Share

04 | Takdir yang Terikat

Sisa-sisa sinar matahari di kota Jakarta menampakkan warna merah saga yang indah. Namun perlahan memudar dan menghitam. Menyisakan gulita pada lengkung langit tanpa bintang, pada Jakarta yang semakin temaram.

Seminggu berlalu sejak Bolasaeg Choseungdal, Jakarta mulai mendapatkan nyawanya kembali. Tak ada halimun tipis yang menyelimuti Batavia yang ramai. Semuanya perlahan membaik, sejak sinar Orchid Trabem pada bulan sabit seminggu lalu membuat beberapa manusia menjadi limpung, seperti Han.

Han berjalan masuk ke dalam kamar milik adiknya dengan membawa beberapa makanan dan minuman.

Sudah satu minggu ia tidak bisa beraktivitas seperti biasa karena harus menjaga adiknya dan orang-orang Purpura yang menyambangi rumahnya. Ia sedikit menyesal waktu itu pernah menolong gadis Orchid dan juga Baginda Raja Purpura yang menyebalkan, Galen. Sekarang, ia harus mengurus mereka. Termasuk Zayed, bocah laki-laki bersurai merah, yang tidak diketahui identitasnya.

"Makanlah. Kalian pasti lapar," kata Han datar.

"Terimakasih, kak Han," Zayed tersenyum manis, lalu mengambil makanan dan minuman yang ternyata memang sangat cocok di lidahnya sebagai seorang Saram yang menghabiskan seluruh hidupnya di Purpura.

Han menatap Galen yang hanya diam dan memain sebuah rubik di sisi jendela yang terbuka lebar. Semenjak kejadian seminggu lalu, sepertinya Han tak pernah bertegur sapa dengan Galen yang menyebalkan dan menakutkan untuknya.

"Woy!" Han terlihat gugup untuk menyapa Galen. "Kamu juga harus makan. Aku tidak ingin kesusahan karena kematianmu," katanya sedikit kesal.

Galen menyeringai, lalu membuang rubik di tangannya di antara pohon-pohon yang daunnya terayun-ayun menari bersama angin. Pemuda Thistle itu kemudian beranjak dan menghampiri Han dengan tatapan sedikit sinis.

Sementara Han yang bergidik ketakutan terus mundur, hingga tubuhnya terjebak di antara tembok dan Galen yang menurutnya menyeramkan.

"Kau harus memiliki sopan santun! Aku seorang raja, panggilah aku Yang Mulia Baginda Raja," tukas Galen.

Han menatap Galen tajam, namun semburat senyum terlukis di wajahnya. "Asal kamu tahu, Indonesia adalah sebuah negara demokrasi yang dipimpin oleh seorang presiden. Kamu tidak berhak untuk mengaturku di negara yang bebas ini. Ini bukan Purpura," tukas Han yang langsung disambut tawa Zayed. Menertawakan Galen si raja menyebalkan yang selalu haus akan kekuasaan.

"Sialan!" Galen mendengus kesal.

Han yang kesal mengerahkan keberaniannya untuk beranjak pergi dari Galen, lalu duduk di samping Aruna yang masih terlelap tidur. Aruna dan Elena, dua gadis itu sudah tak sadarkan diri selama satu minggu sejak peristiwa Bolasaeg Choseungdal.

"Sebenarnya kapan mereka akan terbangun?" tanya Han. "Waktuku benar-benar tersita karena harus mengurus kalian semua. Aku tidak bisa kuliah atau bertemu teman-temanku," gumam Han kesal.

"Apa kamu menyesal? Apa kamu ingin aku menunjukkan kekuatan superku untuk membunuhmu sekarang juga?" Galen tiba-tiba mengepalkan kedua tangannya, sorot matanya penuh amarah.

Han yang mendengar kalimat menakutkan itu tiba-tiba langsung meneguk salivanya. Ketakutan. Ingatan satu minggu lalu masih jelas membekas dalam kepalanya. Rasanya menakutkan saat merasakan kesakitan karena hal yang tidak bisa dilihat.

