"Mas Javin?"
Javin menoleh lalu meraba pelipisnya, matanya memerah dengan pupil yang membesar, napasnya berat dan ia hampir terjatuh namun Dru menahannya. "Dru...? What are you doing here?" "Aku ada meeting di lounge bawah." jawab Dru mengerutkan alis, "What's wrong with you Mas? You look so drunk." Javin menghela napas berat dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Only drink one glass of wine, I did'nt knew what happen to me. Kepala gue rasanya mau meledak Dru, badan gue juga panas banget!" Mata Dru menyipit, Ia mendekat lalu mencium aroma samar dari Javin. Bau wine parfum khas milik Rengganis, dan... sesuatu yang tak asing. "Shit!" gumamnya, Ia tahu betul jenis zat itu. Bukan racun, tetapi bisa sangat memabukkan dan menurunkan kontrol diri. Ia pernah melihat kasus serupa saat bergaul di lingkaran bawah tanah sewaktu kuliah di London. "Damar!!!" panggilnya ke arah lift. Seorang pria bertubuh kekar dengan potongan rapi dan tatapan tajam datang mendekat. "Bawa Mas Javin pulang ke mansion sekarang juga! dan pastiin dokter pribadinya standby! dan Rahasiakan ini dari Mommy!" "Baik, Tuan Dru." Javin sempat memprotes, tapi tubuhnya tak lagi punya kekuatan. Dalam beberapa menit ia sudah dibawa dengan hati-hati ke mobil yang menunggu di bawah menuju mension Wedhatama namun sebelum itu Javin sempat menoleh dan berpesan pada Dru dengan sisa kesadarannya, "Tolong.... Ganis." Dru hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun. Setelah lift menutup, ia menarik napas panjang. Dru tahu kakaknya sedang dijebak. Dru juga tahu jika Rengganis bukan wanita polos seperti yang ditunjukkan selama ini. Ada kuja dalam dirinya uang jelas mengubah cinta menjadi obesi beracun. Tanpa berpikir panjang Dru berbalik cepat dan melangkah menuju rooftop dimana Rengganis berada. *** Sementara itu di rooftop suasana bernuansa romantis masih terasa menenangkan. Lampu yang temaram angin malam yang mendesir lembut dan meja yang ditata sempurna dengan cahaya lilin yang berpendar. Disana Rengganis mulai kehilangan kontrol. Kepalanya pening, dan pikirannya melayang entah kemana. Wajah Javin terus muncul di benaknya. Ia tersenyum, dan hendak meneguk lagi sisa wine di gelasnya sendiri. Langkah kaki menghentak pelan menuju meja mereka. Rengganis mendongak perlahan. Sosok yang muncul memiliki struktur wajah yang sangat mirip dengan Javin, rahang tegas, alis tajam menukik dan tatapannya yang dalam. Tapi bahunya terlihat lebih lebar, tubuhnya juga nampak lebih tegap dan berotot dan auranya lebih mendominasi. "Mas Javin..." bisik Rengganis pelan dengan senyum bodoh di wajahnya. "Kamu kok lama banget sih Mas?" gumamnya lagi. Dru mematung sejenak, memandangi wanita yang duduk dengan tatapan kabur namun penuh gairah. Ada rasa jijik yang tak kuasa tertahan, tapi ada juga rasa ironis menatap wanita malang yang menghalalkan segala cara demi memiliki kakaknya itu. Dru langsung paham dengan skenario licik Rengganis. Keadaan Javin yang kacau tadi sudah pasti dilakukan oleh wanita yang mulai menggeliat di depannya itu. Ia menatap maju, menatap meja dan melihat gelas wine yang sudah hampir kosong. Lalu notes book di sebelahnya. Sekilas ia melihat kata-kata seperti "Skenario", "musik pengantar", dan ,"pelukan sebelum pukul 22.00." "Rengganis", gumam