Rengganis terbangun dengan nyeri ringan di pelipis, seolah semalaman ia berada di dalam pusaran mimpi yang membakar sekaligus menyesakkan. Matahari belum benar-benar naik, hanya semburat oranye lembut yang menyusup di sela tirai hotel yang belum sepenuhnya tertutup.
Ia menggeliat pelan di bawah selimut satin putih. Tubuhnya terasa ringan dan hangat. Namun, rasa nyaman itu segera berubah menjadi beku ketika matanya menatap sosok pria yang tengah terlelap di sampingnya. Rengganis membeku. Itu bukan Javindra. Rahang pria itu lebih tegas, kulitnya sedikit lebih terang, dan rambutnya... meskipun sama-sama hitam namun terlihat lebih lembut. Jantung Rengganis mencelos, debarannya bak genderang perang bertalu menandakan tanda bahaya. Ia menelan ludah, berusaha mengingat kembali detail semalam. Gelas wine, ciuman, sentuhan, napas berat, desahan, lalu .. Tidak! Ia segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Detak jantungnya menggila. "Astaga... apa yang sudah aku lakukan?" bisiknya ketakutan. Druwendra menggeliat pelan, mengerang lirih karena cahaya pagi yang mulai mengusik tidurnya. Ketika matanya terbuka perlahan dan melihat wajah Rengganis yang tegang dan pucat pasi, ia tahu ini adalah awal dari bencana. "Lo ngapain tidur disamping gue hah?" bentak Dru yang lupa kejadian semalam. "Hah??? harusnya saya yang tanya! kenapa Tuan Dru yang ada disamping saya? kemana Mas Javin?" Druwendra menarik napas berat, menyusun kembali ingatan semalam yang samar-samar mulai nampak. Bukan Dru namanya jika tidak bisa menyelesaikan masalah. Ia duduk perlahan dan menatap tubuhnya yang masih tidak tertutup benang sehelai pun. Di ambillah bath rope hotel guna menutupi tubuh tegap nan berototnya tanpa memedulikan Rengganis yang memalingkan wajah ketika melihat benda pamungkasnya yang masih tegap sempurna saat bangun tidur. Druwendra menarik napas kembali duduk di sebuah kursi meneguk segelas air putih dan menyulut rokoknya... "Shhh... Ahhhh" "So...?? would you talk something to me about last night Rengganis?" tanya Dru membuat Rengganis gemetar dan membalut seluruh tubuhnya menggunakan selimut dan badcover. "No..!!! It's your fault right?" Teriak Rengganis. "Oh... It's my fault?" ulang Dru dengan nada sinis. "Bagaimana bisa anda Tuan Dru? anda pasti sengaja kan?" ucap Rengganis mulai menjatuhkan butiran-butiran bening dari mata indahnya. "Wah... You said how can it was me?" Oh Come on Rengganis! Look at this!" ucap Dru menyuruh Rengganis melihat bercak-bercak tada gigitan dan kecupan merah di leher Dru. "Jijik ga?" suara Dru kembali membuat Rengganis tak kuasa menahan tangis. "Bahkan Tuhan ga ngerestuin perbuatan kotor Lo Ganis! Lo mau jebak Mas Javin dengan kebinalan lo kan?" "Bangsat!" teriak Rengganis. "Oh lo ngatain gue bangsat? bukanya lo lebih bajingan ya Ganis?" ucap Dru enteng sengaja memprovokasi Ganis padahal hati kecilnya sendiri mengutuk tindakan mereka semalam. Sebajingan apapun seorang Druwendra Wedhatama ia tak pernah melakukan hubungan seks dengan siapapun, Jadi?? ya semalam baru pertama kali ia lakukan bersama Rengganis. Jujur saja ada perasaan yang sangat bersalah tapi tetap saja arogansi seorang Dru tidak mau mengungkapkan itu. "Ganis... Lo yang keterlaluan semalem, Lo yang buat gue minum wine yang lo campur afrodisiak! Lo yang mulai api ini Ganis! Kalo Lo gak percaya ayo kita cek CCTV!" Terang Dru. "BERHENTI!!!!" Rengganis memotong dengan nada tinggi. Suaranya pecah. Air matanya mulai menetes. Ia tak bisa melanjutkan. Tangisnya pecah bahunya terguncang hebat, sementara Dru hanya mentapnya dengan menyesap batang rokok yang mengepul. "Anda harusnya tampar saya! Anda bisa dorong saya! Anda bahkan bisa seret saya! tapi kenapa anda justru bertindak seperti ini kepada saya Tuan Dru?" tangisnya meledak. "Kenapa anda malah...." Ia tak bisa melanjutkan, tangisnya pecah. Segala rencana, seluruh strategi dan skenario liciknya semalam runtuh dalam satu pukulan telak bernama kenyataan. Druwendra tidak mendekat, Ia lebih memilih menjaga jarak. "Ahhhh....." teriak Rengganis saat ingin memiringkan badanya. "Hey... are you