"Bukan begitu... aku... ha- hanya ingin tahu kapan mereka akan bangun. A-aku h-harus k-kuliah juga melakukan aktivitasku yang lain," Han tergagap.

"WOY!" Galen berteriak, lalu mendekati Han dan berniat untuk mencekiknya. Namun, digagalkan oleh Zayed.

Galen mengembuskan napasnya pasrah. Jika Zayed sudah bertindak mengagalkannya, tentu saja ia tak bisa melepaskan semua marah dalam dirinya kepada Han. Pemuda yang entah kenapa sangat Galen benci tanpa alasan hanya dengan melihat.

Pertama kali melihat Han malam itu, entah kenapa Galen merasa seperti terikat dengannya. Padahal, seorang Saram untuknya hanya makhluk rendahan yang tak sebanding dengannya. Sehingga, sampai kapan pun, Galen tak ingin terikat dengan manusia-manusia yang tak memiliki darah ungu dalam tubuhnya.

"Kau seharusnya menjaga kami. Seperti kakekmu menjaga gadis Purpura yang lemah itu. Kau adalah Abaronca, seorang Saram yang harus melindungi kami," tukas Galen.

"Kak, dia bukan Abaronca," kata Zayed lirih yang membuat Galen berbalik menatap ke arahnya. "Dia bahkan tak memiliki tanda bulan sabit kemerahan," jelas Zayed.

Dengan sepasang atensi yang membulat sempurna, Galen menatap Zayed bingung. "Benarkah?" tanyanya dengan raut wajah yang terlihat bodoh.

"Lalu, dia siapa sebenarnya, Zay?" tanya Galen heran.

Zayed menggelengkan kepalanya. Ia juga tidak tahu siapa sebenarnya seorang Han Satya Aibek. Ia bahkan tak mengerti kenapa kakek Aydin menginginkannya untuk menjaga Han saat Galen mencoba untuk mencelakainya di pertemuan pertama mereka, minggu lalu.

"Aku yang akan membantu kalian untuk menemukan manusia Lavender," kata Han tiba-tiba menarik perhatian Galen dan Zayed.

"Omong kosong! Kamu bahkan tak percaya bahwa dunia yang kutinggali ada nyatanya!" tukas Galen.

"Menurut buku yang pernah aku baca, sangat sulit untuk menemukan Yang Mulia Lavender. Dia adalah manusia biasa yang bahkan tak sadar bahwa dia sebenarnya adalah manusia suci yang dilahirkan karena satu alasan dan takdir yang mengikatnya," sahut Zayed.

Han tiba-tiba menghampiri Galen dan Zayed yang berdiri berdampingan. "Lalu, bagaimana dengan ini?" tanyanya seraya menunjukkan sebuah kalung berliontin bulan sabit berwarna ungu yang bersinar, melingkar di lehernya.

Kalung misterius itu berkilau, menembakkan cahaya keunguan setiap kali bertatapan langsung dengan seorang Purpura.

"Dalanseok?" Galen tercengang saat melihat kalung yang sudah lama menghilang. Ia pernah melihatnya di perpustakaan kerajaan, namun tak pernah melihat wujud sesungguhnya yang nampak menawan dan anggun.

***

Liliana Moon sendirian seperti biasa. Di dunia yang bukan tempat kelahirannya, gadis bersurai ungu itu menikmati segelas wine sembari menatap jauh kota Jakarta dari ketinggian.

Lili, begitu gadis itu dipanggil menenggak minumannya pelan-pelan, seraya menatap lekat satu-persatu cahaya lampu kota Jakarta yang berkilauan serupa berlian dalam gulita malam. Bukan untuk menikmati pemandangan malam Jakarta, Lili mencara seseorang yang harus ia bunuh dalam kurun waktu lima tahun.

Ia harus menemukan Orchid dan menghabisinya.

"Di Durango, aku akan dengan mudah menghabisimu," gadis Violeta itu menyeringai dengan senyuman sinis yang menakutkan.

"Menghabisi apa?"

Lili terkejut saat mendengar seorang pemuda tepat di belakangnya. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum saat melihat bayangan yang nampak pada kaca besar yang ia pandangi.

Liliana Moon, gadis itu kemudian menoleh ke belakang dan menghampiri pemuda yang baru saja tiba di kamar apartemen miliknya.

"Menghabiskan wine bersamamu semalaman?" gadis itu tersenyum dengan senyuman yang sangat menggoda. Pakaian tidur tipis yang ia pakai menampakkan lekuk tubuhnya yang sempurna, semakin menggoda pemuda di hadapannya.

Pemuda itu tersenyum dan mendekatinya. Merengkuh Liliana dan menangkup dagunya, kemudian mencium bibirnya singkat.

Liliana tersenyum. Pemuda itu, Arganta Chand Japa kemudian memeluknya dari belakang dan menyeretnya menuju jendela. Menikmati malam kota Jakarta yang lebih cerah dibandingkan seminggu lalu saat ia berada di kamar milik Liliana.

"Kamu pasti sudah menungguku lama, Lili," lirih Arga seraya menciumi tengkuk leher milik Liliana, membuat gadis itu menggeliat geli, mengerang tertahan.

"Mmmh... akhu merindukanhmu..." kata Liliana seraya mendesah pelan, menikmati kenikmatan yang diberikan Arga kepadanya.

Sudah lama Arga tak menyentuhnya semenjak pergi. Tentu saja Liliana sangat merindukannya.

Arga tersenyum. Menarik Liliana mendekatinya, merengkuh tubuhnya erat ke dadanya hingga membuat gadis itu memejamkan matanya bersama halimun yang kembali dibawa Arga.

"Bagaimana Bandung dan orang tuamu, sayang?" tanya Arga.

"Bandung menyenangkan... Orang tuaku juga terlihat lebih bahagia, tak seperti biasanya," jawab Liliana.

Arga menatap Liliana datar. Sementara jemarinya menyusuri rambut ungu Liliana yang berkilauan saat ia mengarahkan bibirnya ke leher Liliana lagi. Kali ini hanya kecupan singkat, tak meninggalkan bekas.

Kamu pandai berbohong, Violeta bodoh. Aku tahu segalanya. Batin Arga.

"Aku ingin kamu terus berada di sampingku, Lili. Aku tidak ingin kesepian terus-terusan kamu tinggalkan di sini," bisik Arga tepat di telinga Liliana. 

Lebih tepatnya, Arga tak ingin Liliana melakukan hal yang macam-macam dan mencelakai Elena An, gadis Orchid yang sangat Arga cintai.

Sama seperti Liliana, Arga adalah seorang Purpura keturunan terakhir Plum yang terikat dengan anak-anak yang dilahirkan di bawah Bolasaeg Choseungdal, termasuk Liliana dan Elena.

Arga sudah lama menjalin hubungan dengan Liliana Moon, gadis Violeta yang kejam. Pembunuh berdarah dingin yang tersenyum saat melihat seseorang mati dalam genggamannya.

Namun, Arga tak pernah jatuh cinta padanya. Ia hanya berpura-pura menjadi seorang Saram bodoh yang jatuh cinta kepadanya. Memikat Liliana terperangkap dalam jebakannya dan menghentikan aksi gila yang akan menghancurkan dunia.

Baik Liliana maupun Arga sebenarnya sudah lama berada di dunia Saram dan menyamar. Mereka berdua tahu bagaimana caranya melarikan diri ke Durango, jauh sebelum pintu waktu terbuka pada malam Bolasaeg Choseungdal minggu lalu.

Mereka berdua sama-sama tahun tentang rahasia di balik dunia yang saling bertentangan. Berpura-pura menjadi Saram untuk melancarkan misi masing-masing.

***

"Aku belum pernah menemukan ramalan tentang seseorang yang memiliki kalung Dalanseok," Galen bergumam datar, dengan sepasang netra yang menatap heran ke arah kalung yang melingkar di leher milik Han.

Han Satya Aibek, si pemilik kalung itu nampak bingung. Jika Galen dan Zayed yang lebih mengetahui tentang Purpura tak tahu apapun, lalu bagaimana dengan dirinya? Han bahkan masih belum bisa mempercayai bahwa Purpura itu nyata. Sulit untuk mempercayai hal tak kasat mata.

Segalanya yang tampak tak kasat mata bagi Han hanyalah khayalan di dalam mimpinya.

"Kak Han, bagaiman dengan tanda bulan sabit ungu? Apa kak Han memilikinya?" tanya Zayed penasaran.

Han mengangguk. Tanpa diperintah, pemuda itu melepas satu-persatu kancing kemeja yang ia pakai dan memperlihatkan dada bidangnya yang berotot juga bertato.

"Itu bunga lilac, bodoh," kata Galen ketus saat melihat salah satu tato bunga yang nampak di dada Han.

Han yang kesal langsung melepaskan sebuah plester yang menempel di dadanya. Nampak sebuah tanda bulan sabit berwarna ungu lebih muda bergradasi ungu sedikit tua yang menyilaukan mata Galen dan Zayed.

"Woah, aku belum pernah melihat tanda seperti itu," Zayed terlihat takjub dengan apa yang dilihatnya.

"Aku juga belum pernah melihatnya," Galen menatap bingung. "Zay, kamu tahu kan jika aku pernah tidur bersama gadis Violeta, Thistle, dan Plum? Tapi aku tidak pernah melihat tanda seperti itu."

"Ah! Apa Elena memilikinya? Aku belum pernah tidur dengannya," gumam Galen seraya memegangi sesuatu yang tiba-tiba mengeras di bawah. Membayangkan Elena membuatnya benar-benar hanyut dalam fantasi yang tak akan mungkin menjadi nyata.

Han dan Zayed melemparkan tatapan sinis mendengar Galen dan melihat kelakuan joroknya.

"Baginda! Kamu raja! Apa pantas berperilaku seperti itu? Kamu benar-benar tergila-gila pada wanita untuk memuaskan nafsumu?" tukas Han kesal.

Galen menoleh sekilas dan memasang raut wajah datar. Sial! Han benar-benar merusak fantasi Galen yang indah.

"Yah, kamu hanya iri! Setidaknya aku pernah mencumbu perempuan dan menghabiskan malam yang indah dengan mereka. Tidak sepertimu!" tukas Galen.

"Kak Galen!" pekik Zayed. "Kamu baru saja menjatuhkan harga dirimu sebagai seorang raja!" tukasnya.

"Fokuslah pada kalung itu dan identitas kak Han! Jangan terus-terusan berfantasi dengan perempuan dalam khayalanmu!" Zayed terlihat sangat kesal.

Pria Thistle itu menghela napasnya berat. Galen lalu menatap Han yang berdiri berhadapan dengannya. Dengan mata batin yang ia miliki, Galen mencoba untuk mencari tahu asal-sul kalung itu. Namun, kekuatan kalung itu sangat luar biasa sehingga masa lalunya tak bisa ditembus.

Dalanseok, kalung itu seolah memiliki kekuatan yang tak pernah Galen temui di sudut Purpura manapun.

"Jika aku memiliki kalung ini, apakah aku memiliki keterikatan dengan kalian?" tanya Han penasaran. Pertanyaan itu terus memenuhi isi kepalanya yang kacau selama seminggu ini.

"Mungkin saja," kata Galen dan Zayed bersamaan.

Sepasang netra kecokelatan milik Han membulat sempurna. Pemuda itu terkejut. "Bagaimana bisa?" tanyanya bingung.

"Sederhananya, kalung itu memilihmu," jawab Galen datar.

"Mungkin saja kita memiliki takdir yang terikat. Bisa saja kak Han salah satu manusia yang penting. Seperti Lavender," kata Zayed.

"Lavender?" tanya Han.

Zayed mengangguk. "Lavender yang dilahirkan sebagai seorang Saram. Dia dilahirkan sebagai pelindung Orchid dan kunci," kata Zayed seraya menoleh ke arah Elena yang masih tertidur, memulihkan energinya.

Han beralih menatap Elena lalu diam.

Jika benar dia adalah seorang Lavender, lalu apa yang harus ia lakukan untuk melindungi gadis Orchid itu? Han tak mengerti. Bagaimana caranya seorang Saram melindungi Orchid yang memili kekuatan alam semesta dalam genggamannya?

Han benar-benar ingin mengakhiri hidupnya. Semuanya tak masuk akal.

"Takdir mereka sudah terikat, kak Han. Tapi sayang, berakhir tragis," Zayed tiba-tiba bersua.

Han menoleh ke arah Zayed, lalu menatapnya serius. "Tragis? Apa maksudnya?

Zayed tersenyum misterius, lalu duduk di samping Elena dan mengusap pucuk kepala kakak perempuan kesayangannya.

"Meskipun Saram Lavender seorang pelindung untuk Orchid, pada saatnya tiba nanti, dia hanya memiliki dua keputusan. Menyelamatkan Orchid dari kejahatan Violeta dan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Atau membiarkannya hidup, namun dalam kesepian dan Saram Lavender yang akan berakhir tragis karena melanggar takdir," jelas Zayed.

"Melanggar takdir?" tanya Han. Pria itu semakin bingung dengan teori-teori yang dijelaskan oleh kedua pria di hadapannya. Lebih baik kembali berkuliah dan belajar ilmu kedokteran yang berada dalam jangkauannya.

"Yes, melanggar takdir. Takdir dari seorang Orchid adalah kematian yang tragis," kata Galen.

"Apakah Purpura mengetahui takdir kalian?"tanya Han.

Galen dan Zayed mengangguk pelan, bersamaan.

"Di Purpura, takdir setiap bayi yang lahir sudah diramalkan bahkan jauh sebelum mereka dilahirkan. Takdir kita sudah tertulis di sebuah puncak tertinggi Purpura, yaitu Bukit Garis Takdir," jawab Galen.

"Selalu ada konsekuensi dan harga yang dibayar jika berurusan dengan dunia kami. Begitupun dengan melanggar takdir yang sudah ditentukan. Gladi kotor kematian akan menanti," lanjutnya kemudian.

Han terdiam. Mencoba untuk memahami ucapan Galen. Han adalah orang yang percaya bahwa takdir memang sudah ditentukan. Namun, sebagai manusia biasa dia hanya bisa menerima dan membiarkannya tanpa tahu apa yang akan terjadi. Takdir adalah garis hidup yang dirahasiakan Tuhan kepada manusia. Setidaknya, begitulah yang Han percayai.

"Kak Han, apa kamu melihat bulan sabit berwarna ungu minggu lalu?" tanya Zayed.

"Bolasaeg Choseungdal," jawabnya dengan sebuah anggukkan kecil.

"Ada takdir lima manusia yang terikat di bawah sinar rembulan berwarna Orchid Trabem itu. Mereka dilahirkan secara bersamaan untuk melakukan suatu misi penting tentang dunia yang tak boleh diganggu keberadaannya, Purpura. Namun, salah satu dari mereka adalah manusia berdarah merah yang disebut Saram," jelas Zayed.

Han lagi-lagi terbelalak kaget saat mendengar penjelasan Zayed.

Berdasarkan cerita yang ia dengar dari sang kakek, Han dilahirkan di malam saat bulan sabit berwarna ungu duapuluh tahun lalu. Juga, satu minggu yang lalu segala hal aneh mulai terjadi saat ia melihat fenomena Bolasaeg Choseungdal untuk pertama kalinya. Bahkan sebuah kalung dan tanda misterius tiba-tiba muncul padanya.

Apa benar takdir kita memang terikat? Aku merasakan sesuatu yang aneh saat melihat gadis itu. Dadaku tiba-tiba sakit dan aku hanya ingin melihat padanya di jalanan itu. Batin Han.

"Kak Han? Aapa maksudmu? Dadamu sakit kenapa?" tanya Zayed pada Han.

Han yang mendengar pertanyaan itu langsung terkejut dan menatap Zayed penuh tanda tanya, begitupun dengan Galen. Han tak berbicara, ia hanya bergumam dalam hatinya dan Zayed An mendengarnya.

"Aku tidak berbicara," kata Han.

"Zay, apa kamu bisa mendengar suara spirit?" tanya Galen.

Zayed menatap Galen dan Han sejenak. Nampak limpung, sebelum akhirnya tertawa seperti orang bodoh.

"Sepertinya aku salah," katanya datar. "Apa mungkin benda kotak itu yang berbicara?" Zayed menunjuk sebuah ponsel dalam genggaman Han untuk mengubah arah pembicaraan.

Setelah itu, semuanya menjadi hening. Hanya ada suara sayup angin yang menelusup pelan melalui jendela kamar. Han yang masih tak bisa menerima kenyataan, menatap kedua gadis yang masih tertidur pulas hampir seperti orang mati.

"Hngg...."

Han, Galen, dan Zayed tersentak saat melihat salah satu gadis itu bergerak dan mengerjapkan matanya perlahan. Elena sudah sadar.

"Elena, kamu sudah bangun?" tanya Galen.

Elena mengerjapkan matanya serta menatap Galen dan Zayed bergantian, lalu memasang raut wajah sedih.

"Apakah aku baru saja bermimpi membuka gerbang Sateunik bersamamu, Galen?" tanya Elena dengan nada bicara sedikit kecewa.

Galen dan Zayed hanya diam dan menatap Elena bingung. Mereka berdua tak bereaksi pada pertanyaan Elena itu.

Elena yang merasa diabaikan hanya bisa mengernyitkan bibirnya, kesal. Gadis Orchid itu kemudian mencoba untuk bangun dari tempat tidurnya dan tak sengaja bibirnya menyentuh bibir milik Han yang berada tepat di depannya.

Baik Elena maupun Han sama-sama terkejut dengan sentuhan kecil itu. Mereka bergeming, saling menatap satu sama lain dalam kebingungan.

"Sialan!" Galen tiba-tiba berteriak, membuat Elena dan Han saling menjauhkan diri dengan wajah keduanya yang tiba-tiba berubah menjadi merah, entah kenapa.

Elena kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan tempatnya berada. Ia mendapati dua orang yang tak ia kenal, termasuk pria yang menyentuh bibirnya. Gadis Orchid itu kemudian menatap Han sedikit sinis.

"K-kau siapa?" tanya Elena ketus. Kedua bola matanya tiba-tiba mengeluarkan sinar berwarna Orchid yang seperti laser langsung menembak ke arah kalung Dalanseok yang melingkar pada garis leher Han.

Elena tiba-tiba kehilangan fokus pandangannya dan menjadi lemah kembali.

Saat itu, Galen dan Zayed mulai menyadari, bahwa takdir mereka berdua memang terikat melalui kalung misterius milik Laviosa.

Mungkin saja Han adalah Saram Lavender yang terikat pada takdir Bolasaeg Choseungdal bersama Elena, Galen, dan dua manusia Purpura lainnya yang entah di mana.

Kemungkinan lain, Han adalah seseorang lain yang tidak diketahui identitasnya. Seseorang yang dapat mengancam nyawa Elena dan Galen, juga anak-anak lain yang terlahir bersama saat sinar Orchid Trabem menyinari malam kelam di Purpura dan Durango duapuluh tahun yang lalu.

Tak ada satupun di antara mereka mengetahui takdir apa yang sebenarnya terikat di antara lima bayi yang menangis, memecah malam sepi di antara gulita yang temaram pada malam Bolasaeg Choseungdal duapuluh tahun lalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status