Share

05 | Hilangnya Kekuatan Orchid

"Elena, kamu tidak apa-apa?" Galen bertanya setelah kesunyian singkat yang membuat semua terdiam.

Elena menatap pemuda itu. Bukan Galen, melainkan Han.

Gadis Orchid yang biasa kuat itu tak bisa menyembunyikan mimik terkejut pada wajahnya, saat ia mencoba mengira-ngira apa yang terjadi dengan tubuhnya yang tiba-tiba kesakitan.

"K-kamu... baik-baik saja?" tanya Han tergagap.

Mengangkat wajah, Elena yang mulai pucat bergeming melihat raut wajah Han yang nampak ketakutan.

Elena terguncang menahan rasa sakit luar biasa di sekujur tubuhnya. Seumur hidupnya, baru kali ini ia merasa tak berdaya. Sampai tak bisa mengucap sepatah kata pun.

Ia tak pernah merasakan sakit seperti ini meski terus-terusan memakai kekuatannya. Karena seharusnya, saat ia tertidur dengan waktu yang lama, kekuatannya perlahan akan pulih. Tapi, yang terjadi sekarang sangatlah berbeda.

"Kak Elena, apa kakak bisa mendengarku? Kakak tidak seperi biasanya seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Zayed kebingungan, seraya mengusap pundak Elena dengan lembut.

Elena masih diam. Namun, sepasang atensinya yang perlahan buram terus beradu tatap dengan Han yang menatapnya dalam diam.

Han, pemuda itu sangat aneh. Saat bibir Elena tak sengaja bertemu dengan bibirnya, gadis itu tiba-tiba merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Lalu, menjadi lemah.

"Apa karena i-ini?" Han bertanya ragu seraya menunjuk ke arah bibirnya yang nampak gemetar.

Elena menatap Han. Matanya berkilat penuh dengan kekesalan. Sungguh, Elena menganggap apa yang baru saja terjadi dengan dirinya dan Han sangat memalukan. Terlebih, Galen dan Zayed juga ada di sana, melihatnya.

Sementara itu, Han tak peduli dengan reaksi Elena. Pemuda itu justru menatap dalam-dalam netra berwarna ungu dengan hiasan bulu mata lentik, lalu beralih pada surai ungunya yang terurai.

Mata dan rambut gadis itu sangat kontras dengan kulit pucat semulus porselen yang dimilikinya. Elena jelas bukan manusia yang nyata. Dia terlihat seperti seseorang yang baru saja keluar dari sebuah komik. Ah, bukankah itu benar? Elena baru saja keluar dari dongeng sebelum tidur yang selalu didengar Han saat kecil.

"Sebenarnya kamu siapa?" tanya Elena penasaran dengan nada bicara sedikit ketus.

"Aku? Han Satya Aibek," jawab Han datar.

Elena memutar matanya malas, lalu mengembuskan napasnya berat. "Aku tidak peduli dengan namamu! Maksudku, kamu dari keturunan mana? Kekuatan apa yang sebenarnya kamu miliki?" tanya Elena.

"Elena, dia hanya seorang Saram. Dia tak memiliki kekuatan apapun," kata Galen.

Elena, gadis itu tersentak lalu kehilangan fokus dalam sorot matanya. Namun, jauh di dalam dirinya ia justru dibuat semakin penasaran dengan pemuda misterius bernama Han yang memenuhi isi kepalanya.

Sejujurnya, Elena dengan jelas merasakan sesuatu bereaksi pada tubuhnya saat bersentuhan dengan pemuda itu. Sesuatu yang pernah Elena rasakan saat bersentuhan dengan salah satu keturunan Purpura yang pernah ditemuinya.

"Kalian beristirahatlah di sini. Jika ada yang kalian butuhkan, hubungi aku dengan ponsel itu," Han menunjuk sebuah nakas dekat Galen berdiri. Lalu, tanpa mengucapkan apapun lagi, Han langsung berlalu, meninggalkan kamar milik Aruna karena tak kuat dengan suasana kelam yang tercipta.

Sepeninggal Han, Galen langsung mendekat pada Elena yang masih diam dan tenggelam semakin dalam pada pikirannya yang kacau.

"Kak Elena, kenapa? Kenapa kakak terihat bingung?" tanya Zayed.

