Share

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA
Penulis: Yazmin Aisyah

Bab 1

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 1

"Hah? Pinjem bajuku lagi?"

Aku melotot, menatap baju di tangan Abang yang hendak dimasukkannya ke dalam tas. Baju kesayanganku, oleh-oleh Papa dari Thailand. Sebuah dress oversize bergambar gajah, khas negeri gajah putih itu. Baju itu baru kupakai dua kali dan kini terancam berpindah tangan.

"Iya. Winda pengen baju ini. Kemarin dia lihat kamu pakai dan suka. Aku bawa dulu ya."

"Nggak boleh!" Aku merampas baju itu sekuat tenaga. "Enak aja. Kenapa pinjam sih? Kenapa nggak beli sendiri?"

"Ini kan nggak dijual disini, Em. Dan nggak ada pula yang sama."

"Kenapa emangnya harus sama?"

"Eh…" Abang tampak bingung. "Winda bilang…"

"Winda terus, Winda terus! Abang tahu nggak? Pacar Abang itu freak. Semua harus sama kayak aku, potongan rambut, make up, sepatu, tas, baju semua harus sama sama aku. Dia tu aneh. Mikir dong, Bang!"

"Emily!"

Aku terkejut mendengar Abang membentakku.

"Jangan ngomong yang nggak nggak tentang Winda. Dia itu gadis baik-baik."

Nada suaranya menurun melihatku terkejut dan suruh ke belakang. Aku melengos, memegang bajuku erat-erat.

"Baik apanya kalau tukang ngembat barang orang. Semua barangku yang dia pinjam nggak pernah pulang."

"Ya emangnya kamu mau pakai baju bekas dia."

"Oh, berarti yang ini pun kalau aku pinjemin nggak bakalan balik kan? Pokoknya nggak!"

"Kamu udah puas pakainya Em."

"Puas apanya? Baju ini ku sayang-sayang. Abang tahu kan ini oleh-oleh Papa yang terakhir?"

Suaraku langsung bergetar. Apa yang baru saja ku katakan memang benar. Sepulang dari Thailand, sebulan kemudian Papa terkena serangan jantung dan pergi untuk selamanya. Benda terakhir pemberiannya, yang beliau pilihkan sendiri untukku, kujaga baik-baik, selamanya akan kusimpan sebagai kenangan. Dan kini, Abang seenaknya hendak memberikannya pada pacarnya yang ajaib itu.

Abang terdiam melihatku mau menangis. Kudorong punggungnya agar keluar dari kamar, lalu kubanting pintu hingga tertutup. Usai menguncinya, aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Lelah dan kesal. Tak kupedulikan suara Abang yang masih berteriak membujukku.

Astaga. Abangku yang bucin. Entah sampai kapan Winda akan menjadi duri dalam hidupku. Aku sampai ngeri membayangkan dia jadi iparku kelak.

"Kenapa, Ga?"

Suara lembut Mama terdengar. Aku memasang telinga. Mama biasanya akan ikut membujukku agar mengabulkan permintaan anak kesayangannya itu.

"Winda pengen bajunya Emily Ma, tapi nggak dikasih." Abang mengadu.

Mama terdiam sejenak. "Kamu belikan saja yang baru, Nak."

"Masa Arga mesti ke Thailand dulu, Ma."

"Oh, memangnya baju yang mana?"

"Dress putih dari Thailand itu."

Mama terdiam, lalu kudengar lagi suaranya.

"Ya kalau yang itu jangan, Ga. Kamu kan tahu itu kenangan terakhir dari Papa. Emi…"

"Ah, Mama sama saja dengan Emily. Bukannya bantu aku bujuk anak itu."

Aku menutup telinga, tak mau tahu ending percakapan mereka. Biasanya Mama akan luluh dan ikut membujukku, lalu aku harus merelakan barangku yang diinginkan Winda. Tapi kali ini tidak. Aku tak akan mengalah lagi.

***

Aku mengunci pintu kamar dengan tergesa-gesa. Pagi masih sangat muda. Seharusnya aku bisa bersantai karena jam masuk kantor tempatku bekerja adalah jam delapan pagi. Tapi sungguh, aku malas bertemu Bang Arga dan mendengar rengekannya lagi.

