Suara detik jarum jam membelah sunyi yang merayap diantara dua insan yang saling bersitegang. Kemewahan kamar hotel sekaan kontras dengan ekspresi dua jiwa yang tersorot cahaya temaram. Dua sosok yang terperangkap dalam kekacauan total yang sama sekali tidak mereka rencanakan, Ya... Merekalah Rengganis Prabakusuma dan Druwendra Wedhatama.
Rengganis masih terpaku, diam membisu dan membiarkan tubuhnya terbungkus dalam selimut, wajahnya pucat, rambutnya berantakan, matanya sembab. Ia masih duduk di ujung ranjang, dengan punggung tegak namun bergetar, jantungnya berdetak kencang, nyaris meledak karena emosi dan kecewa. Sementara itu, Dru masih berdiri memaku, menatapnya dari sebrang meja rias sembari mengepulkan asap rokok, tubuhnya tegap dan hanya mengenakan celana bahan panjang berwarna hitam, diam, tanpa ekspresi, tapi mata elangnya berpendar menatap Rengganis dengan sorot menakutkan. "Kau puas, Hah?" suara Rengganis pecah dengan nada getir yang menusuk keheningan. Dru berbalik, alisnya terangkat. "Hm, Puas kau bilang? Bukankah Kau yang puas Ganis?" "BRENGSEK!", umpat Rengganis "KAU SUDAH MENGHANCURKAN SEMUANYA BAJINGAN!!!" imbuhnya. "Hah?" dengkus Dru mendekat ke arah Rengganis. "Rencanamu? Kau menyebut menjebak kakakku untuk menikahimu disebut rencana hidup?" "Jangan bersikap seolah-olah kau adalah makhluk paling suci, Dru! Aku mencintai Javin. Aku hanya menginginkannya! Aku yakin dia akan memahami rencana jalangku ini dan tetap akan berrtanggung jawab setelah semua ini! Tapi kau? kau muncul entah dari mana, Lalu...?" "Lalu apa?" potong Dru dengan suara penuh tekanan. "Aku yang menyentuhmu? Jangan munafik Rengganis! Kau sengaja melakukan itu! bahkan aku merasa sangat ironis telah menyentuh wanita licik sepertimu! Kau sendiri yang menggeliat kepadaku! kau yang membuka lebar pahamu di depanku! dan kau juga yang memenuhi kamar ini dengan erangan dan desahan dari mulut beracunmu!" "Diam!" Brengsek! tutup mulutmu Dru!" "Apa hah? kau malu? kau jijik? kau merasa paling teraniaya? bukankah tujuanmu berhasil hah? kau bukan hanya menghancurkan aku tapi kau berhasil menhancurkan Javin? Selamat Rengganis!" oceh Dru. "Tidak pernah sedikitpun terpikir olehku jika suatu waktu aku harus tidur dengan pria monster seperti mu!" teriak Dru dengan tatapannya yang menyala. "Hahahahah? monster? monster yang memuaskanmu?" cibir Dru. Wajah Rengganis memerah menahan malu. "Aku mabuk! Aku tidak sadar!!" "Dan aku... aku tidak tahu kalau itu kamu Dru! Apa kau pikir aku punya niat dengan calon iparku sendiri?" "Kau bisa pergi dari kamar ini! kau bisa saja menolak ku sejak awal! Tapi tidak! kau justru diam dan menikmati semua kesalahan ini! Kau...." "Aku memang salah karena tidak bisa membedakanmu dan Javin tapi jangan limpahkan semua kesalahan ini kepadaku Dru!" Tangis Ganis pecah. "Aku membencimu! sungguh sangat membencimu!" Dru mendekat tatpan matanya tajam. "Bagus! Karena aku juga tidak pernah menyukai perempuan yang menjual harga diri demi status sosial!" "BAJINGAN!" Ganis melemparkan bantal ke arah Dru, tapi dengan sigap pria itu menangkapnya dan menjatuhkannya ke lantai. Napas mereka sama-sama memburu. "Jangan pikir kau bisa mempermainkan keluarga kami sesuai naskahmu! Javin terlalu sempurna untukmu. Aku tahu siapa kamu dan aku jauh lebih tahu kelicikanmu Rengganis Prabakusuma!" "Aku tidak butuh penghakiman dari pria sepertimu! Kau bahkan tidak tahu rasanya mencintai! Kau hanya tahu bagaimana caranya membenci dan meremehkan semua orang!" "Lebih baik seperti itu dari pada menjadi boneka