Namun, Elena bergeming. Memiringkan kepala, Elena mengigit bibirnya dan menyipitkan mata pada pintu kamar yang terbuka, tempat Han terakhir terlihat olehnya barusan.

"Sepertinya aku harus melakukan sesuatu padanya," kata Galen.

Galen Abyakta, pemuda keturunan Thistle itu kemudian mendekatkan wajahnya pada Elena, menangkup pipinya yang bersemu merah muda.

Mata Elena berkilauan menatap Galen yang begitu dekat. Untuk sesaat, gadis itu nampak berubah hingga tak sanggup memalingkan wajah dari Galen, sampai tanpa sadar bibir berwarna peach semu ungu milik Galen sudah menempel di bibirnya yang kaku dan pucat. Galen tanpa permisi mencium Elena yang tersihir oleh kekuatannya.

"Kak Galen! Apa yang kamu lakukan!" Zayed terlihat kesal juga bingung melihat Galen yang benar-benar sulit untuk diprediksi.

"Kurang ajar!" Elena yang kembali sadar langsung menampar pipi Galen pelan. "Apa kamu baru saja menciumku? Berani sekali!" ketus Elena.

Galen tertawa kecil, lalu merangkul gadis Orchid itu sebelum akhirnya menarik Elena ke dalam pelukannya. Galen menyukai berada dalam pelukan Elena yang hangat. Terlebih, Elena selalu memiliki aroma tubuh yang memabukkan, membuatnya selalu terbuai dan benar-benar ingin memilikinya.

"Aku hanya menghapus bibir yang seharusnya tidak untukmu, tuan putri," kata Galen seraya melepaskan pelukannya. "Aku takkan membiarkan laki-laki lain merebut apa yang sudah menjadi milikku. Selamanya, Elena An adalah milikku. Takdir itu tak akan pernah berubah."

Elena memutar matanya malas, lalu berpaling seraya merapalkan sebuah mantra di dalam hatinya untuk membuat darah menetes langsung dari mulut Galen yang usil. Namun, yang terjadi justru Galen nampak santai baik-baik saja, tak terpengaruh sama sekali.

Elena yang nampak bingung langsung menatap telapak tangannya, lalu mengarahkannya pada Galen. Namun, tak ada yang terjadi. Galen bergeming seraya tersenyum tipis melihat tingkah Elena yang kebingungan.

Gadis keturunan Orchid itu tidak yakin bagaimana tubuhnya perlahan menjadi lemah. Mungkin karena sebagian besar waktu ia berada dalam keadaan tak sadarkan diri setelah menggunakan kekuatannya.

"Elena, ada apa?" tanya Galen.

"Benar, ada apa? Kenapa kakak terlihat sangat bingung dan kacau?" Zayed menanggapi pertanyaan Galen dengan mimik wajah penuh rasa khawatir.

Elena tiba-tiba membenamkan wajah ke dada Zayed, lalu terisak tanpa alasan membuat sang adik kebingungan. Begitupun dengan Galen.

"Elena, apa kamu merasakan sesuatu? Apa yang terjadi?" tanya Galen.

Elena mengangkat wajah. Ada sorot ketakutan pada matanya yang berwarna keunguan. Ia terguncang dan mencoba memahami situasi tak masuk akal ini.

"Bagaimana... a-apa yang h-harus kulakukan? A-aku tak bisa merasakan kekuatanku," Elena berkata tergagap dengan buliran berlian bening yang jatuh membasahi pipinya.

Galen dan Zayed saling bertukar pandang. Menelan ludah, keduanya kemudian memusatkan perhatian pada Elena lagi.

"Kita akan melindungimu," kata Galen yakin, yang kemudian disambut sebuah anggukkan kecil Zayed.

***

Han sekarang berada di sebuah bar, tempat ia melepaskan penat dari rentetan kejadian yang terus menghantui hari-harinya.

Pemuda berusia duapuluh tahun itu memutuskan untuk mabuk malam ini karena satu beban di pundaknya telah jatuh. Gadis Orchid itu telah kembali dari tidur panjangnya, membuat Han dapat bernapas dengan lega menikmati minuman yang memabukkan dan melupa pada semuanya.