Dru rendah. "Kau pikir bisa menjebak kakakku dengan cara ini? Oh come on... bahkan Tuhan saja tidak merestui cara licik mu ini Sekretaris Rengganis!" "Mas Javin??? Give me your hug, please?" bisiknya sambil maju mendekat ke arah Dru kemudian menyandarkan kepala di dada Dru. Dru mendiamkan pelukan itu sejenak, bukan karena tersentuh melainkan terkejut dan muak. Tangannya mengepal, menahan diri untuk tidak meledak. Rengganis kembali bersandar, menempelkan kepalanya di bahu Dru yang kokoh. Napasnya teratur tapi berat, tubuhnya hangat. Ia berbisik "I think you are the biggest happiness in my life." Dan ketika ia mengangkat wajahnya untuk mencium Dru, pria itu langsung menahan bahunya. "Mas...?" ucap Rengganis kebingungan dengan penolakan itu. Ia menatap dalam-dalam wajah pria di depannya. Garis rahang lebih tajam, sorot matanya lebih dingin dan... tindik kecil di telinga kirinya menyala samar di bawah cahaya lilin. "Kayaknya aku beneran mabok deh, Kok aku malah ngeliat Dru Mas, Mas Javin??? It's you right??" Dru hanya terdiam, merasa sangat muak dan tangannya mengepal ingin segera menampar wajah wanita penggoda dihadapannya itu. Tapi belum sempat menampar, Rengganis kembali berulah, Ia mengambil gelas wine milik Javin. Disana masih tersisa sedikit wine. Ah... benar... wine yang dicampur afrodisiak itu. Ia mengambil dengan jemarinya yang lentik. "You look so hot Mas..." Dru ingin segera mencacinya, namun kata-katanya tertelan saat Rengganis maju perlahan dan menariknya lebih dekat. Wajah wanita itu sangat dekat, napasnya sangat hangat, matanya berkabut penuh gairah. Efek afrodisiak dalam wine mungkin sudah menyatu dalam tubuh Rengganis dan kini... dia ingin memindahkan apa yang tersisa di dalam mulutnya ke mulut Dru, Ia mencium kasar bibir Dru dan menumpahkan semua cairan di dalam rongga mulutnya ke dalam rongga mulut Dru. Seketika bibir mereka bertemu, Rengganis mencium Dru dengan penuh perasaan karena baginya sat ini Dru adalah wujud seorang Javindra. "Uhuk...Uhuk..." Dru terperanjat dengan tingkah kurang ajar Rengganis. percuma ia memuntahkan karena seluruh cairan itu telah tertelan sempurna di kerongkongannya. Tapi tak sampai disitu Rengganis kembali menciumi Dru dengan penuh nafsu yang membara, pagutannya semakin berani bahkan tangan kirinya menyentuh leher Dru. "Ahh Damn!!!!" gumam Dru yang awalnya menahan napas, terpaku dan penuh emosi. Namun sentuhan manis itu bercampur rasa anggur dan sesuatu yang lebih hangat, lebih membakar, dan dia menelan sempurna cairan yang bercampur afrodisiak itu. Beberapa detik kemudian, Napas Dru menjadi berat, kulitnya terasa panas dan pikirannya mulai kabur, seolah dunia berputar pelan namun penuh rangsangan. Ia sudah minum beberapa gelas Whiskey saat meeting tadi, dan kombinasi alkohol dengan afrodisiak itu membuat tubuhnya bereaksi jauh lebih cepat. Sementara Rengganis yang belum menyadari apapun memandangi pria yang masih berada di depannya dengan mata setengah sayu, menikmati efek kimia yang bekerja di tubuhnya. "Mas....??" bisiknya penuh goda. Bulu kuduk Dru menegang sementara hasratnya semakin tak terkendali ditambah lagi Rengganis yang kini dengan liat mengecupi leher jenjangnya. "Ahhh Sial!, Lo yang bikin gue begini Ganis! So let me give you a good