ok?" "S..sakit" "Lo mau kemana?" "Ke kamar mandi, saya harus berangkat ke kantor." "Oh mau nemuin Mas Javin? dia gak akan berangkat!" Glek.... saat nama Javindra kembali disebut, dadanya kembali sesak dihantam kenyataan. Astaga bagaimana jika Javin tahu? "Ughhh..." sakit itu kembali membuatnya tersadar, sungguh benar-benar sakit. Rasa nyeri bercampur perih pada organ kewanitaannya. Dru meneleng sejenak dan melihat noda darah yang bercecer di sprei berwarna putih itu. "You are virgin?" ucap Dru spontan tanpa rem. Oh Tuhan.... Dru benar-benar merenggut keperawanan Rengganis. Ah sial!!! Rengganis tak mempedulikan ucapan Dru namun rasa sakitnya kembali membuatnya berpekik. "Agrghhttt it's so hurt! really hurt!" "I'm so sorry" ucap Dru mendekat dan menenangkan Rengganis dalam pelukanya meskipun Rengganis meronta Dru tetap memeluknya erat. Druwendra mengeratkan pelukanya, menahan tubuh Rengganis yang terus bergetar hebat. Meski awalnya ia keras, kini nada suaranya melembut, menyatu dengan rasa bersalah yang mulai membungkam keangkuhannya. "Ssst... udah, tenang dulu. Gue gak akan nyakitin lo lagi, I'm promise." bisiknya pelan, jemarinya membelai lembut punggung Rengganis yang dipenuhi ketegangan. "Aku benci kamu! Benci diriku sendiri!!!" gumam Rengganis lirih dalam dekapan dada Dru, suara itu sekaan pecah seiring isakan yang makin pelan dengan suaranya yang parau. Dru menutup mata dan mencengkram kuat punggung Rengganis yang hanya tertutup selimut, seolah itu satu-satunya cara agar rasa bersalahnya tak meledak jadi amarah pada dirinya sendiri. Ia tak pernah membayangkan, skenario terbodoh dalam hidupnya akan terjadi seperti ini, dengan wanita yang selama ini judtru selalu ia anggap sebagai tanda bahaya keluarga Wedhatama. "Gue benci ini semua!" ucap Dru dengan nada yang nyaris patah. "But life must go on right? so... gue mau tanggung jawab!" Rengganis mendongak pelan, matanya yang sembab menatap lurus ke arah mata Dru. "Tanggung jawab? anda pikir sesederhana itu?" "Gue gak bilang ini sederhana!" Dru menghela napas panjang. "Tapi lo nggak sendirian! Gue bakal tanggung jawab!" "Tanggung jawab dengan cara apa? Ngasih gue uang supaya tutup mulut hah? atau menikah diam-diam supaya keluarga Lo yang kaya raya itu gak malu hah?" suara Rengganis meninggi menjelma bagai badai yang siap menerjang. "Ya... Gue bakal nikahin Lo!" jawab Dru begitu tenang dan langsung membuat Rengganis terpaku ditempat. "Gue gak pernah main perempuan. Dan Lo tahu itu! Ini salah lo... dan salah gue juga intinya disini kita sama-sama salah, Gue gak mau judge lo yang sepenuhnya salah karena lo yang paling menderita disini, dan kalau lo beneran perawan tadi malam...." suara Dru merendah, menahan perih dalam hatinya sendiri. "Gue nggak akan biarin lo ngadepin ini sendirian. Gue gak sebrengsek itu!." "Tapi Lo gak cinta Dru! Kita gak saling cinta! and I know you hate me!" suara Rengganis nyaris seperti gumaman. "And I hate you too..." "Persetan dengan cinta, Gue bilang gue bakal tanggung jawab!" Rengganis kembali terisak kali ini bukan karena rasa sakit tapi karena rasa takut akan halan panjang dan berliku yang menantinya. "Gimana Mas Javin Dru? Aku takut... you know I love him!" Deg.... ~TBC~Rengganis terbangun dengan nyeri ringan di pelipis, seolah semalaman ia berada di dalam pusaran mimpi yang membakar sekaligus menyesakkan. Matahari belum benar-benar naik, hanya semburat oranye lembut yang menyusup di sela tirai hotel yang belum sepenuhnya tertutup. Ia menggeliat pelan di bawah selimut satin putih. Tubuhnya terasa ringan dan hangat. Namun, rasa nyaman itu segera berubah menjadi beku ketika matanya menatap sosok pria yang tengah terlelap di sampingnya.Rengganis membeku.Itu bukan Javindra.Rahang pria itu lebih tegas, kulitnya sedikit lebih terang, dan rambutnya... meskipun sama-sama hitam namun terlihat lebih lembut. Jantung Rengganis mencelos, debarannya bak genderang perang bertalu menandakan tanda bahaya. Ia menelan ludah, berusaha mengingat kembali detail semalam. Gelas wine, ciuman, sentuhan, napas berat, desahan, lalu ..Tidak! Ia segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Detak jantungnya menggila."Astaga... apa yang sudah aku lakukan?" bisiknya ketak
"Mas Javin?"Javin menoleh lalu meraba pelipisnya, matanya memerah dengan pupil yang membesar, napasnya berat dan ia hampir terjatuh namun Dru menahannya. "Dru...? What are you doing here?""Aku ada meeting di lounge bawah." jawab Dru mengerutkan alis, "What's wrong with you Mas? You look so drunk."Javin menghela napas berat dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Only drink one glass of wine, I did'nt knew what happen to me. Kepala gue rasanya mau meledak Dru, badan gue juga panas banget!"Mata Dru menyipit, Ia mendekat lalu mencium aroma samar dari Javin. Bau wine parfum khas milik Rengganis, dan... sesuatu yang tak asing. "Shit!" gumamnya, Ia tahu betul jenis zat itu. Bukan racun, tetapi bisa sangat memabukkan dan menurunkan kontrol diri. Ia pernah melihat kasus serupa saat bergaul di lingkaran bawah tanah sewaktu kuliah di London."Damar!!!" panggilnya ke arah lift. Seorang pria bertubuh kekar dengan potongan rapi dan tatapan tajam datang mendekat. "Bawa Mas Javin pulang ke mansio
Rengganis duduk terpaku di kursi kayu berukir yang menua bersama waktu, ditengah ruang tamu apartemen kecilnya yang sederhana namun nyaman. Lampu gantung kristal di langit-langit memancarkan cahaya hangat yang remang, menari pelan di dinding krem yang berhias lukisan abstrak. Suasana malam begitu hening, tapi justru itulah yang membuat hatinya semakin gaduh. Logikanya berperang melawan ide-ide jahat di otaknya, perlahan bisikan iblis mulai menyerang ketahanan moralitas Rengganis hingga membuatnya menjadi obsesif. Pikirannya telus berkeliaran memikirkan bagaimana cara mendapatkan Javin. Hingga muncul sebuah ide gila untuk mengikatnya secara sah. Ia menatap ponselnya yang menyala. Nama "Javindra" tertera di sana. Setelah kejadian memalukan siang tadi, Javindra menghubunginya berkali-kali. Ya... kalian pikir saja bagaimana rasanya Rengganis ditatap puluhan pasang mata yang siap mencabik dan menerkam segala tingkah lakunya, terlebih lagi disana ada Druwendra. Sosok wanita berkelas den
Rapat besar pemegang saham WEDHATAMA GROUP digelar di Ballroom utama gedung pusat yang di desain megah dan mencekam dengan dominasi hitam, emas, dan abu-abu. Di tengah ruangan dengan tata letak melingkar itu, duduk para pemegang kendali dinasti bisnis raksasa, anggota keluarga wedhatama dari berbagai cabang keluarga, pengacara, penasihat hukum, dan tentu saja para komisaris utama. Diantara mereka, Rengganis Prabakusuma duduk di pojok ruangan, tak jauh dari tempat duduk CEO muda, Javindra Wedhatama. Hari ini ia tak mengenakan seragam sekretaris seperti biasanya. Atas permintaan Javin, Rengganis mengenakan setelan formal warna navy dengan blouse satin putih dan sepatu high heels yang membuatnya terlihat seperti bagian dari lingkaran inti, tapi hal itu tentu saja tidak cukup untuk membuat keluarga besar Wedhatama mengakui keberadaanya. "Oh... Anda yang namanya Rengganis?" tanya salah seorang petinggi bernama Tante Melrose. "Benar, saya Rengganis, Nyonya." "Sebenernya kamu ini sek
Langit Jakarta menjingga keemasan ketika Rengganis Prabakusuma memasuki lobi kantor WEDHATAMA GROUP. Denting hak sepatunya bergema di lantai marmer, seirama dengan degup jantung yang terasa lebih cepat dari biasanya. Sore itu, ia tak hanya datang sebagai sekretaris CEO muda Javindra Wedhatama, tetapi juga sebagai kekasih rahasia yang menunggu sebuah kepastian. Rengganis melirik jam di tanganya. Sudah pukul enam lebih lima belas. Hampir semua karyawan sudah pulang kecuali beberapa staf penting dan tentu saja dirinya. Javin masih berada di ruangannya, ia masih sibuk rapat daring dengan klien bisnisnya dari Hongkong. Rengganis mengetuk pelan pintu ruangan CEO. "Permisi Pak???" Javin yang masih memandang layar leptop sejenak mengalihkan pandanganya kepada Rengganis dan mengangguk sembari menyimpulkan senyum manis dari wajah tampannya. Rengganis menunggu dalam diam di sofa ruangan lantai delapan itu, sesekali membenarkan poni dari rambut coklatnya yang tergerai lemas. Jantungnya b