Han sendirian malam ini. Ia duduk di salah satu meja yang berada paling sudut di bar itu dan menghabiskan beberapa botol minuman seolah menemukan kebebasan. Setelah selama satu minggu ia tertekan dengan kejadian di luar nalar yang hampir membuatnya ingin bunuh diri. 

Semuanya bermula dari mimpi buruk di hari ulang tahunnya. Lalu, fenomena Bolasaeg Choseungdal yang ia kira hanyalah dongeng, nyata adanya. Kemudian sebuah kalung melingkar di lehernya hingga pertemuannya dengan gadis Orchid dan pria Thistle, juga rahasia di balik takdir yang mengikat mereka.

"Semuanya tak masuk akal," Han bergumam pelan, seraya mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Han!"

Han terperangah saat sebuah tangan tiba-tiba melingkar di pinggangnya, bersamaan dengan sebuah ciuman singkat yang mendarat di pipinya. Han yang perlahan mulai tak sadarkan diri menoleh dan tersenyum tipis, lalu memeluk gadis bersurai panjang yang baru saja mendatanginya.

"Freya..." Han memanggil nama gadis itu penuh rasa bahagia. Sementara gadis bermana Freya Mori Eugenia itu hanya membalas pelukan Han dengan kebingungan. Tak pernah Han seperti ini sebelumnya.

"Han, apa sesuatu terjadi? Tumben sekali seperti ini. Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Freya bingung.

Han mengulas sebuah senyuman manis, lalu mendekap gadis bermata bening itu dengan erat. Seolah tak ingin melepaskannya, padahal mereka bukan kekasih. 

"Aku merindukanmu, Freya," bisik Han tepat di telinga Freya, membuat si gadis merasakan geli yang hanya sesaat.

Freya, gadis itu tersenyum mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut lelaki yang biasanya dingin kepadanya. 

"Mesra sekali kalian."

Han dan Freya yang sedang sibuk berpelukan langsung melepas diri satu sama lain saat mendengar suara yang mengejutkan mereka. Wajah Freya memerah, tersipu malu. Sementara Han tak sadarkan diri dalam pelukannya.

"Kapan kamu datang?" tanya Freya pada gadis yang meneguk botol berisi wine kesukaannya.

"Saat malam Bolasaeg Choseungdal," jawabnya dengan senyuman tipis di wajahnya.

"Liliana, bukankah kamu bisa datang kembali sebelum malam itu?" tanya Freya pada Liliana Moon, gadis Violeta penuh dendam yang merupakan sahabat baiknya.

Liliana menyeringai. "Aku menunggu mangsaku. Dia menampakkan diri pada malam itu. Tapi sayang, aku masih belum bisa menemukannya saat tiba di Durango," kata Liliana.

"Aku melihatnya juga." Freya terlihat sangat serius. "Tapi kupikir ada kekuatan yang melindunginya. Sesaat setelah pintu waktu tertutup, cahaya milik Orchid tiba-tiba menghilang begitu saja."

Liliana kembali meneguk minumannya dan menggoyang-goyangkan botol wine itu dan menatapnya lekat. Isi kepalanya benar-benar ramai. Semua hanya berpusat pada rencananya untuk membalaskan dendam pada siapa saja yang membuat bangsanya sengsara, termasuk sang Orchid.

"Atau bisa jadi dia tewas karena pembunuh tak kasat mata," Liliana berujar.

Freya terlihat terkejut, menatap Liliana penuh tanda tanya. "Secepat itu? Apa kamu yakin, Lili?" tanyanya penasaran.

Liliana mengangguk. "Aku tak bisa merasakan kekuatannya lagi di Durango."

Freya Mori Eugenia, gadis berdarah Saram itu semakin terkejut dengan apa yang baru saja terlontar dari bibir merah merona milik Liliana. Meskipun ia hanya Saram, Freya dapat melihat, merasakan, bahkan memprediksi apa yang akan terjadi pada dunia yang ia tinggali, juga Purpura

Keluarga Freya merupakan Shadows, manusia biasa yang memiliki pengetahuan sekaligus rahasia tentang Purpura.

"Seharusnya aku langsung membunuhnya!" Liliana nampak kesal.

"Membunuh? Siapa yang mau kamu bunuh?"

Tiba-tiba Han terbangun, membuat Liliana dan Freya kompak terperangah. Namun, kesadaran Han belum sepenuhnya pulih. 