"Ma, aku berangkat duluan ya." Kuraih tangan Mama yang masih mengaduk nasi goreng. Aku menelan ludah melihat nasi goreng kambing kesukaanku itu. Aromanya sungguh menggoda. Tapi aku harus segera pergi sebelum Bang Arga keluar kamar dan menghancurkan moodku.

"Loh, kamu nggak sarapan? Ini masih jam enam."

"Ada meeting, Ma." Aku mencium tangan Mama, meminta maaf dalam hati karena berbohong. Setelah itu, aku berlari tergesa-gesa, mengeluarkan motor matic-ku dari garasi dan memakai sepatu.

"Em, bawa ini."

Mama muncul dan melainkan kotak bekal di meja. Aroma nasi goreng yang harum menguar dari sana. Aku memandang Mama haru. Mama rupanya masih ingat bagaimana candunya aku pada makanan itu.

"Makasih Ma."

Mama tersenyum. Tapi kata-katanya kemudian membuatku tertegun.

"Baju itu, yang mau dipinjam Winda, kasihlah, Nak. Kasian Abangmu."

Aku urung memutar kontak motor, memandang Mama dengan mata mengembun.

"Nggak. Cukup selama ini aku mengalah. Mama tahu apa arti baju itu bagiku."

"Itu cuma baju, Nak."

Aku memandang Mama kecewa.

"Cuma? Aku nggak nyangka Mama ngomong kayak gini. Papa pasti akan sedih sekali."

Aku tak menunggu reaksi Mama. Dengan perasaan sedih, aku naik ke motor dan segera pergi. Aku bahkan melupakan kotak bekal ku, tertinggal di atas meja teras. Kutahan air mataku agar tak jatuh sepanjang perjalanan.

Winda Shabira, gadis yang telah setahun menjadi kekasih Bang Arga, kerap memancing emosiku. Sejak pertama sekali dia datang dan diperkenalkan pada kami - aku dan Mama - dia sudah membuatku kesal dengan bertanya segala macam. Potongan rambut, make up sampai pembalut apa yang kupakai. Dan aku tercengang ketika minggu berikutnya dia dibawa lagi ke rumah oleh Bang Arga, dandanannya persis sekali aku. Aku masih berpikir positif, mungkin selama ini dia belum menemukan model rambut yang cocok. Tapi ketika dia datang lagi keesokan harinya, aku makin kaget.Sepintas, dia sangat mirip aku. Dan semakin lama semakin tampak jelas kalau dia mencoba meniruku. Aku pakai rok ini, besoknya dia aplod foto pakai rok yang sama. Aku pakai tas baru, tak lama, Abang sibuk beli juga untuknya. Fix, Winda sakit jiwa, dan parahnya, Bang Arga bucin sama dia.

Mood-ku memburuk seharian. Beberapa kali juga aku membuat kesalahan. Untung saja, Pak Arfan, si bos jutek tak datang hari ini. Bisa-bisa kena SP aku, plus omelannya yang menyakitkan telinga. Raina yang duduk di sebelah mejaku berulang kali memelototi, memberi peringatan supaya aku fokus.

"Apa lagi?" Bisiknya. "Winda lagi?"

Aku memutar bola mata. Raina cekikikan meski diam-diam. Dia sahabatku, tempat curhatku.

"Plis-lah Na, aku lebih suka kamu jadi Kakak iparku."

Raina makin ngakak. Masalahnya dia sendiri sudah punya pacar.

Aku pulang dengan lesu, terlebih ketika kulihat sepatu Winda ada di depan pintu. Dia ada di dalam, dan entah apa lagi ulahnya kali ini.

"Emiii… makasih sayang. Bajunya pas banget sama aku."

Winda menubrukku, memeluk hingga aku berasa risih. Aku tertegun melihat penampilannya. Dress putihku! Padahal aku sudah menaruhnya di lemari, dan lemariku sudah pula dikunci. Jadi…

Aku berlari ke kamar, dan terpana mendapati lemari bajuku sudah dibongkar pintunya.

"Abaaaaangggg!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status