punishment!" gumamnya yang kemudian menggendong tubuh Rengganis keluar menuju kamar hotel yang mendadak ia pesan disitu. "Ahhh....." Desah Rengganis ketika lidah Dru menggelitik lidahnya. "Emhhh, Mas.? I want it..." ujarnya yang kini sudah mulai meracau dengan rangsangan-rangsangan kecil yang dilakukan Dru. "Brengsek! berani-beraninya Lo godain kakak Gue Ganis!" gumam Dru melucuti gaun merah Rengganis dengan brutal. Tangan kekarnya menjajaki tubuh Rengganis yang memukau. "You look so pretty Rengganis, It's your fault!" ~TBC~Suara pintu kamar Dru menutup pelan. Rengganis berdiri mematung di dekatnya, kedua tangannya gemetar, menggenggam erat lengan sweater lusuh yang tadi sempat ia tarik asal dari gantungan.Dru tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap sekilas, lalu berjalan ke meja kecil di pojok kamar, membuka jendela sedikit agar udara malam masuk. Dingin. Tapi ia tahu perempuan di belakangnya lebih beku dari cuaca di luar sana.Rengganis menghela napas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya yang terasa kacau. Tubuhnya lelah. Bukan sekadar karena hari yang panjang, tapi karena hatinya sudah nyaris mati rasa."Aku boleh di sini?" suaranya nyaris hilang, pelan sekali.Dru tidak menjawab. Hanya anggukan kecil, nyaris tak terlihat. Lalu ia menarik kursi ke dekat jendela, duduk membelakangi Ganis, matanya menatap kosong ke luar. Malam begitu sunyi. Hanya sesekali suara kendaraan dari jalan besar terdengar sayup.Rengganis berdiri di tempatnya, menatap punggung Dru. Ragu. Ingin bicara, tapi kata-kata hany
Rengganis berdiri terpaku di ruang tengah rumah keluarga Wedhatama, memeluk buku catatan kecil yang biasanya ia pakai untuk mencatat agenda kerja Javin. Tapi hari ini, kertas-kertas itu dipenuhi dengan daftar vendor catering, nama desainer kebaya, dan referensi tema pernikahan.Pernikahan Javin.Dan ia... sekretaris yang dipercaya mengoordinasi semuanya."Kamu cekkan ke Panji ya, Ganis," titah Nyonya Wedhatama sambil menunjuk brosur undangan yang ada di tangannya. "Kita tetap mau gaya klasik modern. Tapi tolong lihat juga pilihan kertasnya, jangan yang terlalu tipis.""Baik, Nyonya," jawab Rengganis lirih."Dan jangan lupa, reservasi tempat buat siraman calon pengantin. Kita mau yang ada kolam ikan itu, di Cipete.""Dicatat, Nyonya."Dari sudut ruangan, Javin berdiri dengan tangan di saku celana. Ia memperhatikan semua ini dalam diam, sesekali mencuri pandang ke arah Rengganis. Tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Mereka sekarang hanya dua orang asing yang pura-pura pro
Dru duduk sendirian di ruang tamu rumah kontrakan mereka. Lampu sudah dimatikan sejak satu jam lalu, tapi matanya masih terbuka. Rengganis sudah masuk kamar lebih dulu tanpa sepatah kata pun, sejak kejadian di mobil tadi. Ia tak menolak ciumannya, tapi juga tak berkata apa-apa setelahnya.Itu membuat segalanya terasa menggantung seperti jembatan yang retak tapi belum runtuh.Dru meneguk teh dingin yang sudah hambar, lalu membuka ponselnya. Jarinya membuka galeri, dan berhenti di satu folder: Mira.Senyumnya menyakitkan, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu."Jangan pernah jatuh cinta terlalu dalam, Dru. Karena kalau orang itu pergi, kamu akan kehilangan seluruh warna dunia."Kata-kata Mira dulu terasa berlebihan. Tapi saat perempuan itu benar-benar pergi tanpa peringatan, tanpa kesempatan mengucapkan selamat tinggal hingga hidup Dru memang berubah jadi abu-abu.Mira adalah cinta pertamanya. Perempuan yang dia kira akan menjadi akhir dari perjalanannya. Mereka bertemu di London saat D
Hujan deras mengetuk atap restoran bintang lima di bilangan Jakarta Selatan. Lampu-lampu kristal berpendar hangat, membuat ruangan seolah ingin memeluk siapa pun yang sedang terluka. Tapi bagi Rengganis, ruangan itu adalah ruang interogasi berbalut elegansi. Ia duduk di seberang Javin dengan tangan mengepal di pangkuan. "How are you Mas Javin?" bisiknya pelan. "Kenapa kamu tiba-tiba ngajak makan malam?" Javin tak menjawab langsung. Tatapannya tajam namun terluka, seakan sedang mencari jejak seseorang yang ia kenal dalam diri perempuan di depannya. "I'm fine... I just wanna talk cause i miss you." Ia tersenyum kecil. "Udah lama kita nggak benar-benar bicara. Kamu berubah, Ganis." Rengganis menggigit bibir. Ia sudah menyiapkan puluhan jawaban palsu, tapi semua lenyap begitu saja saat melihat wajah Javin yang tulus. "Berubah gimana?" tanyanya sambil menghindari tatapan. "Kamu menghindar dari aku. Pandanganmu penuh rasa bersalah. Dan kamu… kamu jadi sering sama Dru." Nama itu
Tatapan Javin tak bisa lepas dari sosok Rengganis yang keluar dari ruang meeting. Ada kegugupan yang tidak biasa di wajah perempuan itu. Dan itu membuatnya tidak tenang. Sudah dua minggu belakangan, sikap Rengganis berubah. Ia lebih pendiam, lebih tertutup. Bahkan, sesekali seperti menghindari kontak mata dengannya. Javin awalnya mengira itu hanya efek dari beban kerja atau kelelahan. Tapi sekarang… dia tidak yakin lagi. Apalagi sejak Dru kembali ke Jakarta dan “secara kebetulan” ikut masuk ke perusahaan keluarga mereka sebagai bagian dari tim merger dan akuisisi. Dru—Druwenda Wedhatama—adiknya sendiri. Adik kandung yang sudah dua tahun lebih tak pernah tinggal satu kota dengannya. Adik yang sejak dulu dikenal misterius dan jauh. Sekarang, tiba-tiba menjadi terlalu dekat dengan Rengganis. Terlalu dekat. Rengganis berjalan cepat menuju ruang kerjanya. Napasnya tak beraturan, bukan karena lelah, tapi karena ia tahu seseorang memperhatikannya. Javin. Tadi saat meeting, tatapan pria
Langit Jakarta tak pernah benar-benar gelap. Lampu-lampu kota menyala tak tahu waktu, sama seperti hati Rengganis yang kini tak lagi tahu harus memihak siapa. Sudah dua minggu sejak kepulangannya dari Bali—tempat di mana statusnya sebagai istri pria asing bernama Druwenda diikrarkan secara sah, meski hanya berdua, meski tanpa restu, meski tanpa cinta.Ia duduk di meja kecil apartemen Dru yang kini ditinggali mereka berdua, Ia mencoba menyelesaikan laporan mingguan untuk Javin. Tangannya menari di atas keyboard, tapi pikirannya hanyut. Nama Javin tertera jelas di bagian penerima laporan, tapi rasanya seperti menulis untuk seseorang yang hidup di masa lalu."Jangan telat meeting besok," pesan singkat dari Javin masuk ke ponselnya. Singkat. Formal. Tidak seperti biasanya.Dulu, sebelum semuanya berubah, Javin akan menelepon hanya untuk menanyakan apakah Rengganis sudah makan. Sekarang, hubungan mereka tinggal serpihan yang menyakitkan. Dan Rengganis memilih untuk membiarkannya hancur per