Han yang merasakan pening di kepalanya menatap Freya dan Liliana secara bergantian, lalu mengulas sekilas senyum di wajahnya.

"Liliana! Apa kamu juga seorang Purpura?" 

Pertanyaan Han yang tiba-tiba, membuat Freya dan Liliana nampak terkejut dan saling memandangi satu sama lain dengan isi kepala yang penuh tanda tanya.

***

Sudah lewat tengah malam. Rumah milik keluarga Han nampak sepi setelah Galen dan Eunsang tertidur, serta ditinggal sang pemilik rumah yang entah kemana. Sementara Elena masih terjaga bersama sepi yang menyelimutinya dingin.

Gadis itu tak bisa berpikir jernih saat ini. Terlihat limpung, Elena terus berjalan kesana kemari di dalam kamar yang sempit seraya menggigit kuku-kukunya hingga pendek. Pikirannya benar-benar tak menentu. Ia juga dapat merasakan sesuatu telah mempengaruhi tubuhnya, hingga membuatnya lemah.

Elena sudah tak bisa menggunakan kekuatannya lagi.

"Berapa lama aku tertidur? Apakah kekuatanku benar-benar hilang? Aku baru menggunakannya sedikit saja, kenapa hilang?" Elena bergumam pelan. Sepasang atensinya tak bisa ia palingkan dari telapak tangannya yang memucat, seolah darah berwarna keunguan tak lagi mengalir dalam tubuhnya.

Elena yang menyadari sesuatu yang salah terjadi padanya langsung berlari menuju kaca jendela dan menatap pantulan dirinya sendiri.

Gadis berusia duapuluh tahun itu mencoba untuk melihat bola matanya, lalu terperanjat. Sepasang bola mata yang awalnya berwarna ungu lebih muda itu perlahan memudar menjadi warna ungu lebih gelap dan hampir menghitam.

"Ada apa ini? Apa laki-laki itu memiliki kekuatan?" Elena bergumam sendiri dan mencurigai Han.

Elena, gadis itu benar-benar kebingungan. Dia tidak pernah mengalami hal aneh yang membuatnya merenung, hingga membuat kepalanya terpaksa berpikir untuk menemukan jawaban atas segala pertanyaannya.

Tatapan gadis Orchid itu kemudian beralih menatap bunga-bunga Canna yang tumbuh rimbun di halaman rumah bergaya jawa di tengah-tengah metropolitan. Elena menatap lekat pada sebuah cahaya putih yang mengganggunya di antara rimbun pohon di dekat taman bunga kecil itu.

Ayunan mungil yang berada di sebelahnya tiba-tiba bergerak perlahan, seolah seseorang sedang bermain-main menaikinya.

Elena menatap lekat pada kumpulan pohon yang berada di sana. Entah mengapa, gadis itu justru merasa sedang diperhatikan oleh seseorang dan itu membuatnya ketakutan. Meskipun dia memiliki kekuatan alam semesta dalam genggamannya, Durango adalah dunia yang tak bisa ia kendalikan sesuka hatinya.

Elena hampir memekik saat seorang gadis bersurai hitam tiba-tiba keluar dari balik pohon-pohon itu. Memakai dress selutut berwarna putih, gadis itu mengibaskan rambutnya yang mulai mencakari wajah cantiknya karena angin malam yang berembus.

Gadis misterius itu menggosok-gosokkan apel merah di bajunya, lalu melahapnya pelan-pelan. Setelah satu gigitan, ia terdiam dan menoleh ke arah Elena yang sedang menatapnya bingung.

"Kakak cantik, apa yang sedang kakak lakukan?"

Elena tersentak saat seseorang menepuk pundaknya pelan. Melepaskan pandangannya dari si gadis misterius, Elena langsung berbalik dan mendapati gadis bernama Aruna sudah terbangun dari tidur panjangnya.

"Oh, hai. Kamu sudah bangun?" tanya Elena sedikit canggung.

Tak tertarik pada Aruna, Elena langsung berbalik lagi dan menatap ke arah gadis misterius yang memakan apel di halaman rumah milik keluarga Han.

Aruna langsung mengikuti arah pada Elena ke bawah. Tepatnya di kebun apel mini milik sang kakek. Seorang gadis tersenyum kepada Aruna seraya melambaikan tangan kanannya, sementara tangan kirinya sibuk memegangi apel merah yang ia pungut.

