 tahun itu kini mengkhianati cinta dengan menikah lagi tanpa sepengetahuannya.Dan yang lebih gila, sang suami menikahi wanita yang lebih pantas menjadi putrinya. Lebih gila lagi, wanita itu adalah wanita yang hampir saja merusak rumah tangga putra mereka dan sempat menjadi simpanan putra mereka. Hatinya hancur, sakit tak terkira. Dadanya terasa sesak, nyeri seperti ribuan jarum berhasil menusuk hatinya. Tenggorokannya juga tercekat, hingga rasanya sulit sekali menarik napas dan menghirup udara. Ia begitu sangat sulit bernapas seperti ikan yang dilempar ke daratan."Mah?" panggil Dendi. Pandangan Marwah lantas beralih pada asal suara. Dilihatnya sang suami yang baru saja membuka pintu. Marwah yang sejak tadi duduk di tepi ranjang seraya terisak itu sontak beranjak dan berkata, "Kamu? Mau apa kamu ke sini, huh?" tanya Marwah dengan nada yang ketus. Nada suaranya juga terdengar gemetar."Aku minta
"Mau apa kamu ke sini?" Nada berbicara dengan ketus saat melihat Delisha yang baru saja datang. Delisha tak menjawab, ia malah memutar kedua bola matanya malas saat Nada bertanya. "Maaass?" ucapnya memanggil suaminya semakin mengacuhkan. Nada yang merasa geram itu lantas mendekati Delisha, kemudian memegang pergelangan tangan Delisha dan menariknya keluar. "Mau apa kamu? Lepas!" ucap Delisha dengan nada yang ketus saat Nada menariknya kasar. Sedang Nada, ia tidak peduli, ia malah semakin kasar menarik Delisha untuk keluar. Karena jujur saja, ia benar-benar geram dan muak sekali menghadapi Delisha yang kini tingkahnya semakin di luar batas. "Sayang?" panggil Dirga mengikuti sang istri yang berjalan keluar. Nina dan Ryan juga mengikuti langkah kaki Nada yang berjalan keluar. "Pelan-pelan, aku sedang hamil!" ketus Delisha, ia melepas dengan kasar tangan Nada saat mereka sudah berada di ruang depan. "Bagaimana kalau aku terjatuh dan bayiku kenapa-kenapa, huh?" "Bagus kalau
Dendi sama sekali tidak memperdulikan ucapan Delisha yang melarangnya untuk pulang. Walau wanita itu terus berteriak hingga membuat gendang telinganya terganggu, Dendi terus melangkah pergi. Setelah hampir 30 menit berada di perjalanan, akhirnya mobil yang Dendi kemudikan berhenti juga di depan sebuah halaman. Ia lantas keluar dari mobil dan masuk."Assalamualaikum," salam Dendi begitu masuk rumah. Dilihatnya rumah yang terlihat ramai dengan anak dan juga menantunya. Terkecuali putri sulungnya. Alih-alih mendapatkan sambutan baik dari anak dan menantunya, ia malah di tatap dengan tatapan sinis. Apalagi Nina, putrinya itu menatapnya dengan tatapan yang terlihat benci penuh amarah."Mau apa Papa ke sini?" tanya Nina dengan nada yang ketus. Menatap sang ayah dengan tatapan benci. Karena jujur saja ia sama sekali tidak menyangka dan juga tak percaya jika sang ayah yang selama ini ia hormati, ia segani dan ia anggap sebagai panutannya dan bahkan ia berharap bisa mempunyai suami yang pers
"Kenapa kamu datang ke acara pernikahan Nina? Sudah aku bilang untuk jangan bertingkah!" ucap Dendi dengan nada yang ketus pada Delisha. Walau diketusi, Delisha nampak acuh tak acuh. Ia duduk bersandar pada sofa seraya memainkan jari-jari lentiknya dan raut wajahnya terlihat santai seolah tak terjadi apa pun. 'Aku menunggu hari ini dengan tidak sabar, mana mungkin melewatkannya begitu saja,' ucap Delisha di dalam hati, "Dan akhirnya, semua yang terjadi hari ini benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Mereka semua nampak sangat kaget dan si Marwah itu hancur! Setelah urusanku dengan si Marwah itu selesai, tiba nantinya giliranmu Nada," batin Delisha lagi. Senyuman nampak terlihat di bibirnya saat ia sibuk dengan isi hati dalam lamunannya. Melihat Delisha yang malah tersenyum saat ia sedang banyak bicara, Dendi mulai geram dan kesal sekali. "Delisha! Aku sedang berbicara denganmu! Tatap suamimu jika sedang bicara!" "Apa sih? Berisik!" ucap Delisha mulai menatap pria paruh baya yan
"Apa? Jadi si Delisha itu sekarang istri dari ...." Ryan menatap Dirga tak percaya setelah mendengar pria itu bercerita tentang apa yang terjadi tadi siang. Kini, mereka semua sedang berkumpul di kediaman rumah Marwah. Nina dan Ryan nampak terlihat sangat shock. Hari di mana seharusnya menjadi hari paling membahagiakan, malah menjadi sebaliknya. Bahkan mereka yang seharusnya malam ini menikmati waktu bersama, harus mengesampingkannya dulu karena masalah yang dibuat oleh Delisha. Mendengar respon Ryan setelah ia bercerita, Dirga mengangguk. "Iya, perempuan sialan itu tadi mengatakannya dan Papa sama sekali tidak mengelak. Dia malah meminta maaf pada Mama, itu artinya yang dikatakan oleh si Delisha itu memang benar." Ryan dan Nina tak bersuara, sama-sama bingung bagaimana harus merespon. Apalagi Nina, ia begitu sangat shock mendengar ayahnya kembali menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih pantas menjadi anaknya. "Demi apa pun aku benar-benar tidak habis pikir!" ucap Ryan,
"Apa maksud dari ucapanmu, huh?" tanya Nada, ia pun sama bingungnya. Pikiran buruk mulai terlintas di pikirannya. Apalagi melihat Delisha yang dengan berani menyelipkan tangan di siku lengan ayah mertuanya. Sedang ia tahu, jika keluarga suaminya adalah keluarga yang cukup agamis. Jelas tidak mungkin jika sang ayah mertua tetap diam saat di sentuh oleh wanita lain selain mahramnya. Jika demikian, itu artinya ...."Kok kamu masih tanya sih, Nad. Masa apa yang aku lakukan masih belum jelas dan tidak membuat kalian mengerti." "Delisha? Cukup! Kamu pergi dari sini dan jangan membuat keributan!" ucap Dendi."Apa sih, Mas? Kamu diam dan jangan banyak bicara! Aku sudah cukup lama menunggu hari ini tiba!" jawab Delisha. "Mas? Dia memanggil kamu Mas, Pah?! Apa maksudnya ini, huh?" tanya Marwah pada sang suami. Suaranya sedikit gemetar saat berbicara."Papa akan jelaskan nanti saat di rumah, Mah," jawab Dendi."Kenapa harus nanti sih, Mas? Sekarang saja," jawab Delisha dengan senyuman yang se