yang berpura-pura polos!" impal Dru dengan kekehannya. "Kau bilang berpura-pura? Aku benar-benar mencintai Javin! Aku hanya... hanya ingin dia mengambil tindakan! KELUARGAMU BENAR-BENAR MEMUAKAN DRU!" "Mengambil tindakan dengan membuatnya bertanggung jawab atas rencana kotormu? Dengan menjatuhkan harga dirinya dan membuatnya menjadi bajingan di mata semua orang? that's not love! that is obsession!" teriak Dru. Ganis menggeleng keras. "Orang yang tidak mengerti cinta sepertimu berani-beraninya menilai hatiku! Kau bahkan tidak tahu apa-apa Tuan Druwenda Wedhatama!" "Aku tahu cukup banyak untuk menyesal pernah melihatmu tanpa busana!" celetuk Dru. Ganis membeku. tubuhnya bergetar karena penghinaan itu. "Kau... Pengecut!" "Dan kau pembohong!" Mereka terdiam beberapa detik hingga kemudian Dru memutar tubuh dan beranjak berjalan ke arah jendela besar, menyibakkan tirainya lebar-lebar. Cahaya pagi menerpa ruangan itu, silau... sangat menyilaukan. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Ganis lirih, masih terduduk, suaranya jauh lebih pelan namun masih bergetar. "Bersiap untuk menikahamu." jawab Dru enteng. "Omong kosong lagi... sudah ku bilang aku tidak setuju!" "Memangnya aku butuh persetujuan mu?" "Pergi dari sini. Lupakan semua ini dan kalau bisa jangan pernah muncul dihadapanku lagi!" ucap Ganis. "Lihatlah... betapa kurang ajarnya seorang sekretaris mengatakan ini? dengan tololnya kau menyuruhku untuk tidak pernah muncul dihadapanmu lagi? Hey? kau lupa siapa aku?" Dru meneleng ke arah Ganis. "Brengsek!" Dru terkekeh sinis. Napasnya berat, tapi suaranya tetap tenang dengan nada sarkastik yang tajam bak sembilu. "Aku Druwenda Wedhatama! Adik dari pria yang kau coba jebak. CEO cabang utama Wedhatama Corp di Singapura, dan mulai hari ini aku adalah pria yang akan menulis ulang hidupmu dari nol, Ganis," ucapnya sembari menunjuk dada Ganis yang naik turun karena amarah dan malu. "Aku tidak akan menikah denganmu!" desis Ganis dengan tatapan penuh amarah. Dru mendekat, langkah kakinya berat namun mantap, seperti singa yang mengintai mangsa yang telah terluka. Ia menunduk, menatap Ganis dari atas, menahan diri agar tak tergoda oleh wajah pucat dan mata sembab yang justru membuat wanita itu terlihat rapuh dan indah dalam kepatahan. "Bagus. Tolak saja. Semakin kau melawan, semakin aku menikmati permainan ini. Karena kau tahu apa, Ganis? Kau sudah berada di dalamnya. Dalam game ini, tidak ada jalan keluar." Rengganis menggertakkan giginya. "Kau pikir ini lucu?" "Lucu?" Dru mengangkat alisnya. "Tidak, ini tragis. Tapi juga adil." "Apa maksudmu?" "Kau menginginkan Javin... tapi yang kau dapat adalah aku. Kau ingin status, uang, nama besar. Kau kira bisa mempermainkan keluarga kami seperti boneka? Sekarang, kau akan merasakan bagaimana rasanya dipaksa masuk ke dalam dunia yang tidak kau pahami!" "Kau gila..." "Aku waras. Justru terlalu waras untuk membiarkan wanita sepertimu merusak hidup kakakku." Ganis berdiri, selimut terseret, memperlihatkan lengannya yang memeluk tubuhnya sendiri, menahan dingin dan malu. "Aku bisa pergi dari sini. Aku bisa melaporkanmu atas semua ini! Kau pikir aku takut?!" Dru tersenyum miring, mendekat lebih jauh hingga nyaris menyentuh wajah Ganis. "Silakan. Laporkan. Katakan pada semua orang bahwa Rengganis Prabakusuma tertidur di ranjang hotel bersama adik kekasihnya sendiri. Lalu kau pikir siapa yang akan percaya? Siapa yang akan berpihak padamu, Ganis?" "KAU IBLIS!" "Dan kau korbannya, begitu?" Dru mendengus, lalu membisik di telinga Ganis dengan dingin, "Sayangnya, iblis ini akan menjadi suamimu." "Aku tidak akan pernah sudi jadi istrimu!" "Bagus. Tapi kita akan tetap menikah. Entah kau mau atau tidak. Karena hanya itu satu-satunya jalan agar skandal ini tidak menghancurkan semuanya. Kau, keluargamu, kariermu, reputasi Javin... dan tentu saja, nama besar Wedhatama." Ganis menggeleng putus asa, tubuhnya bergetar hebat. "Kau... kau ingin menghukumku... ini semua tentang balas dendam..." "Tidak, Ganis," potong Dru datar. "Ini tentang mengakhiri permainan yang kau mulai, dengan caraku." Ia mundur perlahan, meraih ponselnya dari meja, lalu menatap Ganis untuk terakhir kalinya pagi itu. "Aku beri kau waktu dua jam. Setelah itu, kau akan ikut denganku. Atau... semuanya akan tahu apa yang terjadi semalam." Dru melangkah keluar, membiarkan pintu tertutup perlahan. Suara dentingan jam kembali terdengar memecah sunyi, menyayat sepi. Tinggalkan Ganis dengan deru napas, tangis, dan kesadaran mengerikan... bahwa dirinya telah terjebak dalam permainan yang tak lagi bisa dikendalikan. ~TBC~Suara pintu kamar Dru menutup pelan. Rengganis berdiri mematung di dekatnya, kedua tangannya gemetar, menggenggam erat lengan sweater lusuh yang tadi sempat ia tarik asal dari gantungan.Dru tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap sekilas, lalu berjalan ke meja kecil di pojok kamar, membuka jendela sedikit agar udara malam masuk. Dingin. Tapi ia tahu perempuan di belakangnya lebih beku dari cuaca di luar sana.Rengganis menghela napas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya yang terasa kacau. Tubuhnya lelah. Bukan sekadar karena hari yang panjang, tapi karena hatinya sudah nyaris mati rasa."Aku boleh di sini?" suaranya nyaris hilang, pelan sekali.Dru tidak menjawab. Hanya anggukan kecil, nyaris tak terlihat. Lalu ia menarik kursi ke dekat jendela, duduk membelakangi Ganis, matanya menatap kosong ke luar. Malam begitu sunyi. Hanya sesekali suara kendaraan dari jalan besar terdengar sayup.Rengganis berdiri di tempatnya, menatap punggung Dru. Ragu. Ingin bicara, tapi kata-kata hany
Rengganis berdiri terpaku di ruang tengah rumah keluarga Wedhatama, memeluk buku catatan kecil yang biasanya ia pakai untuk mencatat agenda kerja Javin. Tapi hari ini, kertas-kertas itu dipenuhi dengan daftar vendor catering, nama desainer kebaya, dan referensi tema pernikahan.Pernikahan Javin.Dan ia... sekretaris yang dipercaya mengoordinasi semuanya."Kamu cekkan ke Panji ya, Ganis," titah Nyonya Wedhatama sambil menunjuk brosur undangan yang ada di tangannya. "Kita tetap mau gaya klasik modern. Tapi tolong lihat juga pilihan kertasnya, jangan yang terlalu tipis.""Baik, Nyonya," jawab Rengganis lirih."Dan jangan lupa, reservasi tempat buat siraman calon pengantin. Kita mau yang ada kolam ikan itu, di Cipete.""Dicatat, Nyonya."Dari sudut ruangan, Javin berdiri dengan tangan di saku celana. Ia memperhatikan semua ini dalam diam, sesekali mencuri pandang ke arah Rengganis. Tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Mereka sekarang hanya dua orang asing yang pura-pura pro
Dru duduk sendirian di ruang tamu rumah kontrakan mereka. Lampu sudah dimatikan sejak satu jam lalu, tapi matanya masih terbuka. Rengganis sudah masuk kamar lebih dulu tanpa sepatah kata pun, sejak kejadian di mobil tadi. Ia tak menolak ciumannya, tapi juga tak berkata apa-apa setelahnya.Itu membuat segalanya terasa menggantung seperti jembatan yang retak tapi belum runtuh.Dru meneguk teh dingin yang sudah hambar, lalu membuka ponselnya. Jarinya membuka galeri, dan berhenti di satu folder: Mira.Senyumnya menyakitkan, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu."Jangan pernah jatuh cinta terlalu dalam, Dru. Karena kalau orang itu pergi, kamu akan kehilangan seluruh warna dunia."Kata-kata Mira dulu terasa berlebihan. Tapi saat perempuan itu benar-benar pergi tanpa peringatan, tanpa kesempatan mengucapkan selamat tinggal hingga hidup Dru memang berubah jadi abu-abu.Mira adalah cinta pertamanya. Perempuan yang dia kira akan menjadi akhir dari perjalanannya. Mereka bertemu di London saat D
Hujan deras mengetuk atap restoran bintang lima di bilangan Jakarta Selatan. Lampu-lampu kristal berpendar hangat, membuat ruangan seolah ingin memeluk siapa pun yang sedang terluka. Tapi bagi Rengganis, ruangan itu adalah ruang interogasi berbalut elegansi. Ia duduk di seberang Javin dengan tangan mengepal di pangkuan. "How are you Mas Javin?" bisiknya pelan. "Kenapa kamu tiba-tiba ngajak makan malam?" Javin tak menjawab langsung. Tatapannya tajam namun terluka, seakan sedang mencari jejak seseorang yang ia kenal dalam diri perempuan di depannya. "I'm fine... I just wanna talk cause i miss you." Ia tersenyum kecil. "Udah lama kita nggak benar-benar bicara. Kamu berubah, Ganis." Rengganis menggigit bibir. Ia sudah menyiapkan puluhan jawaban palsu, tapi semua lenyap begitu saja saat melihat wajah Javin yang tulus. "Berubah gimana?" tanyanya sambil menghindari tatapan. "Kamu menghindar dari aku. Pandanganmu penuh rasa bersalah. Dan kamu… kamu jadi sering sama Dru." Nama itu
Tatapan Javin tak bisa lepas dari sosok Rengganis yang keluar dari ruang meeting. Ada kegugupan yang tidak biasa di wajah perempuan itu. Dan itu membuatnya tidak tenang. Sudah dua minggu belakangan, sikap Rengganis berubah. Ia lebih pendiam, lebih tertutup. Bahkan, sesekali seperti menghindari kontak mata dengannya. Javin awalnya mengira itu hanya efek dari beban kerja atau kelelahan. Tapi sekarang… dia tidak yakin lagi. Apalagi sejak Dru kembali ke Jakarta dan “secara kebetulan” ikut masuk ke perusahaan keluarga mereka sebagai bagian dari tim merger dan akuisisi. Dru—Druwenda Wedhatama—adiknya sendiri. Adik kandung yang sudah dua tahun lebih tak pernah tinggal satu kota dengannya. Adik yang sejak dulu dikenal misterius dan jauh. Sekarang, tiba-tiba menjadi terlalu dekat dengan Rengganis. Terlalu dekat. Rengganis berjalan cepat menuju ruang kerjanya. Napasnya tak beraturan, bukan karena lelah, tapi karena ia tahu seseorang memperhatikannya. Javin. Tadi saat meeting, tatapan pria
Langit Jakarta tak pernah benar-benar gelap. Lampu-lampu kota menyala tak tahu waktu, sama seperti hati Rengganis yang kini tak lagi tahu harus memihak siapa. Sudah dua minggu sejak kepulangannya dari Bali—tempat di mana statusnya sebagai istri pria asing bernama Druwenda diikrarkan secara sah, meski hanya berdua, meski tanpa restu, meski tanpa cinta.Ia duduk di meja kecil apartemen Dru yang kini ditinggali mereka berdua, Ia mencoba menyelesaikan laporan mingguan untuk Javin. Tangannya menari di atas keyboard, tapi pikirannya hanyut. Nama Javin tertera jelas di bagian penerima laporan, tapi rasanya seperti menulis untuk seseorang yang hidup di masa lalu."Jangan telat meeting besok," pesan singkat dari Javin masuk ke ponselnya. Singkat. Formal. Tidak seperti biasanya.Dulu, sebelum semuanya berubah, Javin akan menelepon hanya untuk menanyakan apakah Rengganis sudah makan. Sekarang, hubungan mereka tinggal serpihan yang menyakitkan. Dan Rengganis memilih untuk membiarkannya hancur per