"Kak Gwen!" Aruna berteriak dan melambaikan tangannya pada gadis yang ia sebut sebagai Gwen.

"Apa kamu mengenalnya?" tanya Elena.

Aruna mengangguk dan tersenyum. "Jika aku memanggil namanya, itu berarti aku mengenalnya. Dia kekasih kak Han. Ah tidak! Kukira mereka sudah putus."

"Apakah dia Saram?" tanya Elena penasaran.

Aruna berpaling, pada Elena yang berdiri dalam diam dan tidak bicara. "Kak Gwen adalah Saram. Dia manusia sepertiku. Jika bukan, apakah dia alien yang diutus kerajaannya untuk memata-matai kita?" Aruna terkekeh.

"Apa kakak mengira dia adalah seseorang sepertimu?" tanya Aruna.

Dengan cepat, Elena langsung menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak. Seseorang dari bangsaku tidak bisa menampakkan sinar berwarna putih," Elena bergumam pelan.

"Apa yang kakak bicarakan?" tanya Aruna bingung karena tak mendengar kalimat yang diucapkan Elena secara jelas.

"Lupakan. Bukan apa-apa," kata Elena datar. Sial sekali. Kenapa Durango begitu aneh? Kenapa banyak keanehan sejak aku ada di sini? Elena menggerutu dalam hatinya.

"Kak!" Aruna tiba-tiba berteriak, kencang sekali.

Elena yang tersentak dan ingin mengumpat karena terkejut langsung berpaling pada Aruna. "Ada apa?" tanyanya dengan ketus.

"Ada darah di pipimu!" kata Aruna seraya menunjuk darah segar yang menetes dari pipi Elena.

Elena tiba-tiba panik dan memegangi wajahnya yang tiba-tiba terluka, mengeluarkan cairan kental berwarna ungu yang baunya sangat anyir. Gadis itu kemudian mematut dirinya di kaca jendela, lalu mendapati sebuah tanda bulan sabit tepat di mana ia terluka.

Elena diam, bergeming. Isi kepalanya tiba-tiba menjadi ramai, mencoba untuk memecahkan teka-teki tentangnya. Lagi-lagi, Elena belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.

"Yang aku tahu, seorang Orchid tak bisa terluka sendiri karena dia dilindungi oleh kekuatannya sendiri," Aruna tiba-tiba bersua. "Apa kamu sudah kehilangan kekuatanmu?"

Elena lagi-lagi terdiam. Ia tersentak, tercengang, namun masih bersikap dingin seperti biasa. Ditatapnya darah berwarna ungu yang ada di tangannya dengan tatapan tak percaya. Ia tiba-tiba teringat pada apa yang pernah dikatakan oleh sang ayah sesaat sebelum meninggal.

Kalimat yang sama dengan apa yang baru saja Aruna katakan tepat di hadapannya.

Kau gadis yang kuat. Kekuatan yang ada di dalam dirimu merupakan anugerah sekaligus pelindung yang akan melindungimu. Kau tidak akan terluka karena kekuatanmu itu.

Elena yang tidak bisa menahan pening di kepalanya langsung terhuyung. Gadis itu tiba-tiba memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sangat sakit. Ia merasa lemas di sekujur tubuhnya. Sementara cairan kental di pipinya terus-menerus mengalir sampai memberikan noda pada baju dan lantai yang menjadi pijakannya.

"Kak, kakak kenapa?" tanya Aruna khawatir.

Elena menggelengkan kepalanya. Ia tidak baik-baik saja. Rasa sakit baru saja menguasai seluruh tubuhnya, hingga ia tak sanggup untuk bergerak.

"Aruna, ada apa ini?"

Gwen, gadis dengan apel merah bergaun putih itu tiba-tiba sudah berada di amban pintu kamar milik Aruna. Mimik wajahnya terkejut, sementara suaranya yang cukup keras justru membangunkan dua pria yang tertidur pulas karena tak bisa beristirahat selama satu minggu.

"Kenapa warnanya ungu?" tanya Gwen terkejut.

"Kak Elena!" Zayed yang baru saja membuka matanya langsung berlari ke arah Elena dan menutupi luka di pipi Elena dengan jemarinya yang tak begitu besar.

Elena yang kini hampir tak sadarkan diri mencoba meremas baju Zayed, untuk menahan rasa sakit. Tapi sayangnya tak berhasil karena ia sudah tak memiliki kekuatan. Elena menjadi tak berdaya.

"Kak Galen! Lakukan sesuatu! Kak Elena tak boleh berdarah! Ini akan mengundang pembuhuh tak kasat mata!" Zayed berteriak, cukup frustasi.

Semua mata kini tertuju pada sang raja Purpura, Galen Byakta. Pria Thistle itu langsung menggerakan jemarinya lalu memejamkan matanya seraya merapalkan sesuatu. Saat matanya terbuka, cahaya berwarna Thistle langsung nampak ditembakkan langsung pada Elena.

Perlahan, darah di pipi gadis itu menghilang dan menyisakan sebuah tanda bulan sabit berwarna ungu kehitaman. Elena, gadis Orchid itu benar-benar sudah tak memiliki kekuatan, hingga akhirnya tak sadarkan diri dalam pelukan sang adik, Zayed An.

"Woah, hebat! Apa sebenarnya yang baru saja aku lihat?" tanya Gwen terkejut.

Sorot mata Gwen dengan jelas menyiratkan tanda tanya besar tentang apa yang baru saja terjadi. Hal tak masuk akal baru saja terjadi, tepat di hadapannya.

"Apa karena aku sedang mabuk?" Gwen tertawa bingung, kemudian terhuyung tepat pada pelukan Galen dan tiba-tiba tak sadarkan diri karena memang berada di bawah pengaruh alkohol.

"Menyusahkan!" ketus Galen. Namun, mau tak mau ia langsung membawa Gwen ke ranjang milik Aruna dan menidurkannya. 

Zayed juga mengangkat Elena yang tak sadarkan diri, lalu menidurkannya tepat di samping Gwen yang sepertinya sudah pulas masuk dalam alam mimpinya.

Aruna yang selalu penasaran tentang segala hal tentang Purpura langsung menghampiri Zayed dan Galen.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah benar kekuatan Orchid sudah menghilang?" tanya Yujin penasaran.

Galen menatap Aruna sinis. Gadis kecil yang baru berusia limabelas tahun itu benar-benar sangat mengganggu dan berisik. Galen lebih baik tertidur seribu tahun sampai bumi berubah menjadi piramida, lalu Indonesia jatuh ke tangan Sunda Empire daripada harus bertemu gadis seperti Aruna Elara.

"Ini ulah pembunuh tak kasat mata. Mereka adalah bangsa Chad, pemburu yang menghisap darah berwarna ungu sepertiku dan Elena. Mereka bahkan tak memiliki kehidupan seperti kita," kata Galen.

"Pembunuh tak kasat mata?" tanya Aruna dan Zayed bersamaan.

Galen mengangguk. "Elena perlahan kehilangan kekuatannya, begitupun aku. Mereka diam-diam menghisap darah kita berdua," kata Galen.

"Zay, sebaiknya kamu segera mencari Shadows dan juga cara untuk kembali ke Purpura secepatnya. Di sini berbahaya," tukas Galen.

Zayed mengangguk. Bagaimana pun, ia akan membantu Elena dan Galen meskipun nyawanya adalah taruhan. Zayed akan melakukan apapun agar Elena dan Galen bisa panjang umur, menikmati kehidupan mereka masing-masing.

"Aku ikut!" Aruna terlihat antusias, sementara Zayed menanggapinya dengan sinis.

"Kamu hanya akan menyusahkan! Aku tidak membutuhkanmu!" tukas Zayed.

Aruna berdecak sebal. Rasanya, ia dan Zayed sampai kapan pun tidak akan pernah cocok dan hanya akan selalu berdebat, bertengkar, dan saling memandang sinis dan dingin.

Tak peduli dengan Aruna dan Zayed, Galen hanya terfokus pada Elena yang memucat dan tak sadarkan diri. Ada kekhwatiran yang begitu besar dalam dirinya. Juga, ada ketakutan yang tak pernah Galen rasakan sebelumnya.

"Darah, kehilangan, derita... Elena akan mati cepat jika kehilangan kekuatannya," gumam Galen